NOVEL

 SANG PENCERAH


bagian 1. Titah Sri Sultan


Keraton Yogyakarta Hadiningrat, 1904
KIAI Ahmad Dahlan berjalan menuju pintu gerbang Donopratopo dengan langkah cepat. Sebuah perintah baru saja diterimanya: Sri Sultan Hamengkubuwono VII ingin bertemu di ruangan Ndalem Ageng Proboyakso. Ini bukan perintah biasa karena bangunan berdinding kayu itu merupakan pusat dari keraton seluas 14.000 meter persegi itu.
Kiai Dahlan melewati sepasang arca raksasa Dwarapala yang berada di muka gerbang. Arca di sebelah timur disebut Cinkorobolo, sedangkan yang di sebelah barat dinamakan Bolobuto. Dia memasuki halaman teduh yang dinaungi rimbun pohon sawo kecik dan terus
berjalan menuju Bangsal Kencono yang menghadap ke timur dan merupakan balairung utama istana. Di tempat ini biasanya dilakukan upacara untuk keluarga kerajaan selain upacara kenegaraan. Dari Bangsal Kencono, Kiai Dahlan terus menuju ruangan Ndalem Ageng Proboyakso, yang juga merupakan tempat disimpannya pusaka kerajaan dan lambang-lambang kenegaraan lainnya.
“Silakan tunggu di sini, Kiai,” ujar seorang penggawa keraton dengan nada hormat kepada Kiai Dahlan yang menjabat sebagai Khatib Masjid Gedhe Kauman. “Kanjeng Sinuwun akan segera datang.”
‘Terima kasih,” jawab Kiai Dahlan lembut. Dia lalu melihat ke sekeliling dan menatap gambar besar Panembahan Senopati, kakek Sultan Agung, yang terlihat karismatik. Dengan diterima di ruangan itu, Kiai Dahlan tahu bahwa Sri Sultan akan segera datang karena kediaman resminya di Gedhong Jene, bangunan yang didominasi warna kuning, berada hanya sepelemparan batu dari tempatnya sekarang.
Dugaannya benar. Sri Sultan Hamengkubuwono VII tak lama kemudian memasuki ruangan diiringi para penggawa. Kiai Dahlan dengan cepat menghaturkan sembah yang lazim dilakukan masyarakat Jawa. Biasanya sembah itu dilakukan cukup lama. Namun karena yang melakukan adalah seorang kiai yang cukup berpengaruh, Sultan segera memberi isyarat agar Kiai Dahlan menghentikan sembahnya.


“Saya sudah dengar semuanya, Kiai,” ujarnya dengan nada tenang dan berhati-hati. Biasanya Kiai Dahlan selang menatap lawan bicaranya. Namun terhadap Sri Sti^ra dia tak bisa sejelas itu melakukannya. “Apakah benar apa yang saya dengar?” tanya Sri Sultan.
“Keputusan yang saya pilih itu justru untuk menja|l| dari hal-hal yang buruk,” jawab Kiai Dahlan.
“Ya, saya mengerti,” ujar Sri Sultan. “Sejak lahirnya Politik Etis di Belanda, muncul gerakan pembaruan di tanah Jawa ini. Zaman berubah dari perang senjata menjadi perang intelektual. Pemikiran Kiai Dahlan justru sangat dibutuhkan.”
“Terima kasih, Sinuwun. Tapi pemikiran saya tampaknya tidak dibutuhkan di Kauman. Terlalu banyak yang tidak setuju dibandingkan dengan yang sepakat.”
“Tempat ini terlalu sempit bagi pemikiran Kiai. Dibutuhkan wadah yang lebih besar dari Kauman.” Sri Sultan memberi dorongan semangat kepada kiai berusia 36 tahun yang terlihat sedang gundah itu. “Kiai tahu, beberapa hari lalu saya bicara dengan dr. Wahurojy Sudirohusodo. Saya kira sudah saatnya kita harus punya perkumpulan pembaru dalam bidang pendidikan sep&j|j| yang diinginkan dr. Sudirohusodo, dan saya harap Kiai Dahlan melakukan hal yang sama di bidang agama.”
Kiai Dahlan terdiam, mencoba mencerna kata-kata Sultan.
“Saya tahu ini memang tidak mudah dtiakukj(ifcjf apalagi pembicaraan kita ini nanti akan diketahui
Penghulu Kama ludiningrat,” Sri Sultan memecahkan keheningan yang fcercipta «sejenak di antara mereka. “Saya punya satu rencana untuk kiai jalankan.”
“Rencana?” Kiai Dahlan tampak terkejut kendati dia mencoba menyembunyikannya* “Rencana seperti apa, Stnuwun?”
“Pergilah berhaji lagi Kiai Dahlan. Keraton yang akan membiayai. Perdalam lagi ilmu agama sekaligus menjalin hubungan dengan para ulama pembaru dari Mesir, Syria, Madinah, dan tempat-tempat lain. Saya dengar kiai berhubungan cukup dekat dengan para syaikh dari kalangan pembaru seperti Syaikh jamaluddin Al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh?”
“Insya Allah, Sinuwun.” Air muka Kiai Dahlan kini terlihat lebih cerah. Suara berat Sri Sultan terdengar mengisi relung-relung kayu di ruangan itu. “Saya yakin kepergian Kiai Dahlan ke Tanah Suci setidaknya untuk sementara bisa meredam konflik yang telanjur besar saat ini di Kauman. Itu saja yang ingin saya sampaikan saat ini, Kiai.”

bagian 2. Akibat Yasinan Pak Poniman



Kauman, 1878
LANGIT di atas Yogyakarta bak kanvas raksasa merah tembaga. Kemilau kuning sinar mentari yang sempat mewarnai angkasa beberapa jam sebelumnya kini menipis menjadi beberapa garis keemasan yang indah. Beberapa gumpalan warna putih dari awan yang bergerak perlahan bercampur dengan biru cakrawala di latar belakang, memperindah bauran warna yang tercipta. Bahkan gambar terindah dalam mimpi paling mengesankan sekalipun tak akan bisa menyamai keindahan suasana senja jika udara sedang cerah seperti ini.
Waktu bergerak Mjek di Kauman, dengan pola yang sama dari hari ke hari, dengan perincian peristiwa hampir serupa dari waktu ke waktu. Seperti saat ini misalnya, ketika suara anak-anak perempuan yang membaca kitab suci Al-qur’an datang dari satu sisi, sedangkan sorak tawa, teriak girang, kadang-kadang bercampur makian kemarahan spontan anak-anak lelaki, datang dari sisi lain.
Suara anak-anak perempuan yang sedang belajar membaca Al-qur’an di serambi Masjid Gedhe Kauman selalu membelah keheningan senja di kawasan ini seperti aliran sungai yang bening, jernih, menyejukkan. Suara yang begitu murni. “Qul ya ayyuhal kafirun. La a’budu ma ta’budun.” Suara mereka mengalun serempak. Katakan hai orang-orang yang ingkar, bahwa aku tak akan menyembah apa yang engkau sembah.
Suara mereka tak bisa melunak meski hanya untuk seperseratus detik karena telinga Kiai Haji Penghulu Kholil Kamaludiningrat yang memimpin pengajian itu sangat peka. Dia bisa langsung tahu siapa pemilik suara yang sedang tak bersemangat, yang pikirannya sedang berada di tempat lain, atau yang sedang sakit. Cara pengucapan, atau makhraj, yang tidak tepat yang akan membuat kaji terdengar sumbang.
Kalau itu terjadi, berarti bencana bagi si pelantun kaji. Kiai Kamaludiningrat tak pernah main-main kalau sedang marah. Kegusarannya tak akan berkurang sedikit pun hanya karena muridnya perempuan. Tegurannya bisa seperti ini. “Astaghfirullah Maisaroh, kalau ngaji yang benar. Gusti Allah tidak main-main ketika sedang
mengatakan ya ayyuhal kafirun. Itu sudah seperti sumpah. Dan sumpah selalu dikatakan dengan tegas, dengan suara lantang. Bukan lemah lembut. Ayo ulangi!” tegur Kiai.  Maka bukan hanya Maisaroh, tetapi seluruh murid pun akan mengulang membaca ayat itu, sesempurna yang diinginkan Kiai Kamaludiningrat sampai ia mengangguk-anggukkan kepala dengan ekspresi puas, atau sesekali mengucapkan thayyib—bagusf
MASJID Gedhe Kauman adalah pusat kehidupan di Yogyakarta seperti halnya masjid-masjid besar lain di pelbagai kota di Pulau Jawa. Mereka adalah ilBB|| dari kawasan yang menjadi denyut jantung masyarakat karena lokasi masjid-masjid besar itu selalu berdekatan dengan pasar dan alun-alun, dua pusat keramaian dan urat nadi kehidupan masyarakat. Di lokasi seperti itu biasanya juga terdapat satu tempat penting lainnya: pusat pemerintahan.
Di Kauman, posisi masjid terpancangmegahdi sebelah barat Alun-Alun Lor (utara) Keraton. Riwayat sejarah masjid ini menghulu sampai ke Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengkubuwono I, Susuhunan pertama Kasultanan Islam Ngayogyakarta Hadiningrat, yang mendirikan kerajaan ini pada 1755.
Berdirinya sebuah masjid besar di dekat keraton menampilkan pesan yang sangat jelas bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono I, dan para keturunannya kelai^bukan semata-mata berfungsi sebagai Senopati ing Ngalogo (pimpinan pemerintahan dan perang), melainkan juga sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah alias wakil Allah Swt. di dunia dalam memimpin pelaksanaan agama.
Masjid Gedhe dibangun berdasarkan rancangan Kiai Haji Wiryokusumo, dan selesai pengerjaannya pada 29 Mei 1773, atau 18 tahun setelah Sri Sultan Hamengkubuwono I berkuasa.
Ciri khas bangunannya terlihat lewat atap tumpang tiga serta mustika bergambar daun keluih dan senjata gada yang memiliki arti masing-masing. Atap tumpang tiga melambangkan tingkatan kehidupan manusia dari tahapan hakikat, syariat, sampai makrifat. Daun keluih merupakan simbol dari daya linuwih, atau memiliki kelebihan yang sempurna. Sedangkan gada bermakna pengakuan atas kekuatan tunggal yang hanya dimiliki Allah Swt. Pengakuan atas keesaan Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Di halaman Masjid Gedhe terdapat bangunan pendukung berupa dua pagongan yang terletak di kanan dan kiri bangunan utama. Pagongan ini berfungsi sebagai tempat memainkan gamelan saat perayaan Sekaten, yaitu rangkaian acara memperingati kelahiran (maulid) Nabi Muhammad Saw. Selain pagongan, di bagian luar itu terdapat juga pasucen (tempat bersuci), pajagan (tempat berjaga), gapura atau regol masjid, dan lokasi pemakaman, yang berada di halaman belakang.
Sebelum memasuki ruang utama Masjid, pengunjung akan memasuki lebih dulu bagian fij masjid, yang sering ditempati belajar mengaji yang sedang terjadi sore ini di bawah bimbing Kamaludiningrat. Serambi Masjid Gedhe dihiasi dan langit-langit yang menunjukkan cita rasa seni j Lantainya sendiri masih terdiri dari batu kali.
Serambi yang disebut Munara Agung ini serambi pemberian Sri Sultan Hamengkubuwono setelah serambi yang asli roboh dan hancur akibat lindu, gempa bumi besar yang terjadi pada 1867. Di Munara Agung inilah berbagai kegiatan keagamaan dilakukan. Selain pengajian seperti yang dilakukan Kiai Haji Kamaludiningrat, juga pertemuan alim pernikahan, mahkamah pengadilan, sampai pembagian warisan dilakukan.
Berbeda dengan beberapa bangunan di halaman luar dan serambi Munara Agung yang megah, ruangan utama yang merupakan jantung dari salah satu masjid tertua di Nusantara ini, yang digunakan sebagai tempat sha$a$l. justru sangat sederhana. Ruangan ini ditopang oleh pilar kayu jati utuh yang sudah berusia ratusan tahun dan dibiarkan polos tanpa hiasan oleh Kiai sebagai simbol bahwa dalam menghadap Allah semua manusia dalam keadaan sama, polos j aksesori, dan harus menanggalkan semua status yang dimiliki.
Di dalam ruangan utama ini terdapat pangimatian, sebuah mihrab tempat seorang imam memimpin shalat. Tak jauh dari pmpwmmt terdapat maksura, tempat shalat khusus bagi Kanjeng Sri Sultan. Bentuknya bujur sangkar, terbuat dari kayu dengan lantai yang lebih tinggi dibandingkan lantai sekelilingnya. Karena maksura ini dikhususkan bagi Sultan, penampilan luarnya terlihat mewah dengan detail ukiran yang rumit dan indah. Namun anehnya di bagian dalam maksura, seluruh kayu justru dibiarkan dalam bentuk polos.
Di belakang mihrab, agak ke sebelah kanan, terdapat sebuah mimbar yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran bermotif tumbuhan dan bunga-bunga dalam warna emas yang mengagumkan. Di mimbar inilah imam dan katib (khatib) Masjid Gedhe, Kiai Haji Abu Bakar, bapakku, biasa menyampaikan khutbahnya yang dinanti-nanti masyarakat Kauman.
Dari atas mimbar itulah wajah bapakku yang berpengetahuan tinggi tetapi sangat rendah hati, selalu menyempatkan untuk menatap wajahku walau sesaat di tengah penuhnya jamaah. Pancaran sinar matanya seakan menyampaikan pesan, “Inilah garis hidup kita, Nak. Untuk terus menyebarkan ajaran mulia agama ADah setiap saat.”
BAPAKKU bukan cuma memiliki pengetahuan yang mendalam tentang agama Islam, tapi juga memiliki wibawa khusus sebagai tokoh agama karena dia adalah keturunan ke-10 dari Syaikh Maulana Malik Ibrahim, penyebar agama Islam di Gresik pada abad ke-15 yang juga satu dari 9 tokoh besar Wali Songo. Silsilah lengkapnya adalah Kiai Haji (K.H.) Abu Bakar bin (anak lelaki dari) K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadluilah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Syaikh Maulana Malik Ibrahim.
Bapak menikah dengan ibuku, Siti Aminah putri Kiai Haji Ibrahim, seorang penghulu Kasultarum yang cukup terpandang. Pernikahan itu menghasilkan tujuh orang anak, lima anak perempuan, dan dua orang anak lelaki yang berada di posisi keempat dan terakhir. Anak lelaki yang berada di posisi keempat itu diberi nama Muhammad Darwis, namaku. Namun, karena fungsi bapakku yang cukup tinggi dalam ukuran keraton, Sri Sultan juga memberiku nama kehormatan, Raden Ngabei Ngabdul Darwis.
Aku lahir pada 1868, atau 10 tahun lalu, ketika masyarakat Yogyakarta masih belum lupa pada lindu yang mengoyak wilayah mereka setahun sebelumnya. Lindu yang juga tak dilupakan K.H. Abu Bakar, bapakku, karena menyebabkan serambi asli Masjid Gedhe Kauman hancur lebur. “Perhatikan keajaiban Allah yang terjadi Darwis, meski serambi Masjid Gedhe hancur lebur, ruang utama shalat tetap utuh/’ ujar Bapak.
Konon menurut Bapak, beberapa orang tua yang biasa menafsirkan gejala alam menyampaikan kepadanya bahwa kelahiranku yang terjadi setelah lindu besar itu berarti bahwa aku, Muhammad Darwis, memang ditakdirkan untuk membawa perubahan besar, kebangkitan kembali, atau menyusun lagi sisa-sisa bongkahan yang telah lama bersarang di benak masyarakat dan dianggap sebagai sebuah keharusan yang tak perlu ditanyakan lagi. “Ada kiai-kiai sepuh yang terbiasa membaca bahasa langit mengatakan bahwa kamulah yang akan memikul tugas untuk merapikan kembali keimanan masyarakat kita, Anakku, menata akidah mereka, meluruskan kembali syariat yang sudah terlalu banyak bercampur dengan adat,” kata Bapak.
Saat pertama kali mendengarkan kalimat-kalimat itu dari mulut Bapak, aku sama sekali belum tahu apa yang dia maksudkan.
MENJADI anak dari seorang pemuka agama adalah satu keistimewaan yang tak bisa dialami setiap anak Kauman, bahkan anak-anak di seluruh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun, menjadi seorang anak yang terhubung langsung dengan salah seorang tokoh berpengaruh Wali Songo seperti Syaikh Maulana Malik Ibrahim adalah anugerah luar biasa yang lebih sulit lagi untuk diceritakan bagaimana rasanya. “Kamu adalah keturunan salah seorang penyebar agama Islam terbesar di tanah Jawa ini, Darwis. Itu adalah sesuatu yang harus kamu syukuri tapi juga menjadi hal yang tidak mudah karena harus menjaga nama harum Syaikh,” ujar Bapak berulang-ulang sejak aku mulai bisa diajaknya bicaral. Aku bisa merasakan kebanggaan yang tinggi dari nada suara Bapak setiap kali beliau menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim, tetapi itu pun hal yang wajar saja rasanya. Siapa pun yang merupakan keturunan langsung dari Syaikh atau Wali Songo yang lain pasti akan bersikap^ sama. Aku yakin. “Itu sebabnya sejak kecil Bapak juga sudah memutuskan untuk membaktikan diri di bidang penyebaran dan pengajaran agama, melanjutkan kerja besar yang dilakukan oleh leluhur kita, Darwis,” kata Bapak pada kesempatan lain.
Meski berdasarkan urutan kelahiran aku adalah anak keempat, posisiku sebagai anak lelaki pertama dalam keluarga kurasakan sebagai hal khusus yang membuat Bapak lebih sering membicarakan hal ini dibandingkan kepada kakak-kakak perempuanku yang lain.
Menurut cerita Bapak yang kuingat setelah aku agak besar adalah bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim, leluhur kami yang oleh masyarakat Jawa juga dikenal sebagai Sunan Gresik, sebenarnya bukanlah orang Jawa asli. “Ketika masih hidup, beliau sering juga dipanggil Syaikh Maghribi oleh masyarakat,” papar Bapak.
“Panggilan itu menunjukkan bahwa beliau mungkin berasal dari Afrika Utara.”
“Di mana Afrika Utara itu, Bapak? Apakah masih di dekat Gresik juga?”
“Afrika itu jauh sekali dari sini. Bapak dengar masih lebih jauh dari Makkah. Padahal untuk ke Makkah saja butuh waktu berbulan-bulan perjalanan dengan kapal laut.”
“Di mana Makkah itu, Bapak?”
“Insya Allah kau akan ke sana setelah akil balig nanti, Darwis. Makkah bersama Madinah adalah dua kota suci yang menjadi impian setiap Muslim agar bisa dikunjungi paling tidak sekali dalam hidup mereka.”
Bapak lalu bercerita lagi bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim juga memiliki nama panggilan lain selain Syaikh Gresik dan Syaikh Maghribi. “Beliau juga sering dipanggil Syaikh Ibrahim Asmarakandi. Menurut ulama-ulama yang mengerti tempat-tempat penting Dunia Islam, nama itu berasal dari Makhdum Ibrahim As-Samarqandy,” ungkap Bapak.
“As-Samarqandy?”
“Itu berasal dari sebuah tempat yang bernama Samarkand.”
“Di dekat Afrika juga?”
“Bapak tidak tahu persisnya, tetapi jelas sangat jauh dari sini. Mungkin lebih dekat ke Makkah atau Madinah dibandingkan dengan ke Pulau Jawa ini.”
“Mengapa banyak sekali penjelasan tentang Syaikh Gresik?”
“Itu karena beliau orang hebat, Darwis,” kata Bapak sambil mengelus kepalaku. “Beliau sudah mengunjungi banyak tempat dalam menyebarkan agama Allah sehingga kisah tentang beliau juga menjadi sangat banyak.”
Menurut Bapak, masyarakat Gresik bahkan punya keyakinan tersendiri tentang asal-usul Maulana Malik Ibrahim yang diyakini merupakan seorang pandita terkenal asal Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang) yang telah menetap bersama sekelompok Muslim lainnya di Desa Leran, Janggala.
Namun, penjelasan tentang Syaikh Gresik yang paling membuatku kagum adalah ketika Bapak menyatakan bahwa ada kemungkinan beliau adalah keturunan langsung dari Rasulullah Muhammad Saw. dari garis keturunan Hussain bin Ali. “Keturunan Kanjeng Nabi?” tanyaku penasaran.
“Coba lihat ini,” kata Bapak sambil membuka satu gulungan yang bertuliskan huruf Arab gundul. “Dari Rasullah Muhammad Saw. melalui jalur cucu beliau Hussain bin Ali bin Abi Thalib, terus turun melalui Ali Zainal Abidin bin Hussain, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq/ Ali Al-Uraidhi, Muhammad Al-Naqib, Isa Ar-Rumi, Ahmad Al-Muhajir, Ubaidillah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi Ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Sahib Mirbath, Alwi Ammi Al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (Al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalai, Jamaluddin Akbar Al-Hussain (Maulana Akbar), sebelum sampai ke Maulana Malik Ibrahim.”
“Wah, jadi beliau benar-benar masih ada pertalian, darah dengan Kanjeng Nabi, ya, Pak?”
“Wallahu’alam bisshawab. Hanya Allah yang Mahatahu, Darwis.”
“Apa lagi cerita tentang Syaikh, Pak?”
“Dalam cerita rakyat, beliau kadang-kadang disebut juga sebagai Kakek Bantal, yang mengajarkan cara-cara baru dalam bercocok tanam, dan mengobati masyarakat sekitar tanpa memungut biaya.”
“Bapak pernah melihat makamnya langsung?”
“Beberapa kali.”
“Kapan aku diajak ke sana?”
“Nanti kalau waktunya pas. Sekarang yang bisa Bapak ceritakan adalah tulisan pada nisan Syaikh Gresik.”
“Tulisan? Seperti tulisan di Al-qur’an?”
“Bentuknya memang dalam huruf Arab, tapi bukan tulisan Al-qur’an karena Al-qur’an adalah kalam Allah Swt.”
“Kalau di nisan Syaikh Gresik bukan kalam Allah?”
“Bukan Darwis, tapi tetap terdengar indah k diterjemahkan.”
“Bacakan Bapak, bacakan.” Bapakku lalu membuka sebuah gulungan lain, di dalamnya terdapat tulisan dalam jenis kaligrafi yang rapi. Bapak membacakan perlahan kalimat demi kalimat dengan khidmat:
Ini adalah makam almarhum, seseorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Mahaluhur,, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid, penguasa dan urusan agama Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Dia wafat pada hari Senin 12 Rabi’Al-Awwal 822 Hijriah.
“Di mana persisnya Syaikh Maulana dimakamkan, Pak?”
“Di Desa Gapura, Gresik. Insya Allah dalam waktu yang tak lama lagi kita akan berziarah ke sana.”
SEPERTI sudah aku sebutkan sebelumnya, ibuku bernama Siti Amin ah, putri Kiai Haji Ibrahim, penghulu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Penghulu adalah salah satu jabatan penting yang bisa membuatnya bertemu muka dengan Sri Sultan yang berjuluk Senopati ing Ngalogo Sayidin Panatagama Khalifatullah, pemimpin pemerintahan dan perang yang juga wakil Allah Swt. di muka bumi untuk urusan agama.
Karena posisi bapak dan ibuku itulah, Masjid Gedhe tak ubahnya seperti rumah kedua bagiku. Aku tahu setiap lika-liku, lorong, ruang, bangunan, bentuk, dan jenis ukiran, sampai warna kayu jati dan lantai batu kali di serambinya dengan sangat baik. Atau, kalau aku mau disebut berlebihan, aku juga bisa menjelaskan saat-saat embusan angin terbaik akan bertiup dan tempat persisnya di halaman Masjid Gedhe ini, saat-saat desaunya menyebabkan kantuk, jenis burung yang sering hinggap di pepohonan sekitar masjid, pola siulan nada yang mereka nyanyikan, jenis kersik daun dengan bunyi termerdu, posisi terbaik melihat bintang di malam hari, dan 1001 hal lain yang terjadi di Masjid Gedhe. Kadang-kadang aku berpikir, aku mengenal masjid ini jauh lebih baik ketimbang aku mengenal tubuhku sendiri.
Salah satu tempat yang paling kusukai dari Masjid Gedhe adalah maksura, tempat shalat bagi Sri Sultan. Aku suka sekali memperhatikan tempat itu dan membayangkan bagaimana rasanya shalat di sana. Diam-diam ternyata bapakku suka memperhatikan pengamatanku terhadap maksura itu.
“Kamu ingin mencoba berdiri di dalam maksura itu, Darwis?”
“Tapi itu kan tempatnya Kanjeng Sultan, Bapak.”
“Kamu tak ingin mencoba shalat di dalamn
“Bapak pernah?”
“Tidak. Belum.”
“Kenapa?”
“Karena seluruh tempat di atas bumi Allah ini a tempat shalat yang bisa digunakan.”
“Tapi, kenapa lantai maksura itu lebih dibandingkan lantai untuk jamaah yang lain, Bapak?”
“Itu untuk menunjukkan bahwa posisi Kanjeng Sultan lebih tinggi dibandingkan manusia biasa.” -
“Tapi bukankah Islam mengajarkan bahwa manusia itu sama dan yang membedakan hanyalah takwanya kepada Allah?”
“Itu benar, Darwis. Yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya di sisi Allah Taala hanyalah ketakwaannya. Tapi kamu harus ingat juga bahwa Kanjeng Sultan disebut Sayyidin Panatagama Khalifatullah, wakil Allah Swt. di muka bumi ini untuk urusan agama. Jadi sebagai pemimpin, beliau juga harug mendapat penghormatan yang lebih layak daripada yang dipimpin.”
“Kalau Syaikh Maulana Malik Ibrahim masih hidup apakah beliau akan membolehkan maksura itu, Bapak?”
“Bapak rasa beliau akan mengizinkan.”
“Kenapa?”
“Karena beliau dan para Wali Songo yang lain mengajarkan Islam dengan penuh kedamaian bagi Kamu tahu wayang, kan, Darwis?”
“Ya, Bapak.”
“Wayang itu asalnya bukan dari tradisi Islam, tapi dari pengaruh Hindu dan Buddha. Tapi oleh Wali Songo, termasuk Sunan Gresik leluhur kita, wayang justru digunakan sebagai alat penyebaran ajaran-ajaran Islam.”
“Jadi, maksura itu bisa digunakan oleh semua jamaah?”
“Kalau soal bisa digunakan, tentu saja bisa Darwis. Tapi masalahnya apakah yang mau menggunakan itu merasa pantas atau tidak untuk menggunakannya, karena itu sudah dikhususkan buat Kanjeng Sultan? Misalkan begini, di Keraton itu ada kamar tidur Sultan. Kalau satu waktu nanti kamu sedang berada di Keraton dan melintas di depan kamar tidur Kanjeng Sultan, apakah kamu akan masuk ke dalam kamar tidur itu?”
“Tentu tidak, Bapak.”
“Mengapa, Darwis? Bukankah kamar itu sama saja dengan kamar tidur di rumah kita? Maksud Bapak, tentu kamar tidur Kanjeng Sultan jauh lebih besar, lebih lengkap perabotannya, tetapi tetap saja kamar tidur manusia. Mengapa kamu tidak mau masuk.”
“Rasanya tidak pantas saja, Bapak.”
“Begitu juga dengan maksura itu, anakku.”
“Sekarang aku mengerti Bapak.”
“Jadi, kamu masih mau shalat di maksura itu?”
“Bagaimana rasanya menjadi Kanjeng Sultan, Bapak?”
Bapakku terlihat kaget sejenak sebelum sel lebarnya yang meneduhkan terhias di wajahnya.
“Pertanyaanmu makin banyak saja sekarang, Darwis,*’ ujar Bapak. “Dan, semakin susah.”
“Bapak tidak pernah berpikir seperti itu?”
“Maksudmu?”
“Membayangkan bagaimana rasanya menjadi Kanjeng Sultan?”
“Kalau sekarang tidak pernah karena pekerjaan Bapak banyak sekali. Menurut Bapak, yang pa!£|p| penting dalam hidup ini adalah apa pun pekerjaan kita sekarang, itulah yang harus kita kerjakan sepenuh hati dan membawa manfaat bagi sebanyak mungkin umat.”
“Waktu Bapak kecil, tidak pernah membayangkan juga?”
“Hmm, waktu kecil? Terus terang Bapak sudah lupa. Mungkin saja pernah terlintas di pikiran Bapak. Tapi itu sudah lama sekali dan kamu tahu bahwa kakekmu K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla juga ulama yang disegani. Sejak kecil Bapak sudah belajar ilmu agama kepada beliau sehingga tidak punya banyak waktu untuk berandai-andai.”
Kekagumanku terhadap Bapak rasanya makin bertambah saja dari hari ke hari.
SETIAP sore terdengar pengajian anak-anak putri dari arah serambi Masjid Gedhe, seperti tadi yang sempat
kudengar. Waktu menjelang magrib itu adalah salah satu waktu luang dari kesibukannya yang sangat padat sebagai imam dan khatib Masjid Gedhe. Namun waktu menjelang petang itu juga adalah waktu ketika bapakku sesekali mengawasi kesibukanku di lapangan samping Masjid Gedhe untuk bermain gobak sodor. Bapak memang tak pernah menyaksikanku langsung bermain, misalnya dengan berdiri di sisi lapangan, tetapi aku tahu beliau selalu memperhatikanku, entah melalui ibuku, atau kakak-kakak perempuanku yang lain.
Biasanya menjelang magrib aku sudah bersiap-siap untuk pulang, tetapi sore ini suasananya begitu lain. Langit sedang menunjukkan salah satu lukisan angkasa yang terindah sehingga aku dan kawan-kawan begitu bersemangat bermain gobak sodor. Aku nyaris benar-benar lupa bahwa beberapa jam lalu Bapak sempat mengingatkan bahwa malam ini akan ada yasinan 40 hari kematian Pak Poniman, bapak dari Pono, sahabatku.
Suasana di lapangan suasana sedang tegang. Sakri menatap ke arahku sepintas. Posisiku di bagian belakang yang terkepung lawan sangat tidak menguntungkan. Mataku jelalatan ke kiri-kanan, mengatur strategi agar anak buahku ada yang lolos dari kepungan.
Sebetulnya agak janggal juga kalau aku menyebut kawan-kawanku sebagai anak buah, karena badanku yang tidak terlalu besar dibandingkan Pono dan yang lainnya. Namun menurut mereka, suaraku yang keras, tegas, dan pembawaanku yang selalu bisa mencari jalan keluar dalam memecahkan masalah, adalah ciri seorang pemimpin sejati. Jadi, hampir dalam setiap permainan aku didaulat sebagai ketua. Lama-lama, siapa pun yang menjadi lawanku dalam bermain, selalu mencoba lebih dulu. Sebab bila aku belum terkalahkan, mereka tahu bahwa kekalahan hampir pasti akan mereka. Seperti sekarang ini.
Sukar dan kawan-kawannya terus berusaha sempit ruang gerakku. Tapi aku pantang menyerah- aku sempat melihat sebuah celah kecil di samping Sukar yang bisa dipakai untuk meloloskan diri. Ini saat yang harus langsung dimanfaatkan dengan baik, sehingga aku menoleh ke arah Pono yang juga terus mencoba untuk meloloskan diri dari kepungan lawan. Aku kedipkan mata ke arah Pono, memberinya kode yang dipahami Pono, dan membuatnya berteriak keras, “Sukar!”
Sukar kaget sekali mendengar teriakan sehingga secara refleks dia menolehkan kepala, membuat Sakri memanfaatkan kelengahan Sukar dan masuk ke celah yang tak terjaga meski hanya untuk beberapa detU^ Lawan panik. Dengan gesit, Sakri menerobos penjagaan lawan yang mulai amburadul. Saat itu aku manfaatkan untuk menyerang sisi yang lain dan …. gobak sodoorri Timku menang, kami bersorak senang, melonjak-lonjak.
Kami kembali menyusun formasi untuk pennamfigi baru sehingga tak menyaksikan Kiai Kamaludiningrat yang mendekat. Barulah aku memperhatikan bahwa di kejauhan beberapa anak perempuan sedang bergegas menuju rumah masing-masing, yang artinya pengajian sudah berakhir. Sudah berapa lama Kiai Kamaludiningrat di sini?
“Masya Allah kalian ini, sudah mau magrib belum pada pulang juga. Dan kamu Darwis, anak khatib masjid kok main tidak ingat waktu? Bagaimana kalau nanti Kiai Abu Bakar tahu? Ayo pulang! Bubar semua!” hardik Kiai Kamaludiningrat.
“Iya, Kiai” jawab Sukar dan Sakri bersamaan sembari berlari meninggalkan tempat itu dengan wajah pucat pasi. “Baik, Kiai, saya pulang,” ujarku. “Assalamu ‘alaikum.”
“Darwis, jangan lupa nanti malam yasinan di rumahku,” seru Pono dari jauh sambil mengacungkah tangannya. Aku balas mengacungkan tangan sebagai tanda “ya”. Dari arah berbeda kulihat ibuku datang, berjalan tergopoh-gopoh. Aku tahu pasti Ibu datang karena disuruh Bapak. “Kamu itu kok ya nggak kapok-kapok, ya, Wis? Main selalu sampai magrib,” ujarnya sambil menyeretku ke arah pulang. “Dosa kalau sampai waktu shalat kamu masih di luar rumah!” protesnya.
“Ibu sih datangnya terlalu cepat,” aku mengalihkan pembicaraan. “Kalau tadi tetap di rumah, pasti sebelum magrib aku sudah sampai,” kataku kali ini sambil memberikan senyum terbaik yang selama ini selalu bisa melelehkan amarah Ibu. Dan kali ini pun berhasil.
“Ah, kamu itu Darwis. Lagakmu sudah seperti penjual obat di alun-alun saja,” katanya tersenyum. “Memangnya kalau besar nanti kamu mau jualan obat juga?”
Akibat Yasinan Pak Poniman
”Kalau diperbolehkan,” jawabku menggoda Ibu.
“Kamu tahu siapa kedua kakekmu?”
Kalau Ibu sudah serius begini, suasananya sudait tidak enak lagi buat bergurau. Apalagi dari kulihat bapakku sudah melambaikan tangan, menyuruh kami berjalan lebih cepat. Matahari kian tergelam di ufuk barat. Gelap semakin banyak menghiasi langit. Warna kelam kini yang menguasai lazuardi.
SEUSAI shalat isya, Bapak mengajakku ke rumah Bapak Poniman, bapak Pono yang meninggal 40 hari lalu. Beberapa orang jamaah ikut serta, termasuk Kamaludiningrat. Keluar dari halaman Masjid Gedhe, nyanyian serangga malam seperti jangkrik dan tonggeret menemani kami sehingga malam tak terlalu sepi. Di malam musim panas seperti ini, serangga-serangga malam semakin bersemangat mengeluarkan nyanyian mereka. Menurut Sakri, nyanyian itu bukan sekadar nyanyian. “Itu cara serangga-serangga jantan menarik perhatian betina,” katanya yakin.
“Memangnya kamu bisa membedakan mana jangkrik jantan mana yang betina?” tanyaku tambah ingin tahu.
“Gampang sekali,” kata Sakri menjadi-jadi.
“Bagaimana caranya?”
“Dengarkan, ya?” ujarnya sambil menirukan suara-jangkrik dengan suaranya yang dibuat berat. “Ini suara jangkrik jantan.”
“Kalau yang betina?”
Sakri melagukan lagi bunyi yang sama, namun dengan suara yang dilembut-lembutkan seperti suara seorang perempuan sehingga membuatku tertawa. “Ah kau, kukira kau memang tahu bagaimana membedakan jangkrik jantan dan betina,” kataku masih tertawa geli.
“Kau sih terlalu serius, Darwis,” katanya. “Meskipun anak imam dan khatib Masjid Gedhe, tidak apa sesekali bergurau. Aku pernah dengar bapakmu bilang katanya Kanjeng Nabi juga suka bergurau dengan para sahabat.” Sejak itu setiap kali mendengar suara jangkrik bernyanyi di malam hari, aku sering teringat kelakar Sakri yang membuat perjalanan menembus gelap malam menjadi sedikit lebih menyenangkan.
Rumah Pono agak jauh dari Masjid Gedhe dan berada di kawasan yang agak lebih padat penduduk. Bapak dan beberapa jamaah yang lebih tua terlibat dalam pembicaraan yang tak kumengerti. Pikiranku sendiri melayang membayangkan bagaimana rasanya jika aku berada di posisi Pono, kehilangan bapak ketika umurku baru 10 tahun. Tiba-tiba melintas rasa sedih di hatiku: akan kuatkah aku? Tanpa sadar, aku menggenggam tangan Bapak dengan kencang. Rupanya dia merasakan hal itu dan menanggapinya dengan berbeda. “Tak perlu takut Darwis. Bahkan dalam kegelapan Allah selalu menjaga kita,” katanya sambil mempererat genggaman untuk menenangkanku.
“Iya, Bapak,” jawabku tanpa bermaksud menjelas lebih jauh apa yang sedang kurasakan. Bagaimanapun, genggaman tangan Bapak membuat perasaanku jauh lebih tenang, karena aku tahu Bapak masih hidup, masfi^ di sampingku. Untuk melenyapkan rasa getir yang sempat tercipta tiba-tiba itu, aku kembali mencoba mengingat seloroh Sakri tentang jangkrik jantan dan betina. Kali ini tak berhasil membuatku senyum seperti biasanya. Tapi paling tidak berhasil membuat rasa sedihku lenyap.
Akhirnya kami sampai di rumah Pono. Rumahnya kecil dan sempit sekali. Aku memang pernah beberapa kali lewat di depan rumahnya, tapi tak pernah benar-benar sampai masuk ke dalam. Aku juga tahu rumah teman-temanku yang lain, rumah Sukar, rumah Sakri, lokasi rumah mereka maksudku, karena ternyata selama ini aku tidak pernah benar-benar tahu kondisi di dalam rumah mereka. Maklum saja, kesempatanku untuk bermain di luar rumah juga tidak banyak. Kalaupun ada, biasanya lebih banyak kuhabiskan di lapangan dekat Masjid Gedhe. “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi ioa barakatuh.” Bapakku memberi salam diikuti seluruh rombongan yang baru datang.
“Wa’alaikum salam,” jawab mereka yang ada di dalam. “Silakan masuk, Kiai.”
Jamaah yang ada di dalam rumah segera membetulkan posisi duduk mereka agar kami bisa duduk. Namun, karena besar ruangan yang tak mencukupi, jumlah jamaah yang tak sampai dua puluhan orang itu pun sudah membuat mereka meluber sampai ke luar rumah dengan duduk di atas tikar. Aku sendiri mendapatkan tempat di dekat pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur. Pono sudah duduk agak ke dalam bersama kakaknya yang berumur sekitar 15 tahun. “Terima kasih sudah datang Darwis/’ ujar Pono dengan sesungging senyum di bibirnya.
“Aku, kan, memang sudah janji.”
“Aku pikir hanya Kiai Abu Bakar dan jamaah yang sudah tua saja yang datang.”
“Kamu sahabatku Pono, lagi pula Bapak membolehkanku ikut.”
Bacaan Surah Yasin segera dibagikan kepada hadirin. Aku mengambil dua, dan menyerahkan satu surah kepada Pono yang menerima malu-malu. “Aku belum lancar baca Yasin, Darwis,” katanya berbisik seperti takut terdengar oleh bapakku. “Aku baru bisa baca Qulhu.”
Aku mengangguk mafhum, namun membiarkan Surah Yasin itu tetap di tangannya. “Kita coba saja,” saranku. Bapak lalu memimpin acara yasinan dengan fasih. Aku pun ikut membaca dengan lancar, meskipun usiaku baru 10 tahun. “Tentu saja karena Darwis itu anak kiai dan keturunan Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang agung,” ujar seorang jamaah di Masjid Gedhe ketika aku mengkhatamkan bacaan Al-qur’an beberapa tahun lalu. “Dia sama sekali tak kesulitan mempelajari Al-qur’an,” sambung yang lain.
Aku tentu saja sempat merasa senang mendengar sanjungan seperti itu. Tapi setelah itu biasanya selalu mengingat cerita Bapak tentang Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, yang di tanah Jawa lebih dikenal sebagai Imam Syafi’i. “Imam Syafi’i adalah salah seorang yang dirahmati Allah karena pada usia tujuh tahun sudah hafal Al-qur’an,” ungkap Bapak.
“Hafal Al-qur’an setebal ini dalam umur tujuh tahun?f: jawabku tak percaya sambil memegang Al^ur’aivjnH tebal. “Bagaimana caranya menghafal, Bapak?”
“Kalau Allah sudah menghendaki, tak ada yang tidak mungkin, Anakku.”
“Berarti Imam Syafi’i hebat sekali.”
“Allah menganugerahi beliau dengan ingatan yang sangat tajam dan pikiran yang sangat jernih sehinggga tiga tahun setelah hafal Al-qur’an, beliau juga hafal Muatthok, kitab ilmu hadis karangan Imam Malik bin Anas bin Malik yang pernah menjadi gurunya. Yang lebih mengagumkag^ adalah karena para ulama saat itu memberikan izin kepada Imam Syafi’i yang baru berusia 15 tahun untuk memberikan fatwa. Ini hal yang tidak lazim bahkan di kalangan para ulama sendiri.”
“Kenapa, Pak?”
“Karena syarat bagi seseorang agar diizinkan untuk berikan fatwa adalah orang itu selain hafal tafsirnya, juga harus menguasai ilmu hadis 9 sanad syarah-nya, dan berbagai ilmu agama lain dengan sangat baik. Jadi, bayangkan saja ketika di umur 15 tahun Imam Syafi’i mendapat kehormatan seperti itu.”
“Bapak sendiri kapan diperbolehkan memberikan fatwa?”
“Ilmu Bapak rasanya tak akan pernah sebanding dengan Imam Syafi’i maupun para imam lainnya, Anakku.”
Kalau Bapak saja yang sudah menjadi imam dan khatib Masjid Gedhe merasa ilmunya tak akan pernah sebanding dengan Imam Syafi’i, padahal Bapak lebih dekat hubungan darahnya dengan Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang juga ulama besar, mungkinkah aku akan bisa mendapatkan sebagian kecil saja dari ilmu Imam Syafi’i yang berlimpah ruah itu? Sampai umur 10 tahun saja aku bahkan sama sekali belum hafal Al qur’an!
Aku mendengar lagi suara jamaah yang membacakan Surah Yasin dengan suara keras sehingga aku pun kembali berkonsentrasi untuk membaca ayat demi ayat surah itu. Sempat kulihat dari sudut mataku bahwa Pono dan kakaknya menggerakkan bibir mereka lamat-lamat, tak bisa mengimbangi pembacaan jamaah yang sangat lancar. Acara terus berlanjut dengan pembacaan beberapa doa yang lazim dibacakan dalam peringatan 40 hari kematian seseorang.
Tiba-tiba aku merasakan ingin buang air kecil dan mencoba memberitahukan Bapak lewat bahasa isyarat. Alhamdulillah, Bapak rupanya mengerti dan langsung menganggukkan kepalanya dengan samar sebagai tanda
aku boleh pergi ke belakang. Akibat ruangan yang sempit dari tempat dudukku menuju kamar mandi, aku harus berjalan hati-hati di antara pihak keluarga almarhum dan makanan yang tersaji di ruang belakang. Sempat kulihat ada kue apem, ketan, ayam rebus, dan makanan sesaji yang disusun rapi.
Setelah bersusah payah melewati semua itu, aku harus menunggu di depan kamar mandi yang sedang diisi orang lain. Di rumahku, biasanya aku tak pernahr menahan pipis seperti ini, apalagi di Masjid Gedhe yang memiliki banyak tempat untuk buang hadas. Jadi setelah menunggu beberapa menit seperti ini aku bertambah gelisah. Untuk mengatasi kegelisahan itu aku berdiri agak menyamping dan tanpa sengaja melihat ibu Pono sedang berbicara dengan seorang ibu lain yang tak kukenal. Mereka tidak memperhatikanku. Namun telingaku sempat menangkap pembicaraan mereka. “Bayarnya nyicil, ya, Bu. Namanya juga buat ibadah,” ujar ibu Pono.
“Iya saya mengerti,” jawab ibu lawan bicaranya. “Tapi kalau bisa pengembaliannya jangan lewat dari seminggu, ya, Jeng. Soalnya kalau terlambat, apa boleh buat, saya nanti berat kalau harus meminjamkan lagi.”
“Saya usahakan, Bu. Semoga saya ada rezeki secepatnya.” Kali ini kudengar suara ibu Pono agak berat, seperti berusaha menahan tangis agar tidak pecah.
“Nak, kamu mau pakai kamar mandi?” Salah seorang jamaah membuyarkan konsentrasiku yang sedang mendengarkan percakapan ibu Pono. “Eh iya Pak, terima kasih,” jawabku sambil beringsut memasuki kamar mandi yang pintunya sudah terbuka.
Setelah selesai membuang hadas kecil, aku berwudhu dan kembali ke tempat dudukku semula. Tak lama kemudian, acara yasinan selesai. Aku pamit pulang kepada Pono, kakaknya, dan ibunya. Aku memberanikan diri menatap mata ibu Pono untuk menguji apakah dia tahu tadi bahwa aku secara tak sengaja sempat mendengarkan pembicaraan yang seharusnya tak kudengar? Tapi ibu Pono tak menunjukkan isyarat yang menyatakan bahwa dia sudah tahu tentang apa yang kuketahui malam itu perihal utangnya untuk menyelenggarakan acara 40 hari ini. Sebelum pulang, kuambil sebutir telur asin yang tersaji di salah satu piring. Aku ingin memberikannya kepada adik-adikku untuk dimakan bersama.
DALAM perjalanan pulang ke rumah, aku kembali terdiam. Sederet pertanyaan mengisi kepalaku. Mengapa untuk mengadakan yasinan 40 hari seorang anggota keluarga yang sudah wafat, anggota keluarga yang masih hidup harus meminjam uang kepada orang lain? Apakah itu tidak memberatkan bagi yang masih hidup? Apakah hal ini memang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad panutan umat manusia?
Bagaimana kalau keluarga itu setelah berusaha tetap tidak punya uang untuk membuat acara 40 hari atau 100 hari bagi yang sudah mati? Apakah amal pahala almarhum atau almarhumah menjadi sia-sia? Ata-arwahnya akan kembali gentayangan di muka bumi karena syarat untuk bisa tenteram di alam kubur masfttj kurang? Mengapa pula keluarga yang sedang berduka itu harus membuat makanan yang mewah seperti ayam rebus, padahal dalam keadaan sehari-hari ayam bukanlah makanan yang biasa mereka makan. Mengapa tidak jamaah yang justru membawakan makanan untuk mengurangi penderitaan mereka? Mengapa pula harus ada berjenis-jenis kembang dan barang-barang lain bersama makanan lain? Apa kegunaannya, khususnya bagi mereka yang sudah meninggal?
Barisan pertanyaan itu seperti semut yang tak habis-habisnya muncul dari sebuah lubang di kepalaku. Belum selesai satu pertanyaan mendapatkan jawaban, sudah muncul pertanyaan lain yang juga tak bisa kutemukan jawabannya. Akibatnya kepalaku kini terasa panas dengan tumpukan pertanyaan yang tak terpecahkan.
Seorang pengemis memperhatikan kami. Dia sempat mendekati tetapi kemudian terlihat ragu-ragu karena bapakku sedang bicara serius dengan kawan-kawannya. Dengan cepat aku dekati pengemis itu dan kuberikan telur asin yang tadinya aku niatkan untuk adik-adikku. Pengemis itu pasti lebih membutuhkan.
Sesampainya di rumah, keingintahuanku tak bisa lagi dibendung. Aku tahu bahwa bapakku yang imam dan khatib Masjid Gedhe Kauman pasti memiliki jawaban atas semua pertanyaan yang bertebaran di kepalaku. Jadi,ketika Bapak sudah mengganti bajunya dan duduk di dekat tumpukan batik dagangan Ibu yang sedang mewiru jahitan, aku melihat kesempatan untuk bertanya terbuka. “Maaf, Bapak, aku mau tanya tentang yasinan tadi.”
“Ada apa, Darwis?” tanya Ibu menghentikan pekerjaannya dan menatapku.
“Kenapa di rumah Pono tadi aku melihat ada kue-kue dan makanan yang disusun rapi, tetapi sampai kita pulang tadi tidak ada yang memakan makanan itu?”
“Itu buat yang meninggal Darwis,” jawab bapakku sambil mengambil salah satu batik dan memperhatikan dengan lebih saksama motif batik itu.
“Buat yang meninggal?” Kali ini aku yang terheran-heran. “Memangnya orang yang sudah meninggal masih bisa makan?”
“Itu hanya simbol, Darwis,” Bapak mengembalikan batik ke dalam tumpukannya dan kali ini menatapku dengan serius. “Simbol bahwa kita yang masih hidup masih memiliki hormat kepada mereka yang sudah meninggal dunia. Tanda kita masih eling. Sebagai orang Jawa dan Muslim, eling kepada orang yang sudah meninggal itu harus.” .
Dari mulutku hampir terloncat perkataan ibu Pono dan temannya yang kudengar tak sengaja di dekat kamar mandi. Aku ingin tahu pendapat Bapak tentang hal itu. Tapi pertanyaan muncul di kepalaku, “Bagaimana nanti akibatnya terhadap ibu Pono kalau bapakku tahu? Apakah akan berakibat baik atau berakibat buruk?”
Akhirnya kuputuskan untuk membatalkan pertanyaan itu dan meminta izin untuk tidur. Malam itu, ketika saudara-saudaraku sudah terlelap dan aSjl perkirakan Bapak dan Ibu sedang menunaikan shalat malam seperti kebiasaan mereka selama ini, mataku tak bisa juga menutup. Ucapan Bapak terus terngiaraK ngiang. Sebagai orang Jawa dan Muslim, eling kepadttymH yang sudah meninggal itu harus.
Aneh, wajah Pak Poniman seperti muncul di depanku melambaikan tangan. Dia seperti menyeringai kesakitan. Lalu, muncul wajah ibu Pono yang sedih saat berbicara dengan ibu lain yang meminjamkan uang. Tiba-tiba ibu Pono memalingkan wajahnya ke arahku, menatap» dalam-dalam. Wajahnya lusuh. Terlihat juga wajah Ibti Sumirah, salah seorang tetanggaku lainnya yang juga sudah meninggal, juga muncul menatapku. Kemudian wajah-wajah lain yang kukenal sekilas, sampai yang tak kukenal sama sekali, bermunculan satu per satu. Semuanya terlihat pucat, dalam balutan kain kafan membuka mata mereka bergiliran dan menyunggingkan senyum aneh yang membuatku bergidik. Mereka hendak mengatakan sesuatu, tetapi tak ada kata-kata yang keluar. Tetapi aku merasa bisa mengerti apa yang mereka pikirkan: bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang untuk kebutuhan yasinan 40 hari, 100 hari, 1.000 hari.
Dari mana kami bisa mendapatkan uang untuk acara itu, Darwis? Untuk makan sehari-hari anak kami saja susahnya setengah mati.
Tengkukku terasa dingin. Aku segera membaca ayat Kursi dalam hati, berkali-kali. Perlahan-lahan kurasakan tubuhku terasa ringan, dan semuanya mendadak berubah. Aku berada di sebuah tempat yang tak aku kenali. Tempat ini harum sekali. Cuaca cerah, angin berembus sejuk menyegarkan. Wangi bunga yang bermekaran meruap di mana-mana. Aku hirup seluruh kesegaran ini sambil menutup mata. Tiba-tiba pundakku seperti disentuh seseorang. Aku buka mata dan menolehkan wajah ke arah sang empunya tangan, seorang laki-laki yang sangat gagah dan tampan. Cahaya seperti keluar dari wajahnya, menyejukkan di mata. Kepalanya berbalut serban putih yang terasa sangat cocok dengan postur tubuhnya yang kukuh. “Assalamu ‘alaikum Darwis, apa kabar?”
“Wa’alaikum salam, Ustad,” jawabku sambil terus mencoba mengingat siapakah nama lelaki berwibawa di depanku ini. Siapakah namanya? Mengapa aku merasa tak pernah melihatnya di antara para kiai Masjid Gedhe Kauman? Tapi mengapa pula aku merasa tak begitu asing dengannya, seakan-akan pernah mengenalnya dengan baik di satu waktu, di satu tempat tertentu. Tetapi/ di mana? Aku masih kanak-kanak, umurku baru 10 tahun, dan aku belum pernah keluar dari wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Lelaki itu tampaknya tahu kebingungan yang kini menghantuiku. Senyumnya mengembang, bagus sekail Giginya putih, besar-besar, sangat cocok dengan bentuk mulurnya yang terlihat tegas.
“Aku adalah Makhdum Ibrahim As-Samarqandy.”
Makhdum Ibrahim As-Samarqandy? Tidak mungkin!
“Masyarakat Jawa menyebutku Syaikh Maulana Malik Ibrahim,” jawabnya sambil mengelus rambutku. “Jika Allah menghendaki, tidak ada yang tak mungkin terjadi.”
Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Seperti inikah leluhurku yang alim itu? Kuambil tangannya dengan cepat untuk kucium. Tangannya besar dan berat dan kasar. Tangan orang-orang yang terbiasa bekerja keras. “Darwis, ayo bangun. Darwis,” suara ibu membangunkanku dengan lembut. Aku tergagap membuka mata. Tak ada lagi wangi bunga yang memenuhi indra penciumanku. Tak ada lagi lelaki berwibawa yang tangannya hendak kucium. “Ada apa, Bu?” tanyaku agak malas.
“Bapak sudah menunggu untuk shalat Subuh berjamaah.”


Kauman lawan Ngadisuryan

 JALAN Malioboro terlihat anggun dan teduh di bawah rindang pohon beringin dan cengkih. Kereta kuda berisi orang-orang Belanda dan para priyayi Jawa lalu Jalangi menimbulkan irama ketiplak ladam yang enak didengar. Sesekali ringkik kuda menambah keriuhan obrolan para pejalan kaki dan para pedagang kaki lima yang terus menawarkan dagangan mereka. Inilah jalan terpopuler di Yogyakarta yang namanya berasal dari kata Marlborough, warman dari mana singkat penjajahan Inggris pada abad Sebelum mendapatkan nama Malioboro, jalan ini bernama JaJan Mangkubumi yang dibangun pada 1755 ltu merupakan patokan dalam menempatkan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dalam sebuah sumbu imajinatif yang menghubungkan Gunung Merapi di utara dan Laut Selatan.
Konsep sumbu imajinatif yang menempatkan pusat pemerintahan dalam poros Utara-Selatan dari batas wilayah itu sudah sejak lama diterapkan oleh kerajaan-kerajaan Jawa sejak Mataram Hindu, Majapahit, Demak, Solo, dan akhirnya Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pewaris kerajaan Mataram Baru yang lebih bercirikan Islam, sekaligus sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Jalan Malioboro terletak di sebelah utara dari alun-alun utara Keraton, dimulai dari perempatan Kantor Pos Besar lurus ke arah utara sepanjang 1,3 kilometer sampai rel kereta api, sebelum disambung oleh Jalan Mangkubumi yang juga lurus terus ke utara sekitar 800-an meter. Di salah satu sisi Jalan Malioboro terdapat Benteng Vredeburg, salah satu tempat yang terlihat kukuh sekaligus misterius dan menegangkan karena banyaknya serdadu VOC.
Benteng ini awalnya bernama Rustenburg atau Benteng Peristirahatan. Dibangun pada 1760 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I, dikenal juga sebagai Pangeran Mangkubumi, atas permintaan Nicolaas Harting, Gubernur dan Direktur Pantai Utara Jawa, yang berdalih untuk menjaga keamanan Keraton dan sekitarnya. Namun melihat jarak benteng yang hanya berjarak satu tembakan meriam dari Keraton dan lokasinya yang menghadap jalan utama ke Keraton menjadi petunjuk bahwa benteng itu justru dimaksudkan Belanda sebagai alat untuk intimidasi, bahkan untuk menyerang jika sewaktu-waktu Sri Sultan berbalik arah memusuhi Belanda.
Bentuk benteng ini bujur sangkar sederhana, pada keempat bagian sudutnya terdapat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Keempat sudut itu dibg&: nama oleh Sri Sultan masing-masing sebagai Jayawiseffijfe yang berada di barat laut, Jayapurusa di timur laut, Jayaprakosaningprang di barat daya, dan Jayaprayitna yang berada di sebelah tenggara. Awalnya, bahan bangunan benteng itu sangat biasa, berupa tembok tanah dengan tiang-tiang penyangga dari batang pohon kelapa dan aren. Sementara bangunan di dalamnya dibuat dari bambu dan kayu dengan atap ilalang.
Namun, pada 1765 ketika Harting digantikan W.H. Ossenberg, gubernur baru ini meminta Sri Sultan untuk membuat benteng yang lebih permanen. Usul itu disetujui Sri Sultan Hamengkubuwono I yang menunjuk arsitek Belanda Ir. Frans Haak untuk mengepalai penataan kembali Rustenburg. Setelah renovasi selesai, benteng pun bersalin nama menjadi Vredeburg atau Benteng Perdamaian.
SELAIN pesona Keraton yang memang indah, menurutku tak ada seorang pun anak Jogja yang tak tertarik memperhatikan benteng itu. Apalagi bagi anak-anak Kauman seperti diriku yang tinggal tak terlalu jauh dari Vredeburg.
Namun sebagai seorang anak khatib dan imam Masjid Gedhe Kauman, aku tak punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu di Malioboro karena aku harus belajar agama. Tetapi pelbagai cerita tentang apa saja yang baru terjadi di sana terus berdatangan dari teman-temanku, seperti yang diceritakan Pono kali ini.
‘Tadi aku baru dari Malioboro lagi, Wis,” katanya membuka pembicaraan.
“Ada yang baru?” tanyaku antusias.
“Sama saja. Benteng, kereta kuda, orang-orang.”
“Kamu ke sana sama siapa?”
“Diajak kakakku. Tapi aku kesal.”
“Kenapa?”
“Aku sempat lihat ada beberapa murid priyayi itu lho, yang bicara bahasa Belanda.”
“Murid STOVIA?”
“Ya sekolah itu.”
“Murid STOVIA bicara bahasa Belanda itu biasa, Pono.”
“Iya Wis, tapi aku lihat tatapan mata mereka sinis sekali terhadap dua orang kiai yang sedang lewat.”
Rasa penasaranku memuncak. “Sinis seperti apa?”
Pono memicingkan matanya dan menatap dengan ekor matanya ke arah tertentu, dengan posisi bibir agak ditarik ke atas seperti sedang mencemooh sesuatu.
STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen), sekolah kedokteran.
“Hah? Masak sih seperti itu?” Aku kaget juga melihat ekspresi wajah Pono.
“Justru itu, Wis. Aku nggak kenal mereka, tapi aku yakin mereka juga Islam, atau paling tidak orangtiro mereka beragama Islam. Tetapi dari cara bicara dan gaya mereka melihat dua orang kiai yang jalan nyeker itu, akft kesal, marah, juga benci pada diriku sendiri yang nggak bisa melakukan apa-apa.”
“Aku ngerti perasaanmu* Kalau waktu itu aku yang melihat kejadian itu seperti yang kamu lihat mungkin kemarahanku juga sama, No.”
“Tapi hidupmu enak. Kakekmu dari Bapak dan dari ibu dua-duanya ulama penting. Jadi nggak mungkin akan dianggap remeh oleh mereka.”
“Belum tentu juga Pono.”
“Belum tentu bagaimana?”
“Aku pernah diajak bapakku ke Stasiun Tugu untuk melepas seorang kawannya yang mau haji. Aku ikut naik ke kereta api yang menuju ke Batavia. Ternyata di dalam kereta itu ada dua pintu yang memisahkan penumpang seperti kita dan orang Belanda, seolah-olah kita ini penyakit yang harus dijauhi. Dan pandangan orang-orang berambut pirang itu seperti melontarkan hinaan terhadap rombongan pengantar jamaah haji yang naik ke dalam kereta.”
“Iya, ya, orang mau pergi ke rumah Allah, kok, malah disepelein. Padahal kerja mereka cuma mabuk-mabukkan. Eh, Wis, ke Benteng Vredeburg, yuk?”
“Hmm…”
“Ayolah. Kamu terlalu banyak belajar, kurang main.”
“Nanti aku tanya Bapak dulu.”
“Kalau begitu sudah pasti ndak diizinkan.”
“Kok, kamu yakin?”
“Lha… Bapakku yang bukan kiai saja waktu dia masih hidup selalu melarang aku ke Malioboro.”
“Berarti kamu senang bapakmu mati?”
“Ya, ndak.”
“Tapi kamu tetap minta izin ibumu kalau mau pergi, kan?”
“Ndak selalu.”
“Kamu ndak boleh begitu, Pono. Surga itu di bawah telapak kaki ibu.”
“Tapi kaki ibuku sering kotor, Wis. Jadi, surga itu kotor juga?”
Aku tertawa mendengar kata-kata Pono. “Kata Bapakku itu ungkapan, No. Artinya kita harus selalu menghormati ibu. Kanjeng Nabi juga bilang kita harus lebih dulu menghormati ibu, tiga kali lebih banyak dibanding menghormati Bapak.”
“Yo wis, nanti aku minta izin Ibu. O ya, sekolah tadi apa namanya?”
“STOVIA?”
“Ya sekolah Setopia itu, kamu nanti sekolah di sana juga Wis?”
“Ndak.”
“Kenapa ndak? Kamu, kan, keluarga priyayi?”
“Aku mau meneruskan kerja bapakku saja, No. Aku suka bingung melihat warga yang pada shalat dan mengaji tapi rajin kasih sesajen di kuburan. Aku juga bingung melihat banyak kebiasaan masyarakat yang kelihatannya bikin susah seperti waktu yasinan bapakmu itu. Ibumu pasti keluar banyak uang bikin acara itu.”
Wajah riang Pono langsung berubah sedih. “Iya Wis, ibuku pinjam uang dari Mak Odah. Nanti mengembalikannya harus lebih banyak dari jumlah pinjaman.”
“Aneh.”
“Anehnya di mana, Wis? Orang miskin seperti keluargaku pasti pinjam ke Mak Odah.”
“Aku belum tahu persis anehnya di mana secara syar’i, itu yang ingin aku pelajari. Tapi aku rasa Islam tidak diturunkan Allah untuk membuat berat umat seperti itu.”
“Aku pikir yasinan itu memang yang harus dilakukan terhadap orang mati, Wis.”
“Menurut bapakku karena niatnya untuk menghormati orang yang sudah meninggal dunia itu baik-baik saja. Tapi yang kita omongkan sekarang ini soal pinjaman ibumu itu lho, No! Kalau acara itu malah menyusahkan ibumu, menurutku Gusti Allah juga belum tentu senang.”
“Jadi, bagaimana dong, Wis?”
“Makanya harus aku pelajari benar-benar syariat Islam itu. Aku ndak akan belajar ke STOVIA.”
“Aku pikir semua yang kita dan warga Kauman lakukan selama ini sudah benar.”
“Mudah-mudahan begitu. Tapi jangankan soal agama, memakai baju saja kalau terburu-buru kita sering ndak benar, kan?”
“Wah iya, ndak pernah kepikiran olehku, Wis.”
NYAI Abdullah, ibu Darwis, sedang melihat-lihat beberapa kain batik dengan teliti. Dia membolak-balik kain, menciumi dengan saksama sehingga wajahnya terlihat puas. Bapak Darwis, Kiai Abu Bakar, sedang membaca kitab kuning dengan serius.
“Bau kain batik ini harum sekali,” Nyai Abdullah ‘ berkomentar spontan. Kiai Abu Bakar yang rupanya hanya mendengarkan sekilas ucapan istrinya langsung meletakkan kitab bacaannya. “Barusan bilang apa, Bu?”
“Aku bilang kain batik ini harum sekali.” Nyai Abdullah kembali mendekatkan kain itu ke lubang hidungnya. “Motifnya bagus, dan kainnya juga halus. Semua batik dari Kangmas Fadlil rasanya tidak ada yang jelek.”
“Kiai Haji Muhammad Fadlil itu pedagang yang bertanggung jawab, Bu. Beliau tak mau menjual barang yang jelek semata-mata untuk mengejar keuntungan duniawi. Buat beliau berdagang itu adalah ibadah.”
“Coba kalau semua pedagang seperti Kangmas Fadlil, ya?”
“Kita berdoa saja, Bu. Semoga keinginan Ibu itu dikabulkan Allah.”
“Amin. Rasanya bahagia kalau Kangmas Fadlil sekeluarga bisa jadi bagian dari keluarga kita.”
“Maksud Ibu?”
“Bapak tahu, kan, kalau Kangmas punya seorang anak perempuan?”
“Ah iya, siapa itu namanya, Siti …? Astaghfirullah, kok, lupa, ya.”
“Walidah.”
“Itu dia, Siti Walidah. Berapa umurnya sekarang, Bu?”
“Mungkin tujuh tahun. Masih kecil memang, tapi dia sudah pintar. Tiap ada tamu yang datang, Walidah yang bikin minuman. Saya pernah melihat sendiri waktu datang untuk bertemu dengan Nyai Fadlil.”
“Jadi, maksud Ibu?”
“Mungkin Bapak bisa mulai bicara dengan Kangmas Fadlil supaya Walidah dijodohkan dengan Darwis.”
“Jangan-jangan Ibu sudah bicarakan hal ini dengan Nyai Fadlil?”
“Ya belum, Pak. Ndak berani aku mendahului Bapak.”
“Apa Siti Walidah belum terlalu kecil, Bu?”
“Apa ndak takut terlambat Pak?”
“Maksudnya terlambat?”
“Bagaimana kalau Walidah telanjur diminta orang lain lagi untuk anak mereka? Kan kita tidak boleh meminta anak perempuan yang sudah diminta orang lain toh. Pak? Soalnya saya dengar dari Nyai Fadlil sudah ada juga yang mulai menunjukkan minat untuk melamar Walidah.”
“Benar juga. Bu,” Kiai Abu Bakar mengelus janggut* nya. Raut wajahnya tampak sedang berpikir keras. “Kalau begitu harus kita pikirkan bagaimana cara menyampaikan keinginan ini pada Kiai Fadlil.”
“Bapak, kan, kenal baik dengan beliau. Menurut saya, beliau dan Nyai Fadlil juga akan senang jika bisa mendapatkan calon menantu seperti Darwis.”
“Insya Allah, Bu. Nanti saya cari waktu buat bicara dengan Kiai Fadlil. Sekarang ini saya masih berpikir untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi Darwis. Saya merencanakan untuk mengirim Darwis ke Makkah, supaya dia belajar langsung dari para ulama-ulama besar di sana, termasuk Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi imam besar Masjidil Haram.”
“Kapan?”
“Sekarang dia belum terlalu siap, harus dimatangkan dulu beberapa pengetahuannya tentang agama. Mungkin beberapa tahun lagi setelah umurnya 14-15 tahun biar dia juga siap hidup di negeri orang, jauh dari kita dan mbakyunya. Di sana nanti semuanya harus dia kerjakan sendiri.”
“Kalau begitu urusannya dengan Siti Walidah harus lebih dipercepat lagi, Pak. Bagaimana kalau Darwis sedang belajar di Makkah terus Walidah diminta orang?”
“Ibu kelihatannya sudah yakin pada Walidah? Apa tidak mau melihat-lihat anak perempuan kiai yang lain juga, mumpung Darwis juga masih kecil dan belum terburu-buru harus menikah.”
“Perasaanku mengatakan Siti Walidah itu akan cocok dengan Darwis. Dan Kangmas Fadlil juga kita kenal sebagai pribadi taat, tawadhu, dan banyak membantu masyarakat meski sikapnya tegas dan kadang-kadang kurang berkenan bagi Keraton.”
“Kalau begitu, insya Allah Bapak akan mulai bicarakan hal ini dengan Kiai Fadlil.”
AKU dan kawan-kawan dari Kauman sedang bermainbola melawan anak-anak Ngadisuryan di Alun-Alun Selatan. Matahari yang mulai rebah ke arah barat membuat cuaca tak terlalu panas memanggang. Namun angin yang sedang malas berembus membuat suhu udara terasa makin panas bagi kami yang sedang bermandi keringat.
Pono melambungkan bola dari wilayah pertahanan anak-anak Kauman ke arah Darwis yang berlari kencang hampir menuju ke tengah lapangan. Tendangan Pono kuat dan terukur. Bola melambung tinggi tak terjangkau anak-anak Ngadisuryan yang berlompatan mencoba menahan. Aku terus maju beberapa meter sebelum melompat dan menahan bola yang jatuh persis di dada. “Urgggh!” keluhku spontan. Sempat terasa nyeri karena datangnya bola yang meluncur keras. Aku arahkan jatuh bola ke ujung kaki kananku dan mulai menggocek.
Jika Pono dikenal dengan kekuatan tendangannya, aku dikenal dengan kelincahan membawa bola. Jika bola sedang berada di kakiku, teman-teman bilang seperti melihat aku sedang menari dengan bola. Kami seperti satu-kesatuan yang sulit dipisahkan.
Seorang pemain lawan, Saman, mencoba menghadangku dengan mencondongkan badannya yang besar seperti gaya petinju pasar malam. Dengan cepat aku pindahkan bola dari kaki kanan dengan menempatkan tumit di depan bola, dan langsung mendorong bola menyamping ke belakang sehingga diterima kaki kiriku yang agak jauh dari badan lawan.
Sebelum Saman sempat melakukan reaksi berikutnya, bola di kaki kiri itu aku sepak lembut melalui celah di antara dua kakinya yang cukup renggang. Dari pengalamanku bermain bola, ini jenis kesalahan yang sering dilakukan para penghadang seakan-akan yang akan lewat adalah delman yang bisa dihentikan dengan mudah.
Bagaimana mungkin mereka sampai tidak berpikir bahwa bola itu adalah benda lentur yang cukup membutuhkan celah kecil agar terus melaju tak terhambat apa pun? Maka setelah bola dengan mulus melewati ruang kosong di antara kedua kaki Saman, aku membungkukkan badan mencari kesempatan untuk terlepas dari jarak jangkauannya, dan melesat ke kanan sambil bergerak maju mengejar lagi bola yang terus bergulir itu. Dapat!
Aku giring bola dengan cepat di sisi kiri wilayah pertahanan lawan. Kulihat Kadir, kiper tim Ngadisuryan, memerintahkan kawan-kawannya untuk menghadangku. Seorang pemain lawan bernama Karman tiba-tiba meluncurkan tubuhnya di depanku, membuatku tak sempat mengelak karena sedang berlari kencang. Kakiku tersangkut di kaki Karman. Karena ingin menghindar tabrakan lebih keras dengan badannya, aku mencoba berhenti mendadak.
Akibatnya fatal: badanku melanting terpental selama beberapa detik di udara. “Urgggh!” Aku menjerit ketika badanku terjatuh menghantam lapangan. Kepalaku terasa pusing, dan pandanganku mengabur. Kudengat sayup-sayup terjadi keributan. Aku balikkan badan ke arah datangnya suara dan melihat Pono serta Sukar sedang saling dorong dengan Karman dan Parjan, pemain tim lawan. Wajah mereka terlihat memerah. Urat-urat di leher Sukar malah terlihat jelas, seperti hendak melarikan diri. “Jangan kasar mainnya dong!” seru Sukar sambil mendorong badan Karman. “Kalau Darwis pingsan atas kakinya patah gimana? Mau tanggung jawab?”
“Kamu ini gimana, sih?” Karman balas mendorong Sukar tak kalah keras. “Ngerebut bola, kok, nggak boleh? Kalau takut sakit main bola, ya, main dakon aja seperti anak perempuan.”
“Kami nggak takut, tapi main yang benar, dong.” Pono angkat suara. “Main yang benar gimana? Kalau cuma jatuh kayak begini saja/’ Parjan menjawab dengan suara tak kalah menggeledek.
Aku bangkit berdiri dan mengambil napas dalam-dalam selama beberapa saat. Rasa pusingku sudah hilang. Aku hampiri mereka. “Sudah, sudah, kalian semua pada mau main bola atau berkelahi. Ayo Sukar-Karman, Pono-Parjan, salam ari.” Suaraku ternyata cukup keras, membuatku kaget sendiri. Tapi hasilnya lumayan juga. Mereka yang tadi saling dorong langsung terkesima, meski tidak bersalaman seperti yang aku katakan. Kiper dari tim Ngadisuryan, Kadir yang badannya besar seperti Werkudoro, memanggil kawan-kawannya untuk kembali bermain. Dia melambaikan tangan ke arahku, yang aku balas dengan lambaian tangan juga.
“Pono, Sukar, ayo main lagi dan balik ke posisi masing-masing,” seruku. Sukar langsung mengikuti, tapi Pono kurasakan agak malas dengan kondisi yang berubah ini. Mungkin tadinya dia sudah punya kesempatan untuk memarahi Parjan, salah seorang anak Ngadisuryan yang selama ini sering menjengkelkan kami. Parjan pun kulihat masih menyimpan bara amarah di matanya, yang sempat dia lontarkan dari jauh ketika memandangku.
Permainan dilanjutkan kembali. Pelanggaran terhadapku tadi menghasilkan tendangan bebas yang akan diambil oleh Pono. Dia mengambil bola, memuntir-muntirnya sebentar di tangan, dan meletakkan di tanah. Aku maju ke depan gawang Ngadisuryan bersama Sukar» Sakri, Ngadimin. Tubuhku langsung dipepet Ali, dengan mata beringasnya yang seakan-akan hendak menelanku hidup-hidup. “Kamu tadi pura-pura jatuh, ya,” bisiknya1 ketus sambil membayangi gerakanku.
“Aku jatuh betulan, kok,” jawabku sambil memicing* kan mata ke arah bola yang baru ditendang Pono. Formasi para pemain di depan gawang Ngadisuryan langsung berubah begitu bola mendekat. Semua berkumpul seperti ikan di kolam yang sedang diberi makanan. Aku melotnjrat mencoba menyundul bola. Tapi Parjan yang menempelku dengan ketat sama sekali tak memberi kesempatan. Dengan cepat dia juga ikut melompat menyenggol tubuhku dengan tubuhnya sehingga posisiku bergeser. Untungnya tendangan Pono yang keras membuat tak seorang pun bisa menyundul bola yang meluncur deras ke arah Kadir.
Kadir sendiri menurutku kiper yang hebat. Dia selalu bisa membaca arah datangnya bola dengan baik. Seperti kali ini, dia sudah siap meskipun terjadi kemelut di depan gawangnya. Wajahnya mengeras, dengan bentuk rahang yang tercetak jelas. Kedua tangannya tertuju ke depan seperti meninju angin. Rupanya Kadir tak mau berspekulasi dalam menangkap bola yang bergerak kencang itu. Bola tiba persis di antara kedua tangan Kadir dan memantul lagi dengan cepat, melayang ke arah kepala seorang pemain lawan yang tak bisa mengontrolnya dengan baik sehingga bola itu berpuntir ke arah yang tak terduga: ke arahku.
Namun, posisi datangnya bola tidak terlalu menguntungkan karena terlalu rendah untuk disundul, bahkan masih susah untuk ditahan dengan dada. Kubayangkan bola akan berada di posisi setinggi pinggangku. Itu pun kalau tidak dipotong oleh pemain lawan. Karena itu, aku mundur selangkah sembari menjatuhkan badan ke samping dan mengayunkan kaki kananku sekeras mungkin ke arah datangnya bola. Tendangan spekulasi. Alhamdulillah, ternyata datangnya bola persis seperti dugaanku.
Sempat kulihat wajah Ali yang terkejut karena tak menyangka gerakan refleksku itu. Tapi terlambat, bola telanjur melesat ke arah pojok kanan atas gawang. Refleks penjaga gawang Ngadisuryan ini memang hebat karena arah badannya sudah benar untuk menjangkau bola yang melayang di atas kepala. Namun, gerakannya masih lebih lambat dari bola yang lebih dulu melewati mistar bawah gawang. Masuk!
“Gooooolll…!” Kudengar teriakan anak-anak Kauman dengan bersemangat. Tiba-tiba saja badanku sudah diangkat oleh Pono, Sukar, Sakri, Ngadimin, dan kawan-kawan lain. Badanku menghadap langit yang seolah-olah juga ikut tersenyum dengan kesuksesanku mencetak gol itu. Kulihat sekilas ke arah gawang Ngadisuryan yang para pemainnya terlihat seperti sedang menyalahkan Paijan yang menundukkan kepala. Mungkin anak itu disalahkan karena tak bisa menjagaku meski tubuhnya lebih besar.
“Biar tahu rasa anak-anak Ngadisuryan itu,” ujar Sukar di antara jerit kegembiraan. “Kualat mereka tadi mencelakakan kamu,” sambung Pono. “Anak kiai, kok, mau dikerjai. Mana ridha malaikat yang memenuhi langit dan bumi ini?!” katanya lagi. “Hush, jangan gitu! Ini nggak ada hubungannya dengan anak kiai segala” ujarku tak enak.
“Biar saja,” jawab Pono. “Kauman, Kauman, Kauman/’ serunya disambut teriakan teman-temanku yang lain, berdentam-dentam. “Kauman, Kauman, Kauman….”
PERMAINAN siang itu akhirnya kami menangi dengan skor tipis 1-0. Anak-anak Ngadisuryan memang hampir tak pernah menang melawan kami, meski mereka juga bukan lawan yang mudah dikalahkan. Mereka akan melakukan apa saja agar gawang mereka tidak kebobolan.
Kami sedang dalam perjalanan pulang di daerah Ngadisuryan, melewati sebuah lorong. Aku tak bisa berjalan cepat akibat ganjalan yang aku terima dalam permainan tadi. “Anak-anak Ngadisuryan kalau main emang kasar. Sebenarnya males banget aku meladeni mereka,” kata Sukar. “Sing penting kita menang. Kauman ndakbisa dikalahin,” jawab Pono. Anak itu lalu menatapku yang berjalan agak pincang. “Kamu ndak apa-apa, kan, Wis?”
“Cuma kecethit tok, paling lama tiga hari sembuh …,” ujarku sambil menarik kaki yang terasa berat. Langit menunjukkan hampir masuk waktu shalat Asar. Aku harus segera pulang untuk berganti baju dan shalat di Masjid Gedhe Kauman. Bapakku hari ini sedang pergi ke Semarang mengunjungi sebuah pesantren. Penggantinya sebagai imam di Masjid Gedhe adalah Kiai Fadlil. Bapak berpesan agar aku jangan sampai tak bertemu Kiai Fadlil karena katanya ada yang ingin dibicarakan kiai itu denganku.
“Bicara soal apa Bapak?” tanyaku semalam ketika Bapak memberikan pesan.
“Mungkin silaturahim biasa,” jawab bapakku.
“Kalau begitu aku bisa dengan Pono?”
“Oh jangan, hanya kamu sendiri.”
“Kenapa?” tanyaku heran. Bapak pasti sedang menyembunyikan sesuatu. Dan dia kurang bagus untuk soal berpura-pura sehingga aku jadi tambah penasaran.
“Mungkin karena kamu anak Bapak.”
Bayangan wajah Bapak di depanku tiba-tiba buyar karena Pono menyenggol sikuku dan berdeham agak keras. “Wis, lihat!”
Aku menatap ke arah yang ditunjuk Pono. Sekelompok anak Ngadisuryan berdiri di depan kami dengan posisi menantang. Aku tak melihat mereka muncul dari mana. Wajah mereka menampakkan ekspresi bermusuhan, dengan mata melotot, hidung yang terlihat naik turun seperti sapi mengamuk. “Apa-apaan ini?” Pono menaikkan nada suaranya dan berdiri dengan posisi bertolak pinggang.
Parjan yang tadinya berdiri sejajar dengan kawan-kawannya bergerak maju. “Siapa yang tadi ngomong bahwa anak-anak Ngadisuryan itu kasar-kasar?” Suaranya menggelegar. “Coba kalau berani omong lagi sekarang.”
Kulihat Sukar menelan ludah. Pono yang tadinya bertolak pinggang menurunkan sedikit tangannya ke arah paha, mungkin tidak menyangka kemarahan Parjan yang begitu meluap. “Siapa yang bilang?” Kali ini Eko, temanku yang biasanya pendiam, yang angkat bicara. “Kamu saja yang ngelindur kali.”
Berani juga anak ini rupanya. Selama ini Eko sering diledek Arca Mojopahit karena bicaranya yang sangat irit. Parjan dan kawan-kawannya merangsek maju ke arah kami. Kawan-kawanku secara refleks bergerak mundur, termasuk Eko. Kondisiku yang sedang pincang membuatku tak bisa cepat bergerak secepat kawan-kawan sehingga aku kini berada di barisan paling depan.
“Hah, kamu lagi Darwis,” kata Parjan dengan matanya yang makin mendelik. “Biarpun kamu anak Kiai Abu Bakar, aku nggak takut sama bapakmu. Benar kamu yang tadi bilang anak-anak Ngadisuryan itu kasar?”
“Ya, maaf. Aku tadi kelepasan. Maaf kalau menyinggung. Aku janji ndak akan mengulangi lagi.”
“Anak kiai kok beraninya cuma ngomong di belakang. Coba kalau berani kamu ulangi lagi omongan itu sekarang!”
“Kan aku sudah janji ndak akan mengulangi lagi,” jawabku menghindar dari pancingan Parjan. Ternyata anak itu malah tertawa terbahak-bahak. “Tapi aku seneng kalau anak-anak Ngadisuryan dibilang kasar. Ndak cengeng kayak anak-anak Kauman. Iya ndak Dir, To, Yo?” Ali melihat ke arah kawan-kawannya yang ikut tertawa sinis.
“Iya saking cengengnya anak-anak Kauman, sekarang semua pada berlindung di bawah kelek anak kiai yang jalannya pun pincang,” sambung Karman disambut derai tawa yang makin meninggi. Parjan makin maju sehingga wajahnya menjadi sangat dekat dengan mukaku. Dia memelototkan matanya, mungkin berharap agar aku mengalihkan pandangan atau bahkan menundukkan kepala. Dia keliru jika berharap begitu karena aku sama sekali tak gentar.
“Biar cengeng seperti kata kalian, yang penting kalau main bola selalu menang,” ujarku sambil menahan nyeri yang mulai menggerogoti kakiku akibat terlalu memaksakan diri berdiri tegak sempurna. Rupanya kata-kataku yang terakhir seperti bensin yang disiramkan ke bara api yang membuat api itu jadi berkobar. Parjan langsung menyerbuku tanpa aku sempat mengelak. Ulu hatiku terasa panas dan nyeri. Aku terjengkang mundur beberapa langkah ke belakang, terhuyung-huyung hampir jatuh. Pandanganku kembali mengabur selama beberapa saat. Rasa mual di ulu hati itu mulai naik sampai ke tenggorokan sehingga aku harus berlutut dan memegangi bagian atas perutku itu.
“Kurang ajar!” seru Sukar yang sudah bangkit lagi keberaniannya sambil menyerang Parjan. Perkelahian tak terhindarkan lagi. Beberapa anak Ngadisuryan kulihat mengerubuti Pono yang pontang-panting mempertahankan diri. Aku hirup napas dalam-dalam, segera bangkit dan berlari ke arah Pono untuk melindunginya. Tapi Parjan yang tahu bahwa kakiku tidak dalam kondisi sempurna, langsung menjegal sehingga tubuhku terhuyung. Dan sebelum sempat aku mendekati Pono, Parjan menyorongkan tangannya untuk mendorong tubuhku. Senyum mengejek terpampang di wajahnya.
Aku mencium bumi untuk kedua kalinya hari itu— dengan sangat tidak ikhlas.
“BAGAIMANA dengan mukamu, masih sakit?” tanya Bapak sambil menyentuh perlahan pelipisku yang berwarna biru keunguan, kenang-kenangan dari hasil pertandingan sepak bola kemarin. Aku tahan rasa nyeri yang muncul ketika jari-jari tangan Bapak menyentuh lebam itu. “Tidak, Pak.”
“Kalau begitu Bapak ke masjid dulu buat persiapan shalat Jumat. Kamu jangan lama-lama, jangan saropi|j Kanjeng Sultan sudah di masjid kamu baru datang.”
“Iya, Pak.” Aku mencium punggung tangan Bapak. “Aku menunggu Pono dan Eko, kami akan jalan bareng.”
“Mengapa kita harus lebih awal untuk datang ke shalat Jumat, Darwis?”
Ini salah satu cara Bapak untuk menguji lagi ingatanku tentang materi yang pernah beliau ajarkan, tanpa membutuhkan waktu tersendiri. Maka aku kutip sebuah hadis tentang itu yang sangat kuhafal. “Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Siapa yang mandi pada hari Jumat seperti cara mandi junub, kemudian pergi seawal mungkin untuk mengerjakan shalat Jumat, seolah dia berkurban seekor unta. Siapa yang pergi untuk melaksanakan shalat Jumat pada waktu yang kedua, maka seolah dia berkurban seekor sapi. Siapa yang pergi pada waktu yang ketiga, maka seolah dia berkurban seekor kambing. Siapa yang pergi pada waktu yang keempat, maka seolah dia berkurban seekor kambing. Siapa yang pergi pada waktu yang keempat, maka seolah dia berkurban seekor ayam. Siapa yang pergi pada waktu yang kelima, maka seolah dia berkurban sebutir telur. Apabila imam sudah berada di atas mimbar, para malaikat berkumpul untuk mendengarkan khutbahnya.”
“Alhamdulillah Darwis, semoga Allah terus menjaga ingatanmu. Bapak pergi dulu. Assalamu ‘alaikum warah-matullahi wabarakatuh.”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh.”
Badan Bapak terlihat segar, wajahnya rapi. Aroma wewangian keluar dari tubuhnya seperti kesturi. Hari Jumat merupakan hari spesial bagi Bapak, dan para kiai umumnya. Mereka selalu mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi shalat Jumat. Aku pun sejak kecil sudah terbiasa dengan persiapan khusus menghadapi shalat Jumat ini, dengan dalil yang juga kuingat dengan sangat baik bahwa diriwayatkan dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, “Siapa pun yang mandi pada hari Jumat, membersihkan diri semampunya, meminyaki rambutnya, dan memakai wewangian yang dia dapatkan di rumahnya, kemudian dia pergi ke tempat shalat Jumat tanpa menerobos antara dua orang yang duduk di masjid, lalu dia melaksanakan shalat seperti yang diwajibkan kepadanya, dan diam ketika imam berkhutbah, niscaya diampuni dosanya antara Jumat itu dengan Jumat sebelumnya.”
Pono dan Eko datang menjemputku tak lama setelah Bapak berangkat. Di sepanjang perjalanan menuju Masjid Gedhe, beberapa warga juga sudah menuju masjid. Hampir semuanya berbaju putih. Aku masuk menuju halaman Masjid Gedhe dari posisi pagongan sebelah kiri. Beberapa orang duduk di pagongan kiri dan kanan, yang berada di luar ruangan masjid utama. Selain beberapa warga yang sudah kukenal tampang mereka, juga para pedagang yang menggunakan shalat Jumat ini sebagai waktu bagi mereka untuk istirahat.
Suasana di dalam masjid belum terlalu ramai meski jamaah masih terus berdatangan. Aku tak bisa terlalu maju ke depan karena jamaah yang lebih tua sudah banyak yang mengisi saf di bagian depan. Lafal zikir terdengar samar-samar. Tiba-tiba terdengar kesibukan di belakangku, di dekat pintu masuk. Tanpa melihat ke belakang aku tahu, biasanya keramaian seperti itu terjadi jika Kanjeng Sri Sultan akan memasuki masjid.
Jamaah yang berada di dekat pintu masjid menyingkir, dan mulai mengambil posisi berjongkok menyembah di kanan kiri pintu, membuat lajur terbuka yang bisa dilewati Sri Sultan menuju maksura, tempat shalat khusus bagi Kanjeng Sri Sultan yang berbentuk bujur sangkar, terbuat dari kayu dengan lantai yang lebih tinggi dibandingkan lantai sekelilingnya. Aku, Pono, dan Eko pun segera mengikuti, dengan mengubah posisi duduk kami mengikuti para jamaah lain.
Kanjeng Sri Sultan memasuki masjid diikuti Kiai Penghulu Kamaludiningrat, bapakku Kiai Abu Bakar, beberapa ulama Keraton, dan para penggawa yang mengantarkannya sampai depan pintu maksura. Setelah Kanjeng SayyidinPanatagama Khalif atullah itu memasuki maksura, barulah para kiai dan penggawa menempati tempat masing-masing.
Suasana berubah menjadi jauh lebih hening setelah kedatangan Sri Sultan

SALAH seorang ulama yang sangat aku hormati adalah Kiai Abdul Hamid Lempuyang Wangi. Beliau orang yang berilmu tinggi, dan sangat sederhana seperti lazimnya para kiai. Beliau punya satu kebiasaan yang menonjol: rasa sayang yang luar biasa terhadap anak-anak yatim-piatu.
Sebelumnya aku tak pernah terlalu memperhatikan hal ini karena semua kiai yang aku kenal menunjukkan bahwa mereka memang sangat menyayangi anak-anak. Tidak seperti seorang lelaki yang pernah kulihat Malioboro yang bersikap kasar sekali terhadap para bocah. Atau ada seorang kaya di dekat Kauman yang menurut cerita orang-orang juga sangat kikir terhadap anak yatim-piatu. Semua kiai yang kukenal tidak ada yang begitu. Tetapi tetap saja perhatian, kasih sayang, dan kedermawanan Kiai Hamid terasa istimewa.
Di rumahnya yang berukuran cukup besar namun sangat sederhana, kiai sering kali membuat masakan bagi anak-anak yatim, dan para muridnya seperti aku, yang sebetulnya, alhamdulillah, belum ditakdirkan Allah Swt. menjadi yatim piatu. Setiap kali aku mengaji di sana, rasanya aku hampir selalu melihat anak-anak yatim sedang makan bersama. Kiai sepertinya tidak pernah kehabisan makanan untuk menjamu mereka semua, padahal jumlah mereka bukan hanya satu-dua orang.
Aku pernah bertanya kepada bapakku, bagaimana caranya Kiai Hamid bisa begitu sering mengadakan makan bersama padahal di mataku beliau terlihat tidak kaya, misalnya seperti Kiai Fadlil yang memiliki usaha kain batik, dan rumahnya juga terlihat bagus. Seandainya Kiai Fadlil yang rajin menggelar makan bersama anak yatim itu sudah pasti aku tidak heran, karena mudah terlihat dari mana Kiai Fadlil bisa membiayai semua kebutuhan untuk sekali makan yang pastilah juga tidak sedikit itu.
“Itulah salah satu rahasia untuk tidak pernah kekurangan/’ ujar Bapak. “Dengan banyak memberi’
“Iya, Bapak. Aku tahu kita harus sesering mungkin memberikan sedekah. Tapi dari mana kemampuan bersedekah itu datang bagi orang-orang yang teri sederhana/’ aku tak mau menyerah mencari jawaban.
“Susah dijelaskan dengan akal pikiran biasa Wis,” kata Bapak. “Tapi jika di hatimu selalu timbul keinginan untuk membantu orang, meringankan beban orang, Allah akan selalu mengalirkan rezeki kepada orang yang selalu membantu makhluk Allah lainnya. Ini yang terjadi pada Kiai Hamid.”
Dan sore ini, pertanyaan yang selama ini selalu mendekam di kepalaku seperti belut di dalam lubangnya itu, menemukan jalan keluarnya sendiri lewat penjelasan langsung dari Kiai Hamid.
Aku sedang membereskan kitab fiqih dan beberapa catatan pelajaran dari kiai yang tercerai-berai agar rapi, ketika sudut mataku melihat Nyai Hamid melayani sejumlah anak yatim piatu untuk makan bersama. Di atas meja yang membatasiku dan Kiai tersaji hidangan yang terdiri dari teh tubruk, ketela, dan telur asin.
“Jamilah,” Kiai Hamid mengeraskan suaranya. “Jamilah mana?”
Seorang anak perempuan berumur sekitar tujuh tahun berdiri dan mengacungkan tangan. “Saya, Kiai’
“Coba kamu ke sini.”
“Iya, Kiai.”
Anak itu berjalan cepat, berkelok-kelok, menghindari anak-anak lain yang menghalangi jalannya, sebelum sampai di dekatku dan Kiai. Wajah Jamilah lucu, dengan kedua pipi gendut seperti warna sawo matang sedang manis-manisnya. Matanya bulat jenaka, terlihat pintar buat anak seumurannya. “Kamu suka ini?” Kiai Hamid mengambil sebutir telur asin dari piring di meja. Jamilah tersenyum malu. Anggukannya sangat lemah hampir tidak terlihat.
“Ayo, mau tidak?” Senyum mengembang di wajah Kiai Abdul Hamid. “Kalau tidak mau, tidak apa-apa Milah.”
“Mau, Kiai.”
“Nah, kalau begitu, kan, lebih baik.”
“Terima kasih, Kiai.”
“Sekarang kamu mau bantu Kiai?”
“Mau, Kiai?”
“Coba kamu bawa semua telur dalam piring ini. Bagikan ke kawan-kawanmu yang lain, biar makannya tambah enak.”
“Iya, Kiai.”
“Supaya makin banyak yang bisa makan telur asinnya, bilang kawan-kawanmu sebutir telur bukan untuk satu orang, melainkan buat dua orang.”
“Baik, Kiai.”
“Terima kasih kamu sudah membantu Kiai, ya Milah.”
Bocah dengan pipi gembil dan mata bulat seperti kelinci itu kembali ke tempatnya disambut sorak sorai gembira kawan-kawannya yang segera mengerubunginya»
“Kamu tahu apa yang sedang kamu lihat, Darwis? tanya Kiai.
“Milah menerima telur asin?”
Kiai Abdul Hamid mengambil kitab fiqih di depan, Dia mengangkatnya dan mengayunkannya perlahan lahan. “Seluruh isi kitab ini, ya seluruh isi kitab ini jika kita pelajari dan hayati secara benar, maknanya cuma yang baru saja kamu perhatikan itu, Darwis: menyenyantuni anak yatim.”
“Jadi, kalau belum bisa menyantuni anak yatim bagaimana, Kiai?”
“Secara singkatnya, berarti orang seperti belum menguasai kitab-kitab yang dipelajarinya. lebih dalam lagi, berarti masih belum mengetahui bahwa seharusnya Islam itu membawa kedamaian bagi sesama.
“Saya mengerti sekarang, Kiai.”
“Kalau sudah begitu, barulah Islam menjadi rahman lil ‘alamin bagi semua. Menjadi rahmat bagi alam semesta,’*?
“Iya, Kiai.”
“Dengan kata lain, jika masih ada manusia yang merasa terusik atau terganggu dengan Islam, itu tandanya mereka yang masih keblinger.”
“Maksudnya keblinger itu apa toh, Kiai?”
“Maksudnya, diajak untuk hidup damai dan selaras dengan alam, kok malah merasa terusik. Harusnya malam bahagia. Orang-orang yang merasa terganggu itu adalah mereka yang keblinger.”
“Seperti tentara Belanda itu ya, Kiai?”
“Salah satunya. Tapi bukan mereka saja Darwis yang bisa keblinger. Masyarakat kita pun bisa termasuk dalam kelompok itu kalau mereka merasa terganggu dengan adanya ajaran Islam, yang justru mengajarkan untuk menyantuni anak-anak yatim piatu.”
“Jadi, itu sebabnya mengapa Kiai sering mengajak makan anak-anak yatim?”
“Ya.”
“Terima kasih, Kiai. Saya mengerti pelajarannya.”
“Kalau begitu, ayo kamu makan dulu. Rasakan kebahagiaan dengan makan bersama anak-anak yatim.”
“Baik, Kiai.”
PADA satu malam, aku diajak Bapak untuk ikut pertemuan takmir (pengurus) Masjid Gedhe. “Sudah sepantasnya kamu mulai tahu bagaimana proses mufakat di lingkungan Masjid Gedhe ini terjadi,” ujar Bapak. “Apalagi ini persiapan menyangkut bulan suci Ramadhan.” Aku setuju.
Di serambi masjid sudah ada Kiai Haji Kamaludiningrat bersama enam anggota takmir lainnya, termasuk bapakku. Karena pertemuan berlangsung di serambi masjid yang terbuka, udara terasa nyaman karena semilir angin terasa memijat kulit. Suara serangga malam membuat suasana tambah nyaman.
“Bapak-Bapak sekalian yang saya hormati,” Kiai Kamaludiningrat membuka percakapan. “Sebentar lagi kita umat Islam akan memasuki bulan suci Ramadhan» bulan puasa. Seperti kebiasaan kita selama ini, sebelum
masuk Ramadhan kita akan melakukan ruwatan lebih dulu, yang jatuh temponya pas hari Jumat Legi. Menurut perhitungan saya, berarti nanti lebarannya akan jatuh pas hari Kamis Kliwon. Apakah sudah dibentuk panitia untuk puasa kali ini?”
Tak ada jawaban dari takmir. Saya lihat mereka saling pandang satu sama lain. “Bagaimana?” tanya Kiai Kamaludiningrat lagi. Hanya suara serangga malam yang terdengar.
“Benar juga ucapan Kiai Penghulu.” Bapakku angkat bicara. “Kalau belum dibentuk, harus segera kita bentuk. Kalau tidak nanti kita akan kerepotan, terutama menyangkut penyediaan dana. Tidak mudah bikin ruwatan.”
Semua anggota takmir kembali menunduk. Tapi keheningan itu segera pecah. “Nuwun sewu, mohon maaf Kiai,” seorang anggota takmir yang duduk di dekat bapakku memecah keheningan. “Yang saya Hhat di sekitar lingkungan kita, harga-harga barang kebutuhan pokok sekarang sedang naik, masyarakat sedang cukup kesulitan. Apakah … takmir yang masih muda itu mencari-cari kata yang akan disampaikannya dengan hati-hati. ” … apakah ruwatan kali ini tidak bisa disederhanakan bentuknya? Tidak perlu seperti tahun-tahun sebelumnya?”
Pertanyaan pendek itu membuat Kiai Penghulu Kamaludiningrat seperti disengat lebah. Nada suaranya mendadak terdengar lebih tinggi dan keras dibandingkan sebelumnya. “Disederhanakan bagaimana maksudnya? Coba jelaskan!”
“Maaf, Kiai.” Takmir muda itu menundukkan wajahnya, tak berani melihat Kiai Penghulu atau bapakku. Anggota takmir lain kuperhatikan juga memilih untuk menundukkan wajah mereka. Detak jantungku juga terasa lebih cepat, mungkin sama seperti mereka. Bapak hanya menarik napas panjang. Suara jangkrik dan tonggeret terasa makin keras dari halaman masjid, seperti berlomba dengan desah napas para anggota takmir yang mereka coba untuk tak perdengarkan, tapi malah menimbulkan kesunyian yang aneh.
“Begini, ya, Cah Bagus,” suara Kiai Kamaludiningrat kembali membuat jantungku—apalagi anggota takmir menurutku—berdebar lebih cepat, “ruwatan itu, ya, ruwatan. Tidak ada ruwatan sederhana, atau ruwatan tidak sederhana. Apalagi ini menghadapi bulan suci Ramadhan.”
Kiai Penghulu memperhatikan satu per satu anggota takmir selain bapakku. Suaranya masih terdengar keras untukku sehingga aku pun tak berani melihat wajahnya langsung. “Kalian ini anak-anak muda bagaimana? Badan masih kuat, tenaga masih banyak, pikiran masih tajam kenapa takut dan khawatir dengan kenaikan harga barang-barang? Apalagi ini untuk kepentingan agama. Tahukah kalian kalau kekhawatiran itu diembus-embuskan iblis ke dalam hati agar kita tidak menjalankan kepentingan agama? Padahal jika tidak khawatir, insya Allah akan ada jalan sepanjang kalian terus ikhlas, Mengerti?”
“Mengerti, Kiai,” jawab takmir muda yang tadi bertanya.
“Yang lain?” tanya Kiai.
“Mengerti, Kiai.”
“Alhamdulillah. Kalau begitu, besok ba’da Zuhur kalian segera buat panitianya, dan malamnya ba’da Isya sekitar jam ini kita matangkan persiapan untuk ruwatan. Untuk sekarang kalau tidak ada lagi pertanyaan, kita sudah selesai. Ada pertanyaan?”
Sebetulnya aku ingin bertanya lebih jauh soal ruwatan itu. Tapi karena selain aku bukan anggota takmir, umurku juga paling muda. Dan ini bukan pengajian yang memungkinkan aku bertanya soal ini. Ini sebagai musyawarah, sebuah pertemuan yang disebutkan bapakku untuk merencanakan sebuah kegiatan. “Kalau tidak ada pertanyaan lagi, baiklah pertemuan kita tutup” Kiai Kamaludiningrat bangkit dari duduknya, diikuti yang lain. Semua bertukar salam.
Dalam perjalanan pulang, pertanyaan soal ruwatan; di kepalaku bukannya padam, malahan makin berkobar: mengapa ruwatan ini begini perlu? Kalaupun memang sangat perlu, apakah harga-harga barang yang mahal dan memberatkan masyarakat seperti disebutkan anggota takmir muda itu tidak bisa dijadikan pertimbangan dalam melakukan ruwatan?
“Kenapa kamu diam saja, Wis?” suara Bapak mengagetkanku.
“Eh, tidak apa-apa, Pak.”
PERSIAPAN menjelang ruwatan akhirnya datang juga. Seluruh bagian kompleks Masjid Gedhe Kauman dibersihkan, seperti orang yang sedang bersiap untuk pergi shalat Jumat. Tak ada bagian yang terlewati. Beberapa anggota takmir mengepel lantai masjid, ada yang membersihkan jendela, beberapa orang lagi menyapu serambi masjid dan halaman di sekitar serambi. Maksura tempat Kanjeng Sultan shalat mendapatkan perhatian yang lebih teliti lagi, karena semua lekuk kayu dibersihkan dengan hati-hati. Aku dan beberapa pemuda Kauman juga ikut bekerja.
“Tidak terasa sudah mau masuk bulan puasa lagi, ya, Wis,” ujar Pono.
“Iya,” jawabku. “Rasanya baru kemarin kita puasa Ramadhan, sekarang sudah di depan mata lagi’
“Ini akan menjadi puasa yang berbeda bagiku.” Suara Pono tiba-tiba terdengar sedih. “Mengapa?” tanyaku sambil menggosok pinggiran jendela tanpa memperhatikan ekspresi Pono.
“Puasa pertamaku tanpa Bapak.” “Oh maaf, aku lupa, No.” “Tidak apa-apa. Rasanya aneh saja.”
“Insya Allah bapakmu meninggal dunia keadaan khusnul khatimah, dalam keadaan yang baik.
“Amin. Eh, Wis, coba lihat ke sana,” Pono memberikan isyarat dengan dagunya agar aku melihat ke arah sisi kanap serambi masjid. Kulihat Kiai Penghulu Kamaludiningrat sedang berjalan menuju pojok masjid. Begitu sampai pojok masjid dia menebar bunga melati dan beras. Harum melati yang baru dipetik segera tercium olehku. Kiai Penghulu masih berada di sana selama beberapa saat. Kulihat mulutnya komat-komat seperti berdoa. Tak terdengar isi doanya dari tempatku, tapi kuduga berkaitan dengan persiapan menjelang memasuki Ramadhan. Memohon agar Masjid Gedhe Kauman ini dilindungi Allah dari segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Mungkiri saja seperti itu, karena tak ada doa yang bertujuan kurang baik.
Tapi yang tak kumengerti adalah mengapa harus menebar bunga-bunga melati dan beras dalam jumlah yang cukup banyak, karena Kiai Kamaludiningrat kemudian juga melakukannya di pojok-pojok lain dari Masjid Gedhe ini. Apa hubungannya antara melati, beras, dan doa?
Aku merasa cukup mengerti bahwa persiapan dan kebersihan ruh ani memasuki bulan suci Ramadhan memang perlu. Sama saja seperti kita harus dalam keadaan suci ketika akan memasuki langgar atau masjid, begitu juga seharusnya kondisi ruhani ketika akan memasuki bulan suci. Namun di sisi lain, untuk alasan lain yang tak bisa aku jelaskan—karena memang aku belum tahu dalilnya—aku hanya merasakan adanya kontradiksi antara niat yang ingin dicapai dan kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan niat itu.
Setelah acara ruwatan selesai, aku pergi ke rumah kakak iparku Kiai Haji Muhammad Saleh untuk belajar bahasa Arab. Menurut Bapak, kakak iparku itu adalah salah seorang kiai yang bahasa Arabnya sangat baik bukan hanya di Kauman, tapi juga di seluruh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Pada waktu Bapak seumur Haji Saleh, kemampuan bahasa Arab Bapak belum sebaik dia/’ ujar Bapak. Dan harus kuakui, apa yang Bapak katakan memang benar. Kalimat-kalimat dalam bahasa Arab mengalir begitu saja dari mulutnya seperti tak perlu dipikirkan lagi. Tetapi saat ini bukan topik bahasa Arab yang membuatku tertarik untuk berdiskusi.
“Kamu mau minum kopi, Wis? Biar nanti mbakyumu sekalian bikin,” ujarnya.
“Tidak, terima kasih, Mas. Air putih saja,” jawabku. “Aku mau tanya soal ruwatan.”
“Ada apa dengan ruwatan?”
“Aku tadi baru dari Masjid Gedhe, dan mengikuti semua persiapan ruwatan ini buat pertama kalinya. Kenapa, sih, Mas, Kiai Penghulu tadi menabur bunga melati dan beras di tiap pojokan masjid?”
“Oh, itu hanya tradisi masyarakat saja, Wis. Tidak usah terlalu dipikirkan.”
“Maksudku apakah ruwatan sebelum bulan Ramadhan itu wajib hukumnya? Ada dalilnya?”
“Tidak wajib. Tetapi apa salahnya kita memasuki bulan suci dengan kondisi yang lebih bersih, bukan hanya diri kita sendiri, melainkan juga lingkungan kita. Terutama masjid tempat kita akan menghabiskan waktu lebih banyak di bulan Ramadhan?”
“Maaf, ya, Mas. Tapi menurut saya ruwatan seperti ini mubazir saja, membuang-buang dana. Saya kira mestinya dana yang ada bisa digunakan untuk kebutuhan yang lebih bermanfaat, yang benar-benar membantu masyarakat. Apalagi jika menurut Mas tadi, ruwatan itu tidak wajib. Mengapa tidak ada keberatan dari para kiai?”
“Darwis, namanya juga tradisi. Kalau tradisi ituft&flKtf tidak ada salahnya kita lanjutkan. Kalau itu kebiasaan buruk, maka harus kita hentikan secepatnya.”
“Tapi tetap saja aku merasakan itu mubazir, membuang-buang beras ketika masyarakat sedang susah karena harga beras naik.”
“Dalam kehidupan bermasyarakat, hal-hal seperti ini akan terjadi, Wis.”
“Aku, kok, merasa kurang sreg, ya, Mas.”
Mas Saleh hanya tersenyum mendengar ketidak-puasanku. “Ayo kita lanjutkan pelajaranmu. Sudah sampai mana?” katanya simpatik.
SELAIN belajar kepada Mas Saleh, guruku yang lain adalah Kiai Haji Lurah Muhammad Noor dan Kiai Haji Muhsin yang juga merupakan kakak-kakak iparku, sehingga aku memanggil mereka Mas Noor dan Mas Muhsin. Jadi tak percuma aku sebagai anak keempat mempunyai mbakyu yang bersuamikan orang-orang berilmu. Mas Noor yang merupakan kakak ipar tertuaku menjadi guru ilmu fiqih, sedangkan Mas Muhsin menjadi guru nahwu, tata bahasa Arab. Sebagai guru, aku merasa Mas Noor jauh lebih tegas dan keras dibandingkan Mas Saleh dan Mas Muhsin.
Dua guruku yang lain adalah Kiai Haji Abdul Hamid yang sudah membuka mata dan pikiranku tentang bagaimana cara memperlakukan anak yatim piatu, serta ayah yang mengajariku pelajaran lainnya. Dengan banyaknya pengajar itu, aku tidak perlu belajar lagi di Gubememen seperti lazimnya anak-anak yang tinggal di lingkungan Keraton.
TAK terasa sudah lima Ramadhan berlalu sejak aku mengikuti rapat takmir pertama di Masjid Gedhe. Sore ini aku kembali bersama beberapa orang marbut untuk membersihkan tikar, menyiapkan air wudhu, dan menyapu lantai. Di depan serambi masjid terdapat sungai kecil yang mengelilingi tempat suci ini. Beberapa anak kecil sedang mandi dengan sangat gembira. Celotehan mereka membuat suasana senja menjadi ceria. Apalagi marbut-marbut juga bekerja dengan semangat berceloteh yang sama seperti para bocah di kali itu.
Tapi tiba-tiba semua celotehan terputus. Aku lihat para marbut menghentikan pekerjaan mereka dan duduk sambil melakukan sembah. Untuk sesaat aku sempati berpikir bahwa Sri Sultan yang datang ke Masjid. Namun ketika kulayangkan pandangan ke pintu gerbang, yang kulihat hanyalah Kiai Penghulu Kamaludiningrat yang datang. Aku tidak melakukan posisi sembah seperti yang dilakukan para marbut itu. Trisno yang berada di sampingku berbisik dengan nada tegas. “Wis, haturkan sembah!”
“Buat apa?” jawabku juga sambil berbisik. “Dia bukan Tuhan.”
Percakapan kami terputus oleh suara Kiai Penghulu yang keras. “Modinnya siapa hari ini?” .
Para marbut membisu, tak ada yang berani menjawab. Hampir semuanya malah menundukkan kepala mendengarkan suara yang harus diakui bisa menciutkan nyali itu. “Ditanya, kok, diam semua?” Lanjut Kiai, kali ini disertai tatapan mata tajam yang membuat para marbut malah salah tingkah. “Apa tidak ada yang tahu siapa modin hari ini?” cecarnya dengan nada suara makin tinggi.
“Barmawi, Kiai,” jawabku memberanikan diri sambil 4 menatap wajahnya. Tatapan Kiai Kamaludiningrat akhirnya berhenti di mataku. “Kamu Darwis anaknya Kiai Abu Bakar, kan?”
“Betul, Kiai.”
“Hei yang lain, coba lihat anak ini’ ujar Kiai Penghulu, “Ayo lihat.”
Para marbut, termasuk Trisno di sampingku, kini semua menatapku. “Lihat dia baik-baik, lebih muda dari kalian, paling kurang urusannya buat pengelolaan masjid, tapi dialah yang paling berani menjawab.”
Aku agak jengah dengan kata-kata Kiai Kamaludiningrat yang terdengar seperti pujian itu. Tapi aku juga tak bisa menghentikan kata-kata Kiai sekarang ini. “Apa susahnya menjawab pertanyaan siapa modin yang bertugas hari ini? Apa memang tidak ada yang tahu selain Darwis?”
“Tahu, Kiai,” jawab mereka dalam nada pelan, dan kembali menundukkan wajah.
“Lantas, kenapa tidak ada jawaban sebelumnya?” Kiai Kamaludiningrat tampak masih bersemangat untuk menekan perasaan para marbut. Tidak ada jawaban. Wajah Kiai tampak agak kesal melihat situasi ini. “Ya sudah, kalau begitu saya pergi dulu. Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Kami menjawab berbarengan. Kiai Penghulu menganggukkan kepalanya, lalu pergi.
PADA satu hari, aku mengikuti pengajian Mas Noor bersama empat orang santri muda lainnya. Dari lima orang murid Mas ini, aku yang paling bersih meski warna kulitku sendiri sawo matang. Tapi keempat murid lainnya benar-benar terlihat dekil dengan bibir dan kaki b yang pecah-pecah di banyak bagian. Melihat mereka entah mengapa mengingatkanku pada cerita Pono tentang sikap murid-murid STOVIA yang memandang jijik para kiai di Malioboro. Ah murid-murid itu, mereka tidak tahu bahwa negeri ini bisa tidak hancur lebur lebih parah menerima azab Allah justru karena adanya kiai-kiai yang tak diperhatikan itu. Kiai-kiai yang selalu tuli bermunajat agar umat ini, agar masyarakat ini, selalu dilindungi Allah dari segala macam bala dan bencana.
Suara Mas Noor membuyarkan lamunanku. “Sejak Perang Diponegoro berakhir, Pulau Jawa berada dalam kondisi menyedihkan, sangat menyedihkan. Kemiskinan di mana-mana akibat politik Tanam Paksa pemerintahan kafir Belanda. Banyak umat Islam terkikis imannya. Murtad dan bahkan bangga menjadi orang kafir,” katanya dengan nada tegas. “Dan itu berlangsung sampai sekarang.”
“Kenapa para ulama dan Sri Sultan diam saja, Mas?” tanyaku.
“Siapa yang bisa melawan Belanda?” jawab Mas Noor. “Para panglima perang Pangeran Diponegoro yang semuanya ulama saja akhirnya pada bubar, dibuat tercerai berai. Pangeran Diponegoro ditangkap dengan sangat tidak manusiawi menggunakan taktik perang yang penuh muslihat. Diperdaya. Inilah saat ketika tipu daya merajalela, ketika kebenaran dibungkam oleh dusta yang didukung kekuasaan dan senjata.”
Pada kesempatan lain MaS Saleh yang menjelaskan. “Ini zaman Kala Bendu, Wis,” jelas Mas Saleh. “Zaman hukuman. Gusti Allah sedang paring ujian buat hamba-Nya. Di zaman seperti ini, orang yang lemah bakal jadi korban. Supaya tidak gampang jadi korban, perbanyak tirakat, tawakal, dan sikap pasrah.”
Aku masih merasa kurang jelas dengan kata-kata Mas Saleh. “Pasrah, kan, tidak berarti menyerah, ya, Mas?”
“Betul, menyerah bukan ciri seorang Muslim. Tapi keberanian tanpa landasan juga akan merusak tatanan. Makanya perbanyak ilmu. Buka pikiranmu,” saran Mas Saleh.
“Apa itu sebenarnya zaman Kala Bendu, Mas Saleh?”
“Kala Bendu ini zaman ketika orang-orang sering sekali berbantahan yang akhirnya berujung pada bentrokan, Dimas. Kadang-kadang bentrokan itu begitu mengerikan, berdarah-darah. Penyebabnya tidak selalu hal-hal yang dianggap prinsip, melainkan bisa dari hal-hal kecil. Tetapi jika kesulitan di zaman ini bisa diatasi, Pulau Jawa memasuki Kala Suba, zaman ketika masyarakat mulai sejahtera tanpa terlalu banyak kesulitan, dan orang-orang bersenang hati. Setelah itu masyarakat Jawa akan memasuki zaman Kala Sumbaga ketika banyak orang tersohor, hebat, dan pandai-pandai muncul di masyarakat. Terakhir adalah Kala Surasa waktu ketika Pulau Jawa betul-betul menjadi sejahtera, serba-teratur, dan tak ada kesulitan,” papar Mas Saleh. “Sebetulnya sebelum Kala Bendu ini ada zaman-zaman lain, tapi Mas tidak ingat semua istilahnya.”
“Apakah hal ini merupakan penjelasan Kanjeng Nabi Muhammad, Mas?”
“Oh bukan, ini Ramalan Jayabaya yang dipercaya masyarakat Jawa.”
“Apakah di Islam diperbolehkan percaya pada ramalan, Mas?”
“Pertanyaanmu bagus Darwis, Islam tidak memperbolehkan kita percaya pada ramalan. Itu syirik, menyekutukan Allah.”
“Jadi, mengapa kita harus memercayai ramalan Jayabaya itu?”
Mas Saleh tersenyum. “Bukan memercayai dalam arti seperti kita memercayai Allah dan Rasul-Nya. Tetapi lebih pada usaha untuk memudahkan kita dalam mengerti masyarakat tempat kita tinggal saat ini Darwis. Dengan kita mengetahui cara berpikir masyarakat tempat kita berada, maka akan lebih mudah bagi kita dalam berdakwah. Pengertian tentang Kala Bendu ini mungkin saja tak dimengerti masyarakat yang tinggal di Pulau Sumatra. Tapi, Mas yakin ada pengertian sejenis yang dipercaya masyarakat setempat, mungkin istilahnya saja yang berbeda.”
RAPAT bulanan pengurus Masjid Gedhe berlangsung di . serambi masjid dan dipimpin langsung oleh Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat. Sepanjang pengalamanku mengikuti rapat-rapat takmir di sini, inilah salah satu rapat yang cukup besar dari segi jumlah peserta.
“Sudah lebih dari lima Ramadhan Ngayogjokarto dalam masa sulit,” Kiai Kamaludiningrat memulai pengantarnya. “Semoga Ramadhan kali ini menjadi penutup bagi zaman Kala Bendu.”
“Amin,” seru hadirin bersamaan, termasuk aku. “Apa yang sudah kita siapkan untuk tirakat?” tanya Kiai Penghulu.
“Seperti yang sudah menjadi adat tradisi selama ini, Kiai,” jawab kakak iparku Mas Muhsin. “Nyadran dan Ruwahan.” Kiai Kamaludiningrat tersenyum senang. “Alhamdulillah. Tidak ada masalah, kan, Kiai Muhsin?”
“Tidak, Kiai.” Mas Muhsin melanjutkan. “Nyadran dan ruwahan sudah kita persiapkan. Insya Allah bisa terlaksana dengan baik.”
“Alhamdulillah, bagus itu. Tolong disiapkan dengan teliti karena saya harus segera melaporkan anggarannya kepada Ngarsa Dalem. Jangan mendadak.”
“Baik, Kiai,” Mas Muhsin menganggukkan kepala. “Insya Allah besok pagi sudah bisa saya serahkan ke rumah Kiai.” katanya. Hadirin lainnya mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah puas, termasuk bapakku.
Tapi aku merasa harus bertanya, atau lebih tepatnya harus menyatakan pendapat. Begitu inginnya aku berkomentar, sampai-sampai aku sudah tidak ingat lagi bahwa aku merupakan hadirin paling muda di rapat ini, dan biasanya selalu berdiam diri pada rapat-rapat sebelumnya. Telunjukku teracung, minta waktu untuk bicara. Jamaah rapat kulihat tertegun, termasuk Mas Muhsin dan bapakku yang menyimpan pertanyaan besar di matanya.
“Maaf, Kiai. Mengingat kondisi masyarakat kita yaH sedang prihatin di zaman Kala Bendu ini, apakah tidak sebaiknya acara Nyadran dibuat sederhana saja?” tanyaku. Beberapa jamaah langsung berbisik-bisik. Beberapa pasang mata lainnya di tempat ini memandangku dengan sorot mata aneh. Kiai Penghulu Kamaludiningrat malah menyipitkan matanya, seperti ingin memastikan bahwa dia tidak salah melihat sang penanya adalah anak dari Kiai Abu Bakar yang merupakan imam dan khatib Masjid Gedhe Kauman. Melihat caranya menatap seperti itu, aku duga Kiai Kamaludiningrat akan menjawab dengan nada keras.
Tapi aku keliru. Yang merasa tertusuk lebih dulu dengan pertanyaanku justru bapakku sendiri. “Maksudmu dibuat sederhana itu apa, Wis?”
Kini seluruh mata hadirin benar-benar terhunjam ke arahku, menantikan jawaban yang akan kuberikan. Suasana berubah menjadi lebih tegang karena rasanya seperti membicarakan masalah keluarga di depan umum. Tapi kata-kata sudah terlontar, tak bisa ditarik lagi. Dan aku pun memang berniat mencari kejelasan dari rencana yang menurutku justru akan menyulitkan rakyat kebanyakan itu.
“Maksudnya sederhana itu cukup berdoa saja, Pak. Tidak perlu dengan upacara berlebihan apalagi dengan memberikan sesajen.” Aku mantapkan hatiku dalam memberikan jawaban sambil tetap berusaha menjaga kesantunan. “Uang buat pembuatan sesajen itu bisa dimanfaatkan sebagai sedekah bagi fakir miskin sehingga hasilnya juga akan lebih jelas.”
Dan kini perdebatan di antara anggota keluargaku benar-benar terjadi setelah Mas Noor juga ikut angkat bicara. “Kalau untuk soal sedekah itu tidak usah khawatir, Wis. Masjid Gedhe selalu melakukan pemberian sedekah setiap hari Jumat sehingga umat Islam mendadak jadi banyak terlihat pada hari itu.” Nada suara Mas Noor tegas seperti biasa. “Kalau Nyadran ini isinya hanya membaca doa-doa saja, dan tidak ada orang yang mau datang berdoa, lantas siapa mau yang bertanggung jawab? Dan bagaimana kita menjelaskannya kepada Ngarsa Dalem?”
Kiai Kamaludiningrat mengangguk setuju pada penjelasan Mas Noor. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah Mas Muhsin dan Mas Saleh juga akan ikut berkomentar dalam masalah yang tiba-tiba berubah seperti Kala Bendu kecil di dalam keluargaku ini.
“Maafkan adik saya ini, Kiai,” Mas Noor menyampaikan kalimat itu dengan sangat tertata dan penuh takzim kepada Kiai Penghulu. “Dia masih harus banyak belajar” .”Oh, ndak apa-apa,” Kiai Kamaludiningrat tersenyum tipis. “Saya juga dulu pernah muda, kok.”
Ucapan Kiai itu membuat jamaah tertawa lepas seakan-akan sedang mendengar sebuah guyon lucu di pagelaran wayang. Aku menunduk dengan hati perih, sedikit marah, dan sama sekali tidak puas pada peristiwa ini. Apa yang lucu dari pertanyaan seorang anak muda yang ingin mendapatkan sebuah penjelasan yang lebih masuk akal tentang keharusan menjalankan sebuah kegiatan agama? Mengapa sebuah pertanyaan serius justru berakhir dengan gelombang gelak tawa? Tidakkah para jamaah ini mengerti betapa seriusnya pertanyaanku sebenarnya? Tapi kuputuskan untuk menyimpan semua ketidakpuasan ini di hati saja. Aku memilih tak melanjutkan pertanyaan, dan menunduk sepanjang pembicaraan selanjutnya.
Di rumah, bapakku melontarkan kemarahannya yang tak tersalurkan di Masjid Gedhe. Tak ada yang ditutup-tutupinya lagi.
“Kamu sudah membuat Bapak malu, Wis.” Bapakku memulai pembicaraan. “Tidak semua hal yang belum kamu ketahui itu bisa ditanyakan di depan umum. Apalagi kamu punya Bapak dan mas-masmu lain yang juga kiai semua. Kalau yang bertanya orang biasa yang di anggota keluarganya tak ada ulama, Bapak masih bisa mengerti. Tapi kamu bisa menanyakan apa saja di rumah, bukan dengan melontarkan pertanyaan yang membuat orang berpikir bahwa kamu tidak pernah diberi tahu apa-apa soal ruwatan.”
Aku menunduk tak menjawab. Bapak jarang sekali marah. Tapi kalau sudah marah, suaranya bisa membuat ciut nyali juga, meski tidak sekeras suara Mas Noor.
“Semua itu sudah ada tempat dan sesuai aturannya, Wis’ ujar Bapak. “Dan bukan baru satu-dua tahun dilakukan, sudah turun temurun sejak kakeknya dari kakeknya dari kakeknya Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang memerintah sekarang.”
“Tapi bukan aturan menurut Al-qur’an dan Sunnah Rasul, kan, Pak?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku tanpa bisa kutahan lagi.
“Wis, menghayati Quran itu harus pakai hati, jangan cuma pakai akal thok. Kalau kamu cuma pakai sandaran akal saja bisa keblinger. Ngawur. Mengerti kamu?”
“Iya, Pak.”
Bapak lalu meminum teh tubruk di cangkirnya dengan perlahan. Aku merasa itu bagian dari cara Bapak untuk meredakan amarah yang masih berkobar di dadanya. Diletakkannya kembali cangkir dengan hati-hati. “Kadang orang terpeleset bukan karena bodoh, tapi karena dikuasai akalnya saja. Dia menyerahkan kendali dirinya sepenuhnya pada keinginan akal. Ini bisa berbahaya karena akal juga bisa keliru, salah jalan.”
“Iya, Pak.”
“Ya sudah, lain kali pikirkan dulu apa pun yang ingin kamu tanyakan di tempat umum. Bukannya tidak boleh, tapi bukan cuma pertanyaanmu saja yang didengar-Orang-orang juga akan melihat bahwa kamu adalah anak imam dan khatib Masjid Gedhe.” Bapak lalu bangun kursinya dan beranjak menuju kamarnya. “Bapak istirahat dulu.”
“Baik, Pak. Maafkan kalau aku menyusahkan Bapak”
Bapakku tak menjawab lagi, tapi aku tahu jauh dalam hatinya dia sudah bisa menerima kejadian itu dengan lebih legawa.
KEESOKAN harinya upacara Nyadran berlangsung di lingkungan Pemakaman Kauman. Terlihat ada empife tandu berisi sesaji: ingkung, beras merah, nasi tumpeng, pisang raja, dan sebagainya. Masing-masing tandu. dipegang oleh empat orang yang berpakaian Jawa-tradisional. Mereka berjalan dengan khidmat menuju| ke pemakaman diikuti oleh Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat, bapakku, seluruh pengurus dan keluarga besar Masjid Gedhe mengiringi di belakang para pemegang tandu. Di dalam wilayah pemakaman yang tak terlalu besar, kerumunan itu berdesakan untuk berdoa. Hampir tak ada ruang yang cukup lowong karena sebaran warga di mana-mana. Aku berada di sana, tapi perasaanku tidak. Tawar.
Dari pemakaman, rombongan bergerak menuju kolam kecil di sekeliling Masjid Gedhe Kauman yang penuh anak-anak kecil melakukan padusan—mandi suci yang merupakan bagian dari ruwatan. Beberapa orang pengurus masjid juga melakukan padusan, sementara aku menggunakan waktu untuk menjemur tikar masjid yang mulai terasa lembap.
“Kamu tidak ikut padusan, Wis?” tanya Trisno, salah seorang marbut yang seluruh badannya basah. Aku menggeleng.
“Puasa kamu ndak sah nanti,” sambung Trisno.
“Wis, Darwis, ayo turun!” sebuah suara memanggilku dari kejauhan. Ternyata Pono yang berteriak sambil melambaikan tangannya. “Airnya segar!”
“Iya Wis, ayo!” Eko tak mau kalah. Aku hanya melambaikan tangan ke arah mereka. “Kalian saja.”
“Kenapa?”
“Ndak apa-apa.”
“Ini padusan, lho, Wis,” Pono tetap berusaha membujukku. “Bukan berenang biasa.”
Warga Kauman melakukan padusan biasanya dengan membawa sabun sendiri untuk membersihkan; diri. Sisa sabun dan kotoran badan dianggap akan terbuang bersama aliran air sungai, menyisakan tubuh yang bersih.
Beberapa orang dewasa menyebar di banyak tempat yang dekat dengan bebatuan agar mudah menempatkan keperluan mandi mereka. Seorang lelaki tua kulihat berdoa dengan khusyuk. Tubuhnya kurus dengan tulang iga yang terlihat jelas di badannya. Warna kulitnya gelap dengan ekspresi wajah keras. Selesai berdoa, dia mengguyurkan air ke atas kepalanya dengan cepat Diambilnya lagi air kali dan diguyurkannya lagi dengan cepat. Pono dan Eko sudah tak terlihat lagi, mungkin mereka sudah berpindah tempat, atau berbaur dengan kerumunan orang yang semakin banyak.
“Wis?”
Aku melihat ke arah suara perempuan yang memanggilku. Ternyata budeku, Nyai Fadlil, dan sepupuku Siti Walidah.
“Eh, Bude.”
“Nanti puasa hari pertama jangan lupa buka di rumah Bude, ya? Bilangi Bapak-ibumu, ya?”
“Iya, Bude, nanti Darwis kasih tahu.”
“Atau mau ikut Bude sekarang?”
Kulihat Walidah tersenyum malu. Dia langsung^ menundukkan wajahnya ketika aku menatapnya.
“Jangan sekarang, ya, Bude? Aku mau bantu Ibu di rumah.”
“Ya, sudahlah. Salam Bude buat ibumu.”
“Iya, Bude. Salam juga buat Pakde.”
Nyai Fadlil menggamit tangan Walidah mengajaknya kembali berjalan. Kulihat Walidah mencuri-curi pandang ke arahku. Kubalas dengan senyum yang membuat wajah manisnya makin tersipu-sipu. Setelah itu buru-buru aku mendekati Trisno. “Pinjam handukmu, ya, No?” kataku sambil melepas baju.
Trisno kebingungan melihat sikapku. “Lho, katanya tadi ndak mau padusan?”
“Ini buat niat yang lain,” ujarku sambil tersenyum dikulum. “Memangnya ndak boleh?”
Trisno melihat ke arahku yang sedang melihat ke arah Walidah. “Owalah, dasar Cah GemblungV Marbut itu kini ikut terkikik geli.
Pulang dari Masjid Gedhe, aku melihat sepasang suami-istri memberikan sesaji dan membakar kemenyan di antara pohon beringin dengan sangat hati-hati. Aku mencoba mengamati tindakan mereka sembari menjaga agar aku sendiri tidak terlihat oleh mereka. Tetapi melihat bagaimana kekhusyukan mereka dalam menyajikan sesajen, aku rasa mereka sedang berada di dalam dunia tersendiri yang tak memedulikan masyarakat di sekeliling mereka. Setelah mereka komat-kamit mengucapkan semacam doa, keduanya lalu pergi.
Aku dekati pohon beringin itu dengan berjalan sewajar mungkin, sebelum mengendap-endap dan dengan cepat mengambil sesajen, dan kembali bertingkah sewajar mungkin seperti sebelumnya.
Tanpa kuduga, belum jauh aku beranjak pasangan suami-istri itu datang lagi. “Lho, kok, sesajennya hilang, Pak?” seru si istri terdengar kaget. “Apa dicuri orang, ya?”
“Hus! Jangan asal ngomong, Bu. Itu artinya sesajen kita diterima. Niat kita direstui.”
Aku mencari posisi yang aman untuk kembali mengamati mereka.
“Tapi kenapa kemenyannya ndak diambil?” Sang istri terdengar masih bingung.
“Ngawur kamu, Bu,” ujar suaminya terdengar kesal. “Masak si Mbah makan kemenyan?”
Masya Allah, kulihat si istri tak lagi menjawab melainkan langsung bersujud di tanah tempat bekas sesajen sambil mengucapkan ampun dan terima kasih.
Ketika sang suami akan melakukan hal serupa, afct£| langsung meninggalkan mereka secepat-cepatnya, i Aku terus berjalan sampai melihat beberapa pengemis dan anak-anak gembel yang sedang tiduran pinggir jalan. “Sudah pada makan?” tanyaku disambut gelengan kepala mereka.
“Ini, coba dibagi yang adil,” ujarku sambil membagikan makanan sesajen itu kepada mereka. Wajah mereka langsung berubah ceria, dan berulang kali menyebut terima kasih kepadaku.
“Ini rezeki dari Gusti Allah, bukan dari saya,” ujarku “Sering-seringlah berterima kasih kepada Allah.”
NAMAKU Siti Walidah binti Muhammad! Fadlil. Ya, orangtuaku adalah Kiai Haji Muhammad Fadlil Kiai yang juga dikenal juga pedagang kain batik. Ibuku dipanggil orang-orang, Nyai Fadlil.
Hari ini aku diajak Ibu melihat suasana padusan yang biasa dilakukan warga menjelang masuknya bulan puasa Aku sudah ikut puasa Ramadhan dari tahun-tahun sebelumnya, tapi tidak pernah ikut padusan. Baru setelah berumur tahun inilah aku melihat langsung. Sebetulnya aku tidak terlalu bersemangat melihat Aku lebih suka di rumah belajar memasak. Tapi karena Bapak sedang tidak ada, aku kasihan juga kalau melihat Ibu jalan sendirian. Apalagi di masyarakat Kauman dan Yogyakarta tidak terbiasa seorang istri kiai berjalan-jalan sendiri tanpa ditemani muhrimnya.
Tapi rasa malasku langsung hilang begitu dari kejauhan kulihat Mas Darwis sedang berjalan sendirian. Mas Darwis adalah anak Kiai Haji Abu Bakar, imam dan khatib Masjid Gedhe Kauman, umurnya sekitar empat tahun di atasku.
“Itu Mas Darwis, Bu/’ bisikku sambil menggoyang lengan Ibu.
“Mana? Oh, iya. Ayo kita tegur dia/’ jawab ibuku. “Wis?”
Mas Darwis melihat ke arah kami. “Eh, Bude?”
“Nanti puasa hari pertama jangan lupa buka di rumah Bude, ya? Bilangi Bapak-ibumu, ya?”
“Iya, Bude. Nanti Darwis kasih tahu.”
“Atau mau ikut Bude sekarang?” tanya ibuku. Aku tersenyum malu dan langsung menundukkan wajah ketika dia menatapku.
“Jangan sekarang, ya, Bude? Aku mau bantu Ibu di rumah.”
“Ya, sudahlah. Salam Bude buat ibumu/
“Iya, Bude. Salam juga buat Pakde.”
Ibu lalu menggamit tanganku dan mengajakku kembali berjalan. Aku mencuri-curi pandang ke arah Mas Darwis, dengan harapan dia tak melihatku. Tapi ternyata justru dia juga sedang memperhatikanku. Senyumnya
terkembang lebar. Duh, Gusti Allah! Mas Darwis tersenyum kepadaku!
“Kenapa toh nduk kamu tersenyum-senyum sendiri?” Suara Ibu mengagetkanku.
“Astaghfirullah Ibu, bikin kaget saja.”
“Lho, kok, kaget? Kan dari tadi Ibu selalu bersamamu.” Senyum Ibu menunjukkan beliau mengerti apa yang sedang aku pikirkan. “Sudah perjaka rupanya anak pamanmu itu. Tidak disangka, tampan juga wajahnya, ya. Sudahlah kelakuannya baik, kata bapakmu dia juga pintar.”
“Iya, Bu. Aku dengar Mas Darwis sudah khatam Qur’an di umur 8 tahun. Tidak banyak, ya, Bu anak-anak umur segitu yang sudah khatam? Dan kata Mas Saleh, bahasa Arabnya juga lancar, padahal belum pernah ke Arab?”
“Lho … lho, kok, kamu tahu banyak soal dia?” Ibuku kembali menggoda dengan senyum dikulum.
“Ah, Ibu. Aku, kan, cuma mendengarkan obrolan Bapak, Ibu, dan Mas Saleh kalau sedang membicarakan Mas Darwis.”
“Ya, sudah. Jadi kalau sudah ketemu anak lelaki pintar, cakep, alim, sudah khatam Qur’an umur 8 tahun, dan bahasa Arabnya lancar, bagaimana? Apa yang harus Ibu bicarakan dengan bapakmu?”
“Ya, terserah Ibu saja.” Aku tersipu malu.
BULAN Ramadhan datang disambut kegembiraan warga Kauman. Hari pertama puasa terasa berat buatku Mungkin karena aku belum sering berpuasa seperti Bapak atau Ibu yang sering melakukan puasa sunnah Puasa terakhirku terjadi tahun lalu. Tapi mungkin yang membuatnya tambah berat adalah undangan ibuku kepada Mas Darwis agar berbuka puasa pertama di rumah kami.
Di satu sisi aku merasa akan sangat sulit bagi Mas Darwis untuk berbuka hari pertama di rumahku karena kehadirannya di rumah sendiri pasti juga dibutuhkan oleh keluarganya. Apalagi bagi masyarakat Jawa, buka puasa biasanya juga sebagai kumpul keluarga. Tapi di sisi lain, aku merasa masih ada kemungkinan Mas Darwis akan datang memenuhi undangan ibuku. Aku punya alasan sendiri untuk keyakinan ini, yaitu senyum Mas Darwis saat melihatku terakhir kali. Buat apa dia tersenyum kalau dia tidak akan datang? Aku yakin senyumnya bukan senyum yang biasa diberikan kepada semua orang.
Repotnya dari tadi siang, Ibu sama sekali tak menye-but-nyebut nama Mas Darwis. Beliau sibuk di dapur mempersiapkan makanan berbuka untuk Bapak dan kami semua, tapi tak sekali pun menyebut nama Mas Darwis. Ingin sekali aku bertanya jadikah Mas Darwis datang kepada Ibu. Tapi aku tak tahu bagaimana harus memulai pertanyaan itu, dan kapan saat yang tepat untuk menanyakannya? Akibatnya kebingungan di kepalaku tambah banyak.
Ba’da shalat Asar, aku duduk di depan cermin di dalam kamarku. Rambutku makin panjang saja, dan mulai sulit diatur. Aku ambil sisir dan mulai merapikan rambutku perlahan. Tapi pikiranku sedang tidak keruan. Bukan wajahku yang kulihat di dalam cermin melainkan potongan pembicaraan ibuku dengan Mas Darwis beberapa hari lalu.
“Ya Allah…” Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Kulihat Mas Darwis masih terus tersenyum. Sisir aku letakkan. Kuambil kerudung dan Al-qur’an. Aku baca beberapa ayat dari Juz ‘Amma, bagian terakhir Al-qur’an yang banyak diisi surat dengan ayat-ayat pendek. Aku coba pusatkan pikiran pada surat-surat yang sedang aku baca sampai aku tak mengingat lagi Mas Darwis.
“Walidah.” Suara ibu yang lembut terdengar dari luar kamar. “Sebentar lagi magrib. Kalau sudah selesai ngajinya, tolong bantu Ibu siapkan buka puasa untuk bapakmu.”
“Baik, Bu.”
“Alhamdulillah bapakmu bisa buka puasa di rumah pada hari pertama ini,” lanjut Ibu. Aku merasa sedikit kecewa. Ibu sama sekali tak menyebut nama Mas Darwis.
Sore keesokan harinya, aku kembali mengaji dengan Kiai Penghulu Kamaludiningrat. Jika setelah pengajian biasanya kami pulang, sore itu aku dan teman-teman membuat pekerjaan tangan dari kertas dibimbing seorang anggota takmir perempuan yang masih muda. Hiasan-hiasan kertas itu nanti boleh kami bawa pulang ke rumah.
Tapi bukan hanya soal itu yang membuatku senang. Di bagian lain serambi masjid, kulihat Mas Darwis sedang duduk bersama sejumlah pemuda takmir. Mereka berdiskusi dengan suara yang cukup jelas terdengar dari tempatku. “Tradisi ya tradisi, tidak bisa dibarengkan dengan ajaran agama,” ujar Mas Darwis. “Sekarang ini sudah makin banyak tradisi yang masuk ke dalam ajaran agama kita.”
“Wis, agama itu harus diajarkan dengan lemah lembut,” jawab seorang anggota takmir lainnya. “Tradisi bisa menjadi cara yang baik untuk menyampaikan ajaran agama.”
“Tetapi’itu berbahaya,” sanggah Mas Darwis.
“Bahaya bagaimana?”
“Misalnya seperti padusan dan ruwatan memasuki Ramadhan itu. Banyak masyarakat yang menyangka wajib hukumnya melakukan padusan dan ruwatan, sementara pada saat bulan suci sekarang sendiri kalian lihat sendiri di pasar, banyak yang tidak puasa. Padahal justru puasa itu yang wajib dilakukan, bukan padusan/’ kata Darwis.
“Kalau tujuan padusan dan ruwatan justru untuk mengingatkan kita agar lebih menyucikan diri menghadapi Ramadhan, aku tidak melihat di mana salahnya,” ujar seorang anggota takmir lain.
“Betul Darwis, kecuali kalau menurutmu padusan dan ruwatan itu ada dalil larangannya, kami tidak akan melakukan lagi tahun depan.”
“Sampai saat ini aku juga belum tahu pasti apakah ada larangan atau tidak mengenai soal padusan dan ruwatan ini. Insya Allah nanti akan aku pelajari lagi. Tapi menurut Mas Saleh, kakak iparku yang pernah belajar di Saudi, ruwatan itu tidak wajib.”
“Baiklah, Darwis, aku ada urusan dulu.” Salah seorang anggota takmir berdiri menyalami Mas Darwis dan yang lain. Pertemuan mereka akhirnya bubar. Mas Darwis sempat melihat ke arahku sebentar, tapi tak ada senyumnya. Aku menganggukkan kepala ke arah Mas Darwis, yang dia sambut dengan anggukan cepat juga. Itu sudah cukup bagiku, apalagi setelah melihat cara Mas Darwis menjelaskan pendapatnya secara tegas namun tetap sopan.
SELAMA beberapa hari kemudian, bapakku pergi keluar kota untuk urusan dagang batiknya. Ibu tidak pernah mengajakku naik kereta kuda lagi di sore hari. Mungkin untuk menghemat tenaga di bulan puasa. Tapi keinginanku untuk naik kereta kuda kali ini jauh lebih kuat dari biasanya. Jika ada kesempatan untuk keluar rumah, aku berharap bisa melihat Mas Darwis lagi meski hanya sebentar. “Ibu sedang sibuk?” tanyaku.
“Ini lagi membuat catatan dagangan. Banyak pesanan menjelang lebaran. Ada apa Walidah?”
“Aku pikir Ibu mau jalan-jalan dengan kereta kuda sore ini.”
“Hari ini belum bisa. Besok saja kalau kamu mau. Besok pagi bapakmu pulang, sore harinya kalau kamu minta izin beliau untuk jalan-jalan di dekat sini mungkin akan diizinkan.”
“Baiklah, Bu.”
Esok harinya Bapak pulang pagi seperti disebutkan Ibu. Beliau membawakan banyak barang bagi kami berdua. “Pak, bolehkah nanti siang aku jalan-jalan dengan kereta kuda?” tanyaku.
“Boleh saja, asal ditemani ibumu,” jawab Bapak. “Tapi masalahnya, nanti ada tamu Bapak yang juga harus ikut ngobrol dengan ibumu.”
“Yaaa… itu sama saja artinya dengan tidak boleh.”
“Kalau begitu kita lihat saja nanti,” ujar Bapak tersenyum sambil mengusap kepalaku. “Bagaimana puasa anak Bapak kemarin-kemarin, sudah ada yang kalah belum?”
“Belum.”
“Alhamdulillah, bagus itu. Waktu seumuranmu dulu, ibumu juga puasanya tidak pernah kalah.”
“Tahun-tahun sebelumnya puasaku juga penuh semua, Pak. Bapak lupa, ya?”
“Astaghfirullah, Bapak lupa. Iya, betul tahun lalu puasa kamu sudah penuh.”
Hari itu semua seperti berjalan lambat. Bapak tidak menegaskan apakah aku boleh menggunakan kereta kuda sore itu atau tidak. Semua bergantung tamunya.
Maksudku, setelah kedatangan tamu itu, bergantung bagaimana suasana hati bapakku.
Akhirnya, sore itu aku habiskan waktu di belakang rumah bersama Ginah dan tiga temannya yang biasa membatik untuk bahan jualan Bapak. Ginah seumuran dengan Mas Darwis, atau mungkin satu, dua tahun lebih tua. “Jadi, kapan mau dilamar, Ndoro?” tanya Ginah tanpa basa-basi.
“Idih, dilamar apa, sih, Mbak Ginah?” Aku berpura-pura tidak tahu apa yang dia maksud. Tapi jawabanku justru membuat Ginah dan kawan-kawannya tertawa. “Lho, aku saja sudah tahu, kok, Ndoro,” celetuk Sumiatun yang lebih muda sembari tertawa cekikikan.
“Sudah tahu apa, Sum?” Aku semakin berpura-pura tidak tahu apa yang mereka maksud. “Alaaah … itu lho soal Mas Darwis,” sambar Ginah sambil tetap mengerjakan batiknya.
“O… kalau soal itu tanya sama Mas Darwis,” jawabku setenang mungkin. “Aku, sih, siap saja. Mau malam ini dilamarnya juga hctyuk” jawabku yang membuat mereka semakin tertawa terpingkal-pingkal.
“Ssstt… jangan berisik,” Ibu tiba-tiba terlihat sudah berada di depan pintu memberi tanda agar kami diam. Ibu lalu melihatku sambil tersenyum aneh. “Bapakmu sedang ada tamu,” katanya sembari kembali ke dalam rumah. Senyum misterius Ibu dengan cepat mengundang rasa penasaranku sehingga aku meninggalkan Ginah dan kawan-kawannya dan menuju ke ruang tamu. Awalnya
terdengar suara bapakku yang cukup keras, “bidak gampang mengubah kebiasaan itu …”
Aku segera mengintip lawan bicara Bapak. Masya Allah, Mas Darwis! Jantungku terasa berdebar lebih cepat. Wajahnya terlihat cukup jelas dari posisiku sekarang. “Ini menyangkut keyakinan, apalagi yang didukung oleh kekuasaan,” lanjut Bapak.
“Umurmu sekarang berapa, Wis?” Kali ini terdengar suara Ibu.
“Lima belas tahun, Bude,” jawab Mas Darwis. Namun belum sempat Ibu bertanya lebih jauh, suara Bapak kembali terdengar. “Dengar, ya, Wis. Meskipun nanti kamu menjabat sebagai Kiai Penghulu, belum tentu kamu punya kekuasaan untuk melakukan apa saja.”
“Iya, Pakde.”
“Bisa-bisa kamu malah dimusuhi, diasingkan, dan dipecat Sultan seperti Pakdemu ini.” Kata-kata Bapak terdengar semakin getir, ada nada kemarahan terpendam pada suaranya. Aku tak ingat apa peristiwa persisnya yang dimaksud Bapak, tapi aku tahu dari Ibu bahwa bapakku memang orang yang keras kalau sudah menyangkut hal prinsip.
Kudengar bunyi gerak ibuku bangun dari kursinya. Mungkin dia ingin membiarkan Darwis hanya bicara berdua dengan Bapak. Aku segera mundur dengan cepat dan bergabung dengan pembantu rumah, pura-pura menyibukkan diri untuk menyiapkan buka puasa.
“Sibuk apa, Dah?” tanya ibuku dengan senyumnya yang ditahan.
“Menyiapkan buka puasa, Bu.”
“Di sini saja temani Ibu. Untuk buka puasa sudah siap.”
Aku merasa malu karena niatku seperti terbaca oleh Ibu. Tapi kulihat Ibu tak lagi tersenyum, beliau memberikan isyarat agar aku mendekatinya. “Kelihatannya pembicaraan bapakmu dan Darwis makin serius saja. Coba dengarkan,” katanya.
“Saya ingin pergi haji sekaligus belajar ke Makkah, Pakde. Bapak sudah mempersiapkan semuanya,” ujar Mas Darwis.
“Aku sudah dengar itu dari Kiai Noor,” sahut Bapak. “Tapi buat apa kamu jauh-jauh belajar? Apalagi zaman sedang susah seperti sekarang ini.”
“Saya ingin mendalami Islam, Pakde.” Jawaban Mas Darwis terdengar mantap tanpa ragu. Kudengar bapakku malah seperti tertawa kecil.
“Kenapa tertawa, Pakde?” tanya Mas Darwis. “Di mana lucunya?”
“Wis, jangan tersinggung,” Bapak menghentikan tawanya. “Pakde bukan menertawakan kamu. Pakde hanya ingat, banyak kiai di Kauman ini yang sudah pergi haji dua-tiga kali, tapi masih saja tetap bodoh soal agama.”
“Bodoh bagaimana Pakde?”
“Kalau kamu pulang dari Makkah dan tidak melakukan perubahan apa-apa buat agamamu, buat perbaikan
masyarakat di sini, dan cuma tunduk sama jabatan dari Ngarsa Dalem, apakah itu tidak bodoh namanya?”
“Oh, begitu maksud Pakde. Aku pikir bodoh dalam mengajarkan pelajaran bagi santri-santrinya.”
“Oh tidak, bukan soal itu. Kalau masalahnya hanya soal pengajaran, banyak kiai Kauman yang hebat-hebat tapi tidak memberikan perubahan sedikit pun bagi peningkatan hidup umat, apa gunanya?”
Aku lihat Mas Darwis tertunduk. Mungkin ucapan Bapak kurang enak juga baginya karena di keluarga besarnya sendiri banyak kiai. Tapi mungkin juga yang sedang dipikirkannya masalah lain, aku tidak tahu. Ibuku kembali ke ruang depan.
“Bagaimana pendapat ibumu soal keberangkatanmu ke Makkah?” Suara Ibu terdengar lagi.
“Awalnya Ibu agak keberatan, Bude. Menurutnya saya masih terlalu muda untuk hidup sendirian di tanah yang jauh. Kalau hanya beda tempat di Pulau Jawa mungkin beliau masih bisa tenang karena saya masih terbiasa dengan masyarakatnya. Tapi sekarang sudah setuju, mungkin karena beliau menyadari bahwa yang aku lakukan adalah untuk menuntut ilmu agama.”
“Jadi, apa yang bude dan pakdemu bisa bantu?”
“Mohon doa saja, Bude, agar Darwis berhasil menuntut ilmu selama di Makkah nanti.”
“Kalau doa itu pasti, Darwis, karena kami juga sudah menganggapmu sebagai anak sendiri,” sambung Bapak. “Kamu bukan hanya permata hati keluargamu, melainkan
kami juga, dan insya Allah seluruh warga Kauman ini sepulangnya kamu dari Makkah nanti.”
“Amin, Pakde.”
“Berapa lama kamu akan di sana, Wis?”
“Belum tahu, Bude. Mungkin beberapa tahun.”
Beberapa tahun? Jantungku langsung tercekat.
“Apa tidak sebaiknya kamu nikah dulu sebelum berangkat, Wis?”
Entah mengapa pertanyaan Ibu untuk Mas Darwis itu seperti ditujukan langsung kepadaku sendiri yang membuatku terenyak. Aku ingin sekali mendengarkan jawaban Mas Darwis, tapi khawatir jika jawabannya nanti bukanlah sesuatu yang ingin kudengar. Kuputuskan untuk kembali menjauh, menenangkan suasana hatiku yang tiba-tiba bergolak. Aku picingkan mata dan mencoba berdoa, entah doa apa yang terucap. Aku tiba-tiba merasa di sebuah kondisi yang asing, dan terpisah dari rumah tempatku berada sekarang.
SEJAK umurku tujuh tahun, memang sudah cukup banyak keluarga kawan Bapak dan Ibu yang menyatakan tertarik untuk meminangku bagi anak lelaki mereka.
Misalnya, kejadian pada suatu sore ketika para kuli yang bekerja pada Bapak sedang sibuk mengangkut beberapa kain batik pesanan. Suasana sibuk sekali di depan. Di ruang tamu, Bapak sedang berbicara dengan seorang pembeli ketika aku masuk membawakan minuman.
“Duh, gadis pintar. Berapa umurmu, N duk?”
Gendhuk adalah panggilan sayang bagi anak perempuan di Jawa. Aku belum menjawab ketika bapakku yang buka suara. “Baru tujuh tahun, Kangmas,” jawab Bapak. “Masih kecil.”
“Masih tujuh tahun tapi wis pinter. Mbok ya nanti besanan sama saya saja, Dimas,” katanya kepada Bapak.
“Insya Allah, Kangmas. Jika Allah menghendaki, apa pun bisa terjadi. Sebaliknya meski kita sudah membuat rencana, jika Allah belum menghendaki, semua tak akan terwujud.”
“Benar sekali, Dimas,” ujar si tamu. “Terima kasih, ya, N duk.”
“Terima kasih Idah,” Bapak memberi isyarat agar aku kembali ke dalam.
Kejadian seperti itu bukan baru satu-dua kali kualami. Belum lagi jika aku berjalan dengan ibuku, dan bertemu dengan kawan-kawan Ibu yang juga memiliki anak lelaki. Menurut para ibu itu, aku memiliki wajah yang manis, berseri-seri, menyenangkan jika dilihat, sopan, dan, yang paling begitu mereka yakini, sangat cocok bagi putra mereka.
“Rasanya tidak ada anak lelaki lain yang cocok buat menantu Nyai Fadlil selain anak saya Sulaiman,” ujar seorang ibu setelah memujiku di sebuah kesempatan. “Kalau niat ini kesampaian, bukan saja Kholil yang akan bahagia mendapatkan istri yang saleh dan cantik seperti Walidah, tapi kami juga akan bahagia mendapatkan
1 ftA
besan keluarga yang alim dan terhormat seperti Nyai dan Kiai Fadlil.”
“Terima kasih, Nyai.” Biasanya akan seperti itu ibuku menjawab. “Tentu saja akan menjadi kebahagiaan keluarga kami juga jika niat mulia itu bisa terbuhul dalam sebuah perkawinan. Tapi saat ini Walidah masih kecil, masih banyak yang perlu dia pelajari supaya siap menjadi seorang istri.”
“Memangnya berapa umur Walidah?”
“Baru tujuh tahun, Nyai.”
“Subhanallah, tapi kelihatannya lebih dewasa dari umurnya, ya? Saya pikir tadinya sudah dua belas atau tiga belas tahun.”
“Itulah Nyai. Banyak juga ibu-ibu lain yang berpendapat seperti itu.”
“Tapi Nyai Fadlil mau janji, ya, untuk mendahulukan anak saya buat Walidah?” Ibu itu pantang menyerah rupanya. “Aduh, Nyai, bisa saja.” Ibuku tertawa kecil. “Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa karena hal seperti ini harus dibicarakan dengan Kiai Fadlil. Nanti kalau saya janjikan ternyata tidak bisa terlaksana, saya termasuk orang munafik.”
“Iya, Nyai. Kalau begitu nanti saya minta bapaknya Sulaiman untuk bicara dengan Kiai Fadlil.”
“Silakan saja datang ke rumah, Nyai.”
Begitulah. Aku tak tahu bagaimana para orangtua bisa melihat bahwa aku lebih dewasa dari umurku yang sebenarnya. Yang aku tahu, meski orangtuaku hidup berkecukupan di Kauman—jujur saja tak banyak keluarga lain yang bisa menandingi, apalagi melebihi, keadaan keluarga kami—tapi aku tak dimanjakan berlebihan oleh bapak-ibuku.
Selain mendapatkan pelajaran agama seperti yang didapatkan anak perempuan lain, misalnya dengan belajar mengaji kepada Kiai Penghulu Kamaludiningrat, aku juga mendapatkan tambahan pelajaran agama dari bapakku yang juga seorang kiai. Beliau adalah orang yang tegas, selalu mengajarkan agar aku mandiri dalam banyak hal.
Belum lagi Bapak juga mulai memperkenalkanku dengan dunia kain batik, sedangkan Ibu sering mengajakku memasak dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lain yang biasa dilakukan perempuan. “Semakin lancar dan terbiasa kamu mengerjakan ini semua, akan semakin mudah hidupmu kelak, Idah/’ ujar ibuku setiap kutanya alasan mengapa aku harus mengerjakan ini-itu.
Tetapi semakin bertambah usiaku, semakin aku mengerti bahwa orangtuaku bukan sekadar menyiapkan diriku agar siap menjadi seorang istri seperti perempuan kebanyakan. Ada alasan khusus yang sudah mereka ketahui sejak lama, tapi baru hari ini aku ketahui dengan jelas. Seterang-terangnya.
“Bapak sudah lama mau membicarakan ini denganmu, Idah.”
Aku tak bereaksi karena menduga-duga arah pembicaraan Bapak ini. Sebetulnya tidak juga menduga-duga karena umurku yang kini sudah lebih dari 11 tahun, membuatku menebak bahwa yang akan dibicarakan Bapak adalah menyangkut perkawinan. Perkawinan-Zcu. “Aku dan ibumu sudah sejak lama memikirkan hal ini, dan kami juga sudah membahasnya beberapa kali,” kata Bapak.
Terus terang, aku tidak berani mendengarkan apa yang akan dibicarakan Bapak. Lebih tepatnya lagi, tidak berani mendengarkan jika yang Bapak bicarakan tidak seperti yang aku inginkan. Apa yang bisa aku lakukan nanti jika keinginan Bapak berbeda dengan apa yang aku harapkan?
“Idah, Bapak dan Ibumu sudah berkeyakinan…”
Ya Allah, bantulah aku.
“… bahwa lelaki yang pantas menjadi suamimu…”
Ya Allah, ya Allah, ya Allah …
“… adalah Muhammad Darwis, putra Kiai Haji Abu Bakar.”
“Mas Darwis, Idah,” suara Ibu meyakinkanku.
Alhamdulillah ya Allah. Tapi tetap kutundukkan pandanganku, tak menunjukkan kegembiraanku di depan Bapak dan Ibu.
“Bapak dan Ibu sudah perhatikan selama ini, Darwis adalah calon suami yang sangat tepat untukmu. Pengetahuan agamanya bagus, bahasa Arabnya lancar, pintar,
perilakunya juga alim tidak seperti orang-orang didikan Belanda yang pintar tapi melupakan agama, dan yang tak kalah penting, keluarganya juga sangat alim dan dihormati masyarakat. Bapak yakin dunia akhirat bahwa Darwis akan bisa membawa kehidupan keluarga kalian nanti menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, dia akan menjadi imam yang baik bagimu, pelindung yang bertanggung jawab, dan membimbingmu sebagai muslimah yang akan lebih salihah dalam menjalani hidup/’
Aku tetap menundukkan kepala meski hatiku rasanya riang bukan kepalang. Setitik air mata bahagia keluar dan mengalir turun ke pipiku. Rupanya Bapak melihat ini, tetapi salah mengartikannya sebagai keberatanku.
“Bapak ndak maksa kamu Idah. Bapak hanya mengarahkan,” ujar Bapak. “Bapak dan Ibu wajib mengarah-kanmu agar bisa mendapatkan suami yang bertanggung jawab, alim, amanah, karena ini merupakan tanggung jawab yang harus Bapak lakukan di hadapan Alla Azza wa Jalla nanti di Hari Kiamat.”
Aku menghapus aliran mata itu. Ibu mendekap bahuku dengan kasih sayang.
“Ibu yakin bahwa kamu sebenarnya tidak keberatan, kan, Idah?”
Aku menggelengkan kepala, tak bisa mengeluarkan kata-kata. Separuhnya karena perasaanku sudah terlarut dalam kebahagiaan yang sulit kuungkapkan, separuhnya lagi karena malu untuk menyatakan itu di depan
orangtuaku. Sebab bagaimanapun aku masih merasa terlalu kecil untuk membicarakan persoalan seperti ini.
“Coba tunjukkan bahwa kamu tidak keberatan dengan pilihan Bapak Ibu, Idah?” Bapak rupanya masih membutuhkan kepastian lagi dariku.
“Walidah setuju saja dengan pilihan Bapak Ibu. Kalau menurut Bapak, Mas Darwis yang terbaik, itu pasti sudah Bapak pikirkan betul-betul.”
“Alhamdulillah. Kalau begitu, Bapak tinggal membicarakan hal ini dengan Kiai Abu Bakar supaya semua persiapan pernikahan bisa berjalan lancar. Semoga Allah ridha dengan pilihan ini, Idah.”
Kali ini, air mataku tercurah tanpa bisa kutahan lagi sehingga Ibu memelukku dan mengecup dahiku berulang kali.
“Tapi seperti kamu tahu, Mas Darwis akan menunaikan ibadah haji dulu sambil belajar di Makkah. Mungkin bisa beberapa tahun. Jadi, yang jelas pernikahan ini tidak dalam waktu dekat. Tapi ini juga akan lebih baik bagi kamu untuk mempersiapkan diri lebih matang lagi sebelum menikah,” ujar Bapak.
Ibu memelukku dan menciumi rambutku.
HARI-HARI yang kulalui sejak pemberitahuan Bapak tentang niat pernikahan itu kurasakan sangat panjang dan menimbulkan penderitaan tersendiri. Selama beberapa hari kemudian, Bapak masih belum mengatakan apakah sudah mencapai kesepakatan dengan Kiai Abu Bakar atau belum. Kesibukan Bapak sebagai pedagang batik juga sedang menjadi-jadi sehingga aku tak menanyakan soal itu. Tetapi yang menjadi soal adalah sebenarnya aku sangat malu untuk bertanya langsung mengenai rencana pernikahan ini.
Namun, naluri Ibu yang sangat tahu apa yang sedang bergolak di dalam hatiku, selalu membuatnya menenangkanku, terutama menjelang tidur malam. Beliau selalu datang ke kamar tidurku, menyabarkanku untuk menyambut hal besar yang akan segera terjadi.
“Ibu tahu bahwa kamu sudah sejak lama senang pada Mas Darwis, dan alhamdulillah bapakmu juga melihat dia sebagai suami yang cocok buatmu. Jadi kamu bisa lebih tenang sekarang Idah, tidak perlu sampai terlihat tegang dan senewen.”
“Aku sabar, kok, Bu,” ujarku berkilah.
“Sudahlah. Ibu juga pernah seumuran kamu. Ketika Ibu sudah direncanakan akan menikah dengan bapakmu, Ibu juga mengalami hal ini.”
Sekali lagi aku tersipu malu karena Ibu benar-benar bisa membaca setiap pikiran yang melintas di pikiranku. “Apakah menurut Ibu aku bisa menjadi istri yang baik, yang salihah seperti Ibu?”
“Insya Allah.”
“Aku takut, Bu.”
“Perasaan itu juga pernah Ibu alami menjelang pernikahan Ibu dulu. Tapi setelah dijalani, semuanya tidak sesulit yang Ibu bayangkan.”
“Mungkin karena Bapak bisa ngemong, ya, Bu.”
“Iya, betul itu. Bapakmu memang bisa ngemong, Ibu. Tapi Ibu yakin Mas Darwis juga bisa melakukan hal yang sama buatmu.”
Akhirnya pada satu hari, kulihat Bapak sangat berseri-seri. Dari kejauhan sudah terlihat senyumnya yang tak putus-putus. Ibu langsung memelukku dengan kehangatan yang tak terkira.
“Doa kita sudah dijawab Allah, Walidah. Keluarga Kiai Abu Bakar setuju untuk menikahkan Darwis denganmu,” ujar Bapak. Aku menangis bahagia dalam pelukan Ibu.
“Terima kasih, Bapak.” Aku mencium tangan Bapak dan Ibu. “Semoga Walidah nanti tidak mengecewakan harapan Bapak Ibu.”
“Insya Allah tidak. Bapak sangat percaya padamu.”
SELURUH keluarga besarku sedang berkumpul untuk membicarakan rencana keberangkatanku ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama. Selain Bapak dan Ibu, ada juga para mbakyuku dan suami mereka, Mas Noor, Mas Muhsin, dan Mas Saleh yang juga guru agamaku di berbagai bidang ilmu. Ada juga adik-adik perempuanku.
“Bagaimana persiapanmu, Darwis?” tanya Bapak. “Sudah siap semua?”
“Alhamdulillah, Pak. “Insya Allah semuanya sudah siap.”
“Makkah itu pusatnya ilmu Islam. Banyak pelajar Mesir, Turki, Syiria, yang berkumpul di sana. Kamu harus manfaatkan sebaik-baiknya, Wis,” ujar Mas Saleh.
“Iya, Mas/’
“Dan imam besar Masjidil Haram itu juga orang kita Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Kamu harus benar-benar menimba ilmu dari beliau. Sangat sedikit orang Melayu yang bisa menjadi imam besar di sana/’ tambah Mas Muhsin. “Ilmunya sangat luas. Ada yang bilang beliau radikal, tapi menurut Mas itu karena beliau sangat tegas terhadap prinsip.”
“Insya Allah, Mas.”
“Kiai Noor ada nasihat buat Darwis?” tanya Bapak kepada Mas Noor yang dari tadi hanya mendengarkan pembicaraan kami. Ini memang salah satu kebiasaan Bapak dalam memanggil para menantunya. Meskipun bisa saja memanggil nama mereka langsung, Bapak lebih sering memanggil mereka dengan sebutan kiai sebagai penghormatan untuk mereka.
“Nasihat saya buat Darwis cuma satu saja, Kiai,” jawab Mas Noor. Dia lalu menatapku. “Karena jiwa mudanya yang masih berkobar, Darwis harus agak menahan diri dalam menanyakan sesuatu, apalagi jika di depan publik. Apalagi di Makkah yang saya dengar belakangan ini cukup banyak anak muda agresif yang sangat bersemangat untuk menghancurkan tradisi umat Islam di berbagai tempat.”
Aku mencoba merenungkan kata-kata Mas Noor, yang tampaknya merujuk pada kejadian saat aku mempertanyakan soal Nyadran dan Ruwahan di depan Kiai
Kamaludiningrat. “Memangnya kalau mempertanyakan tradisi itu salah, ya, Mas Noor?”
“Bergantung caramu bertanya, Wis. Mungkin kalau ditanyakan langsung kepada Kiai tertentu dan hanya kalian berdua, tidak ada masalah. Tapi kalau ditanyakan di depan umum, dan kamu terlalu semangat, kesannya bisa berbeda.”
“Berbeda bagaimana, Mas?”
“Bagi pendengar lainnya bisa seperti menggugat kiai yang kamu tanya.”
“Masya Allah, niat saya bukan seperti itu waktu menyarankan Kiai Kamaludiningrat. Bukan kiainya yang saya pertanyakan, tapi tradisi yang biasa dilakukan itu, Mas Noor.”
“Betul, Mas mengerti. Tapi coba saja tanyakan pada Kiai Abu Bakar?” katanya seraya menoleh ke arah Bapak yang langsung mengangguk. “Betul apa yang dikatakan Kiai Noor, Wis,” kata Bapak.
“Sekarang itu sedang terlihat adanya semangat yang disebut-sebut sebagai pembaruan Islam oleh para syaikh di Arab dan sekitarnya. Menurut Mas Noor, hal ini bagus jika diterapkan terhadap bangsa Barat yang menjadi penjajah di negeri-negeri Muslim. Tapi kalau semangat pembaruan itu mau diterapkan ke masyarakat Muslim sendiri dengan mempertanyakan tradisi mereka, sebaiknya dengan sangat bijaksana dan hati-hati. Kalau tidak, yang akan terjadi adalah perpecahan kaum Muslim
endiri yang akan membuat kaum kafir tambah senang,” tambah Mas Noor. “Itu saja maksud Kangmas.”
“Baik, Mas. Terima kasih atas nasihatnya.”
“Bahasa Arabmu bagaimana?” tanya Bapak. Mas Saleh yang menjawab dalam bahasa Arab sambil menatapku, yang artinya Tunjukkan ke Bapak/
Aku mengangguk dan menjawab dalam bahasa Arab yang maknanya, ‘Saya tidak akan mengecewakan Bapak dan Ibu. Terima kasih buat semuanya. Mudah-mudahan Allah memudahkan langkah saya dan hanya mendekatkan saya kepada ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dan…’
“Cukup, Wis, alhamdulillah.” Bapak terlihat gembira. Begitu juga Ibu dan kakak-kakak iparku yang lain, mereka menghela napas lega. “Bapak sudah kontak kawan-kawan di Makkah dan Jeddah. Insya Allah mereka bersedia membantu,” katanya sambil mengeluarkan surat kawan-kawannya itu.
“Terima kasih, Pak.”
“Meski begitu, selalu ingat bahwa haji adalah perjalanan berat yang harus dijalani dengan tabah dan sabar,” lanjut Bapak. “Di Singapura sana kamu akan disambut oleh Kiai Fahal dari Kampung Jawa. Kamu akan bermalam di tempat beliau, sebelum melanjutkan perjalanan dari Tanjung Pager ke Pelabuhan Jeddah. Di sana kamu akan disambut petugas pemerintah Hejaz, seseorang yang dikenal sangat baik oleh Kiai Fahal. Setelah itu barulah kamu melanjutkan perjalanan ke
Makkah dan tinggal di rumah wakaf Mataram milik Ngarso Dalem. Banyak yang menempati rumah itu untuk tinggal sementara waktu dan berhaji. Bapak sudah mendapatkan surat persetujuan dari Ngarso Dalem.”
Bapak lalu mengeluarkan surat dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang isinya mengizinkan aku menempati rumah wakaf itu selama menuntut ilmu di Tanah Suci.
AKHIRNYA hari keberangkatan pun tiba. Aku naik kereta kuda milik Pakde Fadlil bersama Bapak dan Ibu. Rombongan lain berbaris di belakang, berjalan kaki. Kami berangkat pukul tujuh pagi. Menjelang keluar dari Kampung Kauman, warga melambaikan tangan kepadaku hampir di depan setiap rumah. Beberapa yang posisinya cukup dekat mencoba menyalamiku, yang aku balas dengan rasa terima kasih. Aku terharu dengan tindakan mereka yang aku anggap sebagai dukungan ini.
“Wis, Darwis. Sebentar. Berhenti sebentar.” Sebuah suara keras membuatku mencari sumber suara. Pono terlihat berlari mendekati.
“Maaf aku tak bisa mengantarmu ke stasiun.”
“Tidak apa-apa, No.”
“Semoga selamat dalam perjalanan. Aku doakan agar hajimu mabrur.”
“Amin, terima kasih Pono. Salam buat ibumu.”
“Nanti aku sampaikan, Wis. Nanti kalau kamu ada waktu luang, sesekali kirim kabar.”
“Insya Allah.”
“Doakan agar aku juga bisa cepat pergi haji, Wis.”
“Amin ya rabbal ‘alamin.” Kupeluk Pono, yang balas memelukku dengan kuat. Mata kami basah bersimbah air mata. Dalam sekilatan waktu yang pendek itu aku teringat peristiwa beberapa tahun lalu saat aku datang ke tahlilan ayah Pono, sebuah peristiwa yang menjadi awal dari ketertarikanku untuk belajar lebih mendalam tentang agama Islam.
“Nanti kudoakan kau di Masjidil Haram, di Multazam, di banyak tempat yang baik lainnya di Tanah Suci, No.”
Pono merangkulku lebih erat. Rombongan kami berangkat.
Kereta api yang akan mengantarku ke Semarang sudah berada di Stasiun Tugu ketika aku sampai. Suasana di stasiun ramai sekali. Beberapa warga Kauman kulihat juga ada di stasiun, ikut melepasku seperti Kiai Abdul Hamid Lempuyang Wangi dan keluarga pakdeku, Kiai Fadlil. Kulihat juga ada Walidah.
“Gerbongmu di sebelah sana, Wis,” ujar Mas Saleh.
“Ayo cepat naik, nanti ketinggalan,” sambung Bapak.
Aku berpamitan sekali lagi pada Ibu dan Bapak. Aku segera naik ke gerbongku sesuai dengan karcis yang kupegang. Jam menunjukkan pukul 09.30. Banyak sekali orang Belanda di kereta ini. Tempat duduk mereka di
gerbong tersendiri, khusus bagi orang-orang Belanda dan kulit putih lainnya. Gerbong kelas 1.
Kaum pribumi maksimal hanya bisa duduk di gerbong kelas 2, itu pun seperti para haji yang selalu mengenakan pakaian khusus yang berbeda dengan rakyat kebanyakan. Pemerintah Hindia-Belanda memisahkan tempat duduk para haji dengan masyarakat kebanyakan, termasuk aku, yang hanya diperbolehkan duduk di gerbong kelas 3. Setelah mencari beberapa saat akhirnya aku menemukan tempat dudukku. Kurapikan barang bawaan, sebelum kembali menuju jendela, mencari keluargaku. Mereka dengan cepat berkumpul di depan jendela tempatku berdiri dan melambaikan tangan.
Aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya, perasaan antara senang karena akan berangkat ke Tanah Suci, sekaligus sedih karena harus meninggalkan keluarga. Kulihat Walidah, rupanya dia juga sedang melihat ke arahku. Aku lambaikan tangan yang dia balas dengan cepat.
Tanah Suci adalah wilayah yang jauh, di seberang lautan. Sebentar lagi aku akan meninggalkan semua yang kukenal dengan baik sejak kecil di tanah ini: airnya, udaranya, orang-orangnya, pohon-pohonnya, kayu jati penopang Masjid Gedhe Kauman, serambi masjid tempatku berdiskusi, kali kecil yang membelah Kauman tempatku berenang dan dijadikan lokasi padusan oleh masyarakat, kicau burung prenjak, bulir-bulir padi yang menguning di persawahan, suasana Jalan Malioboro,
pohon-pohon sawo kecik yang meneduhi halaman Keraton, ladang-ladang tebu, para kiai dengan kulit dan kaki-kaki yang rekah karena sibuk berdakwah…
Terdengar peluit kereta yang kencang disambung dengan mesin kereta yang mulai dinyalakan. Aku rasakan pipiku kini basah, tak bisa kutahan. Peluit kereta terdengar makin keras, lalu bunyi peluit kecil dari penjaga stasiun yang menyatakan kereta sudah boleh berangkat. Aku melihat ke arah wajah Walidah yang terlihat mengecil, lalu ibuku, bapakku … kereta mulai bergerak, wajah-wajah yang kucintai mulai menjauh, meski kehangatan cinta mereka terus kubawa di dalam hati. Kereta bergerak meninggalkan Stasiun Ngabean.
Selamat tinggal Ngayogyakarta Hadiningrat.
JALUR kereta api Yogyakarta-Semarang melalui Solo yang sedang aku jalani ini baru beroperasi 13 tahun karena dibangun pada 1870. Artinya umur rel ini hanya dua tahun lebih muda dari umurku. Jalur ini tadinya dikelola perusahaan swasta Belanda, N.V. Nederlandsch Indische Spoorweg Mij (NISM), perusahaan yang juga membangun jalur kereta api pertama di Pulau Jawa, yakni jalur Samarang menuju Tangoeng, sepanjang sekitar 25 kilometer pada 1864. Samarang adalah nama resmi yang diberikan pemerintah Hindia-Belanda sebelum tahun 1880-an. Tapi beberapa tahun terakhir ini, kota itu mulai sering disebut Semarang. Stasiun-stasiun yang berada
di antara Samarang-Tangoeng adalah Samarang, Allas-Toewa, Broemboeng, dan Tangoeng.
NISMberoperasi lebih awal dibandingkan perusahaan kereta api negara Staats Spoorwegen (SS) yang didirikan pemerintah Hindia-Belanda pada 1869. Hebatnya, saat ini perusahaan kereta api swasta yang beroperasi di Jawa saja ada sedikitnya 10 perusahaan. Yang aku ingat saja selain NISM dan SS, ada Semarang Cheribon Spoorweg Mij, Modjokerto Stroomtram Mij, Malang Stroomtram Mij, Paasuruan Stroomstram Mij, Probolonggo Stroomtram Mij, dan Madoera Stroomtram Mij. Satu perusahaan lagi kudengar beroperasi di daerah perkebunan tembakau Deli, Sumatra, bernama Deli Spoorweg Mij.
Begitu banyaknya perusahaan swasta Hindia-Belanda berebut wilayah operasi di Pulau Jawa membuatku yakin tanah ini pastilah tidak semiskin orang-orang Jawa yang sering terlihat di jalan-jalan dan menjadi bahan ejekan orang-orang Hindia-Belanda. Sebab kalau tanah Jawa ini tidak kaya raya, bagaimana mungkin perusahaan-perusahaan swasta dari seberang lautan itu begitu bersemangat untuk membangun jalur baru hampir setiap tahun?
Apa yang menyebabkan mereka begitu bersemangat? Apakah karena ingin melihat tanah Jawa, termasuk orang-orangnya, menjadi maju? Atau karena kebodohan orang-orang Jawa yang begitu saja membiarkan bangsa asing masuk dan mengeruk seluruh kekayaan, sehingga masyarakat Jawa sendiri tetap melarat semiskin-miskinnya?
Semakin lama aku memikirkan hal ini, semakin tidak yakin aku pada penjelasan pertama. Rasanya tidak mungkin pemerintah Hindia-Belanda menginginkan orang-orang Jawa ini maju, apalagi setara dengan mereka, jika untuk tempat duduk di dalam kereta api yang membawa ke tempat yang sama saja harus ada pembedaan gerbong.
Tetapi aku juga tidak terlalu yakin bahwa orang-orang Jawa adalah orang-orang bodoh, dalam arti tidak bisa melihat ketidakadilan terjadi di depan mereka dan seluruh kekayaan tanah ini diambil begitu saja oleh pemerintah Hindia-Belanda. Sikap terlalu mudah menerima, nrimo, terhadap apa yang sedang terjadi dan sering dianggap sebagai takdir itu adalah salah satu yang menurutku membuat penindasan ini berlangsung berlarut-larut.
Sama halnya dalam bidang agama, sikap nrimo orang Jawa ini membuat hampir tidak adanya keinginan masyarakat untuk mengetahui lebih jauh tentang praktik-praktik keagamaan yang selama ini mereka lakukan: apakah hal itu betul-betul yang dipraktikkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. atau hanya tradisi masyarakat Jawa yang sebetulnya tidak dipraktikkan oleh umat Islam di tempat lain di luar Jawa?
Karena itu, kendati lima tahun sebelum keberangkatanku ini seluruh pengelolaan jalur kereta api dilimpah-
kan pemerintah Hindia-Belanda kepada Departemen van Bow atau Pekerjaan Umum, tetap saja hal itu sekadar langkah politik bukan sebuah tindakan ekonomi, karena tak satu pun dari perusahaan swasta itu yang sebenarnya merugi, apalagi bangkrut.
Pikiran tentang dunia perkeretaapian di Pulau Jawa ini tanpa sadar menemaniku memasuki stasiun Semarang di daerah Tambaksari, yang merupakan stasiun kereta api pertama di Hindia-Belanda. Kereta berhenti dengan derit rem yang kuat. Perjalanan awal sekitar enam jam menempuh jarak Jogja-Semarang pun usai. Waktu menunjukkan sekitar pukul empat sore.
Salah seorang santri Kiai Sholeh Darat, kawan Bapak yang juga salah seorang guruku, sudah menungguku ketika aku keluar dari gerbong. Kendati umurnya lebih tua, Dirman adalah adik kelasku ketika aku nyantri kepada Kiai Sholeh Darat tahun lalu, sehingga dia memanggilku dengan mas.
“Bagaimana perjalanan Mas Darwis?” tanya santri
itu.
“Lancar,” jawabku. “Apa kabar, Mas Dirman?”
“Baik, Mas, kata Mbah Sholeh, Mas mau ke Makkah?”
“Insya Allah.”
“Tapi kapal baru berangkat besok dari Pelabuhan Tanjung Emas. Malam ini Mas beristirahat dulu di pesantren.”
“Iya, dong. Masak aku nunggu semalaman di pelabuhan?” ujarku sambil tersenyum. Dirman ikut tertawa.
“Ndak, maksudku siapa tahu mau tidur di tempat lain soalnya, kan, kawan-kawan bapak Mas Darwis juga banyak di Semarang ini.”
SUNGGUH sebuah kehormatan besar bagiku untuk mengenal dan belajar ilmu agama dari Kiai Sholeh Darat salah seorang wali Allah terkemuka ini. Saat bertemu lagi dengan kiai sekarang, usianya kuduga sudah lebih dari enam puluh tahun. Beliau lebih tua dibandingkan bapakku. Tubuhnya mulai ringkih, tapi sorot matanya masih tajam seperti saat aku belajar padanya beberapa tahun silam. Wajahnya memancarkan cahaya orang-orang alim.
“Selain Mbah Sholeh Darat, tak banyak ulama yang berkualitas wali Allah di Pulau Jawa ini, Darwis,” kata Bapak suatu ketika. “Dari yang sedikit itu antara lain Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Mbah Kholil Bangkalan. Karena itu, kau harus benar-benar menggali ilmu Kiai Sholeh sebanyak mungkin. Wali Allah berbeda dengan ulama kebanyakan karena para wali itu memiliki karamah, kemampuan luar biasa yang sulit dilakukan manusia kebanyakan. Salah satu karamah Mbah Sholeh yang banyak dibicarakan orang adalah kemampuannya mengubah sebongkah batu menjadi emas.”
“Wah, bagaimana ceritanya, Pak?”
“Mungkin karena pemerintah Hindia-Belanda menganggapnya berbahaya mengajarkan keadilan dan
perjuangan menegakkan kebenaran, serta pamornya yang tinggi di mata masyarakat, tentara Belanda mencoba menyogok agar Mbah Sholeh berhenti mengajar,” ungkap Bapak. “Yang tak disangka-sangka oleh rombongan yang ingin menyogok itu adalah Mbah Sholeh mengubah sebongkah batu menjadi emas di depan mata mereka yang menunjukkan pesan bahwa kalau Mbah mau, dia bisa mendapatkan harta lebih banyak dari yang ditawarkan tentara Belanda itu.”
Bapak lalu bercerita bahwa Mbah Sholeh yang lahir di Jepara memiliki nama lengkap Muhammad Shalih ibn Umar As-Samarani. Ayahnya, Kiai Haji Umar, adalah salah seorang ulama yang ikut berjuang di medan pertempuran bersama Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa yang terjadi pada 1825-1830. “Selain Bapak, guru-guru saya adalah ulama-ulama hebat Pulau Jawa seperti Kiai Haji Syahid di Waturoyo, Pati, Kiai Haji Ishaq Damaran, Kiai Haji Abdul Ghani Bima, dan Kiai Haji Ahmad Bafaqih Ba’alawi,” ujar Bapak mengulangi perkataan Mbah Soleh yang pernah didengarnya.
Setelah beranjak remaja, Kiai Sholeh Darat diajak ayahnya merantau ke Singapura. Dari kota ini keduanya lalu menunaikan ibadah haji. “Garis hidup Kiai Sholeh Darat berubah tajam di Tanah Suci setelah ayahnya meninggal dunia. Alih-alih pulang dengan jamaah haji lainnya yang datang dari Pulau Jawa, Kiai Sholeh Darat memutuskan untuk memperdalam ilmu agamanya di Tanah Suci dengan belajar kepada para ulama-ulama kondang saat itu seperti Syaikh Muhammad Al-Muqri Syaikh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah Al-Makki dan Sayyid Muhammad Salen ibn Sayyid Abdur Rahman Az-Zawawi,” kata Bapak.
Hasil pendidikan dari para ulama itu membuat Mbah Sholeh mendapatkan ijazah yang membolehkannya mengajar di Makkah, tempat mayoritas muridnya berasal dari kawasan Melayu Hindia-Belanda. Saat itu aku ingat pernah bertanya mengapa kendati sudah mengajar di Makkah, mayoritas murid masih orang Melayu? Penjelasan itu justru kudapatkan dari kakak iparku, Mas Saleh, yang juga pernah belajar di Makkah. “Saat itu bahasa Melayu merupakan bahasa nomor dua terbanyak digunakan setelah bahasa Arab,” ujarnya.
Setelah beberapa tahun mengajar di Tanah Suci, Kiai Sholeh Darat memutuskan untuk kembali ke Tanah Air dan mendirikan pesantren di wilayah Darat, Semarang, tempat yang kemudian menjadi bagian dari namanya sekarang.
Belakangan, salah seorang murid lain Kiai Sholeh Darat adalah kawanku Hasyim Asy’ari. Aku dan Hasyim kembali berguru pada ulama yang sama, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, saat kami menuntut ilmu di Tanah Suci. Tapi ini adalah cerita tersendiri.3
Kembali ke Kiai Sholeh Darat, beliau juga seorang penulis produktif. Selain menulis kitab Faid Ar-Rahman, Kiai menulis sejumlah karya lain seperti Majmu’ah Asy-Syariah Al-Kafiyah li Al-’Awam (membahas ilmu-ilmu syariat untuk orang awam); Munjiyat (tentang tasawuf, yang merupakan petikan-petikan penting dari Ihya’ ‘Ulum Ad-Din karya Imam Al-Ghazali); dan Al-Hikam (juga tentang tasawuf yang merupakan nukilan dari kitab Al-Hikam karangan Syaikh Ibnu ‘Athaillah Al-Askandari).
Aku sudah membaca hampir semua kitab karangan Kiai Sholeh Darat karena Bapak memilikinya, sehingga sejak kecil aku sudah terbiasa melihat kitab-kitab itu tersusun rapi di rak kitab. Dengan demikian, menghabiskan waktu satu malam bertemu dengan orang sealim Mbah Sholeh sebelum menempuh perjalanan panjang benar-benar sebuah persiapan cermat yang dilakukan Bapak.
“Assalamualaikum,” ujar Kiai Sholeh Darat membuyarkan lamunanku. “Wa’alaikumsalam warah-matullahi wa barakatuh, Kiai/’ jawabku dengan sangat gembira melihat kiai karismatik ini sudah berada di depanku. Segera kuambil tangannya dan kucium.
“Bagaimana kabar bapakmu Kiai Abu Bakar, Darwis?” tanyanya.
“Alhamdulillah baik, Kiai. Beliau kirim salam untuk Kiai,” jawabku masih tetap semangat. Mata Kiai Sholeh Darat tampak bercahaya. Aku menjadi semakin mantap
untuk melakukan perjalanan yang kuyakini akan sangat berpengaruh bagi kehidupanku kelak.4
PELABUHAN Tanjung Emas Semarang penuh sesak. Di sisi timur terlihat menara lampu setinggi 30 meter yang merupakan penanda masuk kawasan pelabuhan bagi
kapal. Menara lampu itu disebut mercusuar, kata yang belum lama kukenal. Tapi sebenarnya mercusuar itu sendiri baru beroperasi belum sampai 10 tahun. Dari menara yang berdiri kukuh itu terdapat empat buah lampu putih dengan kekuatan besar yang menyala setiap sekitar 20 detik, untuk memandu kapal-kapal laut keluar masuk pelabuhan terutama saat cuaca sedang buruk, hujan lebat, dan ombak mengamuk.
Nama kota Samarang ini syahdan berasal dari kata bahasa Arab “Samaranj”, yang dalam bahasa Jawa Tinggi disebut “Semawis” atau “Asem Arang” dalam ejaan Jawa Rendah. Menurut kabar-kabar yang kudengar, Laksamana Cheng Ho yang datang dari Daratan Cina beratus-ratus tahun sebelumnya sebetulnya adalah Laksamana Muslim pertama yang datang ke kota ini.
Menurut cerita kakak iparku Kiai Muhammad Saleh, ada perbedaan besar mengenai rute ke pelayaran dari Jawa ke Tanah Suci sebelum kelahiranku dan sesudah tahun kelahiranku pada tahun 1868.
Sebelum aku lahir, rute pelayaran dari Jawa harus melalui ujung selatan Benua Afrika yang sangat jauh. Namun sejak 1869, atau setahun setelah kelahiranku, ada jalan yang lebih pendek melalui Laut Merah berkat dibukanya Terusan Suez oleh pemerintah Mesir. Lewat jalur baru ini, perjalanan dari Jawa menuju Pelabuhan Jeddah menjadi lebih singkat dari jarak tempuh, dan menjadi lebih mudah dalam pelaksanaannya.
“Kamu tahu Wis, kalau sebelumnya jumlah jamaah haji kita rata-rata 1.500 orang per tahun, dengan adanya rute baru melalui Laut Merah sekarang jumlah jamaah haji menjadi tiga kali lipat, antara 4.500-5.000 orang per tahun,” ujar Mas Saleh. “Dan sebagian besar jamaah haji ini dari Jawa mampir dulu ke Singapura sebelum melanjutkan perjalanan ke Jeddah,” katanya.
Dari penjelasan kakak iparku itu, aku baru mengerti bahwa setidaknya ada dua alasan mengapa Singapura menjadi pilihan utama. Pertama, karena banyaknya jumlah kapal yang berangkat ke Jeddah, sehingga ongkos perjalanan pun menjadi lebih murah. Kedua, bagi jamaah haji yang berangkat dengan bekal uang pas-pasan, mereka bisa bekerja dulu di kota yang dibangun oleh Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles itu, sampai uang mereka mencukupi untuk melanjutkan perjalanan ke Tanah Suci. “Memang tidak semuanya berhasil berangkat ke Tanah Suci,” ujar Kiai Saleh, “Karena itulah muncul istilah Haji Singapura bagi calon haji yang sudah sampai di Singapura tapi gagal menunaikan ibadah haji.”
Sebutan “Haji Singapura” memang sudah cukup sering kudengar sebelumnya, meskipun aku tak pernah benar-benar mengetahui dengan jelas latar belakang munculnya sebutan itu sampai dijelaskan oleh Mas Saleh. Namun dari penjelasan lain yang kudengar dari Mas Noor, pengaruh Perang Aceh yang dimulai 10 tahun silam, menyebabkan pemerintah Hindia-Belanda memperketat persyaratan bagi mereka yang ingin menunaikan ibadah
haji sehingga banyak calon haji yang memilih Singapura sebagai tempat transit.5
Tapi anehnya, kendati sudah menunaikan seluruh rukun haji, tak semua orang yang kembali dari Tanah Suci bisa serta merta disebut haji. Ada peraturan pemerintah Hindia-Belanda, yang menurutku tak masuk akal, yang sengaja dibuat untuk mematikan semangat berhaji.6
Salah satu isi peraturan itu menyatakan bahwa sekembalinya dari Tanah Suci, seorang Muslim harus mengikuti ujian haji dan harus bisa membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah mengunjungi Makkah Al-Mukarramah. Ujian itu dilakukan bupati dan seorang kiai yang ditunjuk pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Bila dinyatakan lulus, peserta ujian berhak menyandang gelar haji dan mengenakan pakaian haji khusus yang disetujui pemerintah. Sebaliknya jika dinyatakan gagal dalam ujian tetapi nekat mengakui dirinya haji dan mengenakan pakaian haji di muka umum, orang itu akan didenda yang besarnya 25-100 gulden. Sebuah jumlah yang cukup besar.
“Itu kebijakan gila!” kecam kakakku Kiai Noor yang memang paling tajam lidahnya dibandingkan dua kakak iparku yang lain, Kiai Muhsin dan Kiai Saleh, pada sebuah kesempatan lain saat mengajarku.
Menurut Mas Noor, aturan penggunaan pakaian haji yang harus berizin ini, terutama untuk memudahkan identifikasi seseorang yang sedang bepergian. Jika haji itu hendak bepergian dengan kereta api, umpamanya, dia harus naik gerbong kelas dua dan tidak diperbolehkan menumpang gerbong kelas tiga yang diperuntukkan bagi rakyat, atau pindah ke kelas satu yang dikhususkan bagi bangsa Eropa. Jika ketahuan berpindah kelas, haji yang sudah sah itu pun harus membayar denda lagi. “Kenapa pemerintah Hindia-Belanda memperlakukan aturan seperti itu, Mas?” tanyaku.
“Itu akibat pandangan pemerintah Inggris yang pernah menjajah Jawa juga, Darwis,” jelas Mas Noor.
“Maksud, Mas?”
“Pendiri Kota Singapura itu, Gubernur Jenderal Raffles, menganggap Islam sebagai agama yang sangat berbahaya.”
“Mengapa dia berpendapat begitu?”
“Raffles bilang ada dua hal negatif dari para haji yang merugikan Eropa.”
“Dia bilang begitu di depan umum?”
“Dia bahkan menuliskannya dalam buku berjudul Sejarah Jawa karena Raffles adalah juga seorang penulis.”7
“Apa dua hal yang disebutnya negatif itu, Mas?”
“Raffles melihat para haji dianggap sebagai orang-orang istimewa dan suci oleh rakyat sehingga mereka
7Histor\j ofjava (1817).
dinilai pirnya kekuatan gaib. Dan kedua, para haji itu dilihat mempunyai pengaruh politik yang besar, karena apa yang mereka katakan akan didengar rakyat. Kombinasi dua hal itu membuat haji sering berperan sebagai pemimpin pemberontakan melawan penjajah.” “Apakah kejadiannya memang seperti itu?” “Mereka anggap bukti yang paling jelas adalah Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin pemberontakan, sehingga setelah Pangeran Diponegoro dikhianati Jenderal De Kock dan ditangkap, keinginan Pangeran untuk menjalankan ibadah haji ke Tanah Suci tak dikabulkan pemerintah Hindia-Belanda. Mereka takut memberikan izin karena khawatir Pangeran Diponegoro akan menggunakan kesempatan itu sekaligus untuk berguru pada ulama-ulama beken di Tanah Suci dan bertemu para intelektual muda Islam dari berbagai negara lain yang saat itu rajin menyerukan perlawanan terhadap penjajahan.”8
“Ah, kasihan sekali Pangeran Diponegoro tak bisa berhaji, ya, Mas.”
“Benar Darwis, karena itu jika Allah mengizinkanmu untuk menunaikan ibadah haji kelak, kau harus ingat bahwa kesempatan itu tak mudah didapatkan oleh orang kita, sehingga harus kau gunakan dengan sungguh-sungguh.”
“Nasihat Mas Noor akan selalu saya ingat,” jawabku.
TAHAP kedua perjalananku ke Tanah Suci berjalan lancar. Setelah mengangkat sauh dari Semarang, kapal dagang Cina yang aku tumpangi sampai di Singapura dua hari kemudian. Begitu turun dari tangga kapal laut dan menginjakkan kaki di darat, sebuah suara menyapaku. “Muhammad Darwis putra Kiai Abu Bakar di Jogja?” ujar seorang lelaki sambil menyorongkan tangannya.
“Betul,” jawabku sambil menerima salamnya. “Bapak Syaikh Abdul Kahar?”
“Iya, saya kawan bapakmu. Alhamdulillah bapakmu menuliskan ciri-ciri yang sangat jelas tentang kamu sehingga saya mudah mengenalimu.”
“Terima kasih Kiai sudah menjemput saya,” jawabku. “Saya sama sekali belum pernah ke kota ini sebelumnya/’ “Sebentar Darwis, kamu tunggu di sini saja. Saya harus menjemput beberapa orang lain, ya?” katanya ramah. Aku mengangguk. Tak lama kemudian, Syaikh Abdul Kahar sudah kembali dengan satu rombongan kecil, dan mengajak kami ke tempat tinggalnya di Kampung Jawa. Aku masih menunggu lima hari di tempat Syaikh Kahar sebelum jadwal keberangkatan kapal Mispil yang akan aku tumpangi.
Dari bandar Singapura, Mispil yang kutumpangi singgah sebentar di Pelabuhan Rabiah, yang terdapat di Pulau Weh yang berada di ujung barat Pulau Sumatra, sebelum memasuki kawasan laut internasional. Kecuali mabuk laut yang kualami beberapa kali karena ini merupakan perjalanan pertamaku dengan kapal laut, hampir tak ada masalah berarti dalam perjalanan besar yang serasa tak berkesudahan karena luasnya lautan yang seolah tak ada batasnya. Hari demi hari berlalu, dan akhirnya menembus satu pekan pelayaran, lalu menembus 10 hari, lalu 14 hari, dan selanjutnya sampai pada hari kelima belas …
“Jeddah, Jeddah. Subhanallah, itu Pelabuhan Jeddah!” teriakan penumpang lain sesayup kudengar. Nada gembira sangat terasa dalam suara mereka. Aku segera bergegas menuju arah sumber suara dan melebur dalam gelombang takbir penumpang yang sangat bersuka-cita. Akhirnya impianku tercapai, sebentar lagi aku akan menjadi tamu Allah langsung di rumah-Nya di Makkah Al-Mukarramah, mengunjungi Ka’bah yang dibangun Nabi Ibrahim a.s., bapak para Nabi. Tak terasa air mataku mengalir. Allahu Akbar!
Staf pemerintah Hejaz kawan Kiai Fahal sahabat Bapak menyambutku, dan mengarahkanku untuk perjalanan selanjutnya menuju Makkah lewat jalan darat sekitar 75 kilometer. Setibanya di kota itu, masing-masing syaikh yang bertanggung jawab atas kebutuhan para calon haji di Makkah segera bekerja dengan cepat, menangani berdasarkan kota asal jamaah. Aku dan para calon haji dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat disambut oleh tiga orang syaikh, yakni Syaikh Abdul Ghaniy, Syaikh Muhammad Shadiq, dan Syaikh Abdullah Zabani.
Dan seperti dijelaskan Bapak menjelang keberang-katan, rombongan kami lalu dibawa ke Gedung Wakaf Mataram milik Sri Sultan di Makkah. Gedung itu cukup besar dan rapi, dengan beberapa hiasan gedung yang mengingatkan pada Jogja sehingga kerinduan pada kampung halaman yang langsung muncul cukup tersalurkan. Seluruh calon haji kemudian ditunjukkan tempat tidur masing-masing. Aku mendapatkan tempat terbagus yang bisa diperoleh tamu, mungkin akibat status Bapak di Masjid Gedhe Kauman.
“Bagaimana dengan tempat ini Darwis, apakah kau menyukainya?” tanya Syaikh Abdul Ghaniy dalam bahasa Arab dengan nada ramah.
“Bagus sekali, Syaikh. Terima kasih,” jawabku sambil meletakkan koper.
“Alhamdulillah. Kalau begitu saya tinggal dulu,” katanya. “Kalau ada apa-apa hubungi saya atau Syaikh Zabani dan Syaikh Shadiq.”
“Baik, Syaikh. Untuk sementara ini belum ada lagi yang saya butuhkan,” jawabku.
GURU-GURUKU di sini sebagian adalah teman Bapak, dan sebagian lainnya para ulama dari berbagai negara. Biasanya guru-guru dari tanah Jawa tetap kupanggil kiai, sedangkan dari wilayah Nusantara lain, atau negara lain, umumnya dipanggil dengan sebutan Syaikh atau Sayyid.
Begitulah aku belajar ilmu hadis kepada Syaikh Khayat dan Kiai Mahfudz Termas, menantu Kiai Sholeh Darat yang saat itu sedang bermukim di Makkah. Ilmu qira’at, cara membaca Al-qur’an, kupelajari dari Syaikh Amien. Aku juga belajar obat-obatan, khususnya cara mengatasi racun binatang dari Syaikh Hasan. Selain itu aku juga bergaul cukup akrab dan menimba ilmu dari Kiai Najrowi asal Banyumas, Kiai Nawawi dari Banten, dan dua ulama besar asal Minangkabau yakni, Syaikh Jamil Jambek yang juga seorang ahli hisab, dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Melihat banyaknya nama ulama Melayu sebagai pengajar di Makkah, aku teringat lagi pada ucapan Mas Saleh bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa nomor dua yang terbanyak digunakan di sini setelah bahasa Arab. Itu mendatangkan kebanggaan tersendiri bagiku, termasuk ketika mendengar nama Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan bagian dari tiga orang Melayu yang pernah menjadi Imam Besar Masjidil Haram.
Orang pertama yang mendapat amanah besar itu adalah Syaikh Daud bin Abdullah Al-Fathani yang
menjadi imam besar sekitar seratus tahun sebelum Syaikh Khatib. Sedangkan satu orang lainnya bernama Syaikh Abdul Hamid Muhammad Ali Qudus.
Belakangan baru aku ketahui bahwa Syaikh Daud bin Abdullah Al-Fathani adalah orang Melayu dari Pattani Thailand. Sedangkan Syaikh Abdul Hamid Muhammad Ali Qudus meskipun berdarah Kudus, Jawa Tengah— dari garis bapaknya, yaitu Syaikh Abdul Qadir Al-Khatib bin Abdullah bin Mujir Qudus—seperti ditulis dalam kitab Mukhtasyar Nasyruti N aur waz Zahar dan kitab Siyar wa Tarajim, Syaikh Abdul Hamid lahir dan wafat di Kota Makkah, sehingga dia lebih pantas disebut orang Arab berdarah Melayu, ketimbang orang Melayu. Dengan adanya dua fakta ini, maka berarti Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi Imam Besar di Masjidil Haram.
Nama Al-Minangkabawi yang dilekatkan pada nama Syaikh Ahmad Khatib menjadi sangat penting untuk membedakannya dengan seorang ulama Melayu lain, Syaikh Ahmad Khatib Sambas, pendiri Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, yang juga seorang ulama terkemuka.
Setiap kali mendengar nama Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, aku teringat pesan pendek Mas Muhsin sebelum keberangkatanku. “… imam besar Masjidil Haram itu juga orang kita, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Kamu harus benar-benar menimba ilmu dari beliau. Sangat sedikit orang Melayu yang bisa menjadi imam besar di sana,” tambah Mas Muhsin.
“Ilmunya sangat luas. Ada yang bilang beliau radikal, tapi menurut Mas itu karena beliau sangat tegas terhadap prinsip.”
Dan sekarang aku sedang berada bersama puluhan murid lain dari berbagai negara di salah satu bagian ruangan Masjidil Haram, mendengarkan pelajaran yang disampaikan ulama bernama lengkap Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif Al-Minangkabawi Asy-Syafi’i yang lahir di Koto Gadang, Sumatra Barat.
“Islam adalah jalan manusia menuju selamat,” ulas Syaikh, “Allah berfirman dalam Al-qur’an bahwa tidaklah aku ciptakan manusia kecuali untuk berserah diri kepadaku. Maka kita sebagai manusia berserahlah, bersujud. Sebab ketika manusia berserah, hati dan pikirannya menyatu, menuju kepada Allah.”
Cuaca Makkah yang terik tak terasa lagi saat mendengarkan kata-kata Syaikh Ahmad Khatib yang sejuk. Harus kuakui bahwa materi yang disampaikan syaikh ini bukanlah pertama kalinya kudengar. Dan aku rasa begitu juga dengan para murid lain yang rata-rata sudah cukup punya modal ilmu agama. Tapi entah bagaimana, rasanya ada daya tarik lain yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, untuk menggambarkan bagaimana memikatnya pelajaran yang disampai Syaikh Al-Minangkabawi.
“Allah, kata yang dibentuk dari susunan huruf aliflam dan lam ha,” lanjut Syaikh, kembali menyeretku dalam
pusaran pesona pelajarannya, “bermakna AL hamba dan LAH berserah.
BELUM lama aku menetap di Arab Saudi, kami mendapat kabar bahwa Gunung Krakatau yang terletak di Selat Sunda meletus dahsyat. Informasi yang datang kemudian, termasuk dari Bapak, ledakan itu menimbulkan ombak “setinggi kaki Gunung Merapi’ yang menenggelamkan wilayah Banten dan sekitarnya, serta menciptakan awan debu tebal yang membuat gelap langit di atas banyak daerah mulai dari Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, bahkan Singapura dan sebagian Semenanjung Malaya.9
Awalnya jumlah korban diperkirakan hanya ratusan orang. Lalu naik menjadi ribuan orang, dan dari hari ke hari jumlahnya terus melonjak menjadi puluhan ribu jiwa. Diperkirakan jumlah korban tewas saja antara empat puluh sampai lima puluh ribu orang, belum lagi yang luka parah dan luka ringan. Bapak mengabarkan bahwa menurut kawan-kawannya para kiai Banten yang selamat dari musibah ini, ledakan Krakatau itu merupakan salah satu bencana alam paling buruk yang pernah terjadi di Pulau Jawa, baik yang pernah mereka alami langsung
maupun yang mereka dengar dari cerita legenda yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pada satu hari yang aku lupa kapan persisnya, kami melakukan shalat gaib bagi para korban yang sebagian besar adalah petani dan nelayan Muslim miskin itu di Masjidil Haram.
TAK terasa sudah lima tahun aku menimba ilmu di Makkah. Dan kini di ruang ziarah Sayyid Baqir Satha, nama salah seorang imam mazhab Syafi’i yang terkemuka, aku menerima sepucuk surat dari Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menyatakan bahwa aku sudah menjalani sejumlah pelajaran. Nama yang tertulis di sana adalah: Ahmad Dahlan.
“Namamu sekarang adalah Ahmad Dahlan,” ujar Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. “Pulanglah, dan cerahkan masyarakat dengan ilmu-ilmu yang sudah kau dapatkan selama di sini.”
Saat itu memang ada kebiasaan bahwa setiap nama santri berasal dari daerah non-Arab, akan diarabkan supaya terdengar lebih afdol dan sesuai dengan maksud untuk mendukung dakwah selanjutnya.
Satu perjalanan besar dalam hidupku akhirnya sudah kulakukan. Perjalanan besar lainnya sudah menunggu di kampung halaman
Derit rem kereta api yang mendecit keras berbaur dengan kegiranganku sampai kembali di Ngayogyakarta Hadiningrat. Para penumpang yang sudah tidak sabar bertemu dengan keluarga dan kerabat masing-masing memilih berdiri menunggu pintu terbuka. Aku tetap duduk melihat ke luar jendela, ke arah kerumunan orang yang memenuhi Stasiun Tugu. Kucoba mencari wajah-wajah yang kukenali, tapi tidak mudah karena banyaknya orang. Sempat terlintas di benakku jangan-jangan tak ada anggota keluargaku yang bisa menjemput. Dari dalam kereta, para penumpang mulai mengalir turun sehingga perlahan-perlahan gerbongku mulai lengang. Aku pun
bangkit dari tempat duduk sambil menenteng koper dan sebuah biola.
Rupanya dugaanku keliru. Begitu kakiku menginjak tangga di pintu kereta api, keluarga besarku sudah menunggu. “Masya Allah Darwis, sudah besar sekali kamu sekarang. Janggutmu pun sudah mirip janggut para kiai/’ ujar ayahku disambut senyum yang lain.
“Alhamdulillah, Pak. Bagaimana kabar Bapak?” tanyaku sambil mencium tangan Bapak, lalu memeluknya dengan erat, menyalurkan kerinduan selama lima tahun terhadap sosok yang kukagumi ini. Kurasakan sudut mataku mulai basah, begitu pula Bapak. Tapi rupanya Bapak tak ingin terlalu larut dalam suasana sendu seperti ini di awal pertemuan kembali sehingga tanpa kuduga sebuah kelakarnya muncul.
“Kamu ini sudah jadi haji, pulang dari Makkah, bukannya bawa kitab, kok, malah bawa senapan,” ujarnya sambil menunjuk ke arah biola yang aku jinjing. Aku tertawa mendengar seloroh Bapak, seperti juga para penjemput yang lain.
“Ini namanya biola, Pak. Aku dapat di kapal bersama teman-teman dari Bugis,” jawabku sembari menyadari bahwa Ibu ternyata tidak ada di antara rombongan. “Lho, Ibu di mana, Pak?”
“Ibumu sedang sakit, dia menunggu di rumah. Dia selalu memikirkan kamu setiap hari. Selalu khawatir kamu mengalami kesulitan karena tinggal sendirian di sana/
jawab Bapak. “Mudah-mudahan dengan kepulanganmu hari ini sakit ibumu akan sembuh.”
“Apa kabar, Darwis,” Kiai Fadlil mendekati dan memelukku. “Sehat-sehat, tho?”
“Eh, Pakde. Terima kasih, Pakde, Bude. Alhamdulillah, aku sehat-sehat saja,” kataku seraya mencium tangan Bude Nyai Fadlil. Walidah berada di belakang mereka, menatapku dengan malu. “Selamat datang, Kangmas,” katanya dengan suaranya yang merdu. Masya Allah, sudah besar sekali dia sekarang. Dulu waktu aku pergi, dia kelihatan masih seperti anak kecil yang baru beranjak dewasa. Tapi sekarang sudah terlihat seperti perempuan dewasa.
“Terima kasih, Idah,” jawabku sembari mencoba meredakan degup di dada yang tiba-tiba terasa lebih cepat. “Kamu apa kabar?”
“Baik Kangmas,” jawabnya sambil kembali menunduk cepat. Untunglah suasana canggung ini cepat dipecahkan oleh Bapak yang mengajak kami secepatnya pulang ke rumah. Seluruh barang bawaanku sudah diambil alih para penjemput sehingga untuk pertama kalinya dalam perjalanan panjang berbulan-bulan dari Tanah Suci, aku bisa merasakan keleluasaan lebih banyak karena tak perlu mengangkat-angkat koper-koper yang cukup berat itu.
SAMPAI di rumah aku segera menemui Ibu yang sedang berbaring di kamarnya. Beliau memelukku erat-erat dan menangis hebat, tak bisa dibendung lagi. Diciumnya aku habis-habisan. “Alhamdulillah, Wis, kamu balik. Ibu sudah kangen sekali sama kamu, takut kamu ada apa-apa di sana, siapa yang bantu?”
“Makanya, sekarang Ibu cepat sembuh, ya,” kataku sambil mengusap air mata di pipinya.
“Iya, Wis,” kata Ibu sambil mencoba duduk. Aku membantunya agar bisa duduk dalam posisi yang lebih enak. Segera setelah Ibu menemukan posisi yang lebih nyaman, dia mengamatiku. “Masya Allah, Wis, kamu sudah besar sekali sekarang, sudah pantas untuk beristri.”
“Ah, Ibu,” elakku atas topik pembicaraan yang tiba-tiba ini.
“Lho, kenapa? Umurmu sudah 20 tahun, sudah pantas untuk berkeluarga.”
“Nanti sajalah kita bicarakan soal itu, Bu. Aku, kan, baru pulang. Mari kita bergabung dengan Bapak dan yang lain di luar,” jawabku.
Di ruang tengah suasananya sudah seperti kapal-kapal pecah. Selain isi koper-koperku yang sedang dirapikan Nyai Ibrahim, kakak keduaku, beberapa benda bawaanku dari Tanah Suci terlihat bertebaran di banyak tempat seperti majalah Al-’Urwatul Wutsqo dan tafsir Al-qur’an Al-Manar yang sedang dilihat-lihat oleh Mas Noor dan Mas Saleh. Lalu, ada juga kompas buatan Inggris dan peta dunia dari daun papirus yang sedang dilihat oleh adik-adikku.
“Boleh Bapak lihat ijazah belajarmu, Wis?” tanya Bapak. Aku mengangguk, segera mencari surat yang dikeluarkan oleh Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkaba wi itu, dan menyerahkannya kepada Bapak. Pakde Fadlil mendekati untuk membaca isi surat keterangan itu. Bapak kelihatan agak terkejut meski dengan wajah senang. “Jadi, namamu sekarang Ahmad Dahlan?”
“Kalau Bapak merestui, saya akanmulai menggunakan nama itu secepatnya.”
“Insya Allah Bapak merestui nama barumu ini, Dahlan,” ujar Bapak dengan suara mantap. Kiai Fadlil mengangguk-anggukkan kepala. “Nama yang bagus,” katanya. Bapak lalu mengangsurkan surat keterangan itu kepada kakak-kakak iparku. Mas Noor, Mas Muhsin, dan Mas Saleh melihat bergantian sebelum menyerahkan kembali kepadaku. Mas Noor lalu mengambil satu edisi majalah Al-Manar dan mengangkatnya dengan tangan kanannya. “Majalah ini bukannya dilarang pemerintah Mesir dan Saudi, Dimas?”
Pertanyaan Mas Noor membuat suasana langsung hening, seperti menunggu jawabanku. “Majalah ini memang diterbitkan oleh Syaikh Jamaluddin Al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh yang disebut-sebut sebagai tokoh pembaru. Pemikiran mereka mengubah kecenderungan tasawuf sempit menjadi pengamalan Islam secara nyata melalui pendidikan untuk membuat umat lebih mengerti agama, bukan sekadar ikut-ikutan.
Saya rasa tidak ada yang berbahaya dengan semangat pembaruan yang seperti itu.”
“Tapi Darwis…” ujar Mas Noor.
“Dahlan.” Bapak mengoreksi.
“Terima kasih, Kiai,” ujar Mas Noor kepada Bapak. “Bukankah mereka berdua, Syaikh Afghani dan Syaikh Abduh ini, tinggal di Paris pada saat mereka menerbitkan majalah ini?”
“Betul, Mas,” jawabku.
“Itu berarti pemikiran mereka sudah terpengaruh pemikiran-pemikiran kafir liberalis dari tokoh-tokoh Kristen dan Yahudi yang ada saat itu. Paris adalah salah satu tempat berkumpulnya para pemikir bebas sampai yang terang-terangan menyatakan tak percaya adanya Allah Swt. Na’udzubillahi min dzalik.”
“Perubahan seperti yang diinginkan Syaikh Afghani dan Syaikh Abduh itu tidak apa-apa sepanjang untuk kebaikan umat, bukan sebaliknya,” ujar Pakde Fadlil yang juga bapak Mas Noor.
Kedua kiai ini memang memiliki sikap tegas, dan sering bicara terus terang tanpa banyak basa-basi. Namun, ketegasan Mas Noor kurasakan lebih sering diarahkan tentang bagaimana umat Islam harus menghadapi kaum Barat. Jika menyangkut keadaan di dunia Muslim sendiri, Mas Noor terasa lebih waspada terhadap para pemikir muda Islam yang menginginkan perubahan dalam cara berpikir umat.
Sedangkan ayahnya, Kiai Fadlil yang pernah dicopot dari jabatan Kiai Penghulu Masjid Gedhe oleh Sri Sultan karena dianggap terlalu keras, kurasakan sama bersemangatnya jika membicarakan keharusan adanya semangat pembaruan dalam mengajarkan ajaran-ajaran Islam, dengan menganjurkan agar umat Islam selalu lebih aktif dalam kehidupan. Beliau membuktikan lewat kehidupannya sendiri selain dikenal sebagai kiai juga sebagai saudagar batik yang berhasil, mengingatkan pada kisah salah seorang sahabat Rasul yang juga saudagar besar Abdurrahman bin Auf.
Mas Noor tak menjawab pendapat bapaknya. Namun dilihat dari ekspresi wajahnya, aku yakin bahwa dia tetap tidak sependapat dengan komentar Pakde Fadlil. Bapakku mencoba menengahi suasana. “Paling tidak, majalah-majalah yang dibawa Dahlan dan susah kita temukan di sini ini bisa menjadi penambah pengetahuan kita tentang apa yang sedang menjadi pembahasan sebagian para ulama Islam di negeri-negeri Muslim lainnya,” ujar Bapak, disambut anggukan setuju para hadirin lain. Ibuku tiba-tiba angkat suara. “Makanan sudah siap, ayo kita makan dulu, obrolannya bisa dilanjutkan nanti,” katanya.
Kami semua pindah ke ruang makan, menatap hidangan yang terdiri dari berbagai jenis makanan tradisional Jawa. Setelah lima tahun hidup dengan sangat irit dan makan seadanya selama di Makkah, makanan yang tersaji di depanku kali ini terlihat berlimpah ruah. Tiba-tiba aku teringat Kiai Abdul Hamid Lempuyangan
yang selalu mengajak anak-anak yatim-piatu setiap kali mengadakan makan besar.
“Kiai Abdul Hamid bagaimana kabarnya, Pak?” tanyaku ketika kami duduk bersisian.
“Baik, dia juga sering menanyakan perkembangan belajarmu. Dia juga tahu kedatanganmu hari ini tapi sedang ada urusan lain.”
Kami segera duduk mengitari makanan, namun sisa perdebatan di ruang tamu tampaknya masih terasa karena ada semacam ketegangan yang tak terlihat meski kalau ada orang lain yang melihat kami saat ini pastilah tidak akan punya kesimpulan lain kecuali bahwa kami adalah keluarga besar yang sangat rukun. Aku sebut keluarga besar karena hampir semua keluarga kakak iparku juga berkumpul saat ini. Terutama Mas Noor, yang juga adalah kakak sepupuku karena beliau anak Pakde Fadlil, dan kakak dari Walidah.
“Jadi, kapan kamu akan menikah, Nak?” tanya ibuku mengulang kembali pertanyaannya di dalam kamar. Aku merasa tersedak. Dari ujung mataku, kulihat Walidah juga seperti mendadak salah tingkah. Ataukah itu cuma perasaanku?
“Pertanyaan ibumu itu betul, Dahlan,” sambung Bapak. “Kebetulan seluruh keluarga besar sudah ada di sini, dan ada juga Pakdemu Kiai Fadlil. Bapak rasa tidak ada salahnya kalau kita bicarakan hal ini. Bagaimana, Kiai?” tanya Bapak kepada Pakde.
“Dengan senang hati, Kiai,” jawab Kiai Fadlil. “Silakan saja.”
Rupanya topik ini memang sudah dipersiapkan untuk dibahas, karena kemudian Mas Noor langsung menimpali. “Selama kamu belajar di Makkah, Dahlan, adikku Walidah ini maunya selalu membaca surat-surat yang kamu kirim buat Mas …”
“Aduh Mas Noor …,” potong Walidah dengan wajah merona merah tanpa menyelesaikan kalimatnya. Bude Fadlil kulihat tertawa kecil melihat reaksi gugup anaknya.
“Ndak apa-apa kan Mas lanjutkan, Idah?” ujar Mas Noor menggoda adiknya. “Kamu tahu kenapa Idah selalu ingin membaca surat-suratmu, Dahlan?”
Kulirik Walidah yang sudah sepenuhnya tertunduk malu. “Ndak tahu, Mas,” jawabku.
“Karena Idah selalu membayangkan bahwa surat-suratmu itu buat dia, bukan buat Mas Noor,” ujar kakak iparku itu disambut gelak tawa yang lain, termasuk Pakde dan Bude Fadlil. Hanya Walidah yang tak bisa berkata-kata.
“Nah, jadi tunggu apa lagi, Dahlan,” sambar Mas Saleh. “Kalau kau menikah, imanmu akan lebih sempurna dan keluarga kita juga menjadi lebih lengkap.”
“Betul itu Dahlan,” kali ini Mas Muhsin yang angkat bicara. Bapak Ibu juga kulihat mengangguk-anggukkan kepala.
“Harta yang paling berharga bagi laki-laki di dunia ini adalah istri yang salihah. Perjuanganmu dalam berdakwah nanti tidak akan sempurna tanpa dukungan doa dari seorang istri/’ ujar Bapak.
Aku bisa merasakan bahwa pembicaraan ini sudah sangat mengarah pada rencana pernikahanku dengan Walidah. Aku pun tidak pernah lupa pada sebuah peristiwa kecil yang terjadi bertahun-tahun lalu ketika Bude Nyai Fadlil menyapaku di acara padusan yang merupakan tradisi tahunan menjelang masuk bulan Ramadhan. Yang paling kuingat dari kejadian saat itu adalah keberadaan Bude bersama Siti Walidah.
Karena sejak kecil keluarga kami sudah sangat dekat, aku cukup ingat kelahiran Walidah ketika aku berumur empat tahun. Kedua orangtuaku mengajakku menjenguk bayi perempuan yang cantik di rumah Bude Fadlil. Tak kusangka waktu berjalan begitu cepat sehingga bayi kecil itu sekarang sudah menunjukkan tanda-tanda sebagai perempuan dewasa. Aneh juga sebenarnya kalau mengingat sebenarnya aku cukup sering bertemu Walidah, meskipun tidak setiap hari. Biasanya ada saja peristiwa yang memungkinkan aku bertemu Walidah di serambi masjid ketika dia dan teman-temannya sedang mengaji kepada Kiai Penghulu Kamaludiningrat.
Kata-kata Bapak tentang istri salihah membuatku teringat wasiat Rasulullah dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena status orangtuanya/keluarganya,
karena kecantikannya, dan karena agamanya. Karena itu, nikahilah perempuan karena agamanya, maka kamu akan memperoleh keuntungan yang tidak terhingga.”
Walidah menurutku memiliki keempat hal itu. Agamanya bagus, kecantikannya terpancar jelas, status orangtuanya terhormat sebagai ulama dan pengusaha terpandang, hartanya pun memadai, jauh di atas kebanyakan rata-rata keluarga di kampungku. Tentu saja itu bukan harta Walidah sendiri, masih harta orangtuanya. Jadi, untuk pertimbangan ini mestinya tak ada persoalan lagi.
Namun aku sendiri meski sampai tahap tertentu merasakan keinginan setipis angin berdesir untuk bisa selalu menatap Walidah, urusan pernikahan bukanlah urusan sembarangan. Aku membutuhkan waktu beberapa saat lagi agar merasa yakin.
“Saya akan segera melakukan shalat istikharah untuk memantapkan hati dalam urusan ini Pak, Bu,” jawabku kepada kedua orangtuaku. “Mudah-mudahan Gusti Allah segera melimpahkan kemantapan hati kepada saya,” kataku kali ini sambil menganggukkan kepala kepala Pakde dan Bude Fadlil.
“Alhamdulillah,” jawab mereka dengan nada gembira.
KALENDER Masehi yang digunakan pemerintah Hindia-Belanda menunjukkan tahun 1889 ketika sunnah Nabi
untuk membentuk keluarga bagi setiap Muslim itu akhirnya aku jalankan bersama Siti Walidah. Saat itu aku berumur 21 tahun dan Walidah 17 tahun, usia yang cukup matang bagi kami berdua untuk mulai menjalankan biduk rumah tangga.
Halaman rumah orangtuaku dimeriahkan oleh penabuh rebana yang mendendangkan Thala’al Badru ‘Alaina, dendang penyambutan kaum Anshar terhadap Nabi Muhammad saat memasuki Kota Madinah setelah meninggalkan Kota Makkah.
Thala’al badru ‘alaina/min Tsaniyatil Wada’ wajaba syukru ‘alaina/ma da’a lillahi da’
Telah muncul purnama untuk kita/dari daerah
Tsaniyatul Wada’ wajiblah bagi kita bersyukur/dengan doa kepada Allah semata
Banyak sekali tamu yang memadati halaman rumahku. Janur melengkung di depan pintu rumah menunjukkan sebuah keriaan yang tak mungkin disalahartikan siapa pun yang melihatnya: sebuah pernikahan.
Aku dan Siti Walidah baru saja disahkan sebagai suami-istri, dalam sebuah akad nikah sederhana. Seluruh keluarga besar dari pihak orangtuaku dan orangtua Walidah hadir dalam sebuah keramaian yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Seluruh anggota takmir
Masjid Gedhe Kauman juga hadir, beberapa orang kerabat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, bahkan Sri Sultan Hamengkubuwono VII sendiri.
Wajah ayahku, Kiai Abu Bakar, dan ayah Walidah, Kiai Fadlil, terlihat berseri-seri. Wajah ibuku dan ibu Walidah apalagi, seakan-akan kehangatan matahari pagi pindah ke dalam senyum mereka mereka berdua. Melihat bagaimana kebahagiaan itu memancar dari empat orang di depanku, rasanya aku semakin yakin bahwa pernikahanku dengan Walidah adalah benar-benar keinginan kedua keluarga dari lubuk hati mereka yang paling dalam.
Aku sendiri hanya bisa memandangi Walidah dengan penuh cinta kasih, yang kurasakan pasti terlihat oleh mereka yang sudah lebih dulu tahu bagaimana nikmatnya berumah tangga. Walidah membalas senyumku dengan ketulusan luar biasa seakan-akan tak ada satu bagian pun di wajahnya yang tidak tersenyum.
Bibirnya tersenyum, pipinya tersenyum, hidungnya tersenyum, keningnya tersenyum, bahkan sampai urat biru tipis yang tampak di bawah kelopak matanya seolah tak mau ketinggalan untuk ikut tersenyum.
Subhanallah. Seperti inikah perasaan yang dialami Rasulullah Muhammad Saw. saat menikahi Siti Khadijah r.a., perempuan pertama yang dicintainya secara tulus?
Yang menarik dari pernikahan anggota keluarga kiai seperti aku dan Walidah adalah karena peristiwa ini biasanya juga menjadi sarana pertemuan para kiai dan
pengasuh pondok pesantren dari banyak tempat. Bukan hanya dari Pulau Jawa, melainkan juga beberapa orang pemuka agama dari luar Jawa sehingga komunikasi seperti terbagi menjadi dua bagian. Warga biasa umumnya tetap berkomunikasi dalam bahasa Jawa, sedangkan para kiai bercakap-cakap dalam bahasa Arab, minimal campuran bahasa Jawa-Arab.
Keriaan yang seakan-akan tak ada habisnya itu berakhir juga ketika para tamu satu per satu surut, meninggalkan keluarga besar saja yang masih berada di tempat. Terutama keluarga besar yang berasal dari luar Kauman dan memilih menginap untuk mempererat silaturahim.
Seusai acara, saat aku dan Walidah berada di dalam kamar, kami pun bersentuhan untuk pertama kalinya, hanya berdua. Dalam suasana gelap, aku tahu Walidah tersenyum manis memandangku. Dan aku yakin dia tahu bahwa aku juga sedang tersenyum bahagia di tengah samudra sukacita ini. Walidah menutup kelambu dan memasrahkan cintanya yang mumi kepadaku. Selintas, berkelebat pesan Ibu di benakku. “Hubungan antara suami-istri dalam Al-qur’an ibarat laki-laki menjadi selimutnya perempuan dan perempuan menjadi selimutnya laki-laki.”
Lalu, aku membaca doa yang diajarkan Nabi Saw. sebelum seorang Muslim menggauli istrinya. Para malaikat kuyakin mengamininya karena kemudian
seluruh semesta kurasakan bergetar hebat dalam kegembiraan yang sulit diungkapkan dalam kata-kata.
“BAGAIMANA penjualan pekan ini, Dahlan?” tanya Kiai Fadlil, Pakde yang kini juga menjadi mertuaku.
“Alhamdulillah, pembeli terus berdatangan seperti tak ada habisnya.”
“Syukurlah. Aku lihat kau cukup berbakat juga sebagai pedagang, mampu memengaruhi orang.”
Begitulah. Menikah dengan Siti Walidah memberikan pengalaman baru bagiku. Usaha perdagangan kain batik mertuaku yang terus berkembang, mau tak mau membuatku mulai ikut berkecimpung secara langsung. Pelan-pelan aku semakin sering ikut melayani pembeli di Pasar Beringharjo. Sejauh ini aku belum merasakan kesulitan, mungkin karena istriku Siti Walidah dengan setia ikut mendampingi dan membantuku. Bagi Walidah yang terbiasa menggeluti usaha ini sejak kecil, semua terlihat alami.
“Apakah kau keberatan kalau harus berdagang ke luar kota, Dahlan?” tanya Kiai Fadlil.
“Kalau memang itu harus dilakukan, insya Allah akan saya lakukan, Kiai.”
“Belakangan ini bukan hanya pesanan di Jogja saja yang banyak, tapi juga dari beberapa kota lain. Aku yakin kau sudah tahu bagaimana kejujuran Nabi Saw. sebagai pedagang. Tapi tidak ada salahnya jika aku ingatkan bahwa kita memang harus jujur dalam berniaga. Jika barang dagangan kita ada yang kurang sempurna, tak bisa kita jual dengan harga yang sama seperti barang yang bagus.”
“Akan saya ingat itu, Kiai.”
“Kamu sendiri apakah sudah mau serius sebagai pedagang batik juga?”
“Kalau sebagai pedagang yang berdiri sendiri mungkin belum terpikir.”
“Pikiran yang baik. Kita memang tidak bisa memulai sesuatu secara tergesa-gesa,” ujar Kiai Fadlil. “Apalagi saya lihat kemampuan ayahmu di ilmu agama terlihat jelas. Mungkin kamu sebaiknya konsentrasi di bidang dakwah saja, Dahlan.”
“Itu juga yang menjadi niat saya, Kiai.”
“Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu, ada urusan lain.”
Waktu berjalan cepat. Tak terasa pernikahanku sudah berjalan hampir setengah tahun. Walidah sendiri sudah hamil tiga bulan. Untunglah proses kehamilannya berjalan lancar, tak ada hal-hal serius yang berkaitan dengan kesehatannya.
Malam itu aku sedang merapikan catatan penjualan batik dalam sebulan, dan mencocokkannya dengan uang gulden yang ada dalam kotak penyimpanan hasil penjualan batik selama ini. Pekerjaan seperti ini sebenarnya tidak rumit, selain membutuhkan ketelitian
dan harus dikerjakan secepatnya. Jika tertunda, kejelasan uang keluar masuk bisa menyulitkan.
Pada 1890 saat umurku 22 tahun, Allah menggenapkan kebahagiaanku dengan menjadikanku sebagai seorang bapak lewat kelahiran putri pertama yang kuberi nama Siti Johanah binti Ahmad Dahlan. Cantik seperti ibunya, dan mewarisi darah ulama dari kedua ayah-ibunya. Semoga putri pertamaku ini bukan hanya menjadi pelengkap kebahagiaan keluarga kami, tapi juga bermanfaat bagi umat.
Namun, Allah juga punya rencana lain bagiku. Dititipkan-Nya bagiku tambahan satu nyawa dan diambil-Nya juga satu nyawa pada tahun yang sama. Penyakit Ibu yang sudah menahun akhirnya tak bisa tersembuhkan. Kematian ibu disambut kedukaan yang sangat besar oleh warga Kauman karena sifat sosial beliau yang tinggi semasa hidup. Banyak sekali warga yang mengikuti proses pemakaman dari shalat jenazah sampai penguburan di Karangkajen.
Karena Bapak kini tinggal sendiri, aku dan Walidah kembali tinggal satu rumah dengan beliau, berdampingan dengan rumah Nyai Saleh, mbakyuku nomor tiga, yang merupakan istri Kiai Muhammad Saleh.
SEPENINGGAL Ibu, kuperhatikan cukup banyak hal yang berubah pada Bapak, meskipun beliau tetap melaksanakan tugasnya di Masjid Gedhe Kauman dengan baik. Di
rumah khususnya, beliau lebih sering terlihat termenung dan kurang bersemangat melakukan apa pun, termasuk makan.
“Pasti ndak gampang bagi Bapak kehilangan Ibu” ujar Walidah kepadaku pada satu malam.
“Iya, aku bisa merasakan itu. Tapi apa yang bisa kita lakukan, Idah?”
“Biar aku bisa membantu mengurus kebutuhan sehari-harinya, tapi mungkin berbeda jika ada orang yang khusus mengurus Bapak. Perempuan yang juga beliau sayangi sebagai pasangan,” lanjut Walidah dengan hati-hati. “Jangan salah paham, lho, Mas, Bukan aku keberatan mengurus Bapak.”
Aku tercenung sebentar. “Maksudmu apakah sebaiknya Bapak menikah lagi?”
“Kenapa tidak? Coba Mas bicarakan dengan yang lain. Barangkali ada jodoh yang cocok untuk Bapak di luar.”
Ide yang disampaikan Walidah itu ada benarnya. Bapak masih belum terlalu tua, dan tentu saja akan lebih baik jika ada pasangan hidup yang memperhatikannya lebih serius dibandingkan dengan kami anak-anaknya yang juga sudah punya kehidupan masing-masing sehingga meskipun tinggal satu rumah seperti aku dengan Bapak sekarang, tetap saja merupakan rumah tangga yang berbeda.
Dari pembicaraanku dengan para kiai, akhirnya aku mendapatkan informasi bahwa Raden Khatib Tengah
Haji Muhammad mempunyai seorang ibu yang sudah menjanda. Aku mencoba untuk menyampaikan niat ini kepada Raden Khatib, yang untungnya segera setuju dengan ide ini. “Silakan Kiai Dahlan saja yang mengatur bagaimana baiknya. Saya setuju saja, karena lebih banyak manfaatnya jika ibu saya punya suami lagi, apalagi orang seperti Kiai Abu Bakar yang sangat alim,” katanya.
Setelah mendapat persetujuan dari Raden Khatib, aku kumpulkan seluruh kakak-adik, para ipar, dan Bapak untuk menjelaskan rencana ini. “Mudah-mudahan Bapak tidak salah paham pada niatku ini,” ujarku. “Aku dan Walidah sangat senang bisa berbakti membantu mengurus kebutuhan sehari-hari Bapak, tapi tentu ada hal-hal yang hanya Bapak bisa rasakan jika ada pengganti Ibu, khususnya dari sisi emosi.”
“Saya setuju dengan rencana Dahlan ini, Pak,” ujar Mbakyu Nyai Saleh. “Insya Allah, Bapak akan lebih tenang dan tetap bisa konsentrasi dalam berdakwah.” Seluruh hadirin mengangguk-anggukkan kepala menyetujui apa yang dikatakan Nyai Saleh.
Bapak terdiam, kami menunggu dengan tegang. Bapak adalah orang yang tenang, terutama dalam mengambil keputusan. Beliau bukan jenis orang yang suka terburu-buru. Bapak melihat kami satu per satu, lalu pandangannya berhenti di mataku. “Kalau menurut kalian itu yang terbaik untuk Bapak, Bapak akan ikuti.”
“Alhamdulillah,” jawab saudara-saudaraku gembira.
“Tapi dengan satu syarat/’ Bapak buru-buru menambahkan. “Pelaksanaan pernikahan ini harus dilakukan dengan sangat sederhana/’ katanya. Kami semua mengangguk setuju.
Akhirnya pada Rajab 1891, Bapak melangsungkan pernikahan keduanya dengan Ibu Raden Khatib Tengah Haji Muhammad. Meski sudah dibuat sangat sederhana, seluruh kiai di Kauman yang kukenal datang untuk memberikan selamat dan doa. Beberapa orang kiai dari luar Jogja yang mendengar kabar itu juga ada yang menyempatkan diri untuk hadir. Keakraban dan kecepatan komunikasi para kiai menyebabkan berita pernikahan bapakku tersebar dengan cepat, dari masjid besar ke masjid besar lainnya di Jawa. Dari pesantren ke pesantren.
Setelah pernikahan itu, pelan-pelan semangat Bapak memang terlihat mulai berkobar lagi. Beliau semakin bersemangat dalam menyiapkan materi khutbah, dan jarang termenung. Ibu baruku juga bisa membawakan diri dengan baik terhadap kami anak-anak Bapak, sehingga membuat hubungan kami bersaudara dengan Raden Khatib Tengah Haji Muhammad dan saudara-saudaranya juga semakin akrab.
Dua tahun setelah pernikahan itu Bapak mendapatkan seorang anak laki-laki, yang dia namakan Muhammad Basyir. Kebahagiaan keluarga kami bertambah, apalagi bagi putriku Johanah yang baru berumur 3 tahun yang merasa mendapatkan adik baru. Hampir setiap saat dia
selalu ingin selalu berada di dekat Basyir. Johanah masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa Basyir yang kerap dia cubiti pipinya itu sebenarnya adalah… pamannya!
Adanya bayi baru di dalam ramah yang menjadi tanggung jawabnya membuat Bapak terlihat lebih muda dari umur sebenarnya. Wajahnya kian sering terlihat berbinar-binar, dan suara tawanya yang berat pun makin sering mengisi rumah, membuat kami sekeluarga merasa bersyukur bahwa pernikahan kedua Bapak ini ternyata betul-betul bisa menjadi pengobat dari kekosongan hatinya setelah ditinggal Ibu. Yang juga paling bahagia dengan perubahan Bapak ini adalah kakak-kakak perempuanku, terutama Nyai Saleh. “Terima kasih, Dahlan. Usulanmu dulu benar-benar membuat Bapak bisa keluar dari dukanya,” katanya.
Namun, seperti roda kehidupan yang terus berputar, kebahagiaan Bapak pun ternyata tak berlangsung lama. Sekitar setahun kemudian, kondisi kesehatannya terus menurun. Kalau ditanyakan mengapa kondisinya terlihat menurun, Bapak selalu menjawab baik-baik saja. Tapi air mukanya semakin terlihat kuyu dan matanya seperti mengalami kelelahan yang sangat.
“Dahlan, ada yangharusBapakbicarakan denganmu,” kata Bapak pada satu waktu dengan nada jauh lebih serius daripada biasanya. Aku duduk mendekatinya, dan bertanya-tanya mengenai kemungkinan apa yang akan dikatakan Bapak. “Iya, Pak,” jawabku.
“Kamu anak laki-laki tertua Bapak.” Kata-kata Bapak terhenti. Dia seperti sedang mengendalikan emosi yang sedang berkecamuk di dadanya. “Dalam tradisi di Masjid Gedhe, jabatan imam dan khatib amin ini biasanya diwariskan turun-temurun,” lanjutnya.
“Iya, Pak, seperti Kakek Kiai Ibrahim dan Pakde Fadlil,” kataku.
“Betul, Dahlan. Dari sisi keilmuan, Bapak lihat kamu sudah siap untuk mengemban tugas sebagai khatib Masjid Gedhe menggantikan Bapak.”
“Aku rasa Bapak masih belum perlu digantikan. Khutbah-khutbah Bapak masih ditunggu jamaah, dan disukai Ngarsa Dalem. Ilmuku belum ada apa-apanya dibandingkan keluasan ilmu dan wawasan yang Bapak miliki.”
Bapak menghela napas. “Kalau soal ilmu, kita sama-sama tahu bahwa sekarang ilmu sudah jauh lebih berkembang Dahlan. Kiai-kiai kakak iparmu pun setuju mengenai soal ini. Ilmu agamamu sudah berada di atas rata-rata para kiai Kauman,” katanya.
“Terima kasih jika Bapak melihatnya begitu. Tapi sungguh aku benar-benar merasakan belum ada apa-apanya dibandingkan Bapak atau Mas Saleh atau Mas Noor.”
“Kalau dari perasaanmu, sudah pasti kau tak akan pernah merasa siap Dahlan,” ujar Bapak sambil menepuk-nepuk bahuku. “Tapi Bapak yakin kau sudah lebih dari
siap untuk berdakwah dan menjadi khatib yang lebih baik dari Bapak.”
Aku masih menerka-nerka apakah masih ada hal lain yang ingin disampaikan Bapak selain persoalan kesiapan menjadi khatib ini, misalnya soal perkawinan keduanya ini. Setelah beberapa saat memikirkan apakah aku patut menanyakan hal seperti itu atau tidak, akhirnya kuputuskan untuk bertanya saja untuk lebih menenangkan hatiku. “Apakah Bapak dengan Ibu baik-baik saja?”
“Maksudmu?” tanya Bapak dengan rasa ingin tahu, yang kurasakan justru lebih tinggi dibandingkan rasa penasaranku.
“Soal pernikahan Bapak, maksudku.”
“Oh, kalau itu tidak ada masalah. Alhamdulillah. Tentu saja karena Bapak dan ibumu sekarang masing-masing pernah menikah sebelumnya, ada beberapa kebiasaan lama kami yang terbawa. Tetapi secara umum tidak ada masalah besar. Kenapa kamu bertanya begitu Dahlan?”
“Maaf kalau pertanyaan tadi mengganggu Bapak. Aku hanya melihat dari perubahan sikap Bapak akhir-akhir ini. Ini juga yang dirasakan para mbakyu dan adik-adikku yang lain. Tapi tidak ada yang berani bertanya langsung sama Bapak. Mereka semua bertanya kepada Dahlan.”
“Oh kalau soal itu, mungkin hanya karena Bapak terlalu capek karena sekarang dengan punya bayi lagi,
kondisi Bapak sudah tidak sekuat waktu membesarkan kamu dulu.”
“Alhamdulillah kalau begitu, Pak,” jawabku dengan perasaan lega. “Kalau untuk perawatan Basyir, mungkin Bapak dan Ibu jangan sungkan-sungkan untuk memberi tahu Walidah. Dia pasti tidak akan keberatan karena Johanah juga akan senang seakan-akan dia sendiri yang punya adik baru.”
Bapak tertawa kecil mendengar kalimat terakhirku. “Betul itu, Dahlan. Bapak juga suka memperhatikan kalau anakmu sedang bermain-main dengan Basyir. Subhanallah. Betapa indahnya dunia kanak-kanak yang masih terbebas dari dosa.”
PADA satu hari, aku mengikuti lagi pengajian yang diberikan Bapak di Langgar Kidul. Bapak terlihat senang akan kedatanganku. Kuperhatikan cara Bapak mengajar masih menarik seperti biasanya. Kata-kata mengalir lancar dari mulutnya dengan contoh-contoh penjelasan yang mudah dimengerti murid pengajian. Tapi satu hal yang terasa sudah berubah jelas: kondisi Bapak memang sudah mulai menurun jauh. Semakin bersemangat beliau memberikan pengajian, semakin jelas kelelahan terpancar dari wajahnya yang menua.
Akhirnya pada Sya’ban tahun 1896, hanya beberapa
harimenjelangumatlslammemasukibulansuci Ramadhan
untuk menunaikan ibadah puasa, Bapak meninggal
dunia. Seluruh Yogyakarta berdukacita. Masyarakat tak henti-hentinya mengalir dan memanjatkan doa bagi Bapak. Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono VII juga menunjukkan dukacitanya atas kematian Bapak kepada keluarga kami.
Awalnya jenazah Bapak akan dishalati di Langgar Kidul tempatnya mengajar selama ini. Tetapi atas permintaan Kiai Penghulu Kamaludiningrat dan para khatib amin Masjid Gedhe Kauman lainnya, akhirnya Bapak dishalati di Masjid Gedhe. Kami sekeluarga bisa mengerti dan menerima keinginan para kiai dan pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang merasakan bahwa Bapak sudah menjadi bagian dari mereka.
Sebagai anak laki-laki tertua, aku menjadi imam shalat yang diikuti oleh banyak sekali jamaah hingga Masjid Gedhe terasa penuh sesak saking banyaknya masyarakat yang ikut. Aku sangat terharu pada kecintaan masyarakat Jogja terhadap Bapak. Apalagi sebagian besar dari mereka juga ikut berbondong-bondong mengantarkan Bapak ke tempat peristirahatan terakhirnya di pemakaman Nitikan.
Belum usai kesedihan kami atas kepergian Bapak, tidak sampai setahun kemudian Muhammad Basyir juga meninggal dunia dalam umur 6 tahun karena sakit parah. Ketika wajah mungil adik tiriku ini aku mandikan, kenanganku terhadap Bapak kembali menyeruak. Allah pasti sedang mempunyai sebuah rencana yang indah bagi keluarga kami. Rencana yang mungkin belum kami ketahui maknanya sekarang.
DI LUAR Kauman, suasana politik terasa makin panas ketika seorang politikus Belanda bernama Hendrikus Hubertus van Kol mengeluarkan seruannya yang terkenal “Geen roof meer ten bate van Nederland” (Berhentilah merampok Hindia-Belanda demi kepentingan Negeri Belanda).
Di tanah airnya, kudengar pendiri Partai Sosial Demokrat di Belanda itu mendapatkan kesulitan akibat ucapannya yang diam-diam banyak disetujui oleh masyarakat Hindia-Belanda dan kaum ulama. Tapi di sini, di tanah Jawa, tak ada bentuk dukungan yang terlihat nyata di masyarakat terhadap seruan van Kol itu, karena tindakan pemerintah kolonial yang juga semakin tegas terhadap para ulama berkaitan dengan kian berkobarnya Perang Aceh yang dipimpin pemuka agama seperti Teuku Umar.
Secara resmi, larangan pergi haji yang diterapkan pemerintah kolonial Hindia-Belanda juga belum dicabut.

1896
WAFATNYA Bapakku, Kiai Haji Abu Bakar, membuat posisi imam dan khatib Masjid Gedhe Kauman harus kulanjutkan sebagai anak lelaki pertama, berdasarkan tradisi yang berlaku di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Mengingat usiaku baru 28 tahun, dan masih banyak kiai lain yang lebih senior dan berpengaruh, aku sempat meragukan itu sebuah keputusan yang cocok baik bagi diriku, keluarga, maupun masyarakat. Namun, dukungan dari ketiga kakak iparku yang juga para kiai terpandang membuat keyakinanku semakin bulat. Begitu juga dengan Walidah yang sangat mendukung.
Akhirnya pada suatu malam, aku dan rombongan pengurus Masjid Gedhe Kauman dipimpin oleh Kiai Penghulu Kamaludiningrat menghadap Sri Sultan Hamengkubuwono VII di salah satu ruangan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kami semua memberikan posisi menyembah yang sangat takzim.
“Saya perkenalkan Kiai Haji Ahmad Dahlan, putra almarhum khatib Masjid Gedhe Kauman, Kiai Haji Abu Bakar. Sesuai dengan tradisi yang berlaku selama ini, maka Kiai Ahmad Dahlan akan melanjutkan posisi bapaknya sebagai tibamin Masjid Gedhe Kauman. Mohon persetujuan Sinuhun,” ujar Kiai Penghulu Kamaludiningrat. Tibamin adalah singkatan dari khatib amin, yang bermakna sebagai pengkhutbah utama.
Sebetulnya perkenalan seperti ini tak dibutuhkan karena Sri Sultan sudah mengenalku, terutama sejak kepulanganku dari Tanah Sud sekitar delapan tahun lalu, karena saat itu aku ditemani Bapak mengucapkan terima kasih kepada Sultan yang sudah mengizinkan rumah wakafnya di Makkah untuk aku diami selama lima tahun berguru di sana. Namun karena berdasarkan aturan Keraton pergantian jabatan di lingkungan Masjid Gedhe harus sepengetahuan dan seizin Sri Sultan, acara seperti ini mutlak harus diadakan.
Seseorang mengatakan aku harus maju beberapa langkah mendekati Sri Sultan, sementara barisan lain tetap di tempat. Dengan hati-hati aku melangkah maju, sampai suara itu menyuruhku berhenti. Aku masih
menunduk, tak bisa menatap langsung Kanjeng Sinuwun. Terdengar beberapa kesibukan kecil, sampai akhirnya kurasakan tangan kanan Sri Sultan menyentuh bagian depan kepalaku. “Sebagai Senopati Ing Ngalogo Sayyidin Panatagama Khalifatullah, saya restui Kiai Haji Ahmad Dahlan sebagai khatib Masjid Gedhe Kauman,” ujarnya dengan kalimat perlahan.
“Allahu Akbar!” jawab para pengurus Masjid Gedhe yang berada di belakangku. Aku merasakan satu jenis kebahagiaan yang aneh karena hatiku merasa akan lebih baik jika Bapak melihat pengukuhanku oleh Sri Sultan ini. Tapi di sisi lain, akalku langsung mengingatkan bahwa jabatan ini hanya bisa kupangku setelah Bapak tiada. Kalau Bapak masih hidup, tentu saja jabatan khatib Masjid Gedhe Kauman tak akan berpindah kepada siapa pun, termasuk diriku. Jadi, haruskah aku bergembira atau bersedih karena kejadian ini? Kejadian yang menjadi salah satu takdir hidupku untuk melanjutkan peran dakwah baik sebagai pribadi Muslim maupun sebagai keturunan ke-11 dari Makhdum Ibrahim As-Samarqandy alias Syaikh Maulana Malik Ibrahim.
Namun, aku bukan satu-satunya tibamin di lingkungan Masjid Gedhe Kauman yang memiliki dua belas orang terpilih untuk mengisi posisi ini. Sebagai khatib, aku menerima upah sebesar tujuh gulden setiap bulannya dengan tugas mengisi khutbah Jumat bergantian di antara sesama dua belas khatib, dan piket di serambi masjid satu kali dalam sepekan bersama lima orang khatib lain. Tugas terakhir adalah menjadi anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton.
AKHIRNYA, datang juga kewajibanku untuk memberikan khutbah Jumat di Masjid Gedhe Kauman. Ini merupakan pengalaman baru bagi kami semua yang menunaikan shalat Jumat di Masjid Gedhe, tak terkecuali bagi Sri Sultan yang berada di dalam maksura, tempat khusus yang diperuntukkan baginya.
Seumur hidupku, kecuali pada periode lima tahun menetap di Makkah, aku selalu menatap khatib yang sama pada setiap shalat Jumat: bapakku dan para kiai lain yang juga bertugas sebagai tibamin. Begitu juga dengan para jamaah Masjid Gedhe ini yang sudah bertahun-tahun mengalami hal yang sama.
Berdasarkan pengalamanku selama di Makkah, semakin sering kita mendengar khutbah dari seorang ulama, maka akan terbiasa juga kita sebagai pendengar mendengar gaya bahasa, cara ungkap yang dipilih, contoh-contoh yang dikemukakan, sampai gaya tubuh sang penceramah. Hal serupa aku yakini juga akan dialami oleh jamaah Masjid Gedhe ini yang akan menyaksikan sebuah perbedaan dalam gaya bahasa sampai gaya tubuhku sebagai penyampai khutbah dibandingkan bapakku.
Tapi yang paling berbeda dari semua pengalaman itu adalah jika sebelumnya sebagai jamaah aku praktis
tak pernah bisa menatap wajah Sri Sultan karena hampir selalu duduk di belakangnya, kali ini aku bisa melihat langsung ke arah wajahnya, apalagi dari posisi berdiri yang jelas lebih tinggi dibandingkan posisi Sri Sultan yang duduk, seperti halnya para kiai lain. Wajah para jamaah juga kulihat sangat antusias menunggu khutbah yang akan aku sampaikan, karena aku rasa menjadi satu keunikan tersendiri di mata mereka bahwa sang khatib amin saat ini adalah seseorang yang relatif muda karena belum berusia 30 tahun.
‘Allah Swt. berfirman bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta/’ ujarku membuka khutbah Jumat. “Islam harus menjadi rahmat bagi siapa saja yang bernaung di dalamnya, baik Muslim maupun bukan Muslim.” Aku pandangi wajah jamaah, termasuk Kiai Penghulu Kamaludiningrat yang sedang menatapku dalam-dalam.
Aku lanjutkan khutbah. “Merahmati itu artinya melindungi, mengayomi, membuat damai, tidak mengekang atau membuat takut umat, atau membuat rumit dan berat kehidupan Muslim dengan upacara-upacara dan sesajen yang tidak pada tempatnya,” ujarku sambil tetap mengarahkan pandangan kepada sebanyak mungkin jamaah, termasuk dua orang remaja yang kulihat sangat serius mendengarkan. Kuperkirakan mereka masih berumur belasan tahun, mungkin sekitar 15-an seperti saat dulu aku berangkat menunaikan ibadah haji.
“Allah juga berfirman dalam Kitab Suci-Nya bahwa Dia begitu dekat dengan kita, lebih dekat dari urat leher,” kataku lagi. “Sehingga Allah berfirman, ‘Maka berdoalah kepada-Ku dengan sungguh-sungguh, memohon ampun. Niscaya akan Aku kabulkan janji Allah.’” Suasana sangat hening kecuali dari suaraku saja. “Jadi, dalam berdoa yang dibutuhkan adalah sabar, ikhlas, dan keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan doa kita. Itulah indahnya ajaran Islam dan kita sebagai umat Muhammad yang tidak mengenal sistem kepanditaan seperti pada ajaran agama lain. Di dalam Islam, kita bisa berdoa langsung, memohon langsung kepada Allah Swt., bukan memohon kepada kiai, tidak perlu meminta kepada imam atau khatib, apalagi sampai meminta-minta pada sesajen. Musyrik itu! Jika ingin meminta, mintalah langsung kepada Allah Swt. karena insya Allah akan dikabulkan!” ujarku dengan nada yang kurasakan makin bersemangat.
Dari posisi berdiriku sekarang terlihat jelas Kiai Penghulu Kamaludiningrat melirik ke arah Sri Sultan. Namun ketika mataku mengikuti arah pandangan Kiai Kamaludiningrat, yang kulihat justru Ngarsa Dalem sedang mendengarkan khutbah dengan saksama. Wajahnya tidak tampak tertekan seperti ekspresi Kiai Penghulu yang kulihat sekarang.
USAI Jumatan dalam perjalanan pulang menuju rumah, dua orang remaja dengan wajah takut-takut mendekatiku.
Aku ingat mereka adalah dua pemuda yang mendengar khutbahku di Masjid Gedhe tadi.
“Assalamu ‘alaikum, Kiai,” ujar mereka berdua dengan sopan. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wa-barakatuh. Ada apa ini?” tanyaku.
“Saya Daniel, dan ini adik saya Jazuli,” ujar anak yang lebih tua. “Umur saya 15 tahun, dan adik saya ini 13 tahun, Kiai.”
“Saya sangat terkesan pada khutbah Kiai,” ujar Jazuli. “Kiai sangat berani.”
“Berani?” Aku menaikkan alis, heran darimana anak muda ini mendapatkan kesimpulan begitu.
“Betul, Kiai. Khutbah Kiai menurut kami sangat berani. Apa Kiai tidak takut?” Kali ini sang kakak Daniel yang bicara.
“Takut sama siapa?” tanyaku sambil menatap mata Daniel. Anak itu tak berani melanjutkan. Dia malah melihat adiknya. “Maaf, Kiai. Saya dulu pernah nyantri di Wonokromo tapi ndak kuat sehingga saya keluar,” kata Jazuli.
“Ndak kuat kenapa?” tanyaku.
“Dia nakal, Kiai,” potong Daniel. “Makanya dia dikeluarkan dari pesantren.”
“Ngawur!” Jazuli memukul lengan kakaknya yang tertawa cekikikan. “Jangan dengar dia Kiai. Justru dia yang nakal.”
“Tapi pertanyaan saya belum kalian jawab, kenapa kamu sampai keluar dari pesantren?”
“Begini, Kiai, Saya keluar dari pesantren karena saya merasa ndak bisa menghayati Islam meskipun sudah shalat dan mengaji. Saya malah merasa terkekang,” papar Jazuli. “Tapi sesudah mendengarkan khutbah Jumat Kiai Dahlan tadi, saya merasakan hal lain.”
“Iya, Kiai. Sesudah shalat tadi, saya dan Zuli membicarakan rasanya kami sangat cocok mendengarkan isi khutbah seperti yang Kiai sampaikan tadi,” sambung Daniel.
“Boleh ndak kami ikut mengaji di langgar Kiai?” tanya Jazuli.
“Oh, boleh. Datang saja ke Langgar Kidul, kapan saja kalian ada waktu,” jawabku. “Aliah itu senang terhadap anak-anak muda yang suka mencari ilmu.”
“Betul boleh, Kiai?” tanya Daniel tak yakin.
“Malah bukan cuma kalian berdua, ajak saja kawan-kawan kalian yanng lain kalau mereka berminat.”
Kedua kakak beradik itu bertatapan dengan ekspresi puas. “Terima kasih, Kiai,” tutur Daniel sambil mencium tanganku, diikuti adiknya Jazuli melakukan hal yang sama. Aku mengangguk. “Jangan lupa ajak teman-teman kalian yang lain.”
“Iya, Kiai, kalau begitu besok sore ba’da Asar kami akan datang ke Langgar Kidul,” ujar Jazuli. “Saya akan ajak teman-teman sebanyak-banyaknya.”
“Saya juga,” sahut Daniel tak mau kalah.
jsnanD lremam biola
MURID-MURIDKU di Langgar Kidul belum terlalu banyak. Yang rutin hanya adik tiriku Muhammad Sangidu. Aku rasa ada dua penyebab mengapa belum banyak santri yang tertarik belajar di Langgar Kidul. Pertama, para kiai yang selama ini sudah menerima santri seperti para kakak iparku, juga masih tetap membuka pengajian mereka. Kedua, tugas sebagai khatib Masjid Gedhe Kauman membuatku harus lebih giat menyiapkan materi khutbah karena melalui jamaah yang lebih besar inilah kesempatan baik untuk mengajak kembali berpikir ulang tentang acara-acara keagamaan yang biasa dilakukan masyarakat Jawa selama ini.
Tapi hari ini dua kakak beradik Daniel-Jazuli sudah menyatakan akan mengikuti pengajianku. Mungkin juga mereka mengajak kawan-kawan mereka. Sangidu kulihat sedang melihat-lihat sebuah kitab. Kulongok halaman langgar yang teduh, masih belum terlihat ada tanda-tanda kedatangan Daniel dan kawan-kawan.
Maka kuambil biola, dan mulai berlatih melemaskan jari-jari tanganku di atas senar, mencari nada-nada yang terdengar bulat dan penuh. Mula-mula hanya satu-dua nada yang kumainkan patah-patah, tapi lama-kelamaan setelah jari-jari tangan kiriku semakin lincah bergerak di atas dawai, dan tangan kananku semakin mantap memegang penggesek biola, aku mulai terhanyut dalam pesona bunyi yang eksotik dari biola ini. Sangidu kulihat mulai memperhatikan permainanku.
“Assalamu ‘alaikum,” terdengar suara keras anak-anak yang menghentikanku bermain biola.
“VVa’alaikum salam,” jawabku sambil melihat ke arah pintu langgar. Ternyata Daniel dan Jazuli datang bersama dua orang kawan mereka. Keempatnya terlihat terkejut melihatku memegang biola. Tentulah dalam pikiran mereka ‘Bagaimana mungkin seorang kiai memegang alat musik milik bangsa Barat yang kafir?’
“Ah, kalian sudah datang. Ayo, masuk!” kataku. Tapi seorang kawan mereka berbisik kepada Daniel. Meski dia sudah mencoba bicara sepelan mungkin, karena jarak dari pintu ke tempat dudukku juga tidak terlalu jauh, aku masih bisa mendengar ucapannya dengan jelas. “Aku ngaji di tempat lain saja, deh, Niel,” bisik anak itu tanpa melihat ke arahku lagi, dan tanpa ba-bi-bu langsung pergi meninggalkan langgar. Wajah Daniel kulihat memucat, meski dia coba sembunyikan.
“Sudah, tidak apa-apa,” kataku. “Ayo, masuk.”
Ketiganya maju dengan ragu-ragu sehingga aku merasa harus mendukung mereka lebih jauh lagi. “Ayo, duduk dekat sini,” kataku sambil menunjuk Sangidu. “Ini adik angkat saya, sekaligus santri saya. Namanya Muhammad Sangidu.”
Sangidu menyalami ketiganya yang menyebutkan nama masing-masing: Daniel, Jazuli, dan Hisyam. Namun ketiga remaja yang baru datang ini tetap terlihat belum siap menyaksikan pemandangan seorang guru mengaji yang memegang alat musik. Karena mereka
tetap membisu, akhirnya aku menyetem ulang biola, menyelaraskan nada keempat dawai itu. Dari ujung mataku, kulihat kebingungan di wajah para remaja itu.
“Pengajiannya sudah selesai, ya, Kiai?” Daniel akhirnya memberanikan diri bertanya.
“Belum mulai. Dari tadi saya menunggu kalian,” jawabku yang membuat mereka bertatapan. “Kenapa main musik londo, Kiai?” tanya Jazuli.
“Memangnya kenapa?” Aku balik bertanya. Mereka tampak semakin bingung “Bukannya alat musik itu bikinan orang kafir?” sanggah Daniel.
“Orangnya yang kafir, alat musiknya tidak ada yang Muslim atau yang kafir,” jawabku sambil kembali menggesek biola perlahan-lahan.
“Jadi, kita mau mengaji apa, Kiai?” tanya Jazuli.
“Kalian maunya pengajian apa?” jawabku yang membuat Jazuli melihat ke arah kakaknya. Daniel mengerti apa yang diinginkan sang adik. “Begini, Kiai. Biasanya kalau pengajian yang kami tahu dan selama ini kami ikuti itu bahannya dari guru ngajinya,” katanya.
“Kalau begitu nanti yang pintar hanya guru ngajinya,” jawabku sambil meletakkan biola. “Para murid mengikuti guru saja. Apakah kalian mau yang seperti itu?” Ketiganya menggelengkan kepala.
“Kalau pengajian di sini, kalian yang menentukan apa yang kalian ingin ketahui. Dimulai dengan bertanya. Pertanyaan itu kunci gerbang untuk memasuki dunia ilmu pengetahuan,” ujarku. Jazuli tersenyum, senyum pertamanya sejak memasuki langgar ini. “Kalau begitu saya mau bertanya, Kiai.”
“Silakan.”
“Yang disebut agama itu sebenarnya apa?” tanya Jazuli tanpa tedeng aling-aling. Sekarang aku mengerti mengapa Jazuli tidak betah di pesantren lamanya. Jika dia suka menanyakan hal-hal seperti ini kepada para guru agama dan kiai yang kolot, jawaban yang akan dia terima hanyalah deretan kemarahan dari sang guru.
Tapi aku pun tak ingin menjawab dengan cara biasa yang hanya membuat para santri harus menghafalkan jawaban. Aku ingin anak-anak remaja ini berpikir lebih keras setiap kali mencoba mencari jawaban atas pertanyaan mereka sendiri. Maka, alih-alih aku menjawab, aku ambil lagi biola dan memainkan sebuah Asmaradhana yang membuat mereka terbuai sampai aku menyelesaikan utuh satu lagu.
“Nah, apa yang kalian rasakan setelah mendengarkan musik tadi?” tanyaku. “Coba satu-satu. Katakan apa saja yang kalian rasakan, tak usah ditutup-tutupi.”
“Aku rasakan keindahan, Kiai/7 jawab Daniel.
“Seperti mimpi rasanya,” sambung Sangidu.
“Semua persoalan seperti mendadak hilang. Tenteram,” tambah Jazuli.
“Damai sekali,” tukas Hisyam.
“Nah, itulah agama,” jawabku. Semua murid kembali saling tatap, menunggu lanjutan jawabanku. “Orang beragama adalah orang yang merasakan keindahan, rasa
tenteram, damai, karena hakikat agama itu seperti musik. Mengayomi dan menyelimuti. Karena itu, agama harus lata pelajari. Tidak hanya kita patuhi tanpa kita tahu dasar hukumnya. Itu namanya taklid, mengikuti sesuatu secara membabi buta.”
Keempatnya kini mengangguk mengerti. Mereka mulai tahu arah pengajian ini. Tapi aku masih ingin agar mereka lebih yakin dengan perumpamaan seperti ini sehingga aku serahkan biola kepada Hisyam. “Coba kamu mainkan.”
Hisyam langsung gemetar. “Aduh, maaf. Saya tidak bisa, Kiai.”
“Sebisamu saja.”
Hisyam terdiam, ragu. Dia melihat ke arah Daniel seperti ingin minta pertimbangan. Tapi Daniel hanya diam.
“Tak usah berpikir yang susah-susah,” saranku kepada Hisyam. “Coba saja kau mainkan seperti apa yang kau inginkan. Ikuti refleksmu saja.”
“Baik, Kiai. Saya coba,” jawab Hisyam sambil meletakkan biola di atas bahu kiri dekat leher, dan terlihat kesulitan ketika menjepitnya dengan dagu. Pada usaha pertama, biola itu melejit dari dagunya, membuat kawan-kawan tertawa.
“Pelan-pelan saja, tidak usah buru-buru,” ujarku. Hisyam mencoba sekali lagi, kali ini dia bisa menempatkan biola itu dengan baik dalam posisi yang tepat. Caranya memegang penggesek biola terlihat aneh, tetapi kudiamkan saja sepanjang dia merasa nyaman dengan cara memegang seperti itu.
Hisyam lalu mencoba membunyikan nada pertamanya, dengan gesekan yang menghasilkan bunyi seperti rem kereta berderit. Dia mencoba lagi, hasilnya tidak lebih baik. Wajahnya tampak bersiap menyerah. “Ayo, teruskan yang mantap,” ujarku.
Hisyam mencoba lagi, kali ini larut dalam perasaannya sendiri sehingga bunyi demi bunyi mulai mengalir, meski suara yang muncul malah membuat sakit kepala karena seperti menusuk-nusuk gendang telinga. Daniel dan Sangidu menutup kuping mereka, sedangkan Jazuli mencoba mengalihkan gangguan di telinganya dengan cara menyipitkan mata.
“Baiklah, selesai!” kataku kepada Hisyam. “Alhamdulillah,” seru Daniel, Sangidu dan Jazuli berbarengan sambil menurunkan tangan yang menutup telinga mereka. Hisyam mengembalikan biola kepadaku. “Maaf, ya, Kiai. Aku tidak bisa memainkannya,” katanya dengan nada pelan.
“Nah, bagaimana dengan permainan Hisyam tadi?” tanyaku. Tidak ada yang berkomentar. Hisyam tersenyum kecut. “Tidak apa-apa. Katakan saja,” ujarku.
“Edan sekali berantakannya, ya, Kiai,” jawab Hisyam. Yang lain tertawa dengan nada lepas karena tak harus mengatakan kalimat yang mungkin bisa menyinggung perasaan Hisyam.
“Bagaimana rasanya kamu memainkan musik seperti tadi, Syam?” tanyaku.
‘Tidak enak, Kiai. Maunya mendengarkan yang indah, tapi malah terganggu.”
“Begitu juga agama. Jika kita tidak mempelajarinya dengan baik, agama itu hanya akan membuat diri sendiri dan lingkungan terganggu.”
“Oh, begitu maksudnya, Kiai. Sekarang aku mengerti,” ujar Jazuli. Mata Daniel juga terlihat berbinar cerah. Hasyim mengangguk-anggukkan kepala.
“Apa yang sekarang kamu sudah mengerti, Jazuli?” tanyaku.
“Mmm … untuk bisa beragama dengan baik itu kita tidak boleh ikut-ikutan, tapi harus mengerti ilmunya juga,” jawab anak itu. “Seperti tadi, hanya karena melihat Kiai bermain biola, jangan langsung berpikir kita juga pasti bisa main biola.”
“Kesimpulan yang bagus itu. Ada kesimpulan lain?”
“Saya, Kiai,” Hisyam mengacungkan telunjuknya, sudah lebih aktif dia rupanya.
“Ya, Hisyam?”
“Dalam beragama kita tidak bisa hanya mengandalkan keinginan hanya karena kita merasa keinginan itu baik. Misalnya tadi saya merasa punya keinginan baik untuk bermain biola, tapi ternyata keinginan saya malah mengganggu saya dan teman-teman yang lain,” ulas Hisyam.
“Kesimpulan yang jeli Hisyam, terima kasih,” jawabku yang membuat cuping hidung anak itu mengembang, bangga.
“Nah, sekarang ada pertanyaan lain lagi?” Aku mengedarkan pandangan kepada mereka berempat yang saling mengacungkan telunjuk unjuk bertanya.
MALAM harinya Mas Noor datang ke rumahku. “Kamu sedang sibuk, Dahlan?” katanya. “Mana Idah dan Johanah?”
“Idah ada di dalam sedang menidurkan Johanah, Mas.”
“Aku dapat amanat untuk menyampaikan hal ini dari Kiai Penghulu Kamaludiningrat.”
“Amanat mengenai apa, Mas?”
“Khutbah Jumatmu yang lalu.”
“Apakah Ngarsa Dalem tersinggung?”
“Kiai Penghulu tidak menyebut-nyebut soal Ngarsa Dalem.”
“Jadi, di mana masalahnya?”
“Kiai Penghulu hanya bilang kepada saya kelihatannya adik Kiai Noor butuh nasihat untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan khutbah.”
“Kenapa?”
“Menurut Kiai Penghulu, dia tidak menolak ijtihad-ijtihad yang sering disuarakan oleh Syaikh Jamaluddin Al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh. Namun
belum tentu semua seruan baru itu benar buat kita, buat masyarakat Jawa. Jangan sampai masyarakat jadi tambah bingung dan terpecah belah dengan anjuranmu untuk tidak melakukan beberapa tradisi keagamaan yang selama ini sudah berjalan baik.”
“Lalu, jawaban Mas Noor apa?”
“Jawaban apa maksudmu?”
“Jawaban terhadap kekhawatiran Kiai Penghulu bahwa aku mulai memecah belah masyarakat…”
“Kiai Kamaludiningrat tidak bilang begitu Dahlan. Dia sama sekali tidak bilang bahwa kamu sedang berusaha memecah belah umat.”
“Mas Noor, kalau tadi Kiai Penghulu bilang supaya jangan sampai mayarakat jadi tambah bingung atas anjuranku pada khutbah Jumat lalu, itu artinya anjuranku sudah dilihatnya sebagai usaha untuk memecah belah masyarakat, bukan? Sebab kalau beliau tidak berpikiran seperti itu, bagaimana mungkin dia akan meminta Mas Noor bicara dengan saya?”
Mas Noor terdiam sejenak. “Hmm … aku minta kau lebih bijaksana sajalah dalam menyampaikan khutbah. Karena kita sendiri belum tahu bagaimana tanggapan Ngarsa Dalem terhadap sikapmu yang keras terhadap tradisi itu.”
“Aku tidak anti-tradisi, Mas Noor. Aku hanya keberatan terhadap tradisi yang memberatkan rakyat tapi harus dilakukan atas nama agama. Karena kalau begitu caranya, bagaimana akal kita bisa menerima sebuah agama yang memberatkan penganutnya sendiri?”
“Kamu sudah terlalu banyak terpengaruh ajaran-ajaran Afghani dan Abduh, Dahlan.”
“Aku mengambil ajaran dari mana saja yang menurutku paling jelas dalilnya, Mas Noor, bukan sekadar yang biasa dilakukan sebagai tradisi belaka. Mas Noor sendiri tahu seruan-seruanku masih berada dalam ajaran mazhab Syafi’i untuk fiqih, dan ajaran-ajaran Al-Ghazali untuk tasawuf. Hampir tidak ada bedanya dengan sebagian besar keyakinan masyarakat Jawa.”
“Yang jelas aku sudah menyampaikan amanat Kiai Penghulu, Dahlan.”
“Terima kasih, Mas Noor. Kalau Mas lebih dulu bertemu beliau, sampaikan salamku.”
“Baik, Dahlan. Oh ya, aku juga tadi sempat mendengar caramu mengajar di Langgar Kidul.”
Aku sempat tak menangkap apa yang Mas Noor maksudkan, karena tak merasa melihatnya dalam sebuah majelis hari ini. Jadi aku putuskan untuk bertanya, “Mengajar di Langgar Kidul apa maksud, Mas?”
“Itu, lho, yang tadi sore, terhadap empat pemuda, dengan biola.”
“Oh, itu. Bagaimana menurut Mas?”
“Terus terang aku kaget.”
“Menurut Mas, aku salah?”
“Aku tidak bisa bilang kau benar atau salah. Kamu pernah lima tahun di Makkah, belajar banyak ilmu agama,
jadi pasti punya dalil untuk melakukan apa yang kamu lakukan tadi sore. Seperti yang Mas bilang, Mas hanya kaget karena tidak pernah melihat cara mengajarkan agama seperti itu sebelumnya. Tidak pernah hal seperti itu dilakukan oleh bapak Mas, Kiai Fadlil, atau Kiai Abu Bakar semasa hidupnya. Bahkan Mas haqqul yakin juga tidak pernah melihat hal seperti itu dilakukan oleh kiai lain.”
“Tidak pernah dilakukan bukan berarti tidak boleh, Mas.”
“Mas mengerti, tapi cara dakwah yang seperti itu bisa disalahpahami masyarakat dan sebagian besar kiai, Dahlan. Kau tahu bagaimana para kiai umumnya memandang musik, haram! Sebuah kebatilan, karena melenakan jiwa dan pikiran dari mengingat Allah Swt. Sedangkan dakwah adalah kewajiban bagi kita sebagai Muslim, meski hanya satu ayat. Jadi bagaimana mungkin jika yang hak dan yang batil itu bercampur pada satu orang, apalagi yang berilmu tinggi sepertimu Dahlan. Kamu akan mencari banyak musuh sendiri jika tetap mengajarkan agama dengan menggunakan musik seperti itu. Kau tahu musik itu umumnya dimainkan dalam ibadah kaum Nasrani di gereja-gereja mereka.”
“Maksudku bukan mengikuti cara kaum Nasrani, Mas, hanya agar pengajaran agama lebih menarik bagi kaum muda. Membuat mereka lebih aktif bertanya, dan mencoba berpikir lebih keras untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berpendar di kepala mereka.”
“Ya, aku dengar, Dahlan,” jawab Mas Noor sambil menatap mataku tajam. “Aku mengerti maksudmu ketika menyuruh salah seorang santrimu memainkan alat musik itu. Tapi tidak setiap orang yang mendengar atau melihat caramu mengajar tadi akan bisa mengerti apa yang kau inginkan sebenarnya dengan cara mengajar seperti itu. Itu yang berbahaya. Jika kita ingin melakukan perubahan dengan cepat tanpa mempersiapkan dengan baik mental orang yang akan berubah, bisa menjadi hal berbahaya yang akan berbalik menyerang diri kita sendiri.”
Aku terdiam karena merasa Mas Noor tidak sepenuhnya memahami metode mengajarku.
DI LUAR kesibukanku mengajar di Langgar Kidul dan menjadi khatib Masjid Gedhe, kegiatanku yang lain adalah berdagang batik. Pekerjaan ini membuatku banyak mengunjungi daerah-daerah, termasuk ke Bantul seperti sore ini.
Selesai dengan urusan dagang, aku masuk ke dalam sebuah masjid yang agak besar. Hanya ada satu orang jamaah di dalam masjid sedang berzikir. Aku letakkan barang dagangan di atas tikar, dan berwudhu. Selesai berwudhu aku tidak langsung shalat melainkan mengamati arah saf yang lurus ke depan sesuai dengan arah masjid. Perasaanku mengatakan ada yang kurang
sesuai dengan posisi ini karena tidak akan mengarah ke jdblat, ke Ka’bah yang berada di Masjidil Haram, Makkah. Maka kukeluarkan kompas. Ternyata betul, posisinya melenceng agak jauh. Aku mencari-cari posisi kiblat yang sesuai dengan arah kompas.
Belum sempat aku memulai shalat sesuai dengan arah yang baru, kudengar ada suara ramai dan lenguh sapi di luar. Kepalaku langsung menoleh ke luar masjid, ternyata ada tiga orang pedagang sapi yang membawa sapi-sapi mereka ke halaman masjid, lalu mengikat hewan-hewan itu. Setelah itu ketiganya memasuki tempat wudhu. Aku hampiri mereka, yang ternyata hanya cuci muka, bukan berwudhu untuk shalat. Dugaanku betul.
“Assalamu ‘alaikum.” Aku menyapa mereka, yang mereka balas dengan anggukan hormat tanpa membalas salam.
“Kelihatannya capek sekali.” Aku melanjutkan pertanyaan.
“Iya, Kiai. Kami masih belum dapat pembeli meski sudah jalan ke tiga desa.”
“Ikhtiar terus Bapak-Bapak, jangan mudah menyerah. Tapi apakah sudah diimbangi dengan shalat? Minta pertolongan Allah?”
Ketiga pedagang itu saling tatap, tak ada yang menjawab pertanyaanku. “Sekarang sudah masuk waktu Asar. Mari kita shalat berjamaah, insya Allah nanti berkah.”
“Maaf, Kiai. Celana saya kena kotoran sapi. Najis/’ kata salah seorang pedagang. “Bagaimana shalat bisa diterima Gusti Allah?”
“Iya, Kiai. Celana saya juga,” sambung dua rekannya sambil menunjukkan bercak kotoran itu.
“Kalau begitu tunggu sebentar,” jawabku sambil masuk ke dalam masjid, mengambil tiga lembar kain daganganku, dan kembali keluar menyerahkan kain-kain itu kepada para pedagang sapi. “Pakai kain ini.”
Mereka melongo, dan menatapku tak percaya. “Tapi ini, kan, dagangan Kiai?” ujar salah seorang pedagang sapi.
“Tidak apa-apa, saya ikhlas buat sampeyan.”
Pedagang sapi yang lain memegang kain batik itu dengan hati-hati. “Wah, ini batik mahal. Halus sekali, dan motifnya juga bagus.”
“Berarti shalatnya juga harus lebih khusyuk,” jawabku. Mereka tertawa sambil mengucapkan terima kasih. “Kalau begitu tolong tunggu kami wudhu dulu, Kiai,” ujar pedagang yang lainnya lagi. “Baik,” jawabku sambil kembali masuk ke dalam masjid dan berdiri di atas sajadahku dalam posisi menghadap kiblat sesuai dengan arah yang ditunjukkan kompas.
Ketiga pedagang itu masuk ke dalam masjid dengan sudah mengenakan kain batik. Namun mereka terlihat bingung melihat posisi berdiriku. “Maaf, Kiai. Apakah posisi berdiri Kiai tidak miring?”
“Betul, Kiai. Di masjid ini posisi kiblatnya sudah sesuai arah lurus seperti selama ini,” ujar yang lain.
“Tidak, arah yang betul ke kiblat itu harusnya seperti ini,” jawabku tegas sambil menoleh ke belakang, memperhatikan posisi mereka. “Tolong ikuti saf saya. Rapatkan dan luruskan.”
Ketiganya kini mengikuti arah berdiriku tanpa memprotes lagi. Aku segera memulai takbiratul ihram. “Allahu Akbar!”
Salah satu hal yang kupelajari saat di Tanah Suci adalah ilmu falaq dan hisab. Dan salah seorang ulama yang sangat menguasai bagaimana cara melihat posisi bulan, bintang, serta benda-benda langit lain dalam menentukan waktu tertentu dan posisi sebuah tempat adalah Syaikh Jamil Jambek dari Minang, yang juga merupakan sahabat karib Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Aku belajar banyak kemampuan di bidang ini dan sering melatihnya bersama Syaikh Jambek, yang sangat murah hati dalam mengamalkan ilmunya. Ditambah dengan penggunaan kompas yang lebih teliti, penetapan posisi sebuah benda
atau lokasi tertentu seharusnya bukan menjadi hal yang sulit lagi.
Masalah yang segera muncul dengan penerapan kombinasi ilmu falaq, hisab, dan penggunaan kompas adalah banyaknya arah kiblat di berbagai masjid yang kurang tepat, terutama di tanah Jawa. Karena posisi Pulau Jawa berada di sebelah timur Ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam, banyak arah kiblat yang melenceng. Salah satu masjid yang juga tak benar arah kiblatnya adalah Masjid Gedhe Kauman. Ini mengkhawatirkan, karena jika masjid tempat Sri Sultan saja sudah tidak benar arah kiblatnya, bagaimana dengan masjid-masjid lain?
Karena itu, sesudah shalat Subuh pada suatu hari, sesampainya di rumah aku kembali membuka peta dunia yang aku dapatkan di Makkah, dan mencari letak Pulau Jawa. Lalu dengan seutas benang kutarik garis yang menghubungkan Kota Makkah dan Yogyakarta. Dengan bantuan kompas, aku melakukan beberapa perhitungan. Keyakinanku semakin tebal bahwa arah kiblat dari Masjid Gedhe Kauman tidak tepat.
Aku lalu kembali ke Masjid Gedhe. Jamaah sudah sepi karena kembali ke rumah masing-masing. Di serambi masjid aku melihat ke dalam ruangan pada saf-saf yang lurus ke depan. Aku masuk ke dalam masjid, dan membuka penghitunganku. Tidak salah lagi, arah kiblat masjid ini seharusnya miring beberapa derajat ke arah Barat Laut, seperti pada posisi angka 1 pada jam dinding buatan Belanda.
DALAM perjalananku ke pelbagai kota di luar Jogja, setiap masjid yang aku singgahi aku catat arah kiblatnya. Dan hampir semuanya salah arah. Kadang-kadang aku melakukan pekerjaan pencatatan arah kiblat ini di dalam kereta api yang sedang bergerak dari satu kota ke kota lain, di samping tumpukan kain batik daganganku.
Makin banyaknya masjid yang salah arah kiblat ini kian mencemaskanku. Bagaimana mungkin tidak ada upaya yang lebih serius untuk memperbaiki kesalahan yang telah terjadi di depan mata selama berpuluh-puluh, atau mungkin ratusan tahun ini? Jika Ka’bah adalah kiblat umat Islam dalam beribadah, dan ternyata selama ini keliru, lantas ke tempat apa selama ini wajah-wajah kaum Muslim di Pulau Jawa khususnya diarahkan?
Karena itu, ketika sedang di sebuah masjid di Magelang, aku memiliki kesempatan bertemu dengan imam masjid bersangkutan. Aku segera gunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. “Kenapa arah kiblat di masjid ini diarahkan ke Timur Laut, Kiai?” tanyaku.
“Ini disesuaikan dengan bahu jalan depan. Kiai,” katanya menjelaskan. “Nanti tidak enak dipandang kalau posisi masjidnya melenceng dari bahu jalan,” jawab sang imam.
“Oh, begitu. Tapi apakah tidak ada usaha membenahi agar posisi kiblat ini supaya lebih benar?”
“Buat apa repot-repot, Kiai. Kalau harus mengubah posisi masjid ini biayanya besar, dan Gusti Allah pasti juga sudah tahu bahwa kita shalat menghadap-Nya.”
Hampir di semua kota lain yang aku kunjungi, dan aku sempat berbicara dengan imam masjidnya, rata-rata jawaban yang mereka sampaikan senada dengan apa yang disampaikan imam Masjid Magelang.
AKU putuskan agar lebih dulu membicarakan masalah ini dengan Mas Saleh, yang kuanggap bisa lebih tenang dalam membicarakan masalah-masalah sensitif seperti ini dibandingkan dengan Mas Noor yang lebih temperamental, misalnya.
“Jadi begini, Mas,” ujarku saat Mas Saleh mampir ke rumahku. “Aku ingin berterima kasih lagi atas bantuan biaya dari Mas Saleh sewaktu aku pergi haji dan belajar di Makkah dulu.”
“Ah, itu tidak usah disebut-sebut, Dahlan,” tukas Mas Saleh.
“Mas kan tahu bahwa selama di sana aku juga banyak belajar ilmu falaq dan ilmu hisab. Belakangan ketika ilmu-ilmu itu aku terapkan untuk melihat posisi arah kiblat masjid-masjid di Pulau Jawa ini, ternyata banyak yang keliru, Mas.”
“Oh, ya?” sahut Mas Saleh mulai terdengar antusias.
“Iya, Mas. Sebagian besar yang pernah aku kunjungi arah kiblatnya meleset. Termasuk yang melesetnya agak besar adalah Masjid Gedhe Kauman. Salah arah kiblat,” ujarku sambil menjelaskan hasil perhitunganku selama ini.
“Masya Allah, salah kiblat bagaimana maksud, Dimas?” tanya Mas Saleh terkejut. Aku menghela napas panjang, mencoba menjelaskan dengan sangat hati-hati supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman.
“Begini, Mas. Dari hasil pengamatanku selama ini, semua masjid di Jawa ini mengarah lurus ke barat, bahkan ada juga yang ke timur laut. Kalau perhitunganku tidak keliru, yang benar arah kiblatnya hanya beberapa seperti Masjid Panembahan Senopati di Kota Gede, Masjid Demak, dan Masjid Ngampel di Surabaya,” jawabku sambil kembali menunjukkan hasil perhitungan arah kiblat masjid Kota Gede dibandingkan dengan Masjid Gedhe Kauman. “Saya juga sering berdiskusi lewat surat dengan Syaikh Jamil Jambek, guru saya waktu di Makkah, yang sekarang sudah balik ke Bukit Tinggi. Menurut Syaikh Jambek, kejadian ini juga banyak dialami masjid-masjid di kota itu, sehingga kami berpikir bisa jadi ini bukan hanya masalah di Jawa dan Bukit Tinggi, tapi juga di banyak tempat lain di Hindia-Belanda. Kita harus berani untuk mengusulkan perubahan yang mendasar ini, Kangmas,” ujarku.
Mas Saleh terdiam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Karena Mas Saleh juga pernah tinggal dan menuntut ilmu di Makkah, aku yakin dia juga sudah pernah mendengar, seandainya belum memikirkan dengan serius, ihwal arah kiblat masjid-masjid di Pulau Jawa yang menjadi salah satu topik obrolan para santri di Tanah Suci.
“Bagaimana, Mas?” tanyaku mengoyak keheningan
“Rasanya tidak semudah itu mengubah kiblat masjid besar, Dimas Dahlan,” jawabnya. “Sudah pasti Kiai Penghulu tidak setuju, belum lagi para kiai lain. Dan kalau pun para kiai bisa setuju, masih ada Ngarsa Dalem sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah yang akan merestui atau tidaknya perubahan arah kiblat itu. Sama sekali tidak.”
“Tapi, Mas Saleh bisa melihat dasar pertimbangan dan perhitunganku?”
“Bisa. Cuma ini akan lebih sulit di lapangan nantinya Dahlan. Tidak semudah seperti waktu Dimas mengkritik soal Nyadran dan Ruwahan menjelang Ramadhan. Ini menyangkut bentuk fisik masjid yang suci,” ujar Mas Saleh.
Aku mengerti dasar kekhawatiran Mas Saleh karena itu aku sampaikan ide lain yang kuharapkan bisa mempermudah situasi ini. “Bagaimana kalau sebelum bicara dengan Kiai Penghulu kita bicara dulu dengan Kangmas Lurah Noor? Dengan jabatan beliau sebagai Kepala Berjamaah Masjid Gedhe, mungkin prosesnya akan lebih mudah. Maksudku setelah Mas Noor mengerti pentingnya perubahan arah kiblat ini.”
“Bisa kita coba,” jawab Mas Saleh dengan nada ragu yang begitu kentara di suaranya. “Tapi terus terang aku tidak terlalu yakin Mas Noor akan bisa menerima usulmu ini.”
Lagi-lagi aku bisa mengerti dasar kekhawatiran Mas Saleh karena aku juga cukup mengenal watak Mas Noor. Tapi jika upaya membicarakan arah kiblat ini tidak dimulai dari sekarang, lantas siapa yang akan mengambil inisiatif untuk membahasnya untuk kemaslahatan publik? Sebab dari hasil pengamatanku selama ini, ternyata cukup banyak juga kiai yang tahu mengenai melencengnya arah kiblat ini, tapi mereka memilih untuk tidak membahasnya secara terbuka.
Kekhawatiran Mas Saleh terbukti. Ketika akhirnya aku berdiskusi dengan Mas Noor pada malam harinya. Mas Noor menunjukkan keberatan yang lebih jelas terhadap ideku ketimbang yang ditunjukkan Mas Saleh.
“Ini masalah sangat serius, Dahlan,” ujar Mas Noor. “Masjid Gedhe sudah berdiri lebih dari dari satu abad lamanya sejak Ngarsa Dalem Hamengkubuwono I memerintah. Kalau kamu menyalahkan arah kiblat Masjid Gedhe besar, itu artinya bukan saja kau menyalahkan Kiai Haji Wiryokusumo yang membangun masjid ini, melainkan juga meremehkan para Ngarsa Dalem sebagai Khalifatullah Panatagama yang menjadi wakil Allah di tanah Jawa ini, Dimas.”
“Saya tidak menyalahkan dan meremehkan siapa-siapa, Mas. Saya hanya ingin mengatakan bahwa arah kiblat yang kita yakini selama ini menghadap ke Ka’bah itu ternyata keliru, baik berdasarkan perhitungan ilmu falaq dan hisab maupun dengan bantuan alat-alat baru seperti kompas,” jawabku. “Dan lagi, bukankah para khalifah itu juga manusia yang tak luput dari khilaf Mas?”
“Maksudmu?”
“Maksudku adalah jangankan para Ngarsa Dalem khalifah besar seperti Utsman bin Affan r.a. saja pernah melakukan kesalahan sampai menimbulkan perang saudara, bukan? Mas Noor tahu sejarah ini.”
Kiai Lurah Muhammad Noor yang juga kakak ipar pertamaku ini terdiam sebelum menggeleng-gelengkan kepalanya. Ekspresi wajahnya mengeras. “Ini bisa menjadi masalah baru Dahlan. Pendapatmu harus bisa dibuktikan.”
“Insya Allah saya siap, Kangmas.”
“Aku mau tanya satu hal Dahlan …”
“Silakan, Mas Noor.”
“Aku lihat sejak pulang dari Makkah, kau banyak sekali terpengaruh pemikiran para Syaikh seperti Al-Afghani, Abduh, dan Rasyid Ridha. Apakah kau tidak melihat bahwa pemikiran-pemikiran itu justru banyak menimbulkan masalah baru di negeri-negeri Muslim ketimbang mencari jalan keluar dari masalah yang sudah ada?”
“Mungkin saja aku terpengaruh pemikiran-pemikiran seperti yang Mas Noor katakan itu. Tapi sebetulnya itu terjadi bukan hanya sesudah aku pulang dari Makkah, Mas. Sebelum berangkat pun aku mempertanyakan banyak hal yang menurutku harus dipertanyakan jika ternyata dalam pelaksanaannya mem-
beratkan masyarakat,” jawabku. “Aku ingat sejak umur 10 tahun ketika bapak seorang kawanku meninggal dan keluarganya melakukan yasinan 40 hari, aku melihat ibunya terjebak dalam pinjaman uang pada seorang lintah darat untuk bisa melaksanakan acara yasinan itu.”
“Begini, Dimas Dahlan. Kangmas rasa kau masih belum mengerti, bahwa pertanyaan-pertanyaan yang sering berkelebatan di otak Dimas itu juga dialami oleh banyak ulama dan kiai-kiai lain, termasuk Mas Noor sendiri. Tapi saat ini kita harus bisa memusatkan perhatian bahwa musuh kita pertama-tama itu adalah orang-orang Belanda, orang-orang kafir, atau orang-orang Hindia-Belanda yang menindas rakyat negeri ini. Itu yang mutiak dan wajib dilawan,” seru Mas Noor berapi-api. “Kita jangan sampai memecah belah ukhuwah antara umat dengan kalangan kiai dengan usulan-usulan yang tidak terlalu penting dan bisa dikerjakan kemudian. Ini pasti pekerjaan orang-orang yang tidak senang Islam berjaya.”
“Tapi para ulama dan syaikh seperti Al-Afghani dan kawan-kawan itu juga berkeinginan agar Islam kembali berjaya, Mas Noor. Cuma mereka melihat akar penghambat kemajuan kaum Muslim saat ini banyak yang berada di umat Islam sendiri, bukan di pihak luar. Makanya kita harus terus mengusahakan agar umat dalam beragama tidak sekadar ikut-ikutan dan mengerti dalilnya, termasuk soal arah kiblat.”
“Dahlan, umat kita ini, rakyat Yogyakarta ini, sudah terlalu banyak masalah yang harus mereka hadapi sehari-hari. Jangan harap mereka masih punya cukup waktu untuk mendalami agama seperti kita. Itulah sebabnya mengapa bagi sebagian besar umat cukup dengan mengikuti teladan para ulama dan kiai saja dalam beribadah. Sementara itu para kiai sendiri selayaknya lebih kompak dan tidak memberikan contoh yang berbeda-beda di depan umat,” jawab Mas Noor. Kami terdiam sejenak. Aku merasakan bahwa titik pijakku dan Mas Noor dalam melihat masalah ini sangat berbeda, meski kami sama-sama punya tujuan untuk kemaslahatan umat.
“Jadi, untuk masalah arah kiblat ini bagaimana saran, Mas?” tanyaku lagi.
“Kalau menurut Dimas hal ini memang sangat penting untuk dibahas, tak ada jalan lain selain membicarakannya secara terbuka di antara para kiai lebih dulu, jangan langsung dilemparkan ke tengah-tengah masyarakat.”
“Baik, Mas.”
“Dan kamu juga harus siap jika dalam pembicaraan nanti ternyata para kiai, umpamanya, menolak usulan Dimas untuk mengubah arah shalat ini. Sebab bisa saja perhitungan Dimas ini benar secara akal untuk arah kiblat, tapi para kiai punya pertimbangan lain yang lebih luas daripada sekadar penggunaan kompas.”
DARI hasil pembicaraan dengan Mas Saleh dan Mas Noor itu akhirnya kusimpulkan memang tak ada cara yang
lebih baik selain mengundang para kiai untuk membahas soal ini di Masjid Gedhe Kauman. Namun baru pada akhir tahun 1897 aku berhasil membentuk Majelis Musyawarah yang beranggotakan para kiai Jogja dan dari luar kota. Tujuannya adalah untuk membicarakan masalah arah kiblat yang menurutku sudah sangat mendesak ini. Meski sudah ada keinginan untuk bertemu, menggelar sebuah pertemuan yang waktunya bisa disepakati para kiai adalah sebuah kesulitan lain, mengingat kesibukan para ulama ini. Walhasil pertemuan pertama baru bisa berlangsung pada 1898, atau hampir dua tahun setelah aku diangkat jadi tibamin Masjid Gedhe.
Para kiai yang datang selain para kakak iparku adalah Kiai Penghulu Kamaludiningrat, guruku Kiai Abdul Hamid Lempuyangan, Kiai Muhammad Faqih, Kiai Abdullah Siraj Pakualaman, Kiai Khatib Cendana, tiga orang kiai dari Wonokromo, yakni Kiai Marzuki, Kiai Syafi’i dan Kiai Kholil, dan Kiai Abdullah dari Blawong. Kiai-kiai lain dari Kauman yang hadir adalah Kiai Ja’far bin Fadlil, Kiai Abdu Rahman, dan Kiai Muhammad Humam. Selain para kiai, pertemuan ini juga diikuti oleh lima orang remaja, yakni Sangidu, Daniel, Jazuli, dan Hisyam yang merupakan santriku, serta Dirjo keponakan Kiai Penghulu Kamaludiningrat yang bertubuh pendek gempal. Sayangnya, pertemuan yang menurutku sangat penting ini tidak bisa dihadiri oleh para kiai yang menguasai ilmu falaq, yaitu Kiai Haji Raden Dahlan
dari Termas, Pacitan, dan Sayid Usman Al-Habsyi yang tinggal di Batavia.
Pertemuan penting itu berlangsung juga pada satu malam yang cerah. Langit terang dan angin bertiup sepoi-sepoi, menjadi pengantar sempurna untuk pembahasan yang kuperkirakan akan berlangsung hangat ini. “Alhamdulillah saya gembira melihat persiapan para kiai yang dimuliakan Allah yang datang ke sini dengan membawa kitab-kitab penting atau naskah-naskah sebagai rujukan untuk membahas persoalan arah kiblat di Pulau Jawa ini pada umumnya dan di wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada khususnya. Semoga pertemuan silaturahim munadzarah ini dapat menghasilkan mufakat yang bulat di antara kita semua. Itu dulu pengantar untuk pembicaraan masalah ini, silakan jika ada yang ingin langsung berkomentar,” ujarku.
Dan benar saja, belum cukup aku mengambil napas selesai memaparkan problem arah kiblat ini, Kiai Siraj Pakualaman langsung bicara dengan nada tegas. “Maaf, Kiai Dahlan. Kiblat itu bukan soal arah, tapi soal kalbu,” katanya tanpa tedeng aling-aling, membuat suasana langsung senyap. “Allah Jumeneng tidak diukur letaknya berdasarkan arah, karena Allah berada di dalam kalbu umat.”
“Saya setuju,” sahut Kiai Muhammad Faqih tak kalah tegas. “Ini sudah menyangkut soal keyakinan. Allah is sESKs SUs maVhlnk-Nva. Ke mana pun kita
menghadap, di situ ada Allah. Tak perlu hitung-hitungan yang susah seperti ini untuk menentukan arah kiblat,” katanya dengan sorot mata tajam.
“Baiklah, para kiai yang saya hormati. Saya tidak akan membantah pendapat-pendapat itu. Pertanyaan saya hanya satu, kalau sekiranya kita tidak perlu repot-repot menentukan arah kiblat, lantas mengapa Allah menetapkan Ka’bah di Masjidil Haram sebagai kiblat bagi kita umat Muhammad Saw., tidak lagi menghadap ke Masjidil Aqsha seperti sebelumnya? Mengapa kita tidak shalat bebas menghadap ke arah mana saja? Bukankah seluruh bumi dan isinya ini milik Allah, sehingga seharusnya memang tidak perlu ditetapkan kiblat secara khusus karena semua toh sudah pasti akan menghadap ke hadirat Allah juga? Jadi, mengapa selama ini kita mengajarkan kepada para santri dan masyarakat bahwa shalat harus menghadap kiblat?”
Seluruh hadirin terdiam mendengarkan jawabanku. Para kiai juga tak ada yang menjawab, selain beberapa orang membolak-balik kitab fiqih yang menjadi rujukan. Tapi keadaan itu tak berlangsung lama karena Kiai Penghulu akhirnya ikut berpendapat. “Jika kiblat Masjid Gedhe ini salah, lantas apa yang membuat kami bisa meyakini bahwa arah kiblat yang Kiai Dahlan sebut itu yang benar?”
Aku memberikan isyarat kepada Daniel dan Jazuli agar kembali maju membawa peta dunia. Aku bentangkan peta itu sekali lagi. “Silakan para kiai melihat ini lebih dekat/’ ujarku disambut gerakan tubuh para ulama itu vang beringsut maju mengelilingi peta.
“Ini Pulau Jawa tempat kita sekarang,” ujarku sambil menunjuk gambar. “Dan mi adalah Kota Makkah tempat Masjidil Haram berada,” lanjutku sambil menunjukkan sebuah titik lain dalam peta. “Kalau dari Pulau Jawa ini kita tarik garis lurus ke Masjidil Haram …” ujarku sambil membentangkan benang yang diberikan Daniel,maka akan kita lihat bahwa secara ilmu falaq bahwa antara Jawa dan Makkah ini tidak persis lurus ke barat. Coba lihat ini. Kalau lurus ke barat itu harusnya ke sebelah sini.” Aku melanjutkan sambil merentangkan benang yang lain.
Para kiai melihat lebih dekat apa yang baru saja kujelaskan. “Nah, dari hal ini saja terlihat jelas bahwa tidak ada dasarnya kita mengarahkan kiblat persis ke barat jika ternyata posisi shalat kita tidak mengarah ke Masjidil Haram, bukan?”
Ekspresi tercengang kini terlihat di wajah para kiai. Namun Kiai Abdullah dari Blawong masih punya pertanyaan lain. “Kalau begitu, mengapa saat ini semua masjid di Nusantara ini memiliki arah kiblat ke barat, Kiai Dahlan?”
“Saya kira penjelasannya begini Kiai Abdullah,” jawabku, “sejak awal berdirinya masjid di kepulauan Nusantara ini, yang umum diketahui adalah bahwa Tanah Suci berada di sebelah barat kita, dan kita berada di sebelah timur Tanah Suci. Jadi karena “itu seluruh arah kiblat otomatis langsung dibuat menghadap j»
barat, meski pada beberapa masjid yang saya lihat ada juga yang tidak persis ke barat, tapi lebih mengikuti arah jalan di depan masjid supaya posisi rumah Allah itu tidak terlihat aneh dengan jalan di depannya. Tetapi, kan, ilmu pengetahuan berkembang. Ternyata arah mata angin bukan hanya empat barat, timur, utara, selatan, tetapi ada juga arah lain pada masing-masing di antara arah mata angin utama itu. Dan untuk penentuan posisi yang tepat sekarang dimudahkan lagi dengan dibuatnya kompas oleh manusia. Terbukti dalam dunia pelayaran, kebutuhan kompas menjadi sangat penting karena bisa lebih cepat dan akurat dibandingkan hanya membaca pergerakan bulan dan bintang-bintang di angkasa.”
Wajah Kiai Penghulu terlihat gusar. “Kita tidak bisa begitu saja membongkar Masjid Gedhe, Kiai Dahlan,” katanya.
“Tidak, kita tidak perlu membongkar masjid,” ujarku. “Kita hanya mengubah posisi arah shalat kita 24 derajat dari arah sekarang.” Aku lantas berdiri mencontohkan perubahan arah itu dari arah sekarang, lalu kembali duduk. “Seperti itulah arah kiblat yang benar di Masjid Gedhe ini. Kalau untuk masjid-masjid lain, terutama yang para kiai pimpin di luar Jogja harus ditentukan ulang posisi masing-masing,” ujarku.
Kiai Siraj Pakualaman dan Kiai Muhammad Faqih berpandangan. Aku segera melanjutkan penjelasanku. “Dalam sejarah Islam, perubahan kiblat ini sebetulnya bukan hal baru bukan, Kiai? Ketika Allah memerintahkan Rasulullah Muhammad Saw. mengubah kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram, maka beliau berputar 180 derajat seperti ini,” kataku mencontohkan perubahan posisi sebanyak setengah lingkaran itu, sehingga berlawanan arah dengan posisi sebelumnya.
Aku lihat Kiai Abdul Hamid Lempuyangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari awal perbincangan tadi hanya beliau yang tidak menunjukkan gejala penolakan. Para kiai lain kulihat sedang berpikir keras ketika suara Mas Noor terdengar. “Apakah Dimas yakin bahwa gambar dalam peta ini benar?”
“Kebenaran hanya milik Allah, Kangmas Noor,” jawabku sambil memberikan isyarat kepada Daniel dan Jazuli agar mereka melipat peta dunia dan kembali ke belakang agar perbincangan bisa kembali berlanjut lebih leluasa. “Kewajiban kita hanya sebatas berikhtiar, Kangmas.”
“Tetapi gambar itu bikinan orang kafir, Kiai Dahlan. Saya ingat pernah melihat gambar seperti itu di kantor pemerintah Hindia-Belanda,” tukas Kiai Siraj Pakualaman dengan nada tinggi. “Kalau kita mengarahkan kiblat berdasarkan gambar buatan orang kafir itu, artinya sama saja kita ikut pada kekafiran. Dari mana kita bisa tahu bahwa gambar itu memang tidak dibuat oleh orang-orang kafir dengan tujuan untuk sengaja mengacaukan keyakinan Muslimin?”
“Kalau masalahnya adalah gambar peta itu buatan orang kafir. Kiai,” ujarku sambil mencoba
bicara setenang mungkin agar emosi Kiai Siraj kembali reda. “bagaimana kita melihat perjalanan haji kita yang menggunakan kapal laut bikinan orang-orang kafir? Bukankah berarti haji yang kita lakukan juga tidak sah, bahkan menjadi haji kafir? Apa begitu maksud, Kiai?” Daniel dan Jazuli terkikik geli yang mereka coba tahan sekuat tenaga saat mendengar penjelasanku. Wajah Kiai Siraj terlihat memerah.
“Maaf, Kiai Dahlan. Saya masih yakin bahwa Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono I yang memerintahkan pembangunan Masjid Gedhe ini tidak ceroboh soal arah kiblat. Beliau pasti sudah banyak berkonsultasi dengan para kiai terdahulu yang juga mengerti ilmu falaq dan hisab, serta tidak asal-asalan membangun posisi masjid tanpa perhitungan,” kata Kiai Kamaludiningrat yang terkesan sebagai usaha terakhirnya untuk melindungi wewenang dan wibawanya sebagai Kiai Penghulu. “Selain itu lebih dari satu abad umat Islam di Ngayogyakarta Hadiningrat ini meyakini Ngarsa Dalem sebagai Sayyidin Panatagama. Saya kuatir pandangan Kiai Dahlan akan memicu perpecahan sebagaimana saudara-saudara kita Kaum Paderi di Sumatra Barat.”
“Betul sekali pendapat Kiai Penghulu itu, Kiai Dahlan,” sambar Kiai Siraj. “Kita harus berhati-hati pada kaum kafir dan munafik. Mereka akan menggunakan berbagai cara untuk memengaruhi keimanan kita.”
Seluruh hadirin kini mengangguk-anggukkan kepala mereka. Pertemuan berjam-jam yang berakhir menjelang shalat Subuh itu lantas ditutup dengan kesimpulan yang saking begitu jelasnya sehingga yang tak perlu diucapkan lagi: bahwa perubahan arah kiblat bagi Masjid Gedhe dan masjid-masjid lain di Pulau Jawa tak diperlukan. Aku mencoba membesarkan hatiku yang terasa agak tawar dengan hasil perbincangan ini. Majelis pun bubar.
Shalat Subuh berjamaah akan dimulai diimami oleh Kiai Abdullah Siraj Pakualaman. Seluruh makmum sudah berdiri sesuai dengan saf yang berlaku selama ini—kecuali aku. Aku berdiri dengan posisi miring 24°ke arah Barat Laut, seorang diri. Ini memang bukan pilihan yang mudah. “Para kiai yang lain melihat ke arahku dengan mata bertanya-tanya, tapi tak ada yang menegur langsung. Tidak juga kakak iparku Mas Noor yang biasanya sangat vokal.
Awalnya ini juga terasa dilematis bagiku. Jika aku memilih shalat dengan menghadap ke arah kiblat yang aku yakini, dan shalat itu aku lakukan di rumah atau di Langgar Kidul, tentu tidak ada masalah. Tapi jika aku lakukan seperti sekarang ini di Masjid Gedhe, sudah pasti akan menjadi tontonan dan pembicaraan semua orang. Namun jika aku sendiri tidak yakin terhadap apa yang kusampaikan pada malam sebelumnya, dan memilih untuk mengikuti saf seperti jamaah lain yang baru aku protes malam sebelumnya, tidak akan pernah ada orang yang menganggap serius protesku itu. Sehingga dari dua pilihan kemungkinan itu aku memutuskan untuk tetap bertahan pada apa yang aku yakini benar, bukan
mengikuti keinginan mayoritas yang sudah aku yakini tidak benar.
“Luruskan dan rapatkan saf,” ujar Kiai Siraj sambil menolehkan kepalanya ke belakang, dan melihat ke arahku. Tapi tentu saja posisiku yang berbeda dengan jamaah lain membuatku tak bisa benar-benar merapatkan posisi kaki dengan jamaah yang berada di sebelah kanan dan kiriku.
Shalat Subuh pertama yang terasa begitu berbeda.
HARI itu aku merasakan mulai adanya semacam jarak yang tercipta di antara para kiai lain, termasuk para kakak iparku, denganku. Pilihanku pada saat shalat Subuh untuk tetap mengikuti arah kiblat yang lebih aku percayai, kuyakini telah membuat terkejut para kiai yang lebih tua dan lebih berpengalaman dariku. Dan aku yakin sikapku itu juga sudah mereka bicarakan entah bagaimana caranya.
Kesimpulan ini aku rasakan ketika pada siang harinya aku berpapasan dengan Mas Noor dan Mas Muhsin. Dari kejauhan aku lihat mereka sedang serius berbicara sambil berjalan. Entah apa yangsedangmerekabicarakan. Namun ketika pandangan mata kami berpapasan dari jauh, kulihat mereka langsung menghentikan pembicaraan dengan mendadak. Dan ketika kami berpapasan muka, salamku hanya mereka sambut dengan jawaban lemah yang tidak bersemangat seperti biasanya.
Ucapan Mas Saleh seperti terngiang-ngiang lagi di telingaku saat dia menjawab niatku untuk mengusulku perubahan arah kiblat. “Cuma ini akan lebih sulit di lapangan nantinya Dahlan/’ ucap Mas Saleh. “Tidak semudah seperti waktu Dimas mengkritik soal Nyadran dan Ruwahan menjelang Ramadhan. Ini menyangkut bentuk fisik masjid yang suci.”
Terngiang-ngiang lagi ucapan Kiai Siraj Pakualaman di telingaku. “Kita harus berhati-hati pada kaum kafir dan munafik. Mereka akan menggunakan berbagai cara untuk memengaruhi keimanan kita.”
Aku sungguh heran bagaimana sebuah usulan tulus yang aku lakukan secara ikhlas—karena aku memiliki kemampuan ilmu falaq di atas rata-rata kemampuan para kiai itu—justru membuatku digolongkan, meski secara tersamar, sebagai bagian dari ‘kaum kafir dan munafik’?
BEDUK Subuh belum lama terdengar ketika terjadi kegemparan di Masjid Gedhe Kauman yang dimulai dari teriakan panik Kiai Penghulu Kamaludiningrat. “Astaghfirullah!” jeritnya dengan nada tinggi.
“Ada apa, Kiai?” tanya para marbut sembari berlarian masuk ke dalam Masjid Gedhe. “Lihat itu!” ujar Kiai Kamaludiningrat dengan suara bergetar menunjuk ke arah lantai. Sebuah garis saf baru dari kapur kini terlihat di atas lantai dengan posisi miring 44° ke arah Barat Laut. Garis itu terlihat baru dibuat karena pada saat shalat Isya pada malam sebelumnya, garis saf baru itu masih Badan Kiai Penghulu bergetar karena amarah. “Siapa yang berbuat lancang seperti ini?” katanya ke arah para marbut yang ketakutan.
“Tidak tahu, Kiai,” jawab salah seorang marbut. “Semalam garis saf ini tidak ada.”
“Itu saya tahu, makanya saya tanya kalian.”
“Bukan kami, Kiai,” sahut marbut lainnya.
“Benar-benar lancang sekali!” Kiai Penghulu masih belum hilang amarahnya. “Ini sudah penghinaan yang tak bisa dibiarkan.”
“Nanti akan kami cari tahu siapa pelakunya, Kiai.”
“Harus! Ngarsa Dalem bisa marah luar biasa kalau tahu masalah ini.”
“Kalau begitu bagaimana jika garis saf ini kita hapus saja supaya Ngarsa Dalem tidak tahu, Kiai?”
“Tidak! Garis ini harus tetap ada sampai yang membuatnya melihat lagi di depan saya dan para kiai lain, dan siapa pun yang melakukannya entah warga biasa atau ulama, harus meminta maaf atas kelancangannya ini. Mengerti?”
“Mengerti, Kiai. Jadi garis saf yang baru ini tidak boleh dihapus.”
“Ya, tidak ada seorang pun di antara kalian yang boleh menghapusnya. Sebaliknya, garis ini harus tetap dijaga jangan sampai dihapus orang, karena ini akan menjadi barang bukti bahwa sudah ada yang berniat buruk untuk menodai kesucian Masjid Gedhe Kauman ini.”
GEGER adanya saf baru yang dibuat dengan kapur di Masjid Gedhe Kauman itu diceritakan kembali oleh Daniel kepadaku di Langgar Kidul pada sore harinya, karena sejak dari kemarin aku sedang ada urusan keluar kota. “Wong edan itu yang berani bikin saf baru tanpa izin, padahal Kiai Dahlan saja yang baru mengusulkan perubahan arah kiblat masih membicarakan dulu dengan kiai-kiai lain,” katanya. Kini aku baru mengerti mengapa sejak aku memasuki Kauman tadi, puluhan tatapan mata terarah aneh kepadaku.
“Nekat sekali orang itu,” tukas Sangidu. Jazuli yang biasanya banyak bicara, kali ini lebih sering diam. Dia tampak sedang memikirkan sesuatu.
“Zul, jangan-jangan kamu yang ngapur Masjid Gedhe, ya?” tuding Hisyam langsung.
“Gundulmu!” bantah Jazuli sambil menatap ke arahku. “Mana berani aku melakukan itu, kecuali kalau disuruh oleh Kiai Dahlan. Apalagi Kiai tidak menyuruhku sama sekali.”
“Jadi, siapa yang melakukannya?” tanya Hisyam bingung.
“Mana aku tahu,” jawab Jazuli. “Makanya sejak tadi pagi aku dengar ada kejadian ini dari Mas Daniel, aku berpikir siapa kira-kira orang yang melakukan ini.”
“Menurutmu siapa, Zul?” tanya Sangidu.
“Aku tidak ada bayangan siapa pelakunya,” ujar Jazuli.
“Kalian sudah ada yang melihat bentuk saf baru itu?” tanyaku mencoba untuk mendapatkan gambaran lebih jelas.
‘Tidak ada yang diperbolehkan melihat lebih jelas oleh Kiai Penghulu, Kiai,” jawab Daniel.
“Maksudnya tidak diperbolehkan itu apa? Kamu tidak diizinkan masuk masjid?”
“Masuk ruangan utama Masjid Gedhe boleh Kiai tapi bagian yang dikapur itu dijaga para marbut karena warga yang mau melihat banyak sekali. Marbut-marbut itu bilang kalau tidak dijaga nanti pelakunya akan menghapus.”
“Hmm … apakah tadi Kiai Noor, Kiai Muhsin, atau Kiai Saleh datang ke sini?” tanyaku kepada Sangidu.
“Tidak ada, Mas,” jawab anak itu.
“Atau ada kiai lain yang datang kemari?”
“Tidak ada juga, Kiai.” Kali ini Daniel yang menjawab. “Kenapa mereka harus datang kemari, Kiai?”
“Ya, barangkali saja,” jawabku.
Tiba-tiba dari arah depan terdengar ada kesibukan. Seorang marbut Masjid Gedhe Kauman menerobos masuk. “Mana Kiai Dahlan?”
“Masuk ke langgar itu ucapkan salam dulu kenapa, sih?” Daniel mengeluarkan komentar ketus terhadap sang Marbut itu.
“Ada apa?” tanyaku kepada marbut yang mengangsurkan sepucuk surat. “Ini ada surat dari Kiai
Kamaludiningrat,” katanya. Tanpa menunggu lebih lama, dia langsung minta izin pulang. “Tidak tunggu balasan dulu,” kataku sambil membuka surat itu.
“Tidak perlu, Kiai,” kata marbut itu sambil pergi.
Aku masukkan kembali surat itu ke dalam amplopnya, dan menghela napas panjang. Para santriku memperhatikan dengan wajah ingin tahu. “Apa isinya, Kang-mas?” tanya Sangidu.
“Penting sekali, ya, Kiai?” tanya Jazuli.
“Ya, lumayan penting. Pemberitahuan agar segera datang ke Masjid Gedhe,” jawabku.
“Kalau begitu ini pasti soal saf kapur itu,” tebak Daniel. “Boleh kami ikut?”
“Tidak ada larangan di sini,” jawabku menatap para remaja yang bersemangat ini. “Mari kita jalan sekarang.”
Di dalam Masjid Gedhe, Kiai Kamaludiningrat sudah menunggu dengan wajah tidak sabar, bersama beberapa orang marbut dan Dirjo keponakannya. “Maaf kalau saya mengganggu Kiai Dahlan. Tapi, kita harus melihat bersama-sama soal ini katanya,” sambil menunjuk garis saf baru yang membuat geger Kauman hari ini.
“Ini pelanggaran berat, Kiai Dahlan,” ujar Kiai Penghulu dengan nada suara seperti hakim di pengadilan. Kuperhatikan lagi garis saf itu, posisinya persis seperti yang pernah aku sampaikan kepada para kiai beberapa malam lalu. Aku berpikir keras siapa kiranya dari murid-muridku yang melakukan ini tanpa sepengetahuanku.
“Kiai Dahlan/’ ujar Kiai Kamaludiningrat membuyarkan pikiranku. “Siapa menurut Kiai yang melakukan ini?” katanya tak sabar.
Aku menatap tajam Daniel, Jazuli, Hisyam Sangidu dan beberapa yang lain. Memang sulit rasanya membayangkan garis kapur itu akan dilakukan oleh santri-santri lain yang tidak belajar padaku. Jadi, aku bisa mengerti alasan kemarahan Kiai Kamaludiningrat. “Aku tidak akan menghukum kalian jika memang kalian yang melakukan ini,” kataku sambil berganti-ganti memperhatikan mereka. Tak ada yang menjawab.
“Apakah kamu, Nil?” tanyaku.
“Tidak, Kiai.”
“Zul?”
“Tidak, Kiai.”
“Syam?”
“Tidak, Kiai.”
“Sangidu?”
“Berani sumpah demi Gusti Allah. Bukan saya, Kangmas.”
“Dari informasi yang saya dengar, ada empat orang anak muda yang melakukan ini semalam, bukan hanya sendirian,” tukas Kiai Kamaludiningrat.
“Kalau anak muda di Kauman ini banyak sekali, Kiai,” jawabku. “Sebagian besar marbut masjid ini juga anak-anak muda…”
“… tapi marbut di sini tidak mungkin ada yang berbuat lancang seperti ini,” potong Kiai Penghulu sambil kembali memperhatikan garis kapur itu.
“Begini saja Kiai Penghulu, kalau memang para pelakunya itu nanti terbukti murid-muridku, aku sendiri yang akan mengambil tindakan keras terhadap mereka,” ujarku.
“Maaf, Kiai Dahlan. Tapi, masalah ini harus kita selesaikan sekarang juga,” ujar Kiai Penghulu. “Sebelum terungkap siapa pelakunya, kita tidak bisa bubar.”
“Tapi bagaimana lagi kalau santri-santri saya tidak ada yang mengakui?” jawabku. “Jangan-jangan memang ada orang lain yang melakukannya dan tidak ada di sini sekarang.”
“Aku rasa pelakunya masih di sini,” jawab Kiai Penghulu dengan arah pandangan, yang entah mengapa kurasakan, sangat menuduh dan begitu yakin bahwa pelakunya adalah para santriku.
“Ya boleh saja Kiai berkeyakinan begitu,” jawabku. “Tapi bagaimana cara membuktikannya?”
“Orang-orang yang bohong dan berdusta tak akan mendapat rahmat Allah dalam hidupnya,” ancam Kiai Penghulu Kamaludiningrat sambil kembali mengedarkan pandangannya ke arah santri-santriku.
Tanpa diduga, tiba-tiba terdengar suara keras. “Saya yang melakukannya Pakde!” Aku melihat ke arah datangnya suara. Dirjo! Keponakan Kiai Penghulu itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Aku yang meminta kawan-kawanku untuk membuat saf baru itu.”
Semua mata kini memandang ke arah Dirjo yang wajahnya memucat. Tangannya masih saja teracung ke atas. Berbeda dengan wajah sang keponakan yang memutih, wajah Kiai Kamaludiningrat justru mendadak merah seperti udang rebus. Badannya bergetar menahan amarah. “Kamu?” tanyanya bergetar tak percaya.
“Iya, Pakde,” Dirjo ketakutan. “Maafkan saya Pakde, Kiai Dahlan,” kata Dirjo sambil menatapku. “Siapa lagi yang membantumu, Jo?” desak Daniel, kesal.
“Saya saja nanti yang mengusut masalah ini,” potong Kiai Kamaludiningrat. “Maafkan saya, Kiai Dahlan,” lanjutnya mencoba tegas, namun terdengar rasa malu dan sedikit bersalah atas prasangka buruknya yang tidak terbukti terhadapku maupun para santriku. Rona tidak puas bercampur marah terpancar dari Daniel, Jazuli, Hisyam, Sangidu, karena awalnya mereka yang dipojokkan oleh Kiai Penghulu Kamaludiningrat dengan berapi-api. Tetapi ketika Dirjo, keponakannya sendiri, yang mengaku melakukannya, Kiai Penghulu langsung ingin menyelesaikan soal ini secara tertutup.
“Baiklah, Kiai,” jawabku pendek. “Kalau urusan ini sudah selesai, kami pamit dulu,” lanjutku sambil mengajak para santri pulang.
KEESOKAN harinya, Sangidu bercerita dengan sangat bersemangat kepadaku tentang kejadian di rumah Kiai Kamaludiningrat semalam. “Kiai Penghulu marah sampai gebrak-gebrak meja, Mas Dahlan,” katanya.
“Kamu, kok, yakin sekali Kiai gebrak-gebrak meja, apa melihat sendiri?” tanyaku.
“Tidak Mas, tapi aku dapat cerita dari Tejo.”
“Siapa itu Tejo?”
“Salah satu teman Dirjo yang ikut bikin saf baru.”
“Ooo … apa lagi cerita Tejo?”
“Kata Tejo, mereka berempat bersama Sadikun dan Misbah diajak Dirjo ke rumah Kiai Penghulu. Di sana, Kiai marah-marah sambil bilang, ‘Kamu Dirjo … bikin malu Pakde saja. Sengaja mau merusak Masjid Gedhe?!’”
“Tidak, Pakde. Saya cuma mau menegakkan kebenaran.” Sangidu mengulang jawaban Dirjo.
“Dirjo bilang mau menegakkan kebenaran?” tanyaku takjub.
“Iya, Mas. Itu yang diceritakan Tejo,” jawab Sangidu. “Jawaban itu justru bikin marah Kiai Penghulu sehingga dia menggebrak meja dan berteriak ‘Kamu ngerti apa soal agama?”‘
“Maaf, Pakde. Saya mungkin ndak mengerti banyak soal agama,” ujar Sangidu. “Tapi menurut saya apa yang dijelaskan Kiai Dahlan soal arah kiblat itu benar, meski para kiai lain termasuk Pakde tidak setuju. Makanya saya ajak kawan-kawan lain untuk membuat saf baru.”
“Kiai Dahlan benar katamu?” Kemarahan Kiai Penghulu makin meningkat sehingga urat-urat lehernya terlihat jelas. “Buktinya apa bahwa Kiai Dahlan itu benar? Kiai Dahlan itu siapa? Kanjeng Nabi? Gusti Allah? Dahlan itu manusia biasa yang bisa salah, apalagi dia masih muda. Wong kiai-kiai lain yang lebih tua dan lebih pengalaman saja ndak ada yang pernah memprotes arah kiblat. Lihat saja kakak-kakak iparnya yang kiai semua itu, Kiai Noor, Kiai Muhsin, Kiai Saleh. Mereka juga dulu pernah belajar di Arab. Kiai Noor malah punya Majelis Nuriyah. Tapi tidak ada yang pernah sembrono mengatakan bahwa arah kiblat Masjid Gedhe itu keliru!”
Keempat anak itu terdiam, hanya mendengarkan kemarahan Kiai Kamaludiningrat yang meledak-ledak. “Pakdemu ini Dirjo adalah penghulu masjid yang diangkat langsung oleh Ngarsa Dalem. Tidak gampang mendapat kepercayaan sebagai Kiai Penghulu, ngerti! Apa yang kamu lakukan ini sama saja dengan meremehkan jabatan Pakde dan pengetahuan agama Pakde. Belum lagi nanti apa kata orang, ternyata Kiai Penghulu ndak bisa mendidik keluarganya sendiri!”
“Begitulah cerita Tejo tadi pagi, Mas,” papar Sangidu.” Apa yang kita bisa bantu buat Dirjo, ya, Mas?”
“Bantu apa maksudmu, Du?”
“Kalau dari cerita Tejo, aku pikir sebetulnya hati Dirjo ada sama Mas Dahlan. Mungkin harus kita dekati dia agar dia lebih tenang menghadapi persoalan ini.”
“Karena suasananya sedang panas begini, sebaiknya kita tunggu dan perhatikan terus perkembangannya, Du. Kalau sekarang kita langsung mendekati Dirjo meskipun dengan maksud baik, nanti Kiai Penghulu akan su’udzon, dikiranya kita yang mengipas-ngipas keponakannya.”
“Jadi, kita biarkan saja Dirjo kesulitan sendirian? Begitu maksud Mas Dahlan?”
“Bukan begitu cara melihatnya, Du. Tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi di bumi Allah ini yang bisa terjadi tanpa seizin Allah Swt. Karena itu, kejadian ini merupakan bagian dari proses yang memang harus dialami Dirjo. Kalau memang Dirjo meyakini bahwa arah kiblat yang Mas Dahlan katakan itu yang benar, insya Allah nanti dia sendiri yang akan datang kepada Mas dan menyatakan ketertarikannya untuk belajar lebih jauh,” kataku.
“Terus teman-temannya yang lain bagaimana, Mas?” tanya Sangidu.
“Yang lain pun begitu. Jika mereka yakin akan penjelasan Dirjo, insya Allah mereka juga akan punya keinginan untuk mempelajari lebih dalam.”
TAK terasa bulan Ramadhan kembali datang. Murid-murid pengajian di Langgar Kidul sudah jauh lebih banyak sekarang, termasuk Dirjo dan kawan-kawannya yang beberapa waktu lalu membuat saf baru di Masjid Gedhe Kauman. Jamaah shalat tarawihku bahkan lebih banyak dibandingkan dengan peserta pengajian rutinku Pada waktu itu jumlah shalat tarawih dan witir yang biasa dilakukan adalah 23 rakaat seperti berlangsung di Masjid Gedhe. Sedangkan aku memilih versi tarawih dan witir yang berjumlah 11 rakaat, seperti kupelajari dari salah satu hadis Nabi.
Namun aku yakin bukan karena jumlah rakaat shalat tarawih di tempatku yang lebih pendek yang membuat makin banyak warga memilih shalat di Langgar Kidul yang sederhana ini, karena kalau untuk soal lama sebentarnya shalat, shalat tarawih versi 23 rakaat itu justru biasanya lebih singkat karena sang imam membacakan ayat-ayat Quran yang pendek. Sedangkan tarawih di langgarku selalu dengan ayat-ayat yang lebih panjang, ditambah dengan adanya khutbah tarawih yang aku lakukan sesudah shalat Isya dan sebelum shalat tarawih, sehingga membuat keseluruhan ibadah ini bisa menjadi dua kali lebih lama dibandingkan jika hanya mengikuti shalat tanpa khutbah seperti yang selama ini berlangsung.
Begitulah sehingga pada ceramah tarawih hari pertama aku menyampaikan khutbah. “Allah membena sikap pengecut dan munafik. Sebaliknya Allah menyukai keberanian karena keberanian itu adalah inti jihad,’ kataku seraya mengedarkan pandangan kepada para santri. “Tapi ingat, keberanian itu harus didasari oleh pengetahuan. Jihad tanpa pengetahuan ibarat kita memegang pedang tanpa gagang. Hasilnya bisa melukai sang pemilik pedang sendiri,” kataku dengan tatapan
mata kali ini terarah pada Dirjo yang sedang menatapku. Keponakan Kiai Penghulu itu rupanya merasakan nada dan arah khutbahku sehingga dia langsung menundukkan pandangannya.
MAKIN banyaknya warga yang memilih ikut shalat tarawih di Langgar Kidul, rupanya berakibat langsung pada menurunnya jumlah jamaah tarawih di Masjid Gedhe Kauman. Hal ini aku ketahui setelah Mas Noor datang lagi ke rumahku sesudah tarawih.
“Bagaimana dengan jamaah tarawih di langgarmu, Dimas?” tanya Mas Noor.
“Alhamdulillah, Mas. Tahun ini lebih banyak dari tahun lalu, bahkan ada beberapa jamaah yang datang dari luar Jogja,” ujarku sambil menerka arah pembicaraan Mas Noor.
“Ya, aku sudah dengar itu,” katanya tampak bimbang. “Di satu pihak, aku bersyukur alhamdulillah karena semakin banyak jamaahmu berarti semakin banyak umat yang membutuhkanmu. Tapi hal ini juga merisaukanku.”
“Merisaukan bagaimana, Mas?”
“Ada marbut yang bilang kepadaku dan Kiai Penghulu bahwa jamaah yang banyak pindah ke Langgar Kidul adalah para pemuda. Ketika ditanyakan oleh para marbut yang berpapasan dengan anak-anak muda ini tentang mengapa mereka tidak lagi mau tarawih di
Masjid Gedhe, mereka bilang karena lebih enak shalat tarawih di langgar Kiai Dahlan.”
“Mereka bilang begitu?” tanyaku tak percaya.
“Begitulah yang dilaporkan para marbut,” sahut Mas Noor. “Apa yang sebenarnya kau ajarkan Dahlan?”
“Sama seperti yang Mas Noor dan kiai lain ajarkan kepada umat, tak ada yang berbeda.”
“Kamu tidak mengajarkan agar mereka menjauhi Masjid Gedhe?”
“Masya Allah, mana mungkin aku lakukan itu Kangmas. Aku sendiri masih menjadi tibamin di Masjid Gedhe.”
“Arah kiblat di Langgar Kidul yang kau buat miring kini juga menjadi perhatian Kiai Penghulu. Aku khawatir pilihanmu yang tetap keras kepala untuk memperbaiki arah kiblat ini bisa dilihat para kiai sepuh sebagai pembangkangan akibat dari tidak diterimanya usulmu untuk mengubah arah kiblat Masjid Gedhe.”
“Ini sama sekali bukan pembangkangan Mas Noor. Soal perubahan arah kiblat di Masjid Gedhe yang tidak diterima oleh para kiai itu, yang penting aku sudah menyampaikan apa yang menurutku harus disampaikan. Bahwa akhirnya Masjid Gedhe tak mau mengubah arah kiblat, apa yang bisa aku sesalkan? Tidak ada. Karena perubahan arah kiblat itu saat ini hanya bisa dilakukan di tempat kecil seperti Langgar Kidul, maka itulah yang aku lakukan.”
Wajah Mas Noor terlihat makin risau. “Aku semakin khawatir kejadian ini akan memancing reaksi keras
“Reaksi keras seperti apa, Mas Noor?”
“Reaksi yang mungkin tak pernah kita bayangkan, Dahlan.”
“Reaksi fisik maksudnya?”
Mas Noor tidak menjawab langsung pertanyaanku, selain mengalihkan pembicaraan. “Apakah kau belum pernah dengar kabar-kabar yang mengatakan, maaf ya Dimas Dahlan, bahwa Dimas adalah kiai kafir mulai dari bermain biola di langgar, sampai berbagai protes yang Dimas lakukan hampir setiap waktu terhadap berbagai tradisi yang sudah mengakar di masyarakat dan mendapatkan restu Ngarsa Dalem, dan sekarang ditambah lagi dengan soal perubahan arah kiblat?”
“Ya, saya sudah mendengar bisik-bisik itu. Mas,” jawabku setenang mungkin. “Kalau tuduhan itu dilontarkan oleh orang-orang yang belum mengerti ajaran Islam dengan baik, aku masih maklum. Aku hanya berharap bahwa para kiai yang telah dididik untuk selaju melakukan tabayun dalam segala hal, tidak ikut ceroboh mengucapkan kata-kata yang belum mereka yakini sepenuhnya,” lanjutku sekaligus berupaya menjenuhkan pikiran Mas Noor.
“Aku hanya menyampaikan apa yang sudah beredar di masyarakat, Dahlan,” tangkis Mas Noor. “Bukan apa yang aku pikirkan sendiri.”
“Jadi, apa yang Mas sarankan agar aku lakukan?”
“Kembalilah agar berlaku seperti kiai Kauman pada umumnya, Dahlan. Musuh utama kita itu pemerintah Hindia-Belanda, kaum penjajah, orang-orang kafir, bukan umat Islam apalagi warga lingkungan kita sendiri.”
“Saya tidak pernah berpikiran seberat zarah pun bahwa umat Islam adalah musuhku, Mas Noor.”
“Mungkin pikiranmu tidak, tapi tindakan-tindakanmu melukai banyak perasaan umat dan para kiai yang dihormati masyarakat,” tukas Mas Noor. “Dan sejauh ini kita masih belum tahu bagaimana sikap Ngarsa Dalem terhadap kegiatanmu selama ini.”
BELUM lama Mas Noor pulang, seorang marbut muda Masjid Gedhe datang ke rumahku. “Saya mendapat amanat dari Kiai Penghulu untuk menyampaikan surat ini kepada Kiai Dahlan, dan menunggu jawaban Kiai sekarang juga,” katanya sambil menyodorkan sepucuk surat.
Aku ambil surat itu dan membacanya perlahan. Walidah memperhatikanku. Surat itu kulipat lagi dengan rapi, dan aku kembalikan kepada marbut. “Saya tidak bisa menutup Langgar Kidul ini. Sampaikan maaf saya kepada Kiai Penghulu karena pertanggungjawabanku hanya kepada Allah Swt. bukan kepada orang lain,” jawabku sambil mencoba menekan amarah yang mulai
membakar di dada. Aku akan berdusta jika mengatakan bahwa perasaanku biasa-biasa saja saat membaca surat yang melecehkan akal sehat ini.
“Apa tidak sebaiknya Kiai menuliskan surat jawaban supaya saya tidak salah menjawab?” tanya marbut itu dengan wajah agak cemas. “Saya takut nanti saya salah omong.”
“Tidak perlu. Katakan saja kepada Kiai Penghulu bahwa Kiai Dahlan sudah membaca suratnya dan Kiai Dahlan menjawab bahwa dia tidak akan menutup Langgar Kidul. Itu sudah cukup,” kataku. “Baik Kiai, kalau begitu saya pamit dulu,” katanya dengan sopan.
Peringatan yang disampaikan Mas Noor sebelumnya kini mulai terbukti satu per satu. Setelah lewat peringatan tertulis yang tidak aku indahkan itu, apa lagi kiranya yang akan terjadi? Apakah Kiai Penghulu akan begitu saja menerima jawabanku yang bisa dianggapnya sebagai pembangkangan baru? Ataukah dia akan mengambil tindakan lain yang lebih keras yang aku belum tahu apa bentuknya sekarang? Atau, akankah Kiai Kamaludiningrat langsung menyerahkan masalah ini kepada Ngarsa Dalem sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah, yang diyakini memiliki wewenang tertinggi untuk mengatur kehidupan beragama di tanah Jawa?
KEESOKAN sore sehabis shalat Asar di Langgar Kidul, Daniel dan para murid lain sedang menyantuni anak-
anak yatim piatu yang berjumlah 20-an orang. Jazuli sibuk membuat selebaran dengan tulisan besar: HADIRI PENGAJIAN DI LANGGAR KIDUL, COCOK UNTUK ANAK MUDA.
“Ternyata tulisanmu bagus juga, ya, Zul?” pujiku.
“Ah, biasa saja, Kiai,” katanya dengan rona malu. “Mohon izin, Kiai. Saya mau tempel selebaran ini di seluruh Kauman, biar anak-anak muda Kauman tambah banyak yang mengaji di sini.”
“Kamu pikir itu tindakan yang baik, Zul?”
“Iya, Kiai. Biar Kiai Penghulu juga melihat bahwa anak-anak muda Kauman ini tidak bisa diatur-atur harus shalat di sini, tidak boleh shalat di sana,” jawabnya mendadak emosional.
“Wah, kalau niatmu seperti itu, ya, tidak boleh, Zul,” jawabku mencoba membuka pemikirannya lebih luas. “Allah sendiri menyatakan kepada Kanjeng Nabi Muhammad bahwa, tugasnya hanyalah untuk menyampaikan. Begitu juga dengan tugas kita sekarang hanya untuk menyampaikan kebenaran, bukan untuk memperbesar permusuhan.”
“Jadi, selebaran itu tidak boleh ditempel, Kiai?” tanya Jazuli dengan kesimpulan yang keliru.
“Tetap lakukan saja,” ujarku sambil mengambil selembar selebaran dan membacanya sekali lagi. “Hanya bersihkan niatmu ketika menempel selebaran-selebaran ini hanyalah untuk menyampaikan kebenaran, bukan dibarengi dengan niat-niat lain.”
“Baiklah, Kiai,” katanya sambil tetap menunjukkan wajah yang kurang puas. “Saya cuma merasa tidak suka dengan cara-cara Kiai Penghulu Kamaludiningrat yang sewenang-sewenang ini.”
“Sudahlah, ini bulan suci Ramadhan, saat terbaik untuk melatih kesabaran. Jangan rusak ibadahmu dengan kemarahan-kemarahan yang tidak terkontrol,” ujarku sebelum tiba-tiba teringat sesuatu. “Bagaimana dengan Dirjo, Zul? Apakah dia bisa menikmati pengajian di sini.”
“Yang saya lihat Dirjo sangat bersemangat Kiai. Begitu juga teman-temannya.”
“Nah, kan, kamu bisa lihat sendiri, kalau kita menyampaikan kebenaran itu dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, bahkan hubungan darah yang kental antara Dirjo dan Kiai Penghulu tak bisa menjadi penghalang apa pun dibandingkan keinginan menggebu Dirjo untuk lebih menyelami samudra kebenaran.”
“Iya, Kiai. Saya juga sempat bingung, kok, bisa-bisanya Dirjo melawan pakdenya sendiri?”
“Itu bukan melawan Zul. Sebagai seorang yang sudah balig, Dirjo merasa sudah saatnya untuk menunjukkan pikiran dan tindakannya sendiri. Bukan selalu bertindak di bawah bayang-bayang orang lain,”
“Iya, Kiai, maksud saya juga begitu,” jawab Jazuli sambil merapikan tumpukan selebaran. “Saya pergi dulu sekarang, Kiai, supaya selebaran ini bisa ditempelkan semua sebelum magrib.”
“Baiklah,” jawabku sambil memperhatikan kesibukan anak-anak remaja lain yang sedang menangani para anak yatim piatu.
Tiba-tiba datang seorang marbut Masjid Gedhe yang berbeda dengan marbut semalam. Para santriku menatap curiga kedatangan marbut yang menyerahkan sepucuk surat dari Kiai Penghulu Kamaludiningrat. Isinya tetap sama dengan yang kubaca semalam bahwa dia memerintahkan agar aku harus menutup Langgar Kidul secepatnya, dan tidak boleh lagi melaksanakan pengajian, kecuali di lingkungan Masjid Gedhe Kauman.
Sekali lagi aku mengulang jawaban semalam. “Sampaikan kepada Kiai Penghulu bahwa langgar ini tidak akan saya tutup,” jawabku dengan nada tegas. Beberapa orang santriku terlihat mengangguk-angguk puas mendengar jawabanku. Marbut itu pun akhirnya undur diri.
“Kenapa tidak dimarahi saja Jono itu, Kiai?” kata Daniel bersungut-sungut ketika sang marbut sudah pergi. “Dia selama ini yang paling sering buang muka kalau bertemu kami. Betul ndak Syam, Du?” Daniel melempar pandangan ke arah Hisyam dan Sangidu yang mengangguk-anggukkan kepala.
“Jono itu hanya marbut yang menyampaikan surat, Daniel,” kataku. “Buat apa kita menghabiskan tenaga dengan memarahi orang yang keliru?”
“Tapi kelakuannya memang sering nyebelin, Kang-mas,” sahut Sangidu.
“Itu karena dia belum tahu, Du.”
“Kiai Dahlan menurut saya terlalu sabar/’ sambar Hisyam. “Harusnya orang-orang itu melihat bahwa Kiai Dahlan itu bukan orang biasa.”
“Maksudmu dengan bukan orang biasa itu apa, toh Syam?” tanyaku.
“Wong aku yang bodoh ini saja tahu bahwa kiai keturunan Maulana Malik Ibrahim, bapak kiai almarhum Kiai Abu Bakar juga pernah jadi tibamin Masjid Gedhe, dan seluruh keluarga besar kiai adalah ulama-ulama besar. Belum lagi Kiai juga pernah belajar lama di Tanah Suci. Itu semua menunjukkan bahwa Kiai bukan orang biasa, kan?” katanya menunggu persetujuanku.
“Semua yang kau katakan itu betul Syam, kecuali satu hal yang salah.”
“Apa itu, Kiai?”
“Bahwa saya bukan orang biasa. Itu keliru. Saya tetap orang biasa, tidak berbeda dengan kamu, Sangidu, Daniel, dan anak-anak yatim ini. Bedanya hanya saya dilahirkan di keluarga ulama dan pernah menimba ilmu di Tanah Suci. Itu saja. Tapi tidak berarti perbedaan itu membuat saya menjadi bukan orang biasa. Kamu mengerti apa sebabnya, Syam?”
“Iya, Kiai, karena semua manusia sama di sisi Allah Swt. kecuali mereka yang bertakwa.”
“Nah, para muttaqin itulah yang bukan orang biasa, Syam.”
“Tapi, Kiai Dahlan, kan, termasuk golongan orang muttacjin? Jadi sama saja, toh?” Hisyam masih tak mau kalah rupanya.
“Aku hanya berusaha sekuat tenaga agar bisa menjadi orang muttaqin, Syam. Perkara apakah aku sudah bisa dimasukkan ke dalam golongan orang-orang muttaqin atau belum, itu adalah hak Allah semata,” kataku.
ISTRIKU Walidah sedang duduk berhadapan dengan kakaknya, Kiai Lurah Muhammad Noor bin Fadlil, di Langgar Lor (Utara) yang merupakan pusat kegiatannya dalam memberikan pengajaran agama. Wajah Mas Noor terlihat tegang. “Suamimu sudah melenceng terlalu jauh, Dah, harus kamu ingatkan. Kalau kamu diam saja, kamu ikut berdosa. Kamu, kan, pasti sudah dengar banyak kabar di masyarakat tentang tindakan Dahlan yang semakin lama semakin kurang bagus hubungannya dengan Kiai Penghulu.”
“Iya, Mas Noor.”
“Kamu tahu dulu bapak kita, Kiai Fadlil, adalah seorang kiai yang juga sangat keras pendiriannya sehingga jabatannya sampai dicopot Ngarsa Dalem. Tapi, Bapak tidak pernah sampai meresahkan umat dengan pendapat-pendapat nyeleneh seperti harus mengubah arah kiblat segala,” tutur Mas Noor. “Coba bayangkan bagaimana bakal sibuknya seluruh pengurus masjid di seluruh Jawa jika mereka harus mengubah arah kiblat masjid masing-
masing. Siapa yang senang dengan kondisi ini? Pasti pemerintah Hindia-Belanda! Mereka akan melihat sambil tertawa-tawa.”
“Maaf, Mas Noor,” Walidah angkat bicara. “Saya percaya Mas Dahlan punya alasan yang sangat kuat atas segala perbuatan dan ucapannya. Dia orang yang sangat hati-hati. Kita sudah tahu bagaimana Mas Dahlan sejak kecil. Bahkan sebelum aku lahir, Mas Noor sudah lebih dulu tahu dan mengenal baik Mas Dahlan, yang disebut-sebut Bapak akan menjadi pemimpin besar karena kecerdasan dan keteguhan sikapnya.”
“Idah, kalau Dahlan memang orang yang sangat hati-hati seperti kamu bilang, seharusnya dia tidak sampai melawan Kiai Penghulu secara terbuka,” cecar Mas Noor.
“Melawan secara terbuka apa maksudnya, Mas?”
“Itu, cara Dahlan menjawab surat-surat Kiai Penghulu yang dibawa para marbut. Dahlan bukannya menulis surat jawaban, tapi langsung menjawab lisan yang didengarkan oleh orang-orang lain. Itu sama saja dengan menjatuhkan wibawa Kiai Penghulu di depan umum, satu hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seseorang yang cukup lama mukim di Makkah dan berasal dari keturunan ulama besar,” papar Mas Noor.
“Maaf, Mas Noor. Saya masih belum mengerti siapa yang Mas maksudkan dengan melawan itu? Apakah memang Mas Dahlan, atau malah Kiai Kamaludiningrat atau … Mas Noor sendiri?” tanya Walidah tanpa tedeng aling-aling.
“Idah!” seru Mas Noor dengan suara tajam. “Sekarang kamu sudah ikut-ikutan berpikir melenceng. Tidak pantas kamu berkata seperti itu kepada aku, Kangmasmu.” Wajah Mas Noor memerah, cuping hidungnya bergerak cepat, menandakan adanya kemarahan yang dia coba tekan, tapi tetap tak bisa disembunyikan. Kedua bola matanya membelalak.
“Maaf, Mas Noor,” jawab Walidah. “Saya sendiri tidak tahu pasti siapa yang benar dalam hal ini. Saya hanya perempuan biasa, makmum dalam keluarga. Kewajiban saya adalah mengikuti imam saya, Mas Dahlan. Itu yang selalu Bapak dan Ibu ajarkan dulu menjelang saya menikah, bahkan juga yang Mas Noor selalu ingatkan kepada saya. Jadi, kalau Mas Dahlan melakukan apa yang dia yakini harus dilakukan, meski menghadapi risiko dibenci masyarakat sekalipun, saya akan terus berada di belakangnya.”
Kiai Lurah Muhammad Noor bin Fadlil terdiam mendengar alasan terakhir adiknya.
TARAWIH di Langgar Kidul baru saja selesai. Aku sedang melihat anak kedua kami, Siraj Dahlan, yang digendong Walidah ketika marbut Masjid Gedhe Kauman, Jono, datang lagi. Aku menduga mungkin dia sudah datang lebih lama, tapi menunggu sampai seluruh shalat witir selesai sebelum kembali menyorongkan surat dari Kiai Kamaludiningrat—yang ketiga kalinya dalam sehari semalam.
“Maafkan saya Kiai Dahlan …” ujar Jono. Aku sudah tidak perlu lagi membaca surat itu. “Tolong sampaikan saja kepada beliau bahwa jawaban saya tetap sama.” jawabku sambil menggendong Siraj. “Maaf, aku harus pulang dulu.”
‘Tapi Kiai…,” Jono terlihat ragu-ragu menyelesaikan ucapannya. “Kalau langgar ini tidak Kiai tutup malam ini juga, Kiai Penghulu akan menyuruh orang untuk membongkar paksa.”
“Apa?!” Walidah terkejut mendengar peringatan yang bernada ancaman itu. “Dibongkar paksa?”
“Ya, Nyai.”
Walidah menatap ke arahku. Aku mencoba menenangkan emosiku yang kini sudah naik sampai ke kepala. Aku usahakan nada suaraku tetap terdengar tenang. “Kalau bongkar paksa itu tetap dilakukan malam ini, berarti selama ini kita berada di lingkungan yang salah,” kataku sambil mengajak istriku beranjak.
Malam itu saat beijalan di daerah Geijen, untuk pertama kalinya aku merasakan satu kekhawatiran yang menggedor-gedor jantung. Mas Noor sudah tak menghubungiku lagi seperti biasanya. Dia malah memilih mencoba memengaruhi istriku untuk mengubah pendirianku. Mas Saleh juga sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Aku berada dalam posisi antara ragu-ragu dan percaya, bahwa Kiai Penghulu Kamaludiningrat akan melaksanakan niatnya untuk
membongkar langgarku malam ini, apa pun yang akan terjadi.
Jika itu terjadi, haruskah aku pertahankan Langgar Kidul tetap berdiri? Atau aku biarkan saja Kiai Penghulu mengerjakan apa yang diinginkannya?
Akhirnya, kami sampai di rumah. Walidah segera menidurkan Siraj sambil mendendangkan shalawat. Tapi yang kudengar adalah suara para santri di Langgar Kidul sedang bertadarus. Kekhawatiran kembali berkelebat di kepalaku, “Bagaimana jika ini menjadi malam terakhir mereka di Langgar Kidul?”
Lamat-lamat kudengar suara tadarus para santri itu berubah menjadi suara tahlil yang semakin keras dan berirama. “Laa ilaaha illallah, laa ilaaha illallah, laa ilaaha illallah …” Dan jarak suara itu terdengar semakin dekat. Aku tersentak, ini sudah bukan suara tadarus lagi yang kudengar dalam bayangan, melainkan suara sekumpulan orang yang sedang berjalan di luar, membelah kegelapan malam. “Laa ilaaha illallah…”
Firasat buruk membuatku bersiap keluar rumah, kembali ke Langgar Kidul. “Aku mau balik lagi ke langgar, Idah,” seruku kepada istriku yang masih di dalam kamar. Walidah buru-buru keluar dengan wajah cemas. “Ada apa, toh, Mas?”
“Belum tahu,” jawabku. “Cuma perasaanku tidak enak sekali. Seperti ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi. Kamu di rumah saja jaga anak-anak,” kataku.
“Jangan sendirian ke sana, Mas,” tukas Walidah. “Aku takut ada apa-apa kalau orang sedang marah. Sebaiknya Mas ke rumah Bapak dulu.”
“Baiklah, Idah,” kataku segera menghambur keluar rumah dan berjalan menuju rumah Pakde Fadlil. Di tengah jalan, aku melihat sekumpulan orang yang juga sedang menuju tempat yang sama. Mereka terlihat seperti para kuli yang membawa banyak perkakas: linggis, palu, cangkul. Bayangan mereka hanya diterangi secercah nyala obor di tengah gelap malam, membuat banyak bayangan hitam yang kurang menyenangkan. Apalagi mereka terus saja menyerukan kalimat tahlil “Laa ilaaha illallah …” berulang-ulang, seperti hendak mengumpulkan keberanian dan kekuatan untuk menghantam pasukan Belanda.
Di tempat lain, Kiai Lurah Muhammad Noor yang rupanya sudah tahu rencana itu memperhatikan bersama para santrinya pergerakan kelompok itu menuju Langgar Kidul. Awalnya dia berniat untuk tidak terlibat lebih jauh, selain menyerahkan rencana itu sesuai dengan keinginan Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat. Namun melihat cara para kuli itu berjalan rupanya membuat Mas Noor cemas sehingga dia meminta salah seorang santrinya untuk menjemput Kiai Muhsin. “Kabari khatib Muhsin secepatnya, dan kalau bisa langsung ke Langgar Kidul secepatnya.”
“Baik, Kiai,” sahut santri itu sambil berlari di kegelapan malam.
Aku sendiri sudah sampai di depan rumah mertuaku Kiai Fadlil. Hatiku terasa perih. Mataku perih dan terasa sembap. Tampaknya tak ada kemungkinan lain yang akan terjadi malam ini. Aku sangsi apakah Pakde Fadlil akan bisa menghentikan tindakan Kiai Penghulu Kamaludiningrat. Kuketuk pintu rumahnya dengan hati-hati. “Assalamu ‘alaikum, Kiai.”
Pakde membuka pintu. Wajahnya terlihat sudah sangat tua, jauh lebih tua daripada yang biasa aku saksikan. Tiba-tiba aku baru teringat bahwa banyak orang seangkatan dia yang sudah lebih dulu meninggal dunia. Bapakku yang merupakan kawan diskusi terdekat Pakde Fadlil sudah tidak ada. Ibuku yang merupakan adik Pakde pun sudah berpulang. Namun sorot mata Pakde masih kurasakan setajam dulu.
Aku peluk badan Pakde yang sudah seperti bapak kandungku itu dengan sangat erat. Badanku berguncang hebat, terbelah perasaan kemarahan yang memuncak dan kekhawatiran terhadap kondisi para santriku. “Aku sudah mendengar semuanya, Dahlan,” ujar Pakde. “Kamu harus bisa mengendalikan diri. Istighfar.”
“Astaghfirullah,” bisikku lirih.
“Astaghfirullahal ‘adzim,” bantu Pakde menyuntik keberanianku.
“Astaghfirullahal ‘adzim,” kataku mengulangi kata-kata Pakde.
“Noor sudah cerita semuanya,” sambung pakde. “Ini kondisi yang menjadi rumit. Kalau yakin pendapatmu
yang benar, kau harus perjuangkan meski kau harus dicopot dari jabatanmu sekarang, Dahlan.”
Aku mengangguk tanpa suara. “Iya, Pakde,” jawabku sambil masih terisak.
“Inilah yang namanya perjuangan Dahlan, ketika kau berada di sebuah persimpangan, kau tak bisa diam saja di tempat mengharapkan semuanya berubah lebih baik Kau harus memilih untuk melakukan sesuatu.”
“Aku mau ke sana, Pakde. Aku tak bisa membiarkan ini terjadi.”
“Jangan! Kamu di sini saja dulu. Kalau kamu ke sana suasananya bisa lebih berbahaya karena kalian sama-sama sedang emosi.”
ROMBONGAN suruhan Kiai Penghulu memasuki halaman Langgar Kidul. Sayup-sayup suara tadarus masih terdengar sebelum suara keras tiba-tiba terdengar menghentak. “Mana kiai kafir itu?!”
“Hei! Hati-hati kalau bicara,” suara Jazuli tak kalah membentak. ‘Tidak ada yang kafir di sini. Kalian yang seperti orang kafir karena masuk seenaknya ke tempat suci!” katanya emosional. Jamaah tadarusan yang lain menyingkir melihat kedatangan para tukang yang sudah tak bisa berlaku santun lagi di rumah Allah.
“Awas minggir, kalau tidak mau cedera semua pada keluar,” ujar seseorang sambil memberikan isyarat kepada para tukang. “Mulai hancurkan! Secepatnya!”
Orang-orang itu pun langsung mengayunkan linggis, cangkul, martil, dan apa pun peralatan yang mereka bawa ke dinding Langgar Kidul. Benturan benda padat yang bertalu-talu di tengah malam itu menimbulkan efek magis aneh yang belum pernah didengar warga sebelumnya. Serpihan kayu yang pecah akibat dilinggis mulai beterbangan. Satu per satu bagian tembok runtuh, menimbulkan luka yang semakin besar di hati para santri. Daniel, Hisyam, Sangidu, dan para santri lain mulai menangis, kecuali Jazuli yang melihat dengan tatapan benci tapi tak bisa berbuat apa-apa karena para pekerja itu dikawal oleh beberapa orang polisi Belanda.
Semakin banyak serpihan puing yang berjatuhan, semakin semangat tampaknya para pekeija itu mengeluarkan tenaga mereka sekuat mungkin untuk segera merobohkan Langgar Kidul. Di luar langgar, Kiai Muhsin dan para tibamin Masjid Gedhe Kauman berjalan terburu-buru membelah malam diikuti santri Kiai Lurah Noor. Meskipun aksi pembongkaran berlangsung malam hari, berita itu tersebar cepat ke Seantero Kauman sehingga banyak warga yang keluar rumah mencoba melihat dari kejauhan. Mereka juga tak berani terang-terangan melihat dari dekat karena adanya para polisi Belanda yang menjaga. Tapi karena pembongkaran langgar bukan hal yang lazim terjadi di wilayah ini, mereka pun mencoba mengintip-intip mengambil kesempatan untuk mengetahui langsung apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Kiai Noor yang biasanya cukup vokal kali ini hanya memandangi kejadian itu dengan mata nanar. Barangkali akhirnya dia juga tak cukup menyadari bahwa peristiwa ini jauh lebih besar dibandingkan bayangan terburuknya. Dia membayangkan adiknya, Siti Walidah, akan menatapnya dengan marah karena dirinya tak mencoba menghalangi pembongkaran Langgar Kidul itu sama sekali.
Pembongkaran berlangsung sangat cepat karena dalam sekejap sudah separuh lebih dari bangunan itu kini merupakan udara terbuka. Tak lama lagi langgar ini hanya akan menjadi kenangan. Para pekerja yang sudah mulai berkeringat deras kian mempercepat pekerjaan mereka sehingga tak sampai sejam kemudian seluruh bagian Langgar Kidul sudah tidak pada tempatnya lagi. Onggokan puing menggunung, berpayung rembulan dan kerlip bintang yang kini terlihat jelas tak terhalangi.
Segera setelah bagian terakhir dari langgar itu jatuh ke bumi, orang-orang suruhan Kiai Kamaludiningrat itu bersorak-sorak gembira. “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” pekik mereka seakan baru mengalahkan satu brigade pasukan kompeni. Lalu secepat mereka datang, secepat itu juga mereka menghilang bersama para polisi Belanda, meninggalkan bukit puing yang menyebabkan luka batin besar bagi Jazuli dan kawan-kawan. Mereka hanya menatap nanar, tak percaya, melihat Langgar Kidul yang sekitar satu jam lalu masih mereka gunakan untuk tadarus, kini hancur lebur. Satu per satu mereka pergi
dengan hati pecah, dan amarah yang tak tersalurkan. Jazuli tetap berdiri di tempatnya dengan pandangan seorang kalah yang tidak mau mengakui kekalahannya.
“Wis, sudah Zul, kita ndak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang/’ Daniel menarik tangan adiknya. “Nanti kita bicarakan lagi dengan Kiai Dahlan.”
Hujan rintik turun mendadak, seperti air basuhan yang diguyurkan Gusti Allah untuk menenangkan emosi-emosi yang sedang mendidih. Tidak besar, hanya rintik gerimis. Tetapi itu sudah cukup untuk meluluhkan ketegaran hati Jazuli untuk mengikuti kakaknya. Namun, gerimis tak mampu mengusir pergi Kiai Lurah Muhammad Noor yang memutuskan sudah saatnya untuk meneliti bekas Langgar Kidul lebih jauh. Dia bergerak maju, berjalan hati-hati di antara bekas reruntuhan, memindahkan sebuah potongan kayu yang menindih sebuah Al-qur’an.
Air mata Kiai Noor akhirnya runtuh bersama gerimis yang turun di wajahnya, ketika dia mengangkat Al-qur’an yang beberapa halamannya sobek. Beberapa kitab lain juga bertebaran, teronggok dalam berbagai posisi di bawah reruntuhan. Kiai Noor mengumpulkan halaman-halaman yang robek, dan menyisipkannya ke dalam Al-qur’an. Beberapa orang santrinya yang masih menunggu menyaksikan dari kejauhan; gamang untuk mendekat sebelum diperintah. Dan saat ini, Kiai Noor juga tak memanggil murid-muridnya untuk membantu. Dia hanya ingin sendiri, mengarungi perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata karena bagaimanapun Kiai Dahlan adalah adik ipar sekaligus sepupunya. Setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling bekas Langgar Kidul itu sekali lagi, Kiai Noor dengan gontai meninggalkan lokasi, diikuti para santrinya, menembus tirai gerimis yang makin lebat, dan menimbulkan dingin yang gigilnya menembus sampai ke hati. Membuat ngilu.
HUJAN kian bertambah besar ketika aku datang ke Langgar Kidul yang sudah tak berbentuk. Pakde Kiai Fadlil mengizinkanku untuk datang melihat dengan pesan bahwa apa pun yang akan aku lihat, aku harus bisa menahan diri. Terutama dari amarah untuk membalas dendam. Pesan itu aku turuti, aku tidak dendam. Tidak kepada orang-orang yang meruntuhkan Rumah Allah ini, tidak juga kepada Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat yang memerintahkannya.
Tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis, meski Walidah yang memayungiku dengan satu tangannya, memelukku dengan tangan lainnya untuk menenteramkan perasaanku. “Sabar, Kangmas,” katanya dengan suara bergetar yang menandakan dia juga sedang menangis.
Udara dingin yang mulai membekap tubuh sudah tak kurasakan akibat membayangkan bagaimana reaksi para murid-muridku tadi sewaktu langgar ini dibongkar. Sejauh apa peristiwa ini akan berakibat bagi kondisi
jiwa mereka aku belum tahu. Pikiranku berkelana. Apa kiranya respons yang akan ditunjukkan bapakku, Kiai Abu Bakar, jika beliau melihat pemandangan seperti ini sekarang? Apakah beliau akan diam saja tak mengambil tindakan seperti yang aku lakukan saat ini, atau justru akan mendatangi Kiai Penghulu Kamaludiningrat dan mempertanyakan keputusannya yang biadab?
Aku menghela napas panjang. “Ayo, Bu! Kita pulang saja,” ajakku kepada Walidah. Kuperhatikan wajahnya yang ternyata sudah penuh dibasahi air mata yang bercampur dengan tempias hujan. “Ndak apa-apa, Mas, kalau mau lebih lama di sini,” sahut istriku mencoba memalingkan wajahnya dari tatapanku, menyembunyikan gundah hatinya. “Kasihan nanti Siraj kalau terbangun,” kataku mengingatkan Walidah pada bayi kami. Aku ambil payung di tangan Walidah dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Hujan masih saja belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Mataku sempat melihat sobekan kalender yang basah akibat tersiram hujan. Tertulis di situ: 1899.
KIAI Muhammad Saleh yang tidak sedang berada di Kauman pada saat ada pembongkaran Langgar Kidul terjadi baru mendapatkan cerita itu dari istrinya, Nyai Saleh, mbakyu nomor tigaku, pada keesokan harinya setelah dia pulang pagi hari.
“Masya Allah,” ujar Mas Saleh seperti diceritakan ulang oleh mbakyuku kemudian. “Apakah ini atas Perintah Kiai Kamaludiningrat?”
“Ya, Mas.”
“Bagaimana sikap kiai-kiai dan tibamin lain? Mas Noor misalnya?”
“Mas Noor dan Mas Muhsin ada di lokasi semalam “Dan mereka tidak menghentikan pembongkaran?”
Nyai Saleh menggelengkan kepala. ‘Tidak, dari apa yang aku dengar.”
“Dahlan?”
“Dia awalnya mau ke Langgar Kidul begitu mendengar akan ada pembongkaran, tapi Walidah menyuruhnya menemui Kiai Fadlil.”
“Jadi, Dahlan bersama Kiai Fadlil melihat pembongkaran.”
“Tidak. Kiai Fadlil meminta Dahlan untuk tetap bersamanya di rumah karena khawatir kemungkinan munculnya bentrokan,” jawab Nyai Saleh. “Dahlan baru melihat langgarnya bersama Walidah setelah pembongkaran selesai.”
Mas Saleh terdiam dan tampak seperti berpikir keras. “Kalau begitu kita langsung ke rumah Dimas Dahlan sekarang, Nyai,” katanya sambil menyiapkan kereta kuda.
Tapi mereka sudah terlambat. Pintu rumahku sudah terkunci. Sepi. Halaman becek bekas hujan semalaman hanya menyisakan jejakku dan Walidah dan anak-anak yang meninggalkan rumah. Ketukan pintu dan panggilan berkali-kali dari Mas Saleh dan Nyai yang memanggil namaku hilang ditelan udara pagi dan dengus kuda yang menghela sado mereka.
“Nyai yakin adikmu ini tidak pamit pergi?” tanya Mas Saleh yang rupanya mulai curiga dengan kosongnya rumah kami.
“Ndak, Mas. Dahlan dan Walidah tidak minta izin apa pun,” sahut Nyai Saleh dengan wajah tak kalah bingung.
“Jangan-jangan mereka sedang ke rumah Mas Noor atau Mas Muhsin?” terka Mas Saleh. “Mungkin ndak, Nyai?”
“Kalau melihat kejadian semalam, rasanya tidak mungkin Dahlan mau ke rumah mereka.”
“Hmm, kalau begitu kemungkinannya cuma satu. Ayo kita kejar ke Stasiun Tugu. Semoga belum terlambat.”
Wajah Nyai Saleh memucat. “Apakah Mas yakin mereka akan pindah dari Kauman?”
“Aku tidak terlalu yakin Nyai, tapi tidak ada salahnya kita coba,” ujar Mas Saleh. Mereka kembali ke kereta kuda, yang segera melaju dengan cepat menuju Stasiun Tugu.
DUGAAN Mas Saleh bahwa aku memutuskan akan keluar dari Kauman bukan tanpa alasan. Kakak iparku ini adalah salah seorang yang sangat mengerti karakterku selain kedua orangtuaku.
Semalam sepulang dari menyaksikan puing-puing Langgar Kidul, aku sudah membahas dengan Walidah bahwa rasanya tak ada masa depan lagi bagi kami untuk tetap tinggal dan berdakwah di Kauman, paling tidak untuk sementara ini. Situasi sedang tidak berpihak kepada kami. Aku mungkin bisa kuat menghadapi masalah ini, tapi bagaimana dengan istri dan anak-anakku, terutama
Johanah yang mulai besar? Akankah mereka sanggup menghadapi reaksi sebagian besar masyarakat yang mudah percaya pada sebutan bahwa aku sekarang sah disebut sebagai kiai kafir?
Lama sekali aku dan Walidah membicarakan hal ini semalam, melihat dari berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dengan tetapnya kami di sini atau kami pergi. Tak ada pilihan yang mudah karena keduanya memiliki risiko masing-masing yang cukup besar. Tapi dari dua pilihan yang sama-sama sulit itu, mundur sejenak dari suasana panas agar bisa berpikir lebih jernih dan bisa menyusun kembali rencana selanjutnya yang lebih baik, menjadi pilihan yang menurut kami lebih baik: Kauman untuk sementara harus ditinggalkan.
Mungkin kami harus pindah ke Semarang, kota yang tidak terlalu jauh dari Jogja untuk bisa tetap mendengarkan perkembangan kabar dari Kauman, tapi juga tidak terlalu dekat untuk membuat istri dan anak-anakku mendengar berulang kali tuduhan kiai kafir yang menyakitkan itu. Persiapan untuk pindah dadakan pun kami lakukan malam itu secepatnya, seperlunya, dengan hanya mengemas beberapa barang dan pakaian yang paling kami butuhkan.
“Haruskah kita kasih kabar kepada mbakyu-mbakyu?” tanya Walidah.
“Aku rasa sebaiknya tidak perlu Idah/’ jawabku. “Kamu tahu sendiri bagaimana jawaban mereka jika kita memberi tahu rencana ini.”
‘Tidak akan diizinkan?”
“Sudah pasti,” sahutku. “Keluarga pasti akan mencari cara untuk menahan kita agar tetap di sini.”
“Apakah mereka nanti tidak bingung kalau kita tiba-tiba menghilang?” tanya Walidah ragu-ragu.
“Sudah pasti. Tapi nanti akan aku cari cara untuk mengabari mereka selekasnya agar mereka tidak waswas terhadap keadaan kita.”
“Terhadap Bapak?” Suara Walidah kini bergetar. “Apakah tidak perlu kita kasih tahu juga?”
Aku terdiam sejenak. Ini memang hal yang tidak mudah. Bagaimanapun, Kiai Fadlil bukan sekadar Pakde yang merupakan kakak ibuku, tetapi juga sudah menjadi bapak mertuaku, yang artinya sudah seperti bapakku sendiri. Haruskah seorang anak pergi tanpa memberi tahu ayahnya? Aku mungkin bisa mengajak Walidah pergi tanpa mengabari saudara-saudara kami. Tapi rasanya mustahil sekali melakukan hal yang sama terhadap Kiai Fadlil. Apalagi dari perasaan Walidah yang menjadi anak kandungnya.
“Bagaimana menurutmu sendiri, Idah?” tanyaku.
“Itu yang membuat aku bingung, Mas,” katanya dengan wajah hambar. “Aku takut kita salah langkah melakukan ini.”
“Kalau begitu kita kabari Bapak dan minta izin agar beliau membolehkan kita pergi dari Kauman?” usulku.
Walidah terdiam sejenak. Lalu dia menghela napas panjang. “Perasaanku mengatakan bahwa kalau kita minta izin Bapak, kita tidak akan diperbolehkan pergi/’
“Jadi?”
Walidah menggenggam tanganku. “Mudah-mudahan Bapak mengerti bahwa kepergian kita tanpa memberitahunya ini bukan karena kita ingin melawan beliau, ya, Mas?”
“Insya Allah Bapak akan mengerti tentang itu, Idah,” jawabku sambil menggenggam erat tangannya. “Bisa saja Bapak sendiri sekarang sedang menghadapi masalah yang sama membingungkannya seperti kita, apakah akan meminta kita tetap di sini di tengah suasana yang kurang menguntungkan, atau meminta kita keluar dari situasi rumit ini.”
“Ya, ya, aku mengerti maksud Mas,” jawab Walidah kini dengan suara lebih mantap. “Aku rasa sebaiknya kita tidak perlu memberitahu Bapak.”
“Baiklah kalau begitu, ayo kita percepat persiapan ini sebelum hari terlalu terang dan banyak orang yang akan bertemu dengan kita di jalan,” kataku.
Kami pun segera berkemas dan meninggalkan rumah di waktu Subuh, berharap sebisa mungkin jangan sampai bertemu orang lain di jalan yang akan bertanya-tanya atau bahkan meminta kami membatalkan niat pergi.
Udara segar sehabis hujan semalaman menemani perjalanan kami dari rumah ke stasiun. Jalanan lengang. Mungkin akibat cuaca dingin yang dibawa hujan membuat anak-anak kecil dan remaja yang biasanya banyak bermain di luar rumah sesudah sahur, membuat mereka kini memilih untuk tetap tinggal di dalam rumah yang lebih hangat.
Stasiun Tugu masih lengang ketika kami sampai. Kereta api menuju Semarang sudah ada, tapi masih beberapa jam lagi sebelum berangkat. Aku mengajak Walidah untuk mencari tempat yang tidak terlalu mencolok di stasiun, agar kehadiran kami tak terlalu dikenali. Waktu berjalan begitu lama, sampai akhirnya kesibukan di stasiun mulai terasa dengan semakin banyaknya orang yang datang. Loket di stasiun pun mulai dibuka, aku segera mengantre untuk membeli karcis. Sejauh ini belum ada orang yang mengenal dan menegurku sehingga rasanya kepergianku dari Kauman akan berjalan sesuai rencana.
Akhirnya, saat memasuki gerbong datang juga. Kami mencari tempat duduk sesuai dengan nomor yang tercantum di karcis, dan mulai meletakkan barang bawaan. Biasanya kereta akan berangkat sekitar 30 menit setelah penumpang duduk di gerbong masing-masing untuk memberikan kesempatan kepada keluarga yang ingin mengantar untuk bercakap-cakap sejenak. Aku lihat Walidah terdiam dalam pikirannya. Ini sudah pasti bukan hal yang mudah baginya, seperti juga ini tak mudah bagiku.
Jika saat ini aku ditanya bagaimana perasaanku, apakah bahagia atau gundah gulana, aku sungguh tidak
tahu karena keduanya bercampur seperti kain batik dan motif yang membentuknya. Apakah sebuah batik bisa kita sebut hanya kainnya dengan melepas motif yang melekat di atasnya? Ataukah yang disebut itu sebenarnya adalah motif indah yang bisa dilihat dengan mengesampingkan kain yang menjadi wadahnya? Tidak mungkin! Yang disebut batik adalah kesatuan dari kain dan motif gambar yang terlukis di atasnya, tak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah gambaran tentang diriku saat ini, layaknya sepotong kain batik yang menyatu dengan motif gembira sekaligus gundah gulana di hati. Tak terpisahkan.
“Dahlan!” tiba-tiba sebuah suara menyentak lamunanku dan Walidah. “Dahlan! Idah!” panggil Kiai Saleh dan Nyai Saleh dengan keras. Mereka menghambur dari arah gerbong lain saat melihat kami. Aku berpandangan sesaat dengan Walidah, memikirkan apa yang harus kami lakukan dalam suasana seperti ini. Walidah menggelengkan kepalanya dengan lemah. Aku masih belum bisa menemukan cara lain untuk menghindari pertemuan dengan mereka karena Nyai Saleh lebih dulu memeluk istriku. Keduanya menangis terisak-isak tanpa bisa tertahankan lagi. Sebuah tangis yang menggantikan sebuah percakapan yang tak diperlukan lagi. Orang-orang satu gerbong menatap kami dengan pandangan heran. Atau mungkin biasa saja seperti melihat dua keluarga yang akan berpisah di kereta? Aku tak tahu mana persisnya.
“Pulang, Dahlan. Ayo,” bisik Mas Saleh meski dengan perlahan namun penuh ketegasan yang tak bisa dibantah. “Tidak ada masalah yang tidak bisa dibicarakan, semua pasti ada jalan keluarnya.”
Aku diam saja menatap istriku. Mas Saleh meng arahkan wajahnya agar tepat memandang wajahku. “Ayo Dahlan, jangan biarkan dirimu terbawa emosi. Kalau kamu melakukan ini, dirimu kalah terhadap tekanan,” kata Mas Saleh lagi. “Dan aku tahu kamu bukan jenis orang yang mudah patah karena tekanan.”
Aku melirik sekitarku, para penumpang gerbong yang sedang sibuk bicara dengan keluarga masing-masing, atau membereskan bawaan masing-masing. Tak ada yang memperhatikan kami lagi.
“Dahlan, dengarkan kangmasmu,” tukas mbakyuku sambil tetap memeluk Walidah yang menangis di dadanya. “Ayo Idah, kita pulang,” ajaknya dengan lembut. Walidah mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata tanpa menjawab, selain menatap ke arahku. Menanti jawaban. Pandangan Walidah yang berair akhirnya membobolkan benteng ketegasanku yang sejak berangkat tadi mencoba untuk tidak sentimental.
Sebutir air mata bergulir jatuh dari sudut mataku. “Buat apa aku harus pulang ke Kauman lagi, Mas Saleh? Mbakyu?” tanyaku. “Tidak ada yang bisa kukerjakan di sana. Lebih baik aku terapkan ilmu dan pengetahuanku di tempat lain yang masih mau mendengarkanku.”
“Kamu masih dibutuhkan Kauman, Dahlan/’ Mas Saleh menekankan suaranya mencoba untuk memenga ruhiku.
“Tidak, Mas, sudah tidak ada tempat buat orang seperti saya di Kauman.”
“Siapa bilang? Aku masih menghargaimu, membutuh-kanmu. Murid-muridmu juga membutuhkanmu. Mereka akan semakin tegar jika ada kau di samping mereka, bukan meninggalkan mereka di tengah kesulitan.” Mas Saleh selalu punya cara untuk menjawab keraguanku.
“Ingat amanah almarhumah Ibu, Dahlan.” Nyai Saleh kini menatapku tajam. “Kamu seorang pemimpin. Seorang pemimpin akan bertemu dengan banyak halangan dan rintangan di sepanjang perjuangannya.”
“Tapi aku sudah tidak punya langgar lagi, Mbakyu,” ujarku sambil menggigit bibir, berusaha sekuat tenaga menahan tumpahnya air mata. “Sakit sekali rasanya hatiku melihat langgarku dibongkar paksa seperti itu.”
“Langgarmu bisa dibangun lagi Dahlan. Nanti Kangmas yang bangun,” tutur Mas Saleh diikuti bunyi peluit kereta yang keras, sebagai isyarat pertama bahwa kereta api akan segera berangkat dan semua pengantar diminta untuk meninggalkan kereta secepatnya.
“Demi Allah Dahlan, cuma sekali ini Mbak memintamu,” kata Nyai Saleh kali ini dengan sangat tegas. “Seorang pemimpin yang baik di mata Allah tidak akan pernah meninggalkan keluarga dan umatnya, sebesar apa pun kesulitan yang sedang dihadapinya!”
Tidak pernah aku mendengarkan Mbakyu berkata setegas itu kepadaku sebelum ini. Aku menatap Walidah yang sinar matanya menyatakan ‘ayolah, Mas, kita ikuti kata-kata Mas Saleh dan Mbakyu”
MAS SALEH masih merapikan kereta kuda di luar rumah ketika aku membawa masuk kembali koper berisi pakaian dan beberapa kitab yang diniatkan untuk meninggalkan Kauman. Nyai Saleh membantu Walidah membereskan beberapa barang.
“Kangmas pergi sebentar Dahlan,” ujar Mas Saleh. “Kamu jangan ke mana-mana. Tunggu saja di sini.”
“Baik, Mas,” jawabku sembari menduga-duga mau ke mana Mas Saleh sebenarnya? Terkaanku adalah Mas Saleh akan menjemput Mas Noor, atau Mas Muhsin, atau bahkan keduanya untuk datang ke rumahku dan membicarakan masalah ini. Namun setelah kejadian semalam yang ikut melibatkan Mas Noor dan Mas Muhsin secara tidak langsung, bagaimana caranya agar aku bisa menghadapi mereka seperti sebelum terjadinya pembongkaran? Haruskah aku katakan bahwa aku sungguh-sungguh kecewa melihat mereka membiarkan cara Kiai Kamaludiningrat melakukan cara-cara kotor seperti itu? Atau sebaiknya aku diamkan saja dulu selama beberapa saat, menunggu apa yang akan mereka katakan?
“Assalamu ‘alaikum,” suara Mas Saleh kembali terdengar. Aku menjawab salamnya, membukakan pintu dan terkejut melihat bahwa Mas Saleh datang bersama … Kiai Ibrahim yang sudah sangat sepuh, kakekku yang juga kakek Walidah, karena Kiai Ibrahim yang pernah menjadi Kiai Penghulu Masjid Gedhe adalah ayah dari ibuku dan Pakde Fadlil.
“Masya Allah, Kiai,” ujarku sambil mengambil tangan Kiai Ibrahim dan menciumnya. “Harusnya Dahlan yang ke rumah Kiai.”
“Tidak apa-apa, Dahlan,” jawab Kiai Ibrahim dengan suaranya yang masih gagah, meski kondisi fisiknya begitu tua renta. “Aku sudah mendengarkan cerita soal langgarmu itu, tapi belum bisa memikirkan apa yang harus aku lakukan sampai Kiai Saleh tadi datang dan menjemputku.”
“Tolong panggil Walidah dan Nyai Saleh agar kita semua duduk di sini Dahlan,” kata Mas Saleh, yang langsung kuikuti. Mereka langsung datang dan duduk di ruang tengah. “Seperti sudah aku janjikan di kereta api tadi, aku akan membangun lagi langgarmu.” Mas Saleh lalu mengeluarkan kantong-kantong dan menumpahkan seluruh isi kantong itu ke atas meja. “Ini tabunganku, silakan kamu gunakan untuk membangun lagi langgarmu secepatnya.”
Mataku terasa perih karena bahagia melihat keseriusan Mas Saleh. Dulu saat aku pergi haji, Mas Saleh juga yang menanggung biaya perjalananku ke Tanah Suci. Kini dengan uang Mas Saleh lagi aku akan melanjutkan perjuanganku di Kauman.
“Ini juga uangku untukmu Dahlan,” sambung Kiai Ibrahim tiba-tiba. “Jumlahnya tidak banyak, tapi untuk menenangkanmu bahwa keluarga selalu mendukungmu.”
Aku kehabisan kata-kata melihat jari-jari keriput itu mengeluarkan logam demi logam yang entah sudah dikumpulkannya berapa lama. “Kiai tidak perlu melakukan ini,” ujarku kali ini dengan terbata-bata akibat keharuan yang tak bisa lagi kubendung. Ujung hidungku kurasakan panas seperti biasanya jika aku menangis. Walidah bangkit dari duduknya dan berlari ke dalam kamar. Aku menduga dia sudah tak kuat lagi menahan keharuan melihat dukungan yang sangat berarti seperti ini.
Tapi hanya beberapa menit kemudian Walidah kembali keluar kamar, kali ini sambil membawa kotak uang tabungannya. Dia berulang kali menyeka wajah dan ujung hidungnya yang basah, mencoba mengendalikan emosinya. “Ini uang tabunganku, Mas,” kata Walidah menyerahkan kotak itu kepadaku. “Gunakan untuk keperluan membangun langgar bersama-sama uang yang sudah diberikan Mas Saleh dan Kiai Ibrahim,” katanya dengan bibir bergetar. Aku tak kuasa menahan air mataku yang seperti mengalir dari sebuah waduk kecil di tengah sawah. Seluruh badanku bergetar sampai Mas Saleh memelukku.
“Subhanallah, subhanallah.” Hanya itu yang bisa aku ucapkan berkali-kali, melihat pertolongan luar biasa
Allah Azza wa Jalla melalui hamba-hamba-Nya yang mutttujin, dan selalu bekerja ikhlas tanpa pamrih.
“Insya Allah akan aku gunakan semua dana ini sebaik-baiknya’ ujarku setelah bisa mengendalikan diri lebih jauh. “Mudah-mudahan aku bisa mengembalikan semua uang ini secepatnya.”
“Tidak usah kau pikirkan soal pengembalian Dahlan, aku ikhlas. Mbakyumu pun ikhlas,” katanya disambut anggukan Nyai Saleh. “Yang harus kau pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar langgarmu bisa kembali berdiri sehingga murid-muridmu bisa kembali belajar.”
“Bagaimana jika langgar itu nanti dihancurkan lagi atas perintah Kiai Penghulu, Mas?” tanya Walidah.
“Nanti aku usahakan secepatnya bertemu Kiai Penghulu dan membicarakan masalah ini,” ujar Mas Saleh. “Semoga ada jalan keluar yang baik dari semua kemelut ini.”
Mas Saleh ini, jauh di luar bayanganku, ternyata bukan sekadar guru bahasa Arab yang sangat hebat, tetapi juga seorang pendorong semangat yang luar biasa. Aku jadi berpikir, sekiranya Mas Saleh ada di Kauman pada saat pembongkaran Langgar Kidul terjadi, adakah dia akan menghalangi hal itu terjadi? Dan kalau iya, dengan cara apa?
Tapi jarum sejarah sudah tak bisa diputar, dan Islam tidak mengizinkan penganutnya untuk berandai-andai yang akan mendatangkan penyesalan. Seperti tidak ada sehelai daun pun yang jatuh ke bumi yang tidak diketahui
Allah dan terjadi atas izin-Nya, kejadian pembongkaran Langgar Kidul tanpa kehadiran Mas Saleh ini pun sudah pasti bagian dari rencana Allah yang mungkin belum aku pahami sekarang maknanya, tapi pasti menyimpan sebuah pelajaran penting yang harus kutemukan intinya.
SIANG itu juga murid-muridku mulai bekerja bakti memunguti puing-puing Langgar Kidul yang masih terasa lembap akibat hujan. Mas Saleh mengirimkan beberapa orang pemuda lagi untuk membantu. Dampak dari kerja bakti ini langsung terasa pada murid-muridku yang kembali cerah wajahnya. Apalagi sebelum kerja bakti dimulai aku memang sudah menjelaskan soal dukungan yang diberikan Kiai Saleh dan Kiai Ibrahim pada khususnya. Dan itu sangat membantu semangat mereka yang langsung meninggi.
Setelah beberapa jam bekerja, seluruh puing bisa dibersihkan. Aku memulai peletakan batu pertama untuk pembangunan kembali Langgar Kidul, yang kuyakini bentuknya akan lebih baik daripada sebelum dirobohkan.
“Bismillahirrahmanirrahim,” ujarku sambil memplester batu yang akan dijadikan fondasi. “Allahu Akbar!” seru Jazuli bersemangat. “Allahu Akbar!” jawab yang lain serempak, termasuk diriku yang kini sedang dilambungkan perasaan bahagia yang luar biasa.
Awalnya aku sempat bertanya-tanya, mengapa setelah sekitar satu jam bekerja dari tadi siang, tak ada satu pun marbut Masjid Gedhe Kauman yang kubayangkan akan datang untuk memberikanku surat peringatan dari Kiai Penghulu lagi, atau bahkan menyampaikan kabar pembongkaran lagi. Tidak juga adanya tanda-tanda kehadiran polisi Belanda yang semalam menjaga orang-orang suruhan Kiai Kholil Kamaludiningrat. Apakah ini karena Mas Saleh langsung bertindak menemui Kiai Penghulu? Atau bahkan Kiai Ibrahim yang pernah menjabat posisi itu yang langsung bicara pada Kiai Kamaludiningrat?
Setelah satu jam lagi berlalu dan tetap tidak ada tanda-tanda kehadiran orang-orang Masjid Gedhe, akhirnya aku benar-benar larut dalam kesibukan untuk membangun kembali Langgar Kidul.
HIKMAH demi hikmah peristiwa pahit itu akhirnya mulai terkuak satu per satu. Setelah aku dan Walidah menyadari bahwa kami tidak ditinggalkan sendirian dalam masalah ini oleh keluarga seperti kekhawatiran kami semula, hikmah kedua yang sama sekali tak aku sangka-sangka adalah karena dalam beberapa hari setelah itu empat dari lima langgar di kawasan Kauman menyatakan akan mengubah arah kiblat langgar mereka. Satu per satu para kiai yang mengelola langgar itu menemuiku, meminta bantuan untuk menentukan arah kiblat yang sesuai dengan langgar mereka.
Satu-satunya langgar yang belum menyatakan ingin mengubah arah kiblat adalah Langgar Lor, yang dipimpin oleh Kiai Lurah Muhammad Noor.
PENGAJIAN di Langgar Lor masih berlangsung seperti biasa, dengan para murid yang cukup banyak. “Kalau umat Islam bersatu, Islam akan lebih kuat. Karena itulah aku mendirikan Jam’iyyah Nuriyah ini untuk membentengi pengaruh buruk yang masuk di Kauman,” ujar Jazuli pada satu malam saat tadarusan kepadaku. Jazuli mengaku mendapatkan laporan kejadian itu dari Tijan salah seorang kawannya yang ikut pengajian Kiai Noor.
“Apa yang dimaksudkan dengan pengaruh buruk yang masuk di Kauman itu, Zul?” tanyaku.
“Itu juga yang aku tanyakan ke Tijan Kiai,” jawab Jazuli. “Tapi dia bilang Kiai Noor tidak menjelaskan lebih jauh kecuali sesudah itu dia bilang /as tabikh u l khairat.”
“Fastabikhul khairat? Berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Apakah yang dimaksudkan Kiai Noor itu untuk sesama muridnya atau bagi pengajian lain?” Aku berpikir keras mencoba menyelami arah berpikir Mas Noor.
“Saya juga tidak tahu Kiai,” jawab Jazuli yang salah memahami pertanyaan untuk diriku sendiri itu. “Cuma itu saja yang diceritakan Tijan.”
HARI-HARI berganti dengan cepat. Fondasi Langgar Kidul yang baru sudah berdiri kukuh disambung dengan tembok, menyisakan hanya bagian atap yang belum selesai. Tapi ini pun tidak terlalu lama lagi karena murid-muridku sedang bekerja sama mengangkat genteng dari bawah, dan memberikan sambung menyambung sampai ke tukang genteng yang langsung menyusunnya dengan rapi. Langgar Kidulku akan kembali berdiri.
“Tinggal yang terakhir. Satu lagi,” teriak tukang genteng dari atas. “Allahu Akbar!” seru Jazuli yang langsung disambut dengan teriakan dengan nada riang oleh murid-murid lainnya.
“Kiai Dahlan saja yang pilih genteng terakhir,” usul Hisyam yang segera disetujui kawan-kawannya. Aku lalu memilih genteng terakhir yang menurutku paling bagus dari yang masih tersisa dan mengangsurkannya ke Hisyam, yang meneruskannya ke Sangidu, lalu Jazuli, Daniel, dan sampai ke tukang genteng. “Selesai!” kata tukang genteng itu disambut sorak shalawat para murid dan air mataku.
DI LUAR masalah arah kiblat itu, sebetulnya ada hal lain yang menurutku perlu dibahas para kiai: persoalan kristenisasi. Para kiai selalu mengecam cara-cara pemerintah Belanda atau para pendeta dan pastor dalam mengkristenkan orang-orang Islam di banyak wilayah di Pulau Jawa, namun tak pernah ada upaya untuk membicarakan masalah ini secara lebih terpadu, baik yang akan dijalankan sendiri-sendiri oleh para kiai maupun lewat sebuah kerja sama yang terencana.
Di tingkat yang lebih tinggi, aku melihatnya sebagai hal yang kontradiktif. Jika Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono turun-temurun dianggap sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah, di mana fungsi agama yang dimaksud di sini adalah Islam, mengapa tidak pernah ada upaya untuk mengurangi angka kristenisasi yang terbukti naik terus dari waktu ke waktu? Misalnya dengan mengumpulkan para kiai di keraton untuk membahas masalah ini.
Ketika aku baru kembali dari Makkah pada 1888, Mas Noor yang juga sering bepergian ke luar kota sebagai pedagang batik menyampaikan sebuah kabar yang mengagetkanku bahwa seorang bangsawan Pakualaman telah berpindah keyakinan menjadi pemeluk Kristen. “Yang membaptisnya bukan pendeta Belanda, Dahlan,” ujar Mas Noor waktu itu, “tapi seorang pendeta pribumi bernama Kiai Sadrach.”
“Kiai Sadrach? Kenapa seorang pendeta disebut kiai?” tanyaku penasaran.
“Yang kudengar dia sering menggunakan kata-kata Arab-Jawa seperti kebanyakan kiai,” lanjut Mas Noor. “Bahkan dia menyebut gereja dan pemimpin jemaat dengan kata ‘masjid’ dan ‘imam’ sebagaimana umumnya orang Islam.”
Aku tercengang mendengar penuturan Mas Noor. Selama lima tahun di Haramain, aku tak pernah mendengar informasi seperti ini dari para kiai dan syaikh yang menjadi guruku, maupun dari para santri asal Jawa yang sedang menuntut ilmu. “Sejauh apa keberhasilan Kiai Sadrach ini dalam kristenisasi?” tanyaku lagi.
“Aku tidak tahu persisnya, tapi katanya jemaat Kiai Sadrach ini lebih dari 5.000 orang yang tersebar di 300-an desa,” papar Mas Noor. “Sebagian besar berada di Jawa Timur.”
Sejak itu aku selalu mencoba usaha untuk membuka percakapan dengan para pendeta dan misionaris Kristen sebanyak mungkin. Tujuanku agar bisa timbul keadaan saling menghormati, dan dalam semangat untuk menyebarkan agama masing-masing tidak saling menyakiti. Untuk beberapa kasus ketika aku mendengar ada misionaris atau zending yang berlaku ekstrem sampai menghina Islam, biasanya aku akan menawarkan debat terbuka (open baar) yang tetap harus dilakukan secara bermartabat.
Beberapa upayaku yang sempat terjadi adalah pembicaraan dengan Pastor van Lith. Tapi setelah pertemuan pendahuluan dilakukan, dan menurutku hasilnya cukup memuaskan karena Pastor van Lith cukup terbuka, dia meninggal dunia sehingga tak ada hasil lebih besar yang bisa dicapai.
Belakangan setelah aku sering bergaul dengan orang-orang dari kalangan nasionalis, aku sempat terlibat dalam diskusi serius dengan Pastor van Driesse yang diatur oleh M. Joyosumarto, mertua M.M. Joyodiguno. Namun pertemuan ini pun hanya satu kali diadakan. Berbeda dengan van Lith yang lebih terbuka, van Driesse lebih bersikap emosional dan sikapnya kasar sehingga menyulitkan usaha untuk bertukar pikiran yang lebih tenang. Seandainya van Driesse bicara dengan Mas Noor, aku rasa belum lima menit pembicaraan mereka berlangsung keduanya sudah terlibat perkelahian fisik yang sesungguhnya. Ketika kuceritakan kemungkinan itu kepada Mas Noor, dia hanya berkata pendek. “Harusnya memang kau pukul saja jika bertemu pendeta seperti itu,” katanya.
Pembicaraanku yang lebih serius akhirnya bisa terjadi dengan Pendeta Bakker di Jetis, dan berlangsung 4-5 kali. Namun semakin lama pembicaraan berlangsung, keadaannya justru semakin berbelit-belit sehingga akhirnya untuk membuat pembicaraan tentang konsep-konsep ketuhanan dan pengaruh agama bagi masyarakat Jawa itu bisa lebih mendatangkan manfaat, aku usulkan sebuah tantangan kepadanya. “Bersediakah Bapak Pendeta agar kita sama-sama keluar dari agama kita sekarang untuk mencari ajaran mana yang lebih benar? Kalau ajaran Protestan yang Bapak yakini selama ini yang benar, saya bersedia dan ikhlas untuk mengikuti keyakinan Bapak,” ujarku yang melihat ekspresi terkejut terpantul dari matanya. “Tapi jika sebaliknya Bapak merasa ajaran Islam yang benar, Bapak harus ikhlas juga untuk memeluk Islam,” lanjutku.
“Baik, Kiai Dahlan, akan saya pertimbangkan tawaran diskusi seperti irii,” katanya serius. Tapi ternyata itu menjadi pertemuan terakhir kami karena kemudian Pendeta Bakker selalu tak punya waktu lagi untuk bertemu denganku, sampai akhirnya kudengar dia sudah kembali ke Belanda.
Meski begitu hasil pembicaraan dengan Pendeta Bakker tak bisa sepenuhnya dikatakan gagal karena dua orang dari pihak Pendeta Bakker yang selalu mengikuti pertemuan kami, akhirnya menyatakan pilihan mereka untuk menjadi pemeluk Islam. Mereka memintaku membimbing pengucapan dua kalimat syahadat yang menjadi awal kehidupan baru mereka sebagai Muslim.
Ketiga peristiwa di atas sejauh ini hanya diketahui oleh lingkungan terdekatku seperti para kiai dan keluarga, tidak pernah tersebar langsung ke masyarakat. Ini berbeda dengan peristiwa keempat yang ditulis dan disiarkan secara terbuka oleh pakar pendidikan Ki Hajar Dewantara di koran Darmo Kondo yang terbit di Solo.
Kejadian ini bermula saat aku mendengar pastor beken dr. Zwijner akan datang ke Hindia-Belanda untuk memberikan khotbah di Batavia, Surabaya, Makassar, Banjarmasin, dan Yogyakarta. Rencana kedatangan itu secara gencar disiarkan di banyak media sehingga rasanya tidak ada orang yang membaca media yang tidak tahu akan rencana kedatangan pastor yang mempunyai wilayah keija di Asia ini.
Isi khutbah-khutbahnya yang selama ini sangat pedas terhadap Islam, membuatku mencoba untuk mengundangnya dalam sebuah open baur yang akan berlangsung di sebuah gedung di Ngampilan. Inti dari pertemuan itu untuk mencari titik temu yang bisa membuat kedua pihak lebih saling menghormati pihak lainnya. Pada acara yang direncanakan itu, Pastor dr. Zwijner juga akan diberikan kesempatan menjelaskan pokok-pokok ajaran agama Kristen, dan memberikan jawaban seandainya ada peserta pertemuan yang ingin bertanya. Namun pada hari yang telah disepakati, Pastor dr. Zwijner tidak datang tanpa alasan jelas.
Walhasil karena pengunjung sudah cukup banyak berdatangan, akhirnya aku hanya bicara sendirian dengan menjelaskan bahwa perkembangan agama-agama ibarat sekolah yang bertingkat-tingkat dari kelas satu pada zaman Nabi Adam, sampai pada kelas tertinggi di zaman Nabi Muhammad Saw. “Oleh sebab itu, hendaknya kita bersatu untuk mempelajari agama dengan menggunakan akal. Janganlah agama Kristen itu dibicarakan di gereja saja. Di masjid pun tidak ada halangannya/’ ujarku.
Rupanya kata-kataku itu dikutip dalam tulisan Ki Hajar Dewantara di harian Darmo Kondo yang digawangi oleh kubu radikal-nasionalis. Ki Hajar juga menuliskan bahwa ketidakhadiran dr. Zwijner adalah karena “dr. Zwijner tidak mampu menghadapi K.H. Ahmad Dahlan”. Segera setelah artikel tulisan Ki Hajar beredar, keesokan harinya program kedatangan dr. Zwijner yang biasanya selalu disiarkan secara gencar di koran-koran sudah tidak terdengar lagi.11
Kiai Penghulu Kamaludiningrat sejak awal termasuk yang tidak mendukung caraku untuk terlibat dalam banyak pembicaraan dengan para pemuka agama pihak lain, khususnya para pendeta dan pastor. “Untuk apa menghabiskan tenaga dan waktu buat urusan yang tidak berguna seperti itu, Kiai Dahlan?” tanyanya.
“Justru saya melihat bahwa umat beragama itu selayaknya tidak hanya memahami ajaran agamanya, tetapi juga mempelajari agama orang lain. Dengan begitu, para pemeluk agama yang berbeda bisa saling menghormati,” jawabku.
“Bukankah itu berbahaya, Dahlan?” ujar Mas Noor pada kesempatan yang lain. “Apa artinya saling meng-
“Kisah rencana debat Kiai Dahlan dan dr. Zwijner ini antara lain dicatat oleh Junus Salam dalam K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya, dengan kata pengantar oleh dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. (Al Wasat Publishing House, 2009)
hormati jika pada akhirnya Dimas malah bisa tepo seliro terhadap ajaran mereka, dan lama-lama malah merasa bisa menerima ajaran mereka? Itu sudah menyalahi tauhid yang kita yakini, Dimas.”
“Menurut saya manusia perlu mengetahui mana yang benar dan yang salah. Manusia yang tahu caranya mencuri tidak dapat disebut pencuri kecuali kalau dia benar-benar melakukan pencurian itu,” jawabku memberikan penjelasan lebih panjang. “Begitu juga dengan seorang Kristen yang paham seluk beluk agama Islam tidak bisa disebut Muslim kecuali sampai dia benar-benar mengamalkan ajaran Islam. Dan sebaliknya, orang Islam yang tahu seluk beluk agama Kristen juga tidak lantas menjadi Kristen, kecuali kalau mereka memang mengamalkannya.”
Setelah itu biasanya perdebatan terhenti, bukan karena para kiai seperti Mas Noor atau Kiai Penghulu merasa bisa menerima pendapatku, melainkan karena tetap melihat tak adanya manfaat dari apa yang aku lakukan untuk menjembatani dua keyakinan ini.
PERGANTIAN abad Masehi yang hanya tinggal beberapa bulan lagi sebelum memasuki tahun 1900 tak sepenuhnya memberikan gambaran menyenangkan. Penyakit busung lapar dan kolera mulai mewabah di Yogyakarta dan sebagian besar tanah Jawa. Jogja seperti sedang gering karena hawa kematian seperti tercium di mana-mana.
Ledakan penyakit kolera ini dimulai hampir 10 tahun lalu ketika penduduk Makkah dijangkiti penyakit yang sama. Konon penyakit itu sempat menular pada seorang jamaah haji ketika sedang dalam perjalanan pulang di tengah lautan. Haji yang terjangkit penyakit ini di kapal, syahdan menularkan lagi penyakit itu kepada para penumpang lain yang kondisi tubuhnya sedang tidak sehat. Begitulah secara perlahan penyakit ini menyebar di tanah Jawa, paling tidak menurut obrolan para kiai karena aku tak pernah mendengar ada cerita lain dari munculnya penyakit ini, misalnya dari para pelajar kedokteran STOVIA.
SETELAH berpekan-pekan dikerjakan dengan sekuat tenaga, akhirnya Langgar f Kidul berdiri kembali. Kali ini dengan bentuk lebih kukuh. Aku terharu melihat Daniel, Jazuli, Hisyam, dan Sangidu sedang memasang papan kayu bertuliskan Langgar Kidul Kiai Dahlan di bagian depan bangunan. Mas Saleh kulihat juga memperhatikan dengan mata agak berkaca-kaca. “Terima kasih Mas atas bantuannya,” ujarku sambil menatap Mas Saleh. “Tanpa dukungan Mas, barangkali bukan saja langgar ini belum berdiri bahkan aku pun mungkin sudah tidak mukim di Kauman lagi.”
“Itu tak usah disebut lagi Dahlan/’ jawab Mas Saleh. “Yang penting sekarang langgarmu sudah berdiri, dan kamu bisa memberikan pengajaran lagi bagi anak-anak muda Kauman.”
“Iya, Kangmas. Sesekali kalau Kangmas ada waktu, kiranya bersedia ikut mengajar di langgar ini,” pintaku. “Bisa, kan?”
“Insya Allah.”
Akhirnya, papan kayu itu terpasang dengan posisi sempurna. Para murid berpelukan satu dengan yang lain. Aku berpelukan dengan Mas Saleh, yang tak lama kemudian minta izin karena ada urusan lain. Murid-muridku lalu berwudhu sebelum memasuki Langgar Kidul. Aku menyusul, mendirikan shalat sunnah, dan melihat ke sekeliling ruangan. Terbayang sekilas kejadian beberapa pekan sebelumnya ketika tempat ini dibongkar paksa. Aku mengajak para murid berdoa atas selesainya pembangunan kembali tempat suci ini.
“Bagaimana kalau pengajian dimulai lagi sekarang, Kangmas?” saran Sangidu setelah berdoa selesai. “Iya, betul, Kiai/’ sambung Hisyam. Jazuli dan Daniel mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Baiklah,” ujarku sambil membuka pengajian dengan tahmid dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad Saw. “Kita akan coba lihat bagaimana kondisi umat Islam saat ini. Bagaimana menurutmu Sangidu?”
“Menyedihkan, Kangmas. Banyak yang menderita.”
“Menurut kamu, Niel?”
“Sama dengan Sangidu, Kiai. Umat Islam di sini seperti tidak bisa hidup bahagia di tanahnya sendiri.”
“Bilang saja diperbudak bangsa kafir Belanda itu Niel,” sambar Hisyam. “Kiai, menurut saya, kalau Kanjeng Nabi Muhammad Saw. melihat umat Islam di Pulau Jawa, pasti beliau akan menangis habis-habisan.”
“Mengapa menurutmu begitu?” tanyaku tertarik pada cara Hisyam memberikan jawaban. Anak itu langsung menjawab dengan cekatan. “Soalnya kalau aku dengar dari ceramah-ceramah Kiai Dahlan tentang umat Islam zaman dulu, banyak yang hebat-hebat, ada kejayaan Islam. Kalau sekarang ini, di Jawa saja misalnya karena aku belum pernah haji dan melihat Makkah, biar ada Ngarsa Dalem yang disebut Sayyidin Panatagama Khalifatullah, ternyata tetap saja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini masih disuruh-suruh pemerintah kafir Belanda. Harus bayar ini itu, harus setor ini itu. Padahal ini tanah kita, kekayaan alam kita sendiri.”
“Itu, sih, kita semua sudah tahu,” ujar Daniel. “Jadi maksudmu yang sebenarnya itu apa, Syam?”
“Maksudku umat Islam itu, kita-kita ini. Bagaimana, ya, ngomongnya, kok, ya, mau saja disuruh-suruh orang lain gitu, lho,” jawab Hisyam. “Atau memang umat Islam ini, maaf, ya, Kiai Dahlan…”
“Tidak apa-apa teruskan saja Syam,” sahutku sambil menyimak pembicaraannya. “Katakan saja apa yang sedang kamu pikirkan selama ini.”
“Aku pikir kadang-kadang umat Islam ini bertindak bodoh,” jawab Hisyam pendek dan tegas.
“Hush!” sambar Jazuli cepat. “Kualat nanti kamu ngomong begitu, Syam.”
“Iya, Syam. bidak boleh omong jelek tentang orang Islam sendiri,” sambar Sangidu. “Itu namanya kita menyebarkan fitnah. Padahal fitnah itu seperti diajarkan Kiai Dahlan adalah lebih kejam daripada pembunuhan. Betul ndak, Kangmas?” katanya sambil menatapku, mengharapkan dukungan.
“Tergantung apa yang Hisyam maksudkan sebagai bodoh itu apa, Du?” jawabku sambil menoleh ke arah Hisyam. “Lanjutkan dulu maksudmu dengan memberikan contoh yang lebih jelas, Syam.”
“Maksudku itu ndak jauh-jauh. Lihat saja apa yang dilakukan orang terhadap langgar ini, mereka membongkarnya, padahal kita sama-sama orang Islam. Tapi tempat mabuk-mabukan orang Belanda yang jelas-jelas tempat maksiat, ndak ada yang berani menghancurkannya,” jawab Hisyam berapi-api. “Apakah itu bukan berarti kelakuan orang-orang bodoh? Yang sudah jelas tempat ibadah untuk belajar ilmu-ilmu Allah malah dihancurkan, tapi tempat orang berbuat sesat malah didiamkan.”
Kali ini murid-murid lain terdiam, tak ada yang berani mendebat Hisyam lagi. Semua tak ada yang angkat bicara. Aku juga memilih diam, memberikan kesempatan pada anak ini untuk mengeluarkan unek-unek hatinya.
Dan benar saja, tak lama kemudian suaranya terdengar lagi-
“Kalau memang umat Islam itu pemberani dan punya kepintaran, kenapa bukan yang sudah jelas-jelas musuh saja yang dilawan? Apa salah Kiai Dahlan sampai langgar ini harus dibongkar? Apa Kiai Dahlan mengajarkan kita buat mendustakan Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad? Kan, ndakl Apa Kiai Dahlan mengajarkan kita supaya meninggalkan shalat, tidak perlu puasa Ramadhan, atau harus menjauhi dan ndak peduli soal anak-anak yatim? Kan, ndak juga. Jadi, apa penyebabnya ada kiai-kiai yang tidak setuju dengan Kiai Dahlan, lalu menyuruh umat yang ndak ngerti masalah untuk menghancurkan langgar ini kalau bukan karena kebodohan?” kata Hisyam tambah bersemangat. “Kesalahan Kiai Dahlan itu apa, sih? Ternyata kesalahan Kiai Dahlan di mata para kiai adalah karena Kiai Dahlan mengusulkan perubahan arah kiblat di Masjid Gedhe Kauman! Ke mana arah kiblatnya? Ya tetap ke Ka’bah, supaya lebih pas ndak melenceng-melenceng. Masak karena usulan yang baik ini Kiai Dahlan malah dimusuhi?” Hisyam kembali melihat teman-temannya satu per satu.
“Baiklah, Hisyam, terima kasih,” ujarku untuk memberikan kesempatan baginya menarik napas. “Penjelasanmu sangat baik, dan kelihatannya kamu sudah siap buat menjadi kiai baru,” kataku disambut tawa kecil dari para murid. Hisyam hanya cengar-cengir.
“Sekarang Kiai ingin bertanya, mengapa kita umat Islam bertindak bodoh seperti disebutkan Hisyam tadi? Apakah karena ajaran agama Islam sendiri yang kurang mulia?” tanyaku memancing jawaban mereka. Semuanya menggelengkan kepala.
“Atau karena ajaran Islam masih belum sempurna?” tanyaku lagi.
Semuanya kembali menggelengkan kepala. “Ajaran Islam itu sudah paling sempurna di antara semua ajaran, Kiai,” sahut Jazuli.
“Lantas, apa penyebabnya kalau begitu?” tanyaku. “Mengapa sebuah ajaran yang sempurna dan mulia tapi mempunyai banyak umat yang bodoh seperti disebutkan Hisyam?”
Tak ada yang menjawab. Aku tunggu beberapa detik, mereka masih saja menundukkan kepala. “Baiklah, begini, coba tegakkan kepala kalian, dengarkan ini baik-baik,” ujarku. “Syaikh Muhammad Abduh asal Mesir yang sekarang tinggal di Paris ibu kota Prancis mengatakan bahwa Al-Islamu mahjubuti bil muslimin, yang artinya adalah bahwa Islam itu tertutup oleh kelakuan umat Islam sendiri.”
“Apa itu maksudnya, Kiai?” tanya Hisyam.
“Maksudnya adalah bahwa kesempurnaan dan kemuliaan ajaran Islam itu tertutup oleh akhlak, kelakuan, kata-kata kaum Muslim sendiri yang sering tidak menunjukkan b ahwa Islam sebenarnya sudah mempunyai ajaran-ajaran khusus untuk itu. Misalnya hadis Nabi
tentang kebersihan adalah sebagian dari iman. Tapi kenyataannya? Banyak sekali kita lihat orang Islam di sekitar kita yang tidak mementingkan kebersihan badan, rumah, dan lingkungan mereka, bukan karena tidak bisa atau tidak mampu, tapi karena malas,” jawabku. “Maka kata Syaikh Abduh lagi, ketika aku melihat ke Barat, maksudnya ke negara Eropa tempat dia tinggal, ada Islam di sini, ada kebersihan, keteraturan, orang-orang bisa tertib dan tidak berebutan dalam menunggu sesuatu. Tetapi saat aku melihat ke Timur, kata Syaikh Abduh, yang maksudnya adalah melihat ke negeri-negeri Islam, sulit sekali aku melihat ajaran-ajaran Islam dijalankan oleh para pemeluknya, seperti soal ketertiban dan keindahan tadi. Padahal itu baru untuk contoh kecil.”
“Ooo … jadi yang disebut Eropa itu bersih, ya, Kiai Dahlan? Aku pikir semua sama saja seperti di Kauman?” celetuk Jazuli. “Di Belanda juga?”
“Kiai tidak tahu,” jawabku berterus terang. “Aku, kan, belum pernah ke sana. Tapi kalau Syaikh Abduh yang sudah tinggal di wilayah seperti itu menuliskan demikian, barangkali memang Belanda juga termasuk negara yang bersih dan indah.”
Hisyam terlihat bingung. “Yang aku tidak mengerti, kalau betul negara-negara Eropa itu bersih dan indah padahal mereka kafir, sedangkan negeri kita dan negeri-negeri Muslim lainnya banyak yang kotor dan tidak rapi padahal sudah beriman dan menyembah Allah, mengapa bukan sebaliknya yang terjadi, ya, Kiai? Harusnya, kan, negeri kita yang lebih indah dan rapi, bersih, sedangkan negeri-negeri kafir itu yang kotor dan berantakan.”
“Betul Hisyam. Itu adalah salah satu tugas berat kita untuk membuktikan bahwa kita bukan hanya mempelajari ajaran Islam, tapi juga mengamalkan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.”
PENGAJIAN pertama yang selesai menandakan dimulainya lagi kegiatan rutin di Langgar Kidul, ternyata memang membuat semangat para muridku naik lagi. Mereka lalu membuat selebaran dan bersiap-siap untuk menyebarkan dan menempelkannya di tempat lain. Namun dalam kenyataannya, usaha untuk menempelkan selebaran ini tidak semudah yang diduga.
Suatu hari, Jazuli yang bertugas menempelkan poster bersama Hisyam menceritakan bahwa mereka bertemu dengan murid-murid kelompok pengajian Jam’iyah Nuriyah yang diasuh oleh Mas Noor. “Mereka tiba-tiba langsung mengejek kami berdua, Kiai,” Jazuli melaporkan dengan lesu.
“Mengejek bagaimana?” tanyaku penasaran.
“Mereka memanggil kami murid kiai kafir,” jelas Hisyam.
“Astaghfirullahal ‘adzim.” Aku mengurut dada.
“Iya, Kiai, karena saya tersinggung dengan panggilan itu, saya balas panggil mereka sebagai murid kiai penakut.”
“Mas Noor bukan penakut,” ujarku meluruskan perkataan Hisyam. “Beliau salah seorang kiai yang berani mengemukakan pendapat keras, khususnya tentang pemerintah Hindia-Belanda.”
“Maaf, Kiai Dahlan,” jawab Hisyam dengan nada takut. “Maksud saya adalah waktu pembongkaran Langgar Kidul oleh Kiai Penghulu waktu itu. Kiai Noor ada di sini hanya melihat tanpa menghalangi, apalagi mengusir, orang-orang membongkar langgar.”
“Aku mengerti kemarahan dan kekecewaanmu Hisyam. Tapi lain kali aku tidak mau kamu dan murid-muridku yang lain membalas ejekan dengan balik mengejek. Apalagi yang menjadi sasaran ejekan balik kalian adalah kiai.”
“Maafkan saya, Kiai,” ujar Hisyam.
“Iya, maafkan saya juga, Kiai,” lanjut Jazuli.
“Ya sudah, yang sudah terjadi tadi jangan kalian ulangi lagi.”
“Baik, Kiai.”
Sebutan atas diriku sebagai “kiai kafir” kini rupanya sudah menjalar sampai ke tingkat para murid, sebuah gejala yang sama sekali tidak baik, dan bisa membuat murid-muridku lepas kontrol. Aku juga sudah merasakan bahwa belakangan ini jadwalku memberikan khutbah Jumat di Masjid Gedhe Kauman sudah berkurang jauh.
Sebetulnya bagiku itu bukan masalah besar. Menyampaikan satu ayat di depan Ngarsa Dalem sama saja nilai pahalanya dengan menyampaikan satu ayat di depan seorang petani tebu Yogyakarta yang sangat miskin. Allah tidak menilai bahwa dakwah di depan seorang raja, seorang kaya, akan bernilai lebih tinggi dibandingkan berdakwah seorang papa. Bahkan Kanjeng Nabi Muhammad sendiri pernah ditegur Allah Swt. ketika dalam salah satu dakwahnya mengabaikan pertanyaan seorang buta yang dinilai Nabi tidak terlalu menguntungkan bagi strategi dakwah dibandingkan dengan memperhatikan kepentingan orang-orang kaya.
Belum lagi jika memikirkan tindakan Kiai Penghulu yang menyuruh para kuli untuk membongkar langgarku. Kendati aku sudah bisa memaafkan tindakan itu, sesekali bayangan kelam peristiwa itu melintas juga di kepalaku mencoba meniup-niup agar aku terpancing untuk berlaku emosional, meski untungnya selalu bisa kukendalikan.
Tetapi setelah berbicara lebih jauh dengan Walidah istriku dan menimbang untung ruginya, akhirnya aku mengambil keputusan bahwa aku harus secepatnya melepaskan jabatan sebagai khatib amin Masjid Gedhe Kauman. Dan ini sebuah keputusan yang tak bisa ditawar lagi.
Akhirnya pada satu hari, aku menghadap Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat di rumah dinasnya yang terletak di Pendopo Pengulon. Kiai Kamaludiningrat terlihat tidak terlalu menyambut kedatanganku, dan aku pun sedang tidak ingin bicara panjang lebar. Maka setelah mengucapkan salam aku langsung menyampaikan maksud kedatanganku secara singkat.
“Kenapa harus mundur, Kiai Dahlan?” tanya Kiai Kamaludiningrat dengan nada datar.
“Aku rasa itu yang terbaik bagi kita semua, Kiai,” jawabku. Kiai Kamaludiningrat tak mengomentari lagi, dan memilih diam. Setelah beberapa saat dia tak juga bicara, akhirnya aku putuskan untuk pamit tanpa menunggu lagi jawaban Kiai Penghulu selanjutnya. Toh dia sudah tahu apa yang menjadi keinginanku. Sebab jika pun Kiai Kamaludiningrat tetap ingin mempertahankan posisiku, aku sudah berbulat hati untuk mundur. Apalagi jika sekarang dia hanya berdiam diri, yang menunjukkan bahwa dia sebenarnya memang menginginkan aku mundur, tapi tak mau bertanggung jawab seandainya Ngarsa Dalem menanyakan soal mundurnya aku.
PADA 1899, setahun sebelum pergantian abad ke-20, anggota parlemen Belanda C. Th. van Deventer yang pernah tinggal di Indonesia selama hampir 20 tahun menulis bahwa negeri Belanda berutang kepada bangsa Indonesia untuk semua kekayaan alam yang telah diperas dari Negeri Khatulistiwa ini. Utang itu harus dibayarkan dengan cara memberikan prioritas utama untuk kepentingan rakyat Indonesia dalam kebijakan kolonial pemerintah Hindia-Belanda. Kebijakan balas budi itu disebut van Deventer sebagai Politik Etis. Dua tahun kemudian, pada 1901, Ratu Wilhelmina mengumumkan secara resmi Politik Etis resmi dijalankan, dengan
menekankan pada tiga prinsip utama: pendidikan, pengairan, dan perpindahan penduduk.
Semua pendukung Politik Etis setuju dengan tujuan untuk meningkatkan taraf pendidikan rakyat. Namun mereka terbagi dalam dua kelompok besar yang berbeda pendapat mengenai jenis pendidikan seperti apa yang harus diberikan, dan siapa yang menjadi sasaran utama dari jenis pendidikan itu.
Kelompok pertama yang pro-rakyat seperti Gubernur Jenderal van Heutz dan dan Menteri Urusan Daerah Jajahan Alexander Idenburg—belakangan menggantikan van Heutz sebagai Gubernur Jenderal—menginginkan diterapkannya jenis pendidikan yang lebih mendasar bagi rakyat dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan.
Kelompok kedua yang didukung oleh Snouck Hurgronje dan Direktur Pendidikan Politik Etis J.H. Abendanon, menginginkan bentuk pendidikan yang lebih bergaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, dan kaum elite Jawa pada khususnya dan kelompok elite non-Jawa pada umumnya, sebagai sasaran utama pendidikan itu. Tujuannya adalah agar tercipta lapisan elite yang bisa bekerja sama untuk menekan ongkos-ongkos belanja pemerintah kolonial. Tujuan lainnya adalah untuk mengendalikan umat Islam yang mulai sering bergolak di banyak tempat, seperti Aceh tempat Hurgronje sedang bertugas.
Karena pelaksana harian Politik Etis berada di tangan Abendanon, pendekatan “pro-elite”-lah yang dijalankan. Abendanon mengubah tiga hoofdenscholen, atau “sekolah para kepala” yang lama di Bandung, Magelang, dan Probolinggo, menjadi sekolah yang dirancang untuk menghasilkan pegawai pemerintahan sehingga dinamakan OSVIA (Opleidingscholen Voor Ittlandsche Ambtenaren, atau “sekolah pelatihan untuk para pejabat pribumi”) dengan bahasa Belanda sebagai bahasa wajib di sekolah. Selain itu sekolah “Dokter Jawa” yang berlokasi di Weltevreden, Batavia, juga diganti namanya menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen, atau “sekolah untuk pelatihan dokter-dokter pribumi”).
Belakangan, situasi kompromistis antara kelompok “pro-elite” dan “pro-rakyat” terjadi setelah Abendanon mengizinkan rakyat Indonesia yang bukan dari keluarga elite untuk masuk ke sekolah-sekolah itu sepanjang mereka memenuhi syarat yang diinginkan, termasuk kefasihan berbahasa Belanda sampai tingkat tertentu.
Salah satu terobosan penting lainnya yang dilakukan Abendanon adalah menghapuskan iuran sekolah bagi para murid yang orangtuanya berpenghasilan di bawah 50 gulden per bulan. Sebagai perbandingan, saat itu gaji yang diterima para khatib Masjid Gedhe Kauman seperti diriku adalah tujuh gulden per bulan.
RAKYAT Yogyakarta sedang mengalami kesulitan yang luar biasa. Kemiskinan dan kelaparan terjadi di mana-mana Busung lapar dan kolera juga sedang mewabah, dan sebenarnya itu hampir terjadi di sebagian besar Pulau Jawa. Wabah kolera di Pulau Jawa syahdan masih berkaitan dengan wabah kolera yang berjangkit di Kota Makkah pada 1890 dan menulari banyak jamaah haji asal Jawa dalam perjalanan pulang mereka.
Strategi Politik Etis “pro-elite” di bidang pendidikan yang dijalankan Abendanon dengan tujuan untuk membuat kalangan elite baru yang akan setia pada pemerintah Belanda di seberang lautan, ternyata tak seutuhnya berjalan sesuai harapan. Para pemuda yang haus ilmu dan belajar di OSVIA serta STOVIA itu memang semakin fasih berbahasa Belanda, namun tak semuanya setuju menjadi kaum yang hanya membebek pada tujuan yang diinginkan Abendanon. Semakin lama justru semakin banyak pelajar yang menyadari perlunya negeri ini dijalankan atas keinginan rakyatnya sendiri, bukan dari perintah negeri lain yang berada di seberang lautan. Dan semakin hari semakin banyak saja pelajar yang mulai mengucapkan satu kata yang kian mempererat perasaan sebagai satu bangsa: Indonesia. Dan salah seorang yang paling berpengaruh atas terbukanya pikiran para pelajar tentang perlunya Indonesia berdiri secara bebas adalah dr. Wahidin Sudirohusodo yang saat itu berusia menjelang 50 tahun. “Jika kita tidak mulai sekarang untuk bersatu, negeri ini akan semakin hancur,” tulisnya pada salah satu
tulisan yang pernah aku baca. Belakangan aku tahu bahwa para pelajar STOVIA itu antara lain Raden Budiharjo, Raden Dwijosewoyo, dan Raden Ngabei Sosrosugondo yang sering membicarakan soal-soal kebangsaan di rumah dr. Wahidin Sudirohusodo, salah seorang dokter Jawa yang sangat dihormati.
TAHU-TAHU almanak sudah menunjukkan tahun 1904.
Aku berjalan menuju pintu gerbang Donopratopo dengan langkah cepat. Sebuah perintah baru saja aku terima: Sri Sultan Hamengkubuwono VII ingin bertemu di ruangan Ndalem Ageng Proboyakso. Ini bukan perintah biasa karena bangunan berdinding kayu itu boleh dibilang merupakan pusat dari keraton seluas 14.000 meter persegi itu.
Aku melewati sepasang arca raksasa Dwarapala yang berada di muka gerbang. Arca di sebelah timur disebut Cinkorobolo, sedangkan yang di sebelah barat dinamakan Bolobuto, sebelum memasuki halaman teduh yang dinaungi rimbun pohon sawo kecik dan terus berjalan menuju Bangsal Kencono yang menghadap ke timur dan merupakan balairung utama istana. Di tempat ini biasanya dilakukan upacara untuk keluarga kerajaan selain upacara kenegaraan. Dari Bangsal Kencono, aku terus menuju ruangan Ndalem Ageng Proboyakso, yang juga merupakan tempat disimpannya pusaka kerajaan dan lambang-lambang kenegaraan lainnya.
“Silakan tunggu di sini, Kiai,” ujar seorang penggawa keraton dengan nada hormat kepadaku. “Kanjeng Sinuhun akan segera datang.”
“Terima kasih,” jawabku lembut. Aku lalu melihat ke sekeliling dan menatap gambar besar Panembahan Senopati, kakek Sultan Agung, yang terlihat karismatik. Dengan diterima di ruangan itu aku tahu bahwa Sri Sultan akan segera datang karena kediaman resminya di Gedhong Jene, bangunan yang didominasi warna kuning, berada hanya sepelemparan batu dari tempatnya sekarang.
Dugaanku benar. Tak lama kemudian, Sri Sultan Hamengkubuwono VII memasuki ruangan diiringi para penggawa. Aku dengan cepat menghaturkan sembah yang lazim dilakukan masyarakat Jawa. Biasanya sembah itu dilakukan cukup lama. Namun karena yang melakukan adalah seorang kiai yang cukup berpengaruh, Sultan segera memberi isyarat agar aku menghentikan sembah.
“Saya sudah dengar semuanya, Kiai,” ujarnya dengan nada tenang dan berhati-hati. Biasanya aku selalu menatap lawan bicaranya. Tapi terhadap Sri Sultan aku tak bisa sejelas itu melakukannya. “Apakah benar apa yang saya dengar?” tanya Sri Sultan.
“Keputusan yang saya pilih itu justru untuk menjaga dari hal-hal yang buruk,” jawabku.
“Ya, saya mengerti,” ujar Sri Sultan. “Sejak lahirnya Politik Etis, muncul gerakan pembaruan di tanah
Jawa ini. Zaman berubah dari perang senjata menjadi perang intelektual. Pemikiran Kiai Dahlan justru sangat dibutuhkan.”
“Terima kasih, Sinuhun. Tapi pemikiran saya tampaknya tidak dibutuhkan di Kauman. Terlalu banyak yang tidak setuju dibandingkan dengan yang sepakat.”
“Tempat ini terlalu sempit bagi pemikiran Kiai. Dibutuhkan wadah yang lebih besar dari Kauman.” Sri Sultan memberi dorongan semangat kepadaku. “Kiai tahu, beberapa hari lalu saya bicara dengan dr. Wahidin Sudirohusodo. Saya kira sudah saatnya kita harus punya perkumpulan pembaru dalam bidang pendidikan seperti yang diinginkan dr. Sudirohusodo, dan saya harap Kiai Dahlan melakukan hal yang sama di bidang agama.”
Aku mencoba mencerna kata-kata Sultan. “Saya tahu ini memang tidak mudah dilakukan, apalagi pembicaraan kita ini nanti akan diketahui Kiai Penghulu Kamaludiningrat,” Sri Sultan memecahkan keheningan yang tercipta sejenak di antara kami. “Saya punya satu rencana untuk Kiai jalankan.”
“Rencana?” Aku terkejut kendati tetap mencoba menyembunyikannya. “Rencana seperti apa, Sinuhun?”
“Pergilah berhaji lagi, Kiai Dahlan. Keraton yang akan membiayai. Perdalam lagi ilmu agama sekaligus menjalin hubungan dengan para ulama pembaru dari Mesir, Syria, Madinah, dan tempat-tempat lain. Saya dengar Kiai berhubungan cukup dekat dengan para syaikh dari
kalangan pembaru seperti Syaikh Jamaluddin Al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh?”
“Insya Allah, Sinuhun.” Air muka Kiai Dahlan kini terlihat lebih cerah. Suara berat Sri Sultan terdengar mengisi relung-relung kayu di ruangan itu. “Saya yakin kepergian Kiai Dahlan ke Tanah Suci setidaknya untuk sementara bisa meredam konflik yang telanjur besar saat ini di Kauman. Itu saja yang ingin saya sampaikan saat ini Kiai.”
WALIDAH sedang membantuku mengemasi keperluanku untuk berhaji. Kali ini lebih banyak dibandingkan keberangkatanku pertama kali 21 tahun lalu karena Sri Sultan mengizinkan aku mengajak putra keduaku Siraj Dahlan untuk ikut. Wajah Walidah terlihat agak keruh. “Apa Kangmas yakin Siraj bisa mengikuti semua rukun haji? Dia masih kecil, baru enam tahun.”
“Insya Allah Siraj akan sanggup.”
“Tapi, Mas Dahlan sendiri dulu baru pergi haji usia 15 tahun?”
“Karena kesempatanku dulu baru datang waktu aku umur itu. Kalau datangnya lebih awal seperti Siraj sekarang, pasti aku juga akan berangkat lebih cepat, Bu. Ini soal kesempatan saja.”
“Mungkin aku yang akan rindu dia karena ini perjalanan yang cukup lama.”
“Dan sebaliknya juga begitu, Siraj pasti akan sangat rindu juga. Tapi karena ini juga kesempatan baik yang diberikan Sri Sultan, kita lihat dari sisi positifnya saja, Bu.”
“Iya, Mas. Aku ndak nyangka kalau Ngarsa Dalem ternyata memperhatikan Mas Dahlan begitu rupa sampai memilih buat mengirimkan Mas ke Makkah. Ngarsa Dalem ternyata sangat pengertian, ya, Mas,” ujar Walidah.
“Alhamdulillah, mungkin beliau melihat ini memang jalan keluar terbaik dari masalah ini.”
“Tapi masih ada satu hal yang bikin aku bingung, Mas,” Walidah menggigit bibir bawahnya seperti kebiasaan kalau dia sedang memikirkan sesuatu. “Kenapa Ngarsa Dalem ndak menahan Mas tetap sebagai khatib amin Masjid Gedhe? Kenapa Ngarsa Dalem membiarkan saja Mas mundur?”
“Mungkin beliau memang tidak mau mencampuri urusan Masjid Gedhe secara langsung.”
“Atau, mungkinkah ini sebagai bentuk terima kasih Ngarsa Dalem atas pengunduran diri Mas sebagai khatib amin?” tanya Walidah lagi.
Aku terdiam karena memang tak pernah memikirkan adanya kemungkinan seperti itu sebagai motif perbuatan Sri Sultan. Tapi kalau pun apa yang dibayangkan Walidah betul, apakah itu sesuatu yang salah? Atau masih bisa dianggap sebagai hal yang wajar? “Aku tidak tahu, Bu,” jawabku kemudian. “Mungkin saja pikiranmu benar. Tapi, apakah itu menjadi satu keberatan?”
‘Tidak Mas, aku tidak keberatan/’ jawab Walidah sambil melipat baju terakhir sebelum mengunci koper. “Itu tadi pikiran yang melintas di kepalaku saja. Maaf lahir batin jika menganggu, Mas.” Walidah lalu mengambil tanganku dan menciumnya. Aku mengambil Walidah ke dalam pelukanku.
Siraj tampak senang ketika kami memasuki Stasiun Tugu dan melihat kereta api yang akan kami naiki ke Semarang. “Wah, besar sekali keretanya, ya, Pak?” katanya dengan takjub. “Kita ke Makkah naik itu?”
“Tidak, Siraj. Kereta api itu hanya membawa kita sampai Semarang. Nanti perjalanan kita lanjut naik kapal laut,” kataku. “Nanti kamu lihat kapal laut itu jauh lebih besar dari kereta api ini.”
Selain Walidah dan Johanah, murid-muridku yang lain ikut mengantarkan kami ke stasiun. Sangidu bahkan ikut naik ke gerbong tempat aku dan Siraj duduk, sementara kawan-kawannya yang lain hanya menunggu di luar. Walidah memeluk Siraj erat-erat. “Ibu bakal kangen kamu, Nak.” Mata Siraj berkaca-kaca dan balas memeluk ibunya yang akhirnya tidak tahan untuk tidak menangis. Ketika tiba giliran Johanah memeluk adiknya, putri pertamaku ini yang sudah berusia 14 tahun ini terlihat lebih mampu mengendalikan diri. Tubuh Johanah sudah hampir sebesar ibunya. “Kamu jangan nakal selama di perjalanan, ya, Raj,” pesan Johanah kepada adiknya. “Jangan bikin repot Bapak.”
“Iya, Mbakyu,” jawab Siraj sambil mencium tangan kakaknya. Peluit kereta memekik dengan nada rendah yang keras, mengingatkan para pengantar untuk segera turun. Walidah kembali memeluk Siraj dan mencium tanganku. “Hati-hati di jalan, Mas,” katanya.
“Insya Allah. Kalian juga hati-hati di jalan,” kataku sambil mencium Johanah. “Kamu sering-sering dekat ibumu, ya, Nduk.”
“Iya, Pak,” katanya.
KEDATANGANKU di Tanah Suci kali ini sangat berbeda dibandingkan kedatangan pertama yang memang diniatkan untuk memperdalam ajaran Islam. Kali ini niat kedatangan adalah untuk beribadah haji, dengan waktu yang lebih terbatas. Namun selain menghubungiku, beberapa orang guruku dan kawan-kawan lama yang masih ada di sana—berkat bantuan Kiai Baqir, salah seorang keponakanku yang sudah bermukim di Makkah sejak tahun 1890—akhirnya aku diperkenalkan kepada Syaikh Rasyid Ridha, murid Syaikh Jamaluddin Al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh. Nama Syaikh Ridha sendiri sudah dikenal sebagai salah seorang pembaru pemikiran Islam lewat tulisan-tulisan dari koran Al-Manar yang didirikannya.
Pertemuan pertamaku dengan syaikh berdarah Suriah itu cukup membuatku terkesima karena aku berpikir akan bertemu dengan seorang ulama karismatik yang sangat senior. Ternyata usiaku dengan Syaikh Ridha hanya terpaut tiga tahun, yang artinya beliau jauh lebih muda dibandingkan kakak-kakak iparku seperti Kiai Saleh, Kiai Muhsin, dan Kiai Noor! Garis wajahnya memang mencerminkan seorang ulama berpengetahuan tinggi, bersikap kritis, dan memiliki ketegasan tinggi. Syaikh Rasyid Ridha adalah seorang ahli ibadah yang baru berusia 39 tahun—umur yang relatif muda dibandingkan para kiai di Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Senang sekali bisa berkenalan dengan Anda, Syaikh Ridha,” ujarku menghaturkan salam.
“Sama-sama, Kiai Dahlan. Saya sudah mendengarkan beberapa cerita tentang Kiai dari Ustad Baqir,” katanya sambil melihat ke arah keponakanku. “Saya dengar ada sedikit masalah antara Kiai dengan para ulama setempat mengenai arah kiblat di masjid-masjid tanah Jawa.”
“Betul itu, Syaikh Ridha. Juga menyangkut beberapa tradisi di masyarakat kami yang selalu dikaitkan dengan agama Islam, tapi menurut saya itu tidak dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw.”
“Ya, ya, saya kira memang masalahnya sama saja di banyak negeri Islam. Entah itu di tempat Kiai Dahlan, di kampung halaman saya di Suriah, atau di tanah kelahiran Syaikh Abduh di Mesir, kepatuhan warga menjalankan tradisi sering kali saya lihat melebihi ketaatan mereka terhadap perintah agama. Banyak sekali bid’ ah diciptakan di mana-mana.”
“Di tempat Syaikh Ridha juga begitu? Saya kira hanya di tempat saya.”
“Oh, jangan salah, Kiai Dahlan. Kepatuhan berlebihan pada tradisi ini, taklid yang menggerogoti umat ini, sudah menjadi penyakit yang sangat berbahaya. Apalagi karena banyak kiai yang diuntungkan dari taklid-taklid ini sehingga mereka bukannya membantu menjernihkan akidah umat, malah ikut melestarikan kebiasaan-kebiasaan itu.”
“Betul, Syaikh Ridha. Itu juga yang saya rasakan. Tadinya saya berpikir bahwa para ulama ini yang akan lebih dulu merasa senang jika ada orang-orang yang kritis terhadap berlakunya tradisi. Tapi dari pengalaman saya di Jawa, justru para kiai ini yang pertama kali tersinggung jika ada tradisi yang dipertanyakan, bukan umat. Tak ada lagi nalar kritis sekadar untuk mempertanyakan apakah tradisi itu memang bagian dari ibadah yang diajarkan Islam atau tidak.”
“Itulah bahayanya jika kita percaya membabi buta pada guru-guru sebelum kita, Kiai Dahlan. Dan ini juga terjadi akibat kegandrungan umat Islam yang berlebihan terhadap tasawuf sehingga enggan untuk melihat kenyataan kehidupan modem sekarang dengan perkembangan teknologi yang sebetulnya bisa digunakan sebagai sarana dakwah.”
Aku agak terkejut mendengar Syaikh Rasyid Ridha melihat tasawuf sebagai salah satu penyebab kemunduran umat. “Mengapa Syaikh Ridha melihat tasawuf seperti itu?” tanyaku. “Bukankah tawasuf membuat mereka yang menjalaninya menjadi lebih tenang dan selalu ingat kepada Allah? Apakah Syaikh Ridha tak pernah melakukan tawasuf?”
“Saya pernah dan saya serius mendalami tasawuf setelah membaca kitab Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Kiai Dahlan. Saya kira, itu kitab yang membuai setiap pembacanya untuk jatuh cinta dalam pelukan dunia tasawuf.”
“Betul, Syaikh Ridha. Saya juga merasakan hal yang sama setelah membaca kitab itu.”
“Jadi setelah saya tertarik dengan dunia tasawuf dan belajar dari Imam Husain Al-Jisr,” Syaikh Ridha melanjutkan penuturannya, “saya mengikuti Tarekat Syadziliyyah di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Al-Qawiqji dan bertahun-tahun hidup sebagai seorang sufi. Saya telah mengenal yang paling tersembunyi dari rahasia-rahasia dan misteri Ilahi. Saya telah arungi samudra tasawuf, meneropong intan-intan yang kilaunya tersimpan di bawah gemuruh ombak, dan buih-buih yang juga berkilau di atas ombak. Namun petualangan di samudra tasawuf ini akhirnya mengantarkan saya ke pantai pengertian yang bernama Salaf as-Shalih, negeri orang-orang taat dan patuh dari generasi awal. Saya mendapatkan pengertian baru bahwa barang siapa yang tidak berusaha mencapai pantai Salaf as-Shalih, dia akan mendapatkan kesesatan yang nyata.”
Aku tercenung meresapi kata-kata Syaikh Ridha. “Lalu, setelah itu apa yang terjadi, Syaikh?”
“Setelah itu saya membaca tulisan-tulisan Syaikh Al-Afghani dan Syaikh Abduh yang lebih rasional dan mengedepankan akal,” jawab Syaikh Ridha. “Dan saya berubah setelah itu. Saya lebih tertarik untuk mendalami Al-qur’an ketimbang membaca wirid.”
“Jadi, akal memangsangatberperandalammemahami ajaran agama Islam, maksud Syaikh?”
Syaikh Ridha menghela napas panjang. “Kita hidup dalam dunia yang terus bergerak Kiai Dahlan, berubah cepat, dengan banyak temuan teknologi yang digunakan oleh dunia Barat. Sementara kita umat Islam bukan saja bersikap masa bodoh terhadap perkembangan teknologi, bahkan membencinya seakan-akan karena teknologi itu banyak diciptakan oleh orang-orang kafir, maka dianggap menggunakan teknologi juga sebagai bentuk kekafiran.”
“Betul sekali pengamatan Syaikh itu. Saya juga mengalaminya,” jawabku.
KEDATANGANKU dan Siraj disambut meriah oleh keluarga dan para murid. Kali ini Walidah membawa serta anak ketiga kami Siti Busyro yang baru berusia satu tahun. Aku menyerahkan koper-koper kepada Sangidu dan kawan-kawannya, mengambil Busyro dari pelukan ibunya, dan menciumi bayi lucu ini. Siraj menghambur
ke dalam pelukan Walidah. Wajahnya terlihat gembira melihat kedatangan putra tertua kami.
“Aku sudah haji, Bu,” teriak Siraj dengan suara riang.
“Baru haji cilik,” sambar Johanah yang bergabung ikut memeluk Siraj.
“Biar cilik yang penting haji,” jawab Siraj tak mau kalah sambil meledek mbakyunya yang hanya tertawa-tawa. Mereka dengan akrab saling melepaskan kerinduan. Aku menghampiri muridku satu per satu dan memeluk mereka. Jazuli merangkulku dengan erat. “Kiai Dahlan, insya Allah setahun lagi saya dan Mas Daniel akan naik haji. Tolong doakan agar semua persiapan lancar,” katanya.
“Amin ya Allah amin,” jawabku sambil mengguncangkan bahunya yang kini kekar. Jazuli dan Daniel memang bukan lagi bocah menjelang akil balig yang menemuiku sesudah khutbah pertamaku di Masjid Gedhe Kauman delapan tahun sebelumnya. Kini Jazuli sudah berusia 21 tahun dan Daniel berusia 23 tahun, usia yang sudah sangat pantas untuk menunaikan ibadah haji.
“Iya, Kiai. Kami betul-betul sudah berniat untuk menunaikan rukun Islam kelima ini,” tegas Daniel.
“Iya, Paklik Daniel harus buru-buru ke sana, enak sekali tempatnya. Masjidnya besar sekali,” jawab Siraj yang rupanya memperhatikan pembicaraan kami.
“Insya Allah, Siraj. Eh salah, Kiai Haji Siraj Dahlan,” ujar Daniel membuat semua yang mendengarkan tertawa.!
DOKTER WAHIDIN Sudirohusodo yang disebutkan Sri Sultan menjelang keberangkatanku ke Makkah empat tahun silam adalah seorang dokter Jawa kelahiran Sleman, Yogyakarta, dan memulai pekerjaannya sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta. Selain bertugas sebagai dokter, dr. Wahidin yang sering resah melihat kondisi masyarakat Jawa memutuskan untuk menjalankan majalah Retnadhoemilah yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu. Beredar kabar bahwa dr. Wahidin yang berasal dari kalangan priyayi sebenarnya memandang kebudayaan Jawa yang selama berabad-abad ditopang dan dijiwai oleh ajaran Hindu-Buddha, perlahan-lahan merosot setelah kedatangan agama Islam.
Meski ide untuk mendirikan perkumpulan yang berkhidmat di bidang pendidikan sudah dibicarakan Wahidin dengan Ngarsa Dalem sejak 1904—dan kuduga sudah lebih awal lagi dengan kawan-kawan terdekatnya serta lewat Retnadhoemilah yang mulai beredar pada 1901—ide itu baru menemukan bentuknya setelah dokter Jawa ini berkunjung ke STOVIA dan mendapatkan dukungan dari para murid sekolah itu untuk membuat sebuah organisasi pelajar untuk memajukan kepentingan priyayi rendahan yang lebih banyak jumlahnya.
Beberapa bulan selanjutnya rencana itu digodok, dan pada 20 Mei 1908, diselenggarakan pertemuan yang dihadiri perwakilan pelajar STOVIA, OSVIA, sekolah-sekolah guru, serta sekolah-sekolah pertanian dan kedokteran hewan. Hasilnya adalah perkumpulan Budi Utomo. Dua bulan kemudian, anggota perkumpulan ini sudah berjumlah 650 orang, yang di dalamnya makin banyak anggota yang bukan pelajar atau mahasiswa STOVIA dan OSVIA.
Menjelang akhir tahun, pada Oktober persisnya, diselenggarakan kongres pertama Budi Utomo yang mengambil tempat di aula Kweekschool, Jetis. Dokter Wahidin yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun memutuskan untuk menjadi sesepuh saja dan membiarkan orang-orang yang lebih muda untuk mengatur jalannya organisasi. Dua orang calon yang sangat
bersemangat untuk menjadi pimpinan Budi Utomo adalah dr. Cipto Mangunkusumo, dokter muda berusia 23 tahun yang didukung kelompok kecil anggota. Dokter Cipto menginginkan agar Budi Utomo tidak hanya menjadi organisasi priyayi Jawa dan Madura, tetapi juga berjuang untuk seluruh rakyat Indonesia. Berbeda dengan semangat dr. Wahidin yang menjunjung tinggi budaya Jawa, dokter muda Cipto Mangunkusumo sama sekali tidak menginginkan kebudayaan Jawa sebagai dasar bagi pembentukan perkumpulan itu jika dia terpilih sebagai ketua.
Calon kedua lainnya adalah dr. Rajiman Wedio-diningrat yang berusia 28 tahun. Berbeda dengan dr. Cipto yang sangat keras dan kritis dalam memandang tradisi Jawa, cara pandang dr. Rajiman lebih mirip dengan dr. Wahidin yang sangat dipengaruhi kebudayaan Jawa dan pemikiran-pemikiran Barat..
Namun, baik dr. Cipto yang berapi-api maupun dr. Rajiman yang lebih teoretis, akhirnya tak mendapatkan cukup dukungan dari para peserta kongres yang lebih menginginkan adanya dewan pimpinan yang lebih
banyak diisi oleh para orang tua seperti dr. Wahidin. Itu berarti kemenangan bagi kelompok yang ingin lebih memusatkan perhatian pada kelompok priyayi dan keinginan untuk memajukan pengusaha Jawa yang lebih bisa berdagang dengan cara-cara Belanda seperti diinginkan Direktur Pendidikan Politik Etis Abendanon.
Meski kedua calon muda dr. Cipto dan dr. Rajiman dimasukkan sebagai ketua dalam kepemimpinan bersama Budi Utomo, tidak sampai setahun kemudian, dr. Cipto yang sangat bersemangat memutuskan keluar dari Budi Utomo dan memutuskan untuk mendirikan Indische Partij bersama Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker, dengan tujuan yang lebih tajam dibandingkan Budi Utomo: untuk menuntut kemerdekaan Indonesia dari pemerintah Hindia-Belanda.
AKU sedang berada di depan rumah bersama Daniel, Jazuli, dan Hisyam, melihat sertifikat haji milik Daniel dan Jazuli.
“Jadi, namamu sekarang Muhammad Fahrudin?” tanyaku kepada Jazuli. “Betul, Kiai Dahlan,” sahutnya dengan wajah gembira. Aku melihat ke arah sertifikat milik Daniel. “Dan kamu jadi Muhammad Sudja?”
“Iya, Kiai. Sama seperti Kiai yang mendapatkan nama baru sepulang haji, saya juga mendapatkan nama baru,” kata Daniel sumringah. “Jadi, kalau tidak keberatan, mulai sekarang saya sebaiknya dipanggil Sudja saja.”
“Dan saya juga dipanggil Fahrudin saja, Kiai,” sahut Jazuli.
“Baiklah, Haji Sudja dan Haji Fahrudin. Mulai sekarang sudah tidak ada lagi nama Daniel dan Jazuli,” ujarku. Senyum lebar terpampang di wajah keduanya.
“Saya kapan ganti nama, Kiai?” celetuk Hisyam.
“Kamu kapan mau berangkat haji?”
“Belum tahu, Kiai. Rezekinya belum ada,” jawab Hisyam polos.
“Yang penting niat dulu, Syam,” sahut Fahrudin. “Niat yang sebenar-benar niat. Insya Allah nanti akan ada pertolongan Allah yang membuatmu bisa berhaji.”
“Amin ya rabbal ‘alamin,” ujarku sambil mengangkat kedua tangan diikuti Hisyam dan Sudja.
“Wah, kok jadi aku yang memimpin doa dan diamini Kiai Dahlan?!” ujar Fahrudin yang langsung terlihat rikuh. “Seharusnya, kan, Kiai Dahlan yang memimpin doa dan kita yang mengamini?”
“Tidak apa-apa Haji Fahrudin,” ujarku sambil menurunkan tangan kembali. “Itulah kelebihan Islam dibandingkan agama-agama lain yang mengajarkan bahwa para pemimpin agama mereka yang harus memimpin doa. Di dalam Islam, Allah dikatakan lebih dekat dari urat leher sehingga setiap Muslim bisa langsung memanjatkan doa.”
“Tapi, rasanya aku masih aneh dipanggil Haji Fahrudin oleh Kiai Dahlan.”
“Lama-lama nanti juga biasa/’ ujarku. Lamat-lamat dari dalam rumah terdengar suara Siraj sedang membaca Surah Ali Imran ayat 104-110. Aku menolehkan wajah sejenak ke dalam melihat Siraj yang sedang berusaha keras untuk menghafal.
Hisyam yang dari tadi diam, tiba-tiba bertanya, “Aku lihat Kiai Dahlan sepertinya tidak tertekan.”
“Tertekan?” tanyaku bingung. “Tertekan karena apa?”
Sudja dan Fahrudin juga terlihat bingung pada komentar Hisyam. “Iya, tertekan apa maksudmu, Syam?”
“Itu, lho, tuduhan Kiai Dahlan sebagai penganut aliran Mu’tazilah, ingkar kepada Rasulullah, dan menjadi pengikut Wahabi.”
“Oh, soal ziarah kubur itu,” ujar Fahrudin.
“Betul,” jawab Hisyam. “Sampai sekarang, aku masih ingat bagaimana dua tahun lalu, Kiai Dahlan membuat para kiai kebakaran jenggot karena mengatakan ziarah kubur itu perbuatan kufur, musyrik, dan karena itu diharamkan.”
“Iya, dan bagaimana masyarakat yang marah balas menyatakan justru Kiai Dahlan yang kufur, tapi Kiai bilang silakan datang ke rumah buat diskusi. Kapan saja mau datang, monggo,” tambah Sudja sambil tertawa mengingat kejadian itu. “Tapi ternyata tidak ada yang datang, ya, Kiai?”
Aku tersenyum kecil. “Tidak, tidak ada yang pernah datang untuk membahas soal itu.”
“Mungkin setelah para kiai membuka lagi kitab-kitab mereka, akhirnya mereka menemukan bahwa Kiai Dahlan yang benar,” tutur Fahrudin.
“Yang penting tugas kita itu hanya menyampaikan. Kalau pun ada tanggapan orang yang keberatan, itu harus kita hadapi dengan bijaksana,” ujarku. “Eh, apa kalian pernah dengar mengenai perkumpulan Budi Utomo?”
“Hanya sekilas saja, Kiai,” jawab Sudja. “Dengar-dengar itu perkumpulan para pelajar Jawa dari keluarga priyayi. Kebanyakan pelajar sekolah dokter STOVIA.”
“Apa Kiai Dahlan mau bergabung dengan perkumpulan itu seperti Kiai juga gabung dengan Jamiat Khair dan Sarekat Islam?” tanya Fahrudin.
“Aku belum tahu, Din,” jawabku sambil menoleh ke arah Sudja. “Dja, bisa bantu aku mencari tahu lebih dalam soal perkumpulan itu?”
“Baik, Kiai, akan segera saya lakukan.”
GUBERNUR Jenderal Johannes Benedictus van Heutz memasuki Bangsal Kencana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan tergesa-gesa. Sri Sultan Hameng-kubuwono VII segera menyambutnya dengan resmi. Wajah van Heutz terlihat gusar. Tanpa basa-basi dia langsung berkomentar keras terhadap Sri Sultan, “li moet op uw hoede zijn voor de intellectuele radicale groepen (Anda harus hati-hati pada kelompok-kelompok radikal terpelajar).”
“Maksud Gubernur Jenderal, Budi Utomo?” tanya Sri Sultan. Van Heutz terdiam, hanya menatap Sri Sultan sambil mengelus satu bagian kumisnya yang tebal pirang. Wajahnya seperti sedang berpikir keras. Sri Sultan melanjutkan jawabannya kepada Van Heutz. “Dat is geen politieke groepering. Zij stichten enkel een school. Welk gevaar schuilt daarin? (Mereka bukan perkumpulan politik. Mereka hanya membuat sekolah. Apa yang berbahaya?)”
”Een school? Dat is slechts een dekmantel! (Sekolah? Itu semua alasan!),” jawab van Heutz dengan suara menggelegar. “Jamiat Khair en Tiong Hwa Hwe Kwan in Batavia vergiftigen het volk met hun scholen waarin de mensen geleerd ivordt de Nederlanders te haten. (Jamiat Khair dan perkumpulan Tionghoa Hwe Kwan di Batavia meracuni masyarakat lewat sekolah untuk membenci Belanda).”
Sri Sultan Hamengkubuwono menjawab lembut namun dengan ketegasan yang tak bisa ditawar-tawar. “Als elke poging om het volk te onderrichten wordt opgevat als vergift, hoe kan mijn volk dan uw natie respecteren? (Kalau setiap usaha mencerdaskan rakyat saya dianggap racun, bagaimana rakyat saya bisa hormat terhadap bangsa Anda?)”
“Dit is allemaal het resultaat van de ethische politiek van die onnozele intellectuelen. (Ini semua akibat Politik Etis yang menghasilkan intelektual bodoh),” gerutu van Heutz sambil berjalan mondar-mandir di depan Sri Sultan.
“Hoe dan ook, hun ‘onnozelheid’ herinnert uw land eraan dit land dankbaar te zijn, want uw land verrijkt zich met onze suiker. (Setidaknya ‘kebodohan’ mereka mengingatkan negeri Anda untuk berterima kasih kepada negeri ini karena negeri Anda kaya dengan gula kami),” jawab Sri Sultan tangkas.
Wajah van Heutz menunjukkan ekspresi yang semakin gusar akibat jawaban Sri Sultan yang bisa mematahkan setiap serangannya. Tapi van Heutz tak berkata-kata lagi, pandangannya terarah ke pintu masuk Bangsal Kencana yang memiliki banyak anak tangga. Sri Sultan pun tak lagi berkata-kata selain memperhatikan tamunya yang jelas sedang jengkel dengan makin pesatnya perkembangan perkumpulan Budi Utomo yang dimotori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo itu.
AKU sedang berada di dalam kereta kuda dengan setumpuk kain batik dagangan ketika melewati depan rumah dr. Wahidin Sudirohusodo yang dipenuhi anak-anak. Tampak dr. Wahidin sedang memberikan sesuatu kepada anak-anak itu, yang belakangan baru aku ketahui adalah vaksin cacar. Dokter Wahidin dibantu oleh seseorang yang sedikit lebih muda darinya. Mereka terlihat sibuk mengatur anak-anak itu.
Kereta kudaku terus membelah jalan-jalan di Yogyakarta sebelum memasuki halaman Masjid Gedhe Kauman dan berhenti di satu bagian. Sudja langsung menghampiri. “Saya sudah dapat informasi tentang perkumpulan Budi Utomo, Kiai Dahlan,” katanya.
“Alhamdulillah,” jawabku sambil berjalan menuju serambi masjid. “Bagaimana?”
“Ada kerabat Kauman yang dekat dengan dr. Wahidin Sudirohusodo. Namanya Mas Joyosumarto.”
“Begini, Sudja. Aku sudah menulis sebuah surat untuk dr. Wahidin. Bisakah kamu sampaikan surat itu kepada beliau melalui Mas Joyosumarto?”
“Tentu, Kiai. Mana suratnya?” tanya Sudja bersemangat.
“Nanti saja, kita shalat dulu,” kataku sambil menepuk-nepuk bahunya. “Surat bisa menunggu.”
Sudja tersenyum kecil menyadari semangatnya yang membara. “Maaf, Kiai. Aku kira tadi Kiai mau buru-buru.”
“Kamu betul, Sudja. Aku mau buru-buru bertemu dr. Wahidin. Tapi kewajiban kepada Allah harus lebih dulu kita kerjakan.”
MALAM hari sudah mulai larut ketika kulihat Walidah tertidur di dalam kamar. Belakangan ini istriku memang cepat sekali merasa lelah setelah shalat Isya. Tapi aku bisa memahami karena sepulangku dari berhaji dengan Siraj pada 1904, Walidah melahirkan lagi tiga orang anak secara berturut-turut, yakni Siti Aisyah pada 1905, Jumhan Dahlan pada 1907—dan belakangan dikenal sebagai Irfan Dahlan—serta Siti Zuharah yang saat ini baru berumur beberapa bulan karena lahir pada 1908.
Aku bisa bayangkan sangat tidak mudah membesarkan 6 orang anak dengan baru dua orang anak yang sudah cukup besar, yakni Johanah (18 tahun) dan Siraj (10 tahun). Empat bocah sisanya berumur di bawah lima tahun.
Karena itu, meski kadang-kadang aku masih ingin mengobrol panjang lebar dengan Walidah tentang banyak hal, rasanya lebih baik jika Walidah menikmati waktu istirahatnya yang sedikit, terutama jika dia sudah bisa tidur nyenyak seperti sekarang. Maka, aku ambil Al-qur’an dan mulai membacakan sebuah surat dari kitab suci itu. Anak-anakku yang lain juga sudah tidur.
Belum lama aku mengaji, terdengar ketukan di pintu dan suara seseorang mengucapkan salam. Aku hentikan bacaan Quran-ku dan beranjak keluar kamar, membuka pintu masuk.
“Assalamu ‘alaikum, Kiai Dahlan,” ujar seorang lelaki yang belum kukenal. “Saya Joyosumarto adik dr. Wahidin. Saya terima surat Kiai dari Sudja.”
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh,” jawabku kembali teringat kesibukan di depan rumah dr. Wahidin yang sedang memberikan vaksin cacar. Lelaki yang membantunya memang sama dengan lelaki yang kini berdiri di depan pintuku, seorang priyayi yang berpenampilan rapi. “Silakan masuk, Mas Joyo.”
“Terima kasih, Kiai Dahlan. Maaf, apakah kedatangan saya malam-malam begini tidak mengganggu istirahat Kiai?” “Ah, tidak apa-apa, Mas Joyo. Aku justru senang Mas Joyo sempat mampir ke rumah yang sederhana ini.”
“Begini, Kiai. Berdasarkan keterangan dari Sudja, saya dengar Kiai Dahlan ingin mengetahui lebih jauh tentang Budi Utomo? Apa betul?”
“Betul sekali, Mas Joyo. Sebenarnya sudah agak lama saya mendengar tentang perkumpulan Budi Utomo dan dr. Wahidin ini. Bahkan Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono VII pun sempat menceritakan pertemuannya dengan dr. Wahidin kepadaku. Tapi saya masih tetap belum tahu apakah perkumpulan ini memang untuk para pelajar dan cerdik pandai saja? Atau, bisakah misalnya saya mengenal lebih jauh dr. Wahidin dan anggota-anggota lain?”
“Tentu saja boleh. Nanti saya sampaikan kepada Kangmas Wahidin niat Kiai ini. Saya kira para anggota Budi Utomo akan sangat senang berkenalan dengan Kiai Dahlan yang merupakan tokoh terkenal di Kauman ini. Kami sudah mendengar banyak terobosan yang Kiai Dahlan lakukan dalam membuat masyarakat lebih paham menjalankan kewajiban agama, bukan sekadar ikut-ikutan tradisi saja.”
“Pertanyaan pertamaku adalah tujuan Budi Utomo ini didirikan sebenarnya buat apa, Mas Joyo?”
“Baiklah, Kiai. Budi Utomo ini adalah perkumpulan yang dibentuk dengan tujuan untuk memajukan Bumi-putera. Awalnya memang banyak anggota dari pelajar STOVIA, OSVIA, dan sekolah-sekolah lain. Namun dalam perjalanannya, para anggota juga banyak yang dari rakyat biasa, maksud saya bukan dari kalangan pelajar,” ungkap Joyosumarto.
“Baiklah. Kalau begitu, tolong Mas Joyo atur agar dr. Wahidin punya waktu untuk bertemu denganku.”
“Insya Allah, Kiai,” jawab Joyo. “Kapan waktu yang enak buat Kiai Dahlan sendiri?”
“Aku ikut saja waktu yang ditentukan dr. Wahidin. Beliau mungkin jauh lebih sibuk dari saya.”
“Ya memang begitulah, Kiai Dahlan, karena Mas Wahidin juga masih buka praktik. Tapi saya kira Mas Wahidin juga akan sangat bersemangat untuk bertemu Kiai Dahlan,” jawab Joyosumarto dengan kesopanan seorang priyayi yang khas. “Kalau tidak ada lagi, saya mohon pamit Kiai,” katanya sambil berdiri dan menyorongkan tangannya. Aku ikut berdiri dan menyambut tangannya. “Terima kasih, Mas Joyo. Kapan saja Mas Joyo sedang mampir ke Kauman, datang saja ke rumah,” ujarku.
“Insya Allah, Kiai. Assalamu ‘alaikum/’ katanya.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh.”
JOYOSUMARTO bekerja cepat. Keesokan harinya sudah datang jawaban darinya yang disampaikan Sudja bahwa dr. Wahidin menunggu kedatanganku lusa pada sore hari. Maka pada hari yang ditentukan, aku datang ke rumah dr. Wahidin di Ketandan. Joyosumarto sudah ada di sana ketika aku datang. Setelah perkenalan singkat yang hangat, dr. Wahidin langsung masuk ke pokok pembicaraan utama. “Menurut saya tanpa sebuah perkumpulan atau organisasi, kita tidak mungkin bisa melakukan perubahan besar, Kiai Dahlan,” katanya. “Sebenarnya cukup banyak orang pintar di masyarakat kita. Tapi karena semua jalan sendiri-sendiri, hasilnya jadi tidak maksimal.”
“Saya mengerti maksud Mas Wahidin,” jawabku. “Saya juga ingin memberikan tenaga dan pemikiran untuk bisa membuat masyarakat kita lebih baik lagi. Tapi sayangnya, saya lahir bukan dari golongan terpelajar yang mendapat pendidikan Belanda. Saya hanya seorang santri.”
Dokter Wahidin tersenyum kecil mendengar kata-kataku. “Tidak penting santri atau bukan, Kiai Dahlan. Yang penting kita sama-sama punya keinginan untuk memajukan masyarakat ini,” dokter Wahidin membenahi posisi duduknya. “Banyak priyayi Jawa yang terpelajar, muda-muda, sehat, tapi memilih menjadi budak bangsa Eropa. Bekerja dengan kesetiaan penuh kepada bangsa Belanda, dan menjadi sombong karena sehari-hari menggunakan bahasa Belanda sembari menjadikan dirinya sebagai tuan besar bagi rakyatnya sendiri dengan terus melakukan penindasan kejam. Tapi kalau sudah di depan orang Belanda, para priyayi ini sujud dan menyembah patuh seolah-olah orang Belanda itu adalah dewa yang memang patut disembah.”
Aku kagum melihat semangat dr. Wahidin yang sebenarnya sudah tidak muda lagi ini. “Aku juga melihat adanya gejala seperti yang Mas Wahidin perhatikan itu,” kataku disambut wajah lega dr. Wahidin.
“Karena itu, Kiai Dahlan, mari bergabung bersama Budi Utomo. Perkumpulan ini bukan perkumpulan politik. Tapi untuk mengurusi pendidikan dan kesehatan masyarakat kita yang Kiai lihat sendiri kurang baik.”
“Itu memang penting, Kangmas,” jawabku disambut anggukan kepala Joyosumarto yang sejak awal terlihat mendengarkan serius pembicaraan kami. “Saya sangat menghargai perhatian Mas Wahidin sebagai seorang dokter yang terpelajar, tapi masih mau memikirkan cara-cara untuk membuat masyarakat kita menjadi lebih sehat, lebih terdidik, dan lebih yakin pada kemampuan diri sendiri sepanjang kita mau terus saling bertukar pendapat satu sama lain,” lanjutku.
“Terima kasih, Kiai Dahlan,” jawab dr. Wahidin dengan senyum gembira di wajahnya. “Pekan depan kebetulan ada pertemuan anggota Budi Utomo di sini. Saya harap Kiai bisa datang untuk berkenalan dengan anggota-anggota lain. Saya yakin mereka juga akan sangat senang melihat kedatangan Kiai Dahlan. Saya yakin akan banyak manfaat yang didapat Budi Utomo jika ada seorang kiai yang berpengaruh seperti Kiai Dahlan bersedia menjadi anggota kami.”
“Insya Allah, Mas dokter Wahidin, saya usahakan akan hadir pekan depan jika itu tidak mengganggu rencana pertemuan Mas dan kawan-kawan.”
“Oh tidak, sama sekali tidak mengganggu. Kiai Dahlan tanyalah sama Joyo ini,” dr. Wahidin melihat ke arah adiknya. “Pernahkah saya menolak kedatangan seorang calon anggota Budi Utomo apa pun latar belakangnya?”
“Tidak pernah, Mas Wahidin,” jawab Joyosumarto sopan. “Semua selalu diterima dengan tangan terbuka.”
“Terima kasih, Mas,” jawabku. “Dan seperti kata-kata saya semalam kepada Mas Joyo, seandainya satu hari Mas Wahidin sedang lewat di dekat Kauman atau Langgar Kidul tempat saya memberikan pengajian, silakan datang saja, Mas.”
“Oh pasti, pasti Kiai Dahlan. Saya akan senang sekali,” jawab dr. Wahidin Sudirohusodo. Sesaat kemudian, rona bahagia di wajahnya tak terlihat lagi. Dia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu di pikirannya.
“Ada apa, Mas Wahidin?” tanyaku.
“Maafkan kalau ingatan saya keliru, Kiai Dahlan,” tanya dr. Wahidin dengan hati-hati. “Kalau saya tidak salah ingat, dulu sekali saya pernah satu atau dua kali mendengarkan khutbah Jumat Kiai Dahlan di Masjid Gedhe Kauman. Saat itu saya berpikir, kalau saja semakin banyak para kiai kita yang punya pengetahuan seperti Kiai Dahlan, rasanya umat ini akan berkembang lebih cepat. Tapi kemudian karena saya juga sibuk sekali dan tidak rutin shalat Jumat di Masjid Gedhe, saya baru mendengar
bahwa ada ribut-ribut di antara para kiai Kauman dan salah seorang kiai mengundurkan diri sebagai khatib amin, dan belakangan baru saya tahu bahwa kiai yang mengundurkan diri itu adalah Kiai Dahlan. Jika Kiai Dahlan tidak keberatan, bolehkah saya mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi?”
“Apa yang Mas Wahidin dengarkan itu benar. Garis besarnya ada beberapa komentar dan usulan saya tentang ibadah agama Islam yang saya sampaikan kepada para ulama di Kauman, khususnya Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat, yang kurang beliau sukai. Sehingga akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri saja,” jawabku.
“Saya dengar Kiai Dahlan juga berdarah priyayi para kiai sampai ke Syaikh Maulana Malik Ibrahim?”
“Betul, Mas Wahidin, dari garis bapak saya, Kiai Abu Bakar.”
“Oh, jadi Kiai Abu Bakar itu ayah Kiai Dahlan?”
“Betul, Mas Wahidin.”
“Maafkan ketidaktahuan saya Kiai Dahlan, karena saya banyak sekali bepergian ke Batavia dan kota-kota lain, sehingga tidak terlalu mengetahui masyarakat sendiri, selain tetangga-tetangga orangtua saya di Sleman.”
“Tidak apa-apa, Mas Wahidin. Nanti kapan-kapan Mas ada waktu luang lebih banyak, akan saya kisahkan lebih jelas penyebab mengapa saya mundur sebagai khatib amin Masjid Gedhe Kauman.”
“Terima kasih, Kiai Dahlan. Selama ini saya hanya mendengar sekilas-sekilas dari Joyo bahwa ada kiai Kauman yang keturunan Wali Songo, tapi berani mengusulkan perubahan arah kiblat di masjid tempat Ngarsa Dalem shalat. Saya pikir kiai yang berani melakukan hal seperti itu pastilah bukan kiai sem-barangan. Dia pasti orang hebat. Senang sekali hari ini saya bisa bertemu langsung dengan Kiai Dahlan yang dibicarakan Joyo itu.”
“Saya bukan kiai hebat, Mas Wahid. Kalau Wali Songo memang para kiai hebat karena pekerjaan mereka luar biasa sulit di awal masuknya Islam ke tanah Jawa ini. Saya hanya melanjutkan ketika umat Islam sudah berkembang biak, sudah ada kerajaan Islam, dan proses belajar ke Tanah Suci sudah jauh lebih mudah. Saya pikir setiap kiai akan bisa melakukan apa yang saya lakukan saat ini.”
Dokter Wahidinmelihat ke arah adiknya, Joyosumarto. “Saya, kok, yakin perkembangan Budi Utomo akan jauh lebih hebat setelah bergabungnya Kiai Dahlan nanti.”
“Betul, Mas. Aku juga yakin menyangkut hal itu,” jawab Joyo.
SELEPAS shalat Asar petang itu sepulang dari rumah dr. Wahidin, Siraj sudah menungguku dengan biola di tangannya. “Pak, rasanya sudah lama Bapak tidak nyanyi buat Siraj,” ujar putraku itu dengan manja.
“Iya, Pak,” dukung Johanah. “Kangen juga dengar suara Bapak nembang sambil main biola.”
Walidah tersenyum mendengarkan permintaan anak-anak. “Bapakmu masih capek, Siraj. Biar istirahat dulu,” katanya.
“Oh tidak apa-apa, Bu. Bapak tidak capek,” kataku sambil menggendong Siraj. “Sini Bapak pinjam biolanya dan kamu duduk di sebelah sana, ya.”
“Horeee… Bapak mau nembang,” jerit Siraj gembira.
“Iya, tapi kamu juga ikut nembang nanti,” kataku sambil mulai menggesek dawai biola. Suara yang terdengar agak sumbang, mungkin karena tadi sempat diputar-putar Siraj. “Nah sebentar, Bapak harus membenarkan suara biola ini dulu supaya merdu. Kalau ndak, kuping kalian nanti sakit mendengarnya,” kataku sambil mulai menyetem biola.
“Maaf, ya, Pak. Tadi biolanya Siraj otak atik,” ujar anakku sambil cengengesan.
“Tidak apa-apa Siraj, yang penting nanti kamu juga harus belajar menyetem biola, supaya kalau suaranya sumbang bisa langsung kamu benarkan,” jawabku. Tak lama kemudian, keempat senar biola sudah mengeluarkan suara yang seharusnya, dan membuat paduan suara yang harmonis.
“Ayo kita mulai ambil nada, Lir-ilir…” kataku sambil mencontohkan nada dasar yang langsung bisa diimbangi Siraj dan Johanah dengan bersemangat. Nada gembira
dari tembang ini membuat suasana sore menjadi lebih ceria, dan mengingatkanku pada masa kecil:
Siraj masih terus menyanyikan lagu ini berulang-ulang setiap kali lagu ini sampai pada kata penghabisan. Dan tanganku pun secara spontan menggesek lagi biola dari not pertama untuk mengimbangi suara kanak-kanak Siraj yang masih bisa melengking tinggi.
Tembang Lir-ilir yang banyak dianggap lagu dolanan anak-anak ini sebetulnya adalah bukti kepandaian para Wali Songo dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat Jawa melalui cara yang sangat menyenangkan dan tak terasa menggurui. Kata-kata dalam tembang itu seolah-olah deretan kata-kata biasa saja yang menggambarkan keriangan dunia kanak-kanak. Namun jika dibaca sungguh-sungguh, akan banyak makna agamawi yang muncul.
Dimulai dari kata “bangun, bangunlah” dari keadaan tidur, yang sering dilihat para ulama sebagai keadaan mati sementara, akan timbul pertanyaan: apanya yang harus dibangunkan atau dihidupkan? Ruh-kah? Kesadaran? Atau Pikiran? Tetapi maksud kata “lir-ilir” yang juga mengandung gerakan angin semilir ini bisa juga ditafsirkan sebagai imbauan lembut dan ajakan untuk berzikir. Zikir yang akan menghidupkan Siraj masih terus menyanyikan lagu ini berulang-ulang setiap kali lagu ini sampai pada kata penghabisan. Dan tanganku pun secara spontan menggesek lagi biola dari not pertama untuk mengimbangi suara kanak-kanak Siraj yang masih bisa melengking tinggi.
Tembang Lir-ilir yang banyak dianggap lagu dolanan anak-anak ini sebetulnya adalah bukti kepandaian para Wali Songo dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat Jawa melalui cara yang sangat menyenangkan dan tak terasa menggurui. Kata-kata dalam tembang itu seolah-olah deretan kata-kata biasa saja yang menggambarkan keriangan dunia kanak-kanak. Namun jika dibaca sungguh-sungguh, akan banyak makna agamawi yang muncul.
Dimulai dari kata “bangun, bangunlah” dari keadaan tidur, yang sering dilihat para ulama sebagai keadaan mati sementara, akan timbul pertanyaan: apanya yang harus dibangunkan atau dihidupkan? Ruh-kah? Kesadaran? Atau Pikiran? Tetapi maksud kata “lir-ilir” yang juga mengandung gerakan angin semilir ini bisa juga ditafsirkan sebagai imbauan lembut dan ajakan untuk berzikir. Zikir yang akan menghidupkan Siraj masih terus menyanyikan lagu ini berulang-ulang setiap kali lagu ini sampai pada kata penghabisan. Dan tanganku pun secara spontan menggesek lagi biola dari not pertama untuk mengimbangi suara kanak-kanak Siraj yang masih bisa melengking tinggi.
Tembang Lir-ilir yang banyak dianggap lagu dolanan anak-anak ini sebetulnya adalah bukti kepandaian para Wali Songo dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat Jawa melalui cara yang sangat menyenangkan dan tak terasa menggurui. Kata-kata dalam tembang itu seolah-olah deretan kata-kata biasa saja yang menggambarkan keriangan dunia kanak-kanak. Namun jika dibaca sungguh-sungguh, akan banyak makna agamawi yang muncul.
Dimulai dari kata “bangun, bangunlah” dari keadaan tidur, yang sering dilihat para ulama sebagai keadaan mati sementara, akan timbul pertanyaan: apanya yang harus dibangunkan atau dihidupkan? Ruh-kah? Kesadaran? Atau Pikiran? Tetapi maksud kata “lir-ilir” yang juga mengandung gerakan angin semilir ini bisa juga ditafsirkan sebagai imbauan lembut dan ajakan untuk berzikir. Zikir yang akan menghidupkan Baris “tandure wis semilir tak ijo royo-royo, tak senggo temanten anyar” bisa diartikan bahwa jika zikir sudah dikerjakan, maka akan menghasilkan kehidupan yang indah dan nyaman seperti pohon hijau yang rindang, yang bermanfaat sebagai tempat berteduh banyak makhluk Allah di muka bumi. Setelah itu, meski kalimat sesudahnya mengaitkan kesejukan dan rindang pohon dengan kesejukan pengantin baru, ada juga tafsir yang pernah kudengar dulu bahwa yang dimaksudkan Sunan Kali Jaga saat menuliskan kata-kata “pengantin baru” ini adalah raja-raja di Jawa yang baru memeluk agama Islam, setelah sebelumnya leluhur mereka biasanya memeluk agama Hindu atau Buddha. Pemahaman arti seperti ini menurutku masih bisa diterima akal karena dengan berpindahnya keyakinan seorang raja menjadi pemeluk Islam, biasanya juga akan diikuti dengan perpindahan keyakinan rakyatnya secara besar-besaran sehingga bisa terlihat seperti pohon hijau yang rimbun, ijo royo-royo.
Yang lebih menarik adalah baris selanjutnya yang dimulai dengan “Cah angon, cah angon…” Mengapa harus seorang bocah penggembala yang diseru Sunan Kali Jaga dalam lagu itu? Mengapa bukan “Pak Kiai, Pak Kiai …” misalnya? Aku merasa inilah salah satu kecerdasan Sunan Kali Jaga yang lain dalam memahami dunia kanak-kanak sekaligus konsep figur imamat. Penggembala adalah seseorang yang selalu mengarahkan hewan-hewan gembalanya agar tidak tersesat, layaknya seorang imam yang berkewajiban untuk selalu membimbing makmumnya di jalan yang benar, betapa pun sulitnya jalan itu.
Jika kata “cah angon” itu dilihat sebagai seruan lembut kepada para imam, bisa saja dalam bentuk para kiai, raja-raja, atau kaum terpelajar yang merasa punya kewajiban untuk terus mengarahkan rakyat sebagai makmumnya, kalimat “penekno blimbing kuwi” menjadi sangat kuat maknanya karena belimbing adalah buah berwarna hijau dengan lima (5) sisi buah yang bisa dianggap sebagai simbol dari lima rukun Islam. Sedangkan “penekno” merupakan ajakan kepada raja-raja Jawa untuk mengimbau masyarakat agar mengikuti jejak mereka untuk memeluk dan menjalankan syariat Islam.
Kalimat selanjutnya “lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro” memiliki arti bahwa meskipun cukup sulit untuk memperoleh “blimbing kuwi” itu, jika bisa didapat akan sangat membantu untuk memudahkan mencuci pakaian. Tidak sulit memahami kalimat ini, jika pengertian tentang “blimbing kuwi” sebagai lima rukun Islam, karena jika seseorang sudah berpegang pada rukun Islam, maka akan mudah baginya untuk membersihkan hati, pikiran, ketakwaan, sebagai bagian dari “pakaian” yang digunakan sehari-hari. Sebab jika tidak dibersihkan secara rutin dan sungguh-sungguh, pakaian itu bisa cepat lusuh dan terlihat buruk di mata orang lain.
Karena itu, jika pakaian takwa dan keimanan sudah mulai terlihat lusuh, baris-baris kalimat “dodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing pinggir” yang berarti bahwa pakaian-pakaian yang sudah lusuh harus segera dipinggirkan, bukan dengan maksud untuk dibuang, melainkan untuk dijahit kembali, diperbaiki agar secepatnya terlihat indah lagi.
Adapun baris yang menyatakan “dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore” atau “benahilah pakaianmu untuk menghadap nanti sore” sangat jelas maksudnya sebagai penanda waktu menyangkut kematian. Dengan demikian, seorang Muslim sudah selayaknya harus membenahi pakaian iman dan takwanya sebelum kematian datang “di waktu sore”, atau ujung umur seseorang yang diperkenankan Allah Swt.
Tembang itu ditutup dengan imbauan yang sangat menyejukkan hati bahwa segalanya harus segera dilakukan “Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane” yang bermakna “mumpung terang rembulannya, mumpung banyak waktu luang”. Karena jika sinar rembulan sudah redup, alam semesta gelap, dan tak ada lagi waktu luang untuk berbenah, sia-sia saja seluruh keinginan untuk memperbaiki pakaian takwa jika waktunya sudah tidak memungkinkan.
Seluruh lagu akhirnya ditutup dengan kata-kata riang gembira “yo surako surak hiyo” yang berarti sambutlah seruan ini dengan sorak sorai dan keceriaan untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Jika seluruh kalimat dalam tembang Lir-ilir diteliti dengan cara seperti ini, sulit untuk tidak mengatakan bahwa
Sunan Kali Jaga, atau siapa pun dari Wali Songo yang menciptakan lagu ini, hanya membuat melodi indah ini hanya untuk anak-anak, karena sesungguhnya ada pesan lebih serius yang ditempatkan dalam kata-kata riang itu.
“Pak,” Siraj mengguncangkan tanganku, membuyarkan renunganku. “Nanti Siraj diajarkan untuk bisa main biola seperti Bapak, ya?”
“Insya Allah,” kataku sambil mengelus rambut anakku. “Pasti nanti kamu akan lebih pintar memainkan biola ini dibanding Bapak,” lanjutku sambil meletakkan biola dan masuk ke dalam rumah.
MENJELANG pertemuan anggota Budi Utomo di rumah dr. Wahidin Sudirohusodo, aku mendapat kabar dari Joyosumarto bahwa dr. Wahidin kembali akan mengumpulkan anak-anak untuk sebuah pengobatan cuma-cuma. “Kangmas Wahidin berpesan kepada saya agar menanyakan apakah Kiai Dahlan bersedia hadir dan mungkin menyampaikan khutbah pendek bagi anak-anak itu?” tanya Joyosumarto. Aku mengiyakan tawaran dr. Wahidin.
Persis pada hari saat pengobatan cuma-cuma digelar, aku membawa biola dan mengajak Siraj ikut serta. Rumah dr. Wahidin sudah dipenuhi anak-anak ketika kami datang dan disambut hangat oleh sang empunya rumah. Dokter Wahidin terkejut melihat aku memainkan biola. “Kiai Dahlan bermain musik juga?” tanyanya penasaran.
“Sedikit, Mas,” jawabku. “Aku dapat biola ini dalam perjalanan pulang dari Makkah tahun 1888 dan belajar seadanya di kapal dari orang yang menjual biola ini,” kataku.
“Wah, saya juga suka bermain gamelan. Kapan-kapan kita bisa bermain bersama Kiai,” katanya.
“Insya Allah,” jawabku sambil mengeluarkan biola dari tempatnya, dan mulai menyetem senar. Aku bisa merasakan pandangan dr. Wahidin yang bercampur antara kagum sekaligus tidak percaya melihat seorang kiai memainkan biola.
“Jadi, bagaimana khutbah buat anak-anaknya Kiai?” tanya dr. Wahidin setelah aku menyelesaikan menyelaraskan bunyi senar. “Apakah khutbahnya akan dibarengi dengan menyanyi dengan biola?”
“Tidak, Mas Wahidin. Kita akan menyanyi bersama saja.”
“Menyanyi?” Kali ini, dr. Wahidin tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya dan saling berpandangan dengan Joyosumarto.
“Iya, kita akan menyanyikan lagu Lir-Ilir,” kataku. “Coba Mas Joyo, anak-anak itu semua dikumpulkan.”
“Baik, Kiai,” katanya, segera melaksanakan permintaanku. Begitu anak-anak terkumpul, aku jelaskan lagu yang harus mereka nyanyikan. Sambil membunyikan nada pertama, aku beri tanda kepada Siraj untuk memulai nyanyian. Awalnya, anak-anak itu masih malu-malu mengeluarkan suara mereka sehingga beberapa kali aku harus mengatakan, “Ayo, lebih keras lagi! Lebih keras!”
Akhirnya bukan hanya anak-anak yang bernyanyi dengan semangat, melainkan juga dr. Wahidin dan Joyosumarto sampai lagu selesai setelah berkali-kali dimainkan. Kulihat ekspresi wajah-wajah lega di muka anak-anak dan juga dr. Wahidin serta adiknya yang terus bertepuk tangan gembira. “Luar biasa, Kiai Dahlan. Saya tidak menyangka bahwa Kiai bisa bermain biola dan mengajarkan menyanyi seperti ini,” katanya dengan senyum lebar. “Sekarang rasanya saya mulai bisa mengerti mengapa ada kiai-kiai lain yang tidak suka pada Kiai Dahlan. Pasti salah satunya menyangkut soal ini,” katanya berterus terang.
“Apa yang Mas Wahidin katakan itu betul,” kataku sambil kembali merapikan biola ke dalam kotaknya. “Tapi buatku, berdakwah itu bukan hanya menyampaikan khutbah dari atas mihrab. Apa yang kita lakukan barusan juga adalah bagian dari dakwah, karena kata-kata yang ditulis Sunan Kali Jaga untuk syair lagu itu sungguh-sungguh sangat dalam artinya.”
“Aku sudah tahu tembang ini sejak kecil. Kiai Dahlan,” ujar dr. Wahidin. “Tetapi aku tidak pernah tahu bahwa ada makna agama yang sangat dalam pada lagu itu. Bagaimana ceritanya?”
Akhirnya, aku kembali menceritakan kisah menyangkut syair lagu itu kepada dr. Wahidin dan Joyosumarto setelah acara pengobatan untuk anak-anak selesai dilakukan.
PERTEMUAN pertama perkumpulan Budi Utomo yang berlangsung di rumah dr. Wahidin Sudirohusodo di Ketandan berlangsung ramai. Mas Wahidin memper-kenalkanku kepada hadirin. “Kawan-kawan seperjuangan, saya perkenalkan Kiai Ahmad Dahlan, salah seorang kiai Kauman yang namanya saya yakin sudah pernah kita dengar, namun mungkin baru sedikit dari kita di sini yang pernah bertemu langsung dengan beliau,” katanya sambil memberikan isyarat agar aku memperkenalkan diri.
“Assalamualaikum Warahmatullahi wa Wabara-katuh,” ujarku dengan suara keras, namun hanya mendapat jawaban salam yang sayup-sayup dan tidak berbarengan. Aku mengerti meskipun kebanyakan dari mereka adalah Muslim, mereka pastilah tidak terbiasa mengucapkan salam di depan umum, apalagi dengan baju yang berpotongan Eropa seperti biasa dipakai para sinyo Belanda. “Terima kasih kepada dr. Wahidin dan seluruh hadirin yang sudah bersedia menerimaku dalam pertemuan ini, semoga tidak mengganggu jalannya pertemuan,” ujarku sambil menutup sambutan singkat itu dengan salam.
Rapat segera dimulai dan dipimpin oleh dr. Wahidin Sudirohusodo. Hampir semua hadirin menyampaikan pendapat mereka dengan bersemangat, dan sebagian besar bicara dalam bahasa Belanda. Bahasa Jawa kudengar hanya sesekali disebutkan. Aku hanya memperhatikan pembicaraan mereka tanpa ikut memberikan pendapat lebih jauh. Rupanya sikap diamku diperhatikan oleh dr. Wahidin yang segera melemparkan pertanyaan kepadaku. “Kiai Dahlan, ada komentar tentang bagaimana kita bisa mempercepat Budi Utomo diterima oleh masyarakat luas?”
“Belum ada, Mas,” jawabku jujur. “Aku menyimak saja apa yang sedang dibahas.”
“Baiklah kalau begitu, dr. Raden Ngabehi Sosro-sugondo, ada komentar?”
SetelahmengikutipertemuanBudiUtomountukkedua kalinya beberapa saat kemudian, akhirnya aku merasa mengerti tujuan perkumpulan ini dan memutuskan untuk bergabung pada 1909. Aku merasa itu pilihan yang tepat karena akhirnya aku bisa mempelajari bagaimana caranya sebuah perkumpulan dibuat dan dijalankan, serta proses pertukaran pendapat bisa berlangsung dalam bentuk diskusi-diskusi yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya dengan para kiai. Aku juga mempelajari bagaimana caranya menyusun pengurus dan cara untuk mendapatkan anggota baru. Jika melihat jumlah muridku di Langgar Kidul dari dulu sampai sekarang yang tidak bertambah banyak dengan cepat, aku merasa ternyata selama ini aku memang belum memiliki kemampuan untuk menarik anggota baru secepat perkumpulan Budi Utomo ini memikat calon anggota baru.
Dan biasanya sesudah rapat anggota, aku memanfaatkan waktu dengan menjelaskan beberapa pokok ajaran Islam dalam bahasa Jawa. Kadang-kadang, obrolan ringan mengenai agama ini dimulai dari pertanyaan para anggota Budi Utomo, lalu terus berkembang menjadi pembahasan yang lebih serius. Namun kadang-kadang bisa juga kumulai tanpa pertanyaan mereka lebih dulu. Dengan begitu, wilayah dakwahku juga menjadi lebih luas.
Namun, karena aku mulai sering menghadiri rapat-rapat Budi Utomo dengan peserta yang hampir semua berpakaian dengan cara Eropa, aku pun mulai mencoba untuk memantas-mantaskan diri dengan pakaian ini, semisal dengan menggunakan jas warna putih dengan serban.
“Bagaimana kalau penampilankuseperti ini?” tanyaku kepada Siti Walidah yang melihat dengan wajah bingung. Belum sempat istriku menjawab, Siraj dan Johanah yang rupanya sudah mengintip agak lama langsung berujar. “Bapak seperti sinyo Belanda,” ujar Johanah.
“Iya, Betul. Bapak jadi seperti orang Belanda, seperti orang kafir,” sambung Siraj sambil tertawa-tawa. Walidah dan Johanah langsung terdiam mendengarkan celetukan Siraj. Aku memberikan isyarat kepada Walidah agar tidak memarahi Siraj. Kupanggil anak itu agar mendekati. “Ke sini Siraj, coba lihat baju Bapak.”
Siraj masuk dan langsung memegang jasku. “Bagaimana, bagus tidak?” tanyaku.
“Bagus, Pak. Tapi kelihatannya seperti baju orang kafir,” ujar Siraj mengulangi kata-katanya. Aku tersenyum mendengar kata-katanya. “Baju itu hanya pakaian luar, Nak. Pakaian dalam itu tetap hati kita yang bersih. Meski memakai baju yang terlihat Islami tapi hatinya tidak bersih, menurut Siraj apakah itu hal yang baik?”
“Memangnya ada orang yang memakai pakaian Islam tapi hatinya tidak bersih, Pak?”
“Nah, coba kamu tanya mbakyu dan ibumu ini, apakah ada orang yang berpakaian Islami tapi hatinya kurang bersih. Waktu itu kamu masih kecil, jadi mungkin belum ingat apa-apa. Tapi Mbakyu Johanah mungkin masih ingat bahwa Langgar Kidul tempat kalian mengaji sekarang pernah dibongkar paksa …”
“Dibongkar paksa?” tanya Siraj antusias. “Maksud Bapak dihancurkan?”
“Iya, dihancurkan.”
“Siapa yang menghancurkan, Pak? Tentara Belanda?”
Walidah dan Johanah tertunduk mendengarkan pertanyaan Siraj. Bahkan di sudut mata Walidah kulihat seperti ada setitik air yang hendak jatuh. Mungkin dia teringat lagi kenangan pahit ini.
“Bukan Siraj. Yang menghancurkan Langgar Kidul dulu itu orang-orang Islam juga, orang-orang yang berpakaian Islami. Tapi hatinya kurang bersih,” kataku.
Ah, mana mungkin orang Islam menghancurkan langgar orang lain, Pak?” tanya Siraj tak percaya.
“Kamu coba saja tanya ibumu Siraj,” kataku yang langsung dimanfaatkan Siraj. “Memangnya benar, Bu?” katanya. Walidah menganggukkan kepalanya dengan lemah, tak mau menjawab lebih jauh.
“Siapa, sih, Pak orang Islam yang menghancurkan Langgar Kidul itu?” tanyanya kini dengan nada kemarahan yang mulai terasa.
“Nanti pada saatnya kamu akan tahu juga Siraj. Sekarang ini yang Bapak mau pesan buat kamu adalah supaya kamu jangan gampang menilai orang hanya dari pakaiannya. Tetapi cobalah untuk melihat orang lebih pada akhlaknya.” ujarku.
“Iya, Pak,” katanya. “Mungkin Siraj masih bingung saja melihat Bapak pakai jas tapi kepala Bapak pakai serban. Rasanya Siraj belum pernah melihat ada kiai lain yang berpakaian seperti Bapak.”
Aku tersenyum dan segera memeluknya. “Bagaimana permainan biolamu, Siraj?”
“Ternyata susah sekali, ya, Pak,” jawabnya.
“Tidak ada yang susah kalau kamu mau belajar serius.”
“Tapi tanganku masih kecil, Pak,” katanya sambil merentangkan tangan kirinya. “Tanganku baru segini panjangnya, biolanya sudah sampai sini,” katanya menunjukkan posisi di tangannya yang menunjukkan bahwa biola itu masih lebih besar dibandingkan tangannya.
“Kalau begitu kamu tunggu sampai kamu besar dan tanganmu lebih panjang lagi sebelum main biola,” kataku sambil menggodanya.
“Emoh, ah, Pak. Aku mau buru-buru bisa main biola sambil menyanyi Lir-ilir seperti Bapak,” katanya sebelum memulai menyanyikan lagi lagu kesukaannya itu:
Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis semilir…
KARENA makin sering mengikuti rapat-rapat perkumpulan Budi Utomo, akhirnya aku juga semakin terbiasa memakai jas dan dasi seperti para anggota Budi Utomo lainnya. Bedanya adalah hanya aku yang memakai serban, dan itu membuat penampilanku memang terlihat unik dan selalu membuat orang-orang yang melihatku langsung berbisik-bisik. Tak terkecuali bagi Mas Muhsin dan murid-muridnya yang melihatku. “Pulang dari Makkah bukan bener, ini malah keblinger,” katanya kepada salah seorang muridnya seperti disampaikan Sudja kepadaku. Tetapi semakin sering aku mendengarkan pendapat-pendapat seperti ini, semakin biasa juga aku menanggapinya
Satu hari, aku berada di tengah-tengah Hoof Bestur Budi Utomo yang sedang, seperti biasa, berdiskusi dengan sangat bersemangat dipimpin oleh dr. Wahidin Sudirohusodo. Setelah beberapa saat, perhatianku teralih pada sebuah gambar kotak-kotak dengan nama dr. Wahidin di bagian paling atas. Kotak nama dr. Wahidin itu disambung dengan garis-garis yang berujung pada kotak-kotak lain dengan nama-nama dan istilah-istilah seperti Kesejahteraan, Pendidikan, dan Rumah Sakit. Aku memperhatikan dengan saksama bentuk kotak-kotak itu, sampai tidak menyadari dr. Wahidin sedang melihatku.
“Serius sekali, Kiai Dahlan?” katanya sambil meninggalkan kerumunan anggota Budi Utomo, lalu melihat apa yang sedang kuperhatikan.
“Ini fungsinya apa, Mas Wahidin?” tanyaku.
“Ini disebut bagan organisasi, untuk memudahkan seluruh anggota melihat dan mengetahui siapa yang paling bertanggung jawab dalam kelompok, sekaligus untuk memudahkan pembagian kerja.”
“Boleh aku salin, Mas?”
“Oh, silakan saja. Perkumpulan agama sebaiknya juga disusun dengan bagan organisasi yang jelas Kiai Dahlan, supaya jalannya perkumpulan menjadi lebih mudah dilihat. Atau jika ada kemacetan organisasi di satu bagian, misalnya program tidak berjalan dengan baik, akan memudahkan orang yang menjabat sebagai ketua untuk melihat masalahnya,” jelas dr. Wahidin.
Malam harinya di rumah, aku mencoba membuat sebuah bagan organisasi. Bagan yang kusalin dari Budi Utomo kubuka di samping kertas kosong yang akan kutulis dengan bagan baru untuk perkumpulan Islam yang sedang kurencanakan. Namun, karena aku belum mempunyai nama untuk perkumpulan baru ini sehingga hanya kutulis:
PERKUMPULAN ISLAM…
Aku sedang memikirkan nama yang pas untuk perkumpulan ini ketika Walidah masuk membawakan teh panas. “Sedang menggambar apa, Mas?” katanya sambil memperhatikan beberapa kotak kosong pada bagan itu.
“Ini namanya bagan perkumpulan,” jelasku kepada Walidah. “Gunanya untuk memudahkan dalam menyusun pengurus buat perkumpulan yang mau aku bikin nanti.”
“Ini sudah jadi?”
“Belum. Nama perkumpulannya belum ada, dan orang-orangnya pun belum ada. Baru kira-kira saja.”
“Lha, yang banyak ini apa?” tanya Walidah menunjuk bagan perkumpulan Budi Utomo. “Ini bagan organisasi Budi Utomo yang sekarang aku ikuti,” jawabku.
“Wah, tetap ndak ngerti aku,” katanya sambil kembali ke dapur.
Aku melanjutkan lagi membuat kotak-kotak untuk perkumpulanku nanti, meski saat ini aku belum tahu siapa saja orang-orang yang namanya akan kutuliskan dalam kotak-kotak itu selain para muridku sekarang.
WALIDAH sedang menyapu halaman rumah dibantu Siraj ketika Hisyam datang. “Assalamu ‘alaikum, Nyai Dahlan, Siraj/’ katanya.
“Wa’alaikum salam, Hisyam,” jawab Walidah. “Tumben datang, ada apa, ya?”
“Ini Nyai … mau tanya Kiai Dahlan apakah ada di rumah?”
“Kiai Dahlan belum pulang, masih di Jetis. O, ya. Tadi pagi Kiai pesan, kalau sampai sore dia belum pulang, biar Haji Sudja saja yang isi pengajian. Begitu pesan Kiai Dahlan tadi.”
“Ooo … baik Nyai,” kata Hisyam dengan wajah kecewa. “Ada pesan lagi dari Kiai Dahlan, Nyai?”
“Tidak, cuma itu saja.”
“Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu Nyai. Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh.”
Hisyam kembali ke Langgar Kidul dengan wajah lusuh dan penuh pikiran. Sudja menghampirinya. “Lho kok, kamu sendirian? Kiai Dahlan mana?” Sudja menjulurkan kepalanya keluar, melihat ke kanan dan kiri.
“Kiai masih di Jetis,” jawab Hisyam dengan wajah murung. “Nyai Dahlan bilang, tadi pagi Kiai pesan kalau sampai sore ini dia masih belum pulang, Haji Sudja saja yang pimpin pengajian.”
“Saya?” tanya Sudja kaget.
Hisyam mengangguk. “Tadi kata Nyai begitu.”
Sudja menghela napas panjang. Murid-murid lain saling berpandangan. Hisyam melonjorkan kedua kakinya. “Sejak gabung dengan Budi Utomo, Kiai Dahlan jadi jarang mengajar. Malah penampilannya seperti orang kafir, pakai jas dan dasi segala. Aku pikir…”
“Hush! Ndak boleh ngomongin orang sampai begitu Syam, apalagi ini kiai sendiri,” potong Sudja. “Ayo, dimulai pengajiannya.”
AKU sedang memperhatikan murid-murid Kweekschool (setingkat SD-SMP) Jetis sedang bermain di halaman sekolah. Salah seorang anggota Budi Utomo R. Budiharjo sedang bersamaku. “Rata-rata mereka anak keluarga keraton,” ujar Budiharjo.
“Berarti mereka Islam juga, ya, Mas Budi?” kataku.
“Betul. Tapi kebanyakan dari mereka Islam karena mengikuti leluhur saja, Kiai Dahlan. Malahan ada di antara mereka yang pindah agama karena kepentingan politik, dagang, atau perkawinan,” terang Budiharjo.
Aku tersenyum kecut mendengarkan hal itu. “Kalau boleh, saya ingin mengajar agama Islam di sekolah ini,
Mas Budi. Bagaimana caranya saya bisa bertemu Dewan Pengajar? Saya akan sampaikan materi agama Islam yang akan membuat mereka lebih mengerti tentang apa yang mereka yakini sekarang. Bagaimana menurut Mas Budi?”
“Cara mengajar Kiai Dahlan nanti seperti di pesantren?”
“Tidak, akan berbeda.”
“Bagaimana, ya, Kiai, bukannya saya tidak setuju dengan usulan Kiai Dahlan, tapi rasanya akan susah meyakinkan Dewan Pengajar yang rata-rata bukan beragama Islam. Mereka masih beranggapan bahwa Islam adalah agama mistik dan tidak sejalan dengan pemikiran modem. Ini kesan yang sudah tertanam di kepala banyak pengajar di sini. Maaf kalau saya harus menyampaikan ini, Kiai,” jawab Budiharjo.
“Atau begini, Mas Budi. Mungkinkah saya diberikan kesempatan satu hari saja untuk mengajar. Saya akan buktikan bahwa anggapan mereka tentang Islam itu salah.”
“Saya tidak bisa janjikan Kiai Dahlan akan dapatkan satu hari itu, tapi akan saya sampaikan usulan Kiai kepada Dewan Pengajar.”
“Terima kasih banyak, Mas Budi.”
MATAHARI sore sedang menunjukkan kekuatan sinarnya di atas Kauman. Aku keluar rumah menuju Langgar Kidul yang sejak kemarin tak kutengok. Dari luar, langgar
terlihat sepi. Hanya ada.Sudja yang sedang menyapu halaman langgar.
“Kok, sepi?” tanyaku kepada Sudja. “Hari ini tidak ada pengajian?”
Sudja melepaskan sapunya dan mencium tanganku. Namun kulihat matanya tidak bersemangat seperti biasa. “Hari ini ndak ada pengajian, Kiai. Beberapa santri bilang mereka ndak mau mengaji lagi di Langgar Kidul karena dilarang keluarganya mengaji di sini.”
“Kenapa mereka dilarang?” tanyaku.
Sudja balik memperhatikanku yang sedang memakai jas, dasi, dan sepatu, tidak cakar ayam seperti kebanyakan kiai Kauman, dengan wajah heran. “Kenapa Kiai bergabung dengan Perkumpulan Budi Utomo yang Kejawen itu? Pekerjaan mereka hanya menjelek-jelekkan Islam, menganggap Islam agama terbelakang. Mereka juga lebih bangga bergaul dengan orang Belanda, dansa-dansa, nyanyi-nyanyi sambil minum alkohol.”
“Aku, kan, dulu sudah memintamu untuk memberikan informasi tentang perkumpulan itu, Ja?”
“Iya, aku tahu. Tapi aku tidak pernah berpikir Kiai akan lebih sibuk mengurusi orang lain ketimbang mengurusi langgar sendiri.”
“Aku sedang belajar lagi, Ja.”
“Belajar?” Sudja mengernyitkan keningnya. “Apa yang bisa Kiai pelajari dari sana?”
“Banyak. Aku sedang belajar cara membuat perkumpulan dan berorganisasi yang lebih benar, cara membuat sekolah, cara mengajar. Semua itu untuk mewujudkan cita-citaku mendidik umat Islam supaya kehidupan umat Islam di Pulau Jawa ini khususnya bisa lebih baik/7 jelasku.
“Kenapa Kiai memilih belajar sama orang kafir? Kalau memang mau belajar, kenapa tidak belajar lagi ke Makkah?” cecar Sudja yang jelas tak puas pada jawabanku sebelumnya.
“Belajar itu bisa di mana saja, Sudja,” jawabku. “Yang penting kunci belajar itu harus berpikiran terbuka dan berprasangka baik kepada siapa pun. Ketika Allah menurunkan wahyu pertama kepada Kanjeng Nabi Muhammad Iqro’, bacalah, maka suruhan untuk membaca itu adalah perintah untuk belajar, memperhatikan, melihat dengan teliti. Apa yang harus kita baca, pelajari, perhatikan, dan lihat dengan teliti? Apa saja, khususnya yang ada di dekat kita, apa yang ada di alam, apa yang ada di kitab. Apa yang ada di kalangan Muslim, apa yang ada di kalangan kafir. Tapi soal Budi Utomo, jangan dengan gampang kamu sebut itu kelompok kafir, Sudja. Bahkan sesungguhnya kita harus sangat hati-hati dalam menggunakan kata itu ketika menunjuk orang lain.”
Sudja terdiam sejenak. “Tapi ini bukan perasaan saya saja Kiai. Semua murid merasa Kiai Dahlan sekarang sudah tidak peduli lagi terhadap pengajian di sini. Kiai Dahlan lebih suka mementingkan kegiatan di perkumpulan itu sampai tak kenal waktu. Coba saja Kiai
tanya Sangidu yang adik tiri Kiai. Dia pun akan menjawab hal yang sama,” katanya.
“Baiklah, coba nanti kamu kumpulkan kawan-kawanmu biar bisa aku jelaskan mengapa belakangan ini aku sibuk mempelajari cara berorganisasi yang dilakukan Budi Utomo,” kataku.
“Sekarang, Kiai?”
“Kalau bisa sekarang, alhamdulillah.”
“Baiklah, Kiai. Saya coba hubungi mereka sekarang,” kata Sudja. Aku masuk ke dalam Langgar Kidul dan mulai melihat kitab-kitab yang ada di sana.
RADEN Budiharjo mengabarkan bahwa Dewan Pengajar Kweekschool Jetis mengabulkan usulanku untuk mengajarkan agama Islam kepada murid-murid mereka selama satu hari. “Awalnya mereka keberatan sekali, Kiai,” ujar Budiharjo.
“Mengapa akhirnya mereka bisa setuju?”
“Setelah aku jelaskan bahwa yang akan memberikan pelajaran adalah Kiai Dahlan, bukan kiai lainnya.”
“Memangnya kalau kiai lain yang memberikan tidak boleh?” tanyaku penasaran.
“Tidak tahu juga, Kiai. Tapi mungkin karena Kiai Dahlan juga sudah beberapa kali ikut rapat Budi Utomo, dan barangkali Dewan Pengajar menanyakan Kiai kepada dr. Wahidin yang juga sudah mengenal Kiai, sehingga akhirnya mereka setuju meski cuma untuk satu hari seperti permintaan Kiai/’
Akhirnya, hari yang penting itu datang juga. Untuk pertama kalinya aku akan menyampaikan materi ajaran agama Islam di depan murid-murid yang meski bertubuh Jawa tapi sehari-hari berbahasa Belanda. Murid-murid yang sebagian besar adalah anak-anak pangeran dan orang-orang kaya lainnya di Ngayogyakarta Hadiningrat. Aku diminta menunggu di luar kelas dulu oleh Hoofd Inspectoor (kepala sekolah) berkebangsaan Belanda yang bertubuh gemuk besar. Kepala Sekolah ini masuk bersama R. Budihaijo yang langsung membuat kelas menjadi hening.
“Goedemorgen kinderen (selamat pagi anak-anak),” sapa Budihaijo disambut jawaban anak-anak yang bersemangat.
“Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, bahwa hari ini kalian akan mendapatkan pelajaran agama Islam dari seorang kiai yang sebentar lagi akan saya perkenalkan.”
Murid-murid saling kasak kusuk. Tampak seorang murid, anak pangeran, terlihat tidak suka dan berbicara kepada kawan di sampingnya. “Kata Romoku, kiai itu bau. Keringatan terus. Kakinya lebar-lebar tidak pernah pakai sepatu. Lihat saja nanti,” katanya mencoba memengaruhi sang teman.
Budihaijo membuka pintu lebar-lebar, menyilakanku masuk. “Silakan masuk, Kiai Dahlan, anak-anak sudah siap.”
Aku benahi jas dan serbanku sekali lagi dengan cepat, sebelum masuk ke dalam kelas dengan langkah perlahan yang menyebabkan sepatuku menimbulkan ketukan berirama. Murid-murid melihatku dengan wajah tak percaya. Barangkali inilah untuk pertama kalinya dalam hidup mereka melihat seorang kiai memakai jas, dasi, dan sepatu, meski tetap tidak meninggalkan serban. Wajah paling terkejut terlihat dari anak pangeran yang belum lama mencoba memengaruhi kawannya.
“Kamu bohong, kiainya pakai sepatu, kok. Rapi, nggak keringatan. Pasti wangi,” ujar temannya kepada sang anak pangeran, melalui gerak bibir yang terlihat jelas dan mudah dibaca. Wajah anak pangeran itu mendadak merah, mungkin karena malu.
“Manfaatkan kesempatan ini dengan baik, Kiai,” bisik Budihaijo. Aku mengangguk optimistis. R. Budiharjo dan Hoofd Inspectoor kemudian mundur ke bagian belakang kelas, memperhatikanku. Aku memperhatikan para murid sekali lagi sebelum mengucapkan salam dengan keras. “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Tak ada yang menjawab kecuali beberapa bisik-bisik. “Baiklah, saya ulangi lagi salamnya. Kali ini kalian jawab dengan keras dan bersamaan. Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Tetap tak ada jawaban seperti yang kuharapkan. Malah tiba-tiba terdengar suara kentut yang sangat keras dari arah anak sang pangeran. Seluruh murid tertawa terbahak-bahak, membuat darahku terasa naik tiba-tiba, hampir marah. Namun kutahan dulu karena ternyata R. Budiharjo lebih dulu menegur anak itu. “Gedraag je kinderen (jaga sopan santun kalian, anak-anak)/’ katanya tegas sambil menatapku seolah-olah ingin minta maaf. Aku tersenyum ke arah Budiharjo, menghargai inisiatifnya.
Tapi, kepala sekolah yang mungkin lebih merasa mengerti anak-anak itu, dengan sengaja menyenggol lengan Budiharjo dan berkata, “Laat maar (biarkan saja!).” Budiharjo terdiam, dan kembali memberikan isyarat agar aku melanjutkan pelajaran.
“Tidak apa-apa, anak-anak,” aku mengangkat tangan tinggi-tinggi. “Masih ada yang mau kentut lagi? Silakan, Kiai izinkan…”
Anak-anak berpandangan mendengarkan tawaranku yang tak lazim itu. Begitu juga dengan R. Budiharjo dan kepala sekolah. Sebuah suara terdengar dari arah kiri kelas. “Tetapi kentut di depan umum itu tidak boleh. Tidak sopan.”
“Betul,” jawabku sambil melihat ke arah anak itu. “Sebaiknya memang harus menghindar jika kita ingin kentut. Tapi kalau sudah tidak bisa ditahan seperti kawan kalian tadi, bagi saya tidak apa-apa.”
“Kenapa tidak apa-apa, Kiai?” sambar murid yang lain. “Itu, kan, bau dan mengganggu orang lain.”
“Bersyukurlah orang kalau masih bisa kentut. Karena kalau tidak bisa kentut, perut kita akan membuncit seperti…” kataku sambil menoleh ke arah kepala sekolah yang wajahnya mendadak memerah. Anak-anak tertawa. R. Budiharjo mencoba menahan senyumnya yang akan terkembang sehingga pipinya menggembung seperti balon yang hendak meletus.
“Dan yang penting, sehabis kentut sebaiknya mengucapkan alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Kenapa?” tanyaku sambil memperhatikan anak-anak itu lagi.
“Karena bikin perut kita lega,” jawab seorang anak dari sisi kanan.
“Ya, hampir betul itu,” jawabku. “Perut kita bisa lega karena Allah sudah menciptakan bagi kita lubang pembuangan di tubuh kita.”
“Ih, kok, Kiai bicara jorok,” protes seorang murid.
“Tidak, ini sangat masuk akal. Coba kalian bayangkan jika Allah tidak menciptakan saluran dan lubang pembuangan itu, mau dikemanakan sisa angin yang bertumpuk di perut kita? Mau di dalam perut terus-menerus?”
Anak-anak menggelengkan kepala mereka. Anak pangeran yang tadi kentut kini sudah bisa mengangkat wajahnya dan memperhatikan penjelasanku. “Coba kalian bayangkan tangan kiai ini seolah-olah sebuah balon/’ kataku sambil membuat bentuk balon kecil, “kalau balon ini terus-menerus diisi angin tanpa ada lubang bagi angin itu untuk keluar, maka bentuknya akan seperti ini,” kataku sambil membuat bentuk balon yang lebih besar dan terus membesar. “Sampai akhirnya…”
Kuperhatikan seluruh mata murid-murid itu terpaku pada bentuk balon imajiner di tanganku sekarang, “… balon terus membesar dan, dorrr! Pecah!” seruku dengan suara keras menirukan balon pecah yang membuat anak-anak itu kaget, sebelum tertawa-tawa kecil.
“Tapi masih untung kalau hanya balon yang pecah,” lanjutku. “Kalau perut kita yang pecah bagaimana?”
“Kita akan mati, Kiai,” sahut murid yang anak pangeran itu, kini dengan suara lebih tegas dan yakin. Mungkin karena aku tidak memarahinya tadi sehingga keberaniannya bangkit.
“Betul! Kita akan mati, tapi mati dengan cara bagaimana? Mati dengan semua isi perut keluar, semua makanan yang kita makan keluar, semua air yang kita minum akan berceceran, bahkan seluruh isi badan kita, jantung, usus, hati, darah, juga akan muncrat ke mana-mana kalau perut kita meletus seperti balon,” kataku disambut wajah bergidik para murid, dan ekspresi jijik, sampai ada yang terbatuk-batuk.
“Alhamdulillah peristiwa buruk seperti itu tidak terjadi karena Allah sayang pada kita. Diciptakannya saluran pembuangan di tubuh kita sehingga makanan dan minuman yang masuk ke dalam badan kita bisa keluar lagi tanpa harus membuat perut kita meletus,” kataku. “Karena itu sudah sepantasnya kita selalu berterima kasih kepada Allah dengan mengucapkan…” Kugantung ucapanku untuk melihat reaksi para murid priyayi ini, yang untungnya segera menjawab, “… alhamdulillah!” dengan serempak dan keras.
Mendengar jawaban mereka yang kompak itu, tak urung hatiku bergetar juga. Aku diliputi rasa senang tersendiri karena membayangkan anak-anak priyayi ini pastilah dalam kehidupan sehari-hari mereka jarang mengucapkan kalimat thayyibah seperti alhamdulillah tadi. Aku lihat Budiharjo juga tersenyum bangga, dan kepala sekolah mengangguk-anggukkan kepalanya.
Selesai “pelajaran tentang kentut” itu aku habiskan jatahku mengajar dengan mengupas pentingnya bersyukur setiap saat kepada Allah, apalagi bagi mereka yang bisa bersekolah karena tidak semua anak di Yogyakarta bisa mengenyam pendidikan seperti mereka.
Ketika akhirnya jam pelajaranku selesai, kepala sekolah segera menghampiriku dan memberikan selamat. “Terima kasih, Kiai Dahlan. Saya senang Kiai tidak membahas hal-hal yang berbahaya,” katanya sembari membuat tanda kutip dengan jarinya saat mengatakan kata “berbahaya”.
Aku tahu apa yang dimaksudkan kepala sekolah sebagai “berbahaya”, seperti mengatakan Belanda bangsa yang kafir dan karena itu umat Islam harus melawan penjajahan kolonial Belanda. Tapi aku juga tak ingin dia terlalu yakin pada pikirannya seolah-olah bahwa aku memang tidak bertujuan untuk membuka mata anak-anak itu tentang fakta yang sebenarnya. Karena itu, aku ambil jalan tengah dalam memberikan jawaban yang kupikir bisa diterima dengan baik oleh kepala sekolah. “Mereka masih terlalu kedi Meneer hoofd inspectoor untuk diajak bicara hal-hal seperti yang Meneer takutkan/’ jawabku. “Biarlah pengajaran agama ini diperkenalkan melalui peristiwa sehari-hari yang mereka alami saja sehingga lebih mudah untuk mereka pahami.”
“Betul sekali, Kiai Dahlan. Terus terang tadi saya sempat was was tentang apa yang akan Kiai Dahlan sampaikan kepada murid-murid kami,” katanya jujur. “Tapi sekarang saya mengerti mengapa Meneer dr. Wahidin Sudirohusodo juga mengatakan bahwa Kiai Dahlan adalah jenis kiai yang berbeda,” katanya sambil memperhatikan penampilanku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Apakah tidak ada kesulitan yang Kiai hadapi karena berpakaian begini?” tanya kepala sekolah yang rupanya sudah jauh lebih terbuka kepadaku sekarang.
“Tentu ada, Meneer,” jawabku. “Bahkan ada yang menuduh saya kiai kafir.”
“Kiai kafir? Apa maksudnya? Apakah karena Kiai Dahlan tidak sembahyang?”
“Oh tidak, saya dianggap kafir karena pakaian seperti ini dianggap pakaian orang-orang kafir Belanda.”
“Ooo … saya mengerti. Baiklah, saya harus segera kembali ke ruangan guru. Saya tinggalkan Kiai Dahlan dengan bapak Budiharjo, tidak apa-apa?”
‘Tidak apa-apa, Meneer. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengajar hari ini.”
Kepala sekolah langsung keluar kelas, sedangkan R. Budiharjo mendekatiku dan menepuk-nepuk bahuku. “Kiai Dahlan luar biasa. Saya juga tidak menyangka Kiai bisa menaklukkan anak-anak ini dengan pendekatan yang sangat berani, hanya pada pertemuan pertama.”
“Alhamdulillah kalau ini dianggap berhasil, Mas Budi,” ujarku. “Mungkin Allah langsung yang membimbing lisan saya untuk berbicara seperti tadi di depan anak-anak ini.”
“Kalau tidak saya lihat sendiri,” ujar Budiharjo sambil menggeleng-gelengkan kepalanya namun dengan senyum terkembang lebar. “Saya tidak akan percaya bahwa Kiai Dahlan yang terkenal dari Kauman membahas soal kentut di depan anak-anak Kweekschool ini.”
Aku ikut tertawa kecil. “Memangnya hal seperti itu tidak boleh, Mas?” tanyaku.
“O, bukan. Kalau dibahas di pelajaran ilmu hayat, saya masih bisa mengerti. Tapi karena Kiai menjadikan kentut itu sebagai cara untuk memahami rasa syukur terhadap Allah, menurut saya ini cara pengajaran yang belum pernah saya dengar dari kiai lain. Sederhana, tapi langsung kena maknanya,” sahut Budiharjo.
“Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu, Mas Budi Terima kasih atas usaha Mas Budi yang membuat saya bisa hadir di sini/’
“Sama-sama, Kiai Dahlan. Semoga nanti ada kesempatan lagi untuk Kiai Dahlan mengajar disini”
SEPULANG dari mengajar di Kweekschool Jetis aku lihat Mas Noor dan Nyai Noor, mbakyuku yang nomor satu, sudah duduk di beranda dengan muka masam. Walidah juga duduk di sana dengan wajah tertunduk. Mata Walidah terlihat sembap seperti baru menangis. Perasaanku mengatakan sesuatu yang tidak enak akan segera terjadi. Atau bahkan sudah bagi Walidah.
“Mas Noor, Nyai, sudah lama?” tanyaku ketika menginjakkan kaki di beranda. Mereka tak langsung menjawab pertanyaanku, kecuali mendengus pendek, Walidah tetap termenung.
“Dahlan kamu harus eling,” ujar Nyai Noor dengan tajam. “Ingat Dahlan, kamu harus selalu ingat siapa Kiai Abu Bakar bapak kita, keluarga kita, dan kamu sendiri!”
“Maaf, ini soal apa, Mbakyu? Aku selalu eling soal yang Mbakyu sebutkan tadi.”
“Sudahlah, jangan berpura-pura tidak tahu terus. Kupingku sudah sakit mendengar orang-orang menganggapmu sebagai kiai kafir Dahlan. Hatiku hancur,” ujar Nyai Noor dengan nada kemarahan yang terasa jelas di suaranya. “Coba lihat pakaianmu sekarang? Ya Allah! Sejak kapan Bapak pernah mengajarimu berpakaian seperti orang kafir, Dahlan!”
Aku terdiam mendengarkan kecaman Mbakyu. Walidah yang sudah tidak mampu menahan air mata akhirnya menangis tersedu-sedu dan bangkit dari tempat duduknya masuk ke dalam rumah.
“Coba lihat istrimu, Walidah,” seru Mbakyu. “Mungkin sebagai istri yang baik dia tidak pernah menggugat atau marah atas penampilanmu yang sekarang berubah ini Dahlan. Tapi, Mbak yakin Walidah juga tidak suka melihat penampilanmu seperti sekarang ini. Kamu juga harus eling bahwa Walidah adik Mas Noor ini,” Mbakyu menunjuk suaminya dengan tegas, “adalah anak Kiai Fadlil, Pakde kita yang juga dihormati masyarakat dan kaum ulama di seluruh Jogja dan Pulau Jawa ini. Apakah hal seperti ini tidak pernah kau pikirkan sebelum kau melakukan hal-hal yang aneh seperti ini Dahlan!”
Aku memilih diam karena Mbakyu sedang berada di puncak emosinya. Akan kurang baik jika aku menanggapi, apalagi bertentangan dengan apa yang diharapkannya. Mbakyu terlihat terengah-engah menahan gemuruh napasnya. Kiai Noor maju dari posisi duduknya, mencoba menenangkan suasana. “Dahlan, agama itu ageming ati, pakaian hati. Sikap dan tindakan kita adalah cerminan hati kita, menunjukkan apa yang sedang kita pikirkan. Orang-orang memandang kita dari sikap dan kelakuan kita Dahlan, dari akhlak kita, bukan hanya dari kata-kata yang keluar dari mulut kita,” ujar Mas Noor. “Apakah kau tidak terganggu dengan tuduhan kiai kafir yang makin sering terdengar itu?”
“Mas Noor,” akhirnya aku tak tahan juga untuk tidak menjawab. ” Masih banyak orang-orang Kauman yang jelas-jelas musyrik, mengkhianati agama dengan menambah-nambah ajaran yang tidak ada, sampai merobohkan langgarku yang merupakan tempat mengaji ilmu-ilmu Allah. Dibandingkan orang-orang itu, kenapa aku harus yang dituduh kafir?”
“Dahlan, aku merasa sejak kamu pulang dari Tanah Suci yang pertama kali, kamu lebih susah untuk memahami masyarakat Jawa sendiri, untuk memahami tradisi-tradisi yang mungkin saja berawal dari Wali Songo sendiri,” jawab Mas Noor. “Aku dengar kamu suka mengajarkan lagu Ilir-ilir dengan biola untuk anak-anak, betul?”
“Iya, Mas.”
“Kalau kamu bisa mengajarkan hal-hal berbau Barat itu kepada murid-muridmu, kenapa kamu tidak bisa memahami tradisi yang sudah berabad-abad dilakukan masyarakat ini?”
“Itu berbeda, Mas Noor. Aku mengajarkan agama lewat tembang itu supaya memudahkan anak-anak memahami inti agama. Tidak dilakukan pun tidak apa-apa. Sedangkan tradisi seperti padusan atau ziarah kubur yang aku kritik itu adalah karena sudah dianggap masyarakat harus dilakukan, sudah seperti wajib saja hukumnya.”
“Tapi, Dahlan,” Nyai Noor memotong pembicaraan kami. “Kudengar kau sekarang lebih sibuk menghadiri pertemuan perkumpulan dr. Wahidin itu ketimbang mengurus pengajian di langgarmu sendiri. Sore ini saja kamu baru pulang sekarang, dari mana kamu?”
“Dari mengajar di Kweekschool Jetis, Mbakyu.”
“Kweekschool tempat belajar anak-anak priyayi yang pakai bahasa Belanda itu?”
“Benar, Mbakyu.”
“Kenapa kamu lebih suka mengajar di Kweekschool dibandingkan di langgarmu sendiri? Apa karena bayarannya lebih besar di sana?”
“Astaghfirullah, Mbakyu. Insya Allah aku mengajar lillahi taala di mana saja. Pendapatan untuk hidup dan keluargaku Mbakyu tahu dari berdagang batik. Aku hanya melihat ada kesempatan untuk memperkenalkan Islam secara lebih benar kepada anak-anak, itu yang tak
pernah mendapatkan pengajaran Islam yang layak dari orangtua mereka.”
“Kamu menghabiskan waktu dan tenaga terlalu banyak untuk sesuatu yang akan sulit berubah Dahlan,” sambung Mas Noor. “Belum lagi di perkumpulan kejawen Budi Utomo itu, apa yang bisa kamu perbuat di kumpulan pelajar dan dokter muda yang lebih suka bicara bahasa Belanda dibanding bahasa Arab seperti itu?”
“Mungkin cara pendekatan dan pemikiran kita tentang dakwah itu berbeda Mas,” ujarku sambil tetap berusaha santun. “Tetapi Mas Noor juga harus berusaha menyadarkan warga, khususnya yang mengaji pada Mas Noor, untuk tidak mudah menyebut orang lain kafir karena itu tuduhan yang sangat berbahaya.”
Mas Noor terdiam, begitu juga Mbakyu. Siraj keluar dari dalam rumah dan memelukku.
AKU sedang berjalan bersama Sangidu di Kauman. Pembicaraan dengan Mas Noor dan Mbakyu masih menggayuti pikiranku sehingga aku sering tidak memperhatikan ucapan Sangidu. “Sedang banyak pikiran, ya, Mas?” tanya adik tiriku itu.
“Begitulah, Du. Apakah kamu menganggap kang-masmu ini kiai kafir juga?”
“Kalau sampai kiai kafir, sih, tidak, Kangmas,” jawab Sangidu ragu-ragu. “Tapi kadang-kadang aku bingung juga bagaimana memahami tindakan Mas Dahlan yang banyak tidak lazim untuk warga kita. Cuma biasanya kalau sudah sangat gelisah, aku akan berpikir bahwa Mas Dahlan pasti punya alasan untuk melakukan itu hanya aku saja yang belum punya cukup ilmu untuk bisa memahami tindakan, Mas,” katanya.
“Kamu baik sekali, Du,” kataku senang mendengar cara berpikirnya. “Memang begitulah selayaknya kita bertindak terhadap hal-hal yang belum kita pahami. Jangan mudah ikut-ikutan yang akan menyebabkan taklid, ketaatan yang membabi buta, tapi jangan mudah juga untuk langsung mengatakan tidak setuju terhadap sesuatu yang belum benar-benar kita ketahui dasarnya.”
“Iya, Mas,” kata Sangidu sambil mengangguk-anggukkan kepala. Beberapa langkah kemudian terdengar teriakan-teriakan mengejek dari sejumlah orang di belakang kami. “Lihat, itu kiai kafir! Kiai kafir! Kiai kafir!” ujar mereka sambil memukul rebana sehingga teriakan itu terdengar seperti sebuah tembang.
“Tak usah didengarkan, Mas, dan jangan lihat ke belakang,” sahut Sangidu sambil menoleh cepat ke belakang.
“Siapa mereka, Du?” tanyaku di tengah bunyi rebana dan teriakan “kiai kafir” yang makin kencang.
“Kelihatannya seperti murid-murid Kiai Muhsin,” jawab Sangidu datar. “Ayo, Mas, kita jalan cepat saja, biar langsung ketemu Sudja dan Fahrudin.”
Tapi rupanya kulihat di depan, Sudja dan Fahrudin sudah memperhatikan kejadian ini. Sudja yang lebih
lembut hatinya kulihat matanya mulai berlinang, sedangkan Fahrudin yang lebih keras terlihat seperti hendak membalas kelakuan murid-murid Mas Muhsin itu, namun ditahan oleh Sudja yang mengajaknya menepi. Dalam beberapa langkah kemudian, aku dan Sangidu bergabung dengan Sudja dan Fahrudin.
“Hisyam mana?” tanyaku kepada dua kakak beradik ini.
“Dari tadi belum kelihatan, Kiai,” jawab Sudja. “Belakangan ini Hisyam susah keluar rumah. Sering tidak diizinkan oleh ibunya.”
MALAM itu sepulang dari shalat Isya di Langgar Kidul, aku merasa sangat lelah ketika memasuki beranda rumah. Masih terbayang jelas di mataku sosok Mas Noor dan Mbakyu duduk di sana, mengecamku dengan nada marah. Suara para murid Mas Muhsin yang memanggilku dengan “kiai kafir” sambil memainkan rebana juga terdengar berulang-ulang seperti tak habis-habisnya. Dadaku terasa sesak, seperti tertimpa batuan dari Gunung Merapi. Berat sekali. Aku sampai harus mengeluarkan segenap tenaga untuk bisa mendapatkan udara segaryang terasa malas masuk ke dalam paru-paruku. Akibatnya pandangan mataku juga agak berkunang-kunang. Aku melihat benda-benda dalam bayang-bayang. Aku duduk sebentar di beranda untuk menghirup napas segar, dan melihat ke arah langit yang sedang cerah. Kerlip bintang di kejauhan sedikit mengurangi kesedihanku sekarang: beginikah rasanya tidak dipercayai oleh warga dan umat sendiri? Apakah perasaan ini yang juga dirasakan para nabi dengan umat masing-masing dulu? Tapi jangan-jangan, penderitaanku sekarang belum ada seujung kuku dari penderitaan para Rasul Allah, yang berarti aku saja yang terlalu melebih-lebihkan perasaan ini. Aku saja yang terlalu mudah gundah, gampang terganggu konsentrasiku dalam mengejar tujuanku untuk membuat umat yang lebih kuat.
Aku resapi embusan angin malam selama beberapa saat sambil memejamkan mata dan membayangkan bagaimana sulitnya perjuangan Wali Songo dulu dalam memperkenalkan Islam kepada masyarakat yang sama sekali belum mengerti apa itu tauhid, apa itu iman, dan apa itu takwa. Kilasan-kilasan kitab yang pernah kubaca sejak kecil menjelma seperti peristiwa-peristiwa nyata di kepalaku.
“Mas, tidak masuk?” Suara Walidah yang lembut membuyarkan lamunanku. “Nanti masuk angin terlalu lama di luar.”
“Baik, Bu,” jawabku sambil bangkit dan masuk ke dalam rumah. Walidah mencium tanganku. “Anak-anak mana?” tanyaku.
“Tadi sesudah mengaji semua pada tidur,” jawab istriku sambil menutup pintu. Aku berjalan ke meja makan, dan melihat ketela dan lemper terhidang. Aku duduk dan mengambil sebuah lemper, mengunyahnya pelan-pelan. Walidah kembali dengan teh panas yang aromanya tercium wangi dan mengurangi sedikit sakit kepalaku. Walidah duduk di depanku tanpa berkata apa-apa selain memperhatikanku mengunyah lemper. Kami tenggelam dalam kebisuan masing-masing.
“Apa yang sedang Mas Dahlan pikirkan?” ujar istriku sambil mendekatkan posisi duduknya denganku. Tangannya lalu menggenggam tanganku, seolah ingin memberikan dorongan semangat. Aku ambil gelas teh dan meminumnya untuk mendorong potongan lemper terakhir yang masih ada di dalam mulutku.
“Mungkin aku terlalu sederhana dalam memandang hidup ini,” jawabku setelah potongan lemper dengan sempurna melewati kerongkonganku, “sehingga orang-orang tidak bisa menerima apa-apa yang aku lakukan atau usulkan.”
“Mengapa Mas Dahlan berpikir begitu?” tanya Walidah sambil mengelus tanganku.
“Karena itulah yang terjadi akhir-akhir ini terhadapku,” jawabku. “Saat ini rasanya seluruh Kauman sudah bersatu untuk memanggilku sebagai kiai kafir.”
“Hidup berjalan menurut apa yang kita pikirkan, Kangmas, bukan sebaliknya,” jawab Walidah sambil mengangkat tanganku dan menyentuhkan ke pipinya yang mencoba tersenyum untuk mengurangi beban pikiranku. Aku mengelus pipi Walidah perlahan, dan mendapatkan sedikit ketenangan dari sana.
“Apakah seharusnya aku berlaku sebaliknya dari yang aku lakukan sekarang ini supaya mereka senang?” tanyaku, menatap tajam mata Walidah.
“Kalau itu yang menjadi pilihan Mas Dahlan, mungkin aku tidak akan pernah mengenal suamiku seperti selama ini,” ujar Walidah dengan mata sembap menahan air mata yang mulai menggenang di pojok matanya.
Aku usap tangan Walidah dengan lembut, dan menggenggamnya dengan hati-hati agar perasaannya tidak terlalu sedih. “Ada banyak pemuda di Kauman ini yang putra kiai, Mas Dahlan. Banyak dari mereka juga berasal dari keluarga berada dan terhormat seperti orangtua kita dulu. Terpandang sebagai keluarga Islam yang taat,” Walidah makin mendekatkan wajahnya ke depan wajahku, sampai air matanya tak bisa lagi ditahan. “Tapi, Muhammad Darwis yang aku kenal dulu adalah seorang yang berbeda dengan pemuda Kauman kebanyakan. Darwis adalah laki-laki yang bisa melihat dan merasakan hal-hal yang tidak bisa dilihat dan dirasakan kebanyakan pemuda Kauman,” katanya sambil menjatuhkan kepalanya di dadaku.
Aku usap-usap kepala Walidah yang kini mendadak mendongak menatapku. “Karena itu, aku merasa tidak perlu menjalankan shalat istikharah seperti yang Bapak perintahkan sebelum memutuskan calon suami, karena tidak ada sedikit pun kebimbangan dalam hatiku dulu dan sekarang tentang Mas. Tapi aku tetap berhajat dan bermunajat kepada Allah agar Darwis calon suamiku dulu itu diridhai Allah agar menjadi pemimpin umat Islam yang akan membawa kemaslahatan pada umat, dicintai umat, dan memperbaiki hal-hal yang salah yang dilakukan umat selama ini. Aku merasa Allah selalu menjawab doa-doaku, Mas.”
Aku tergetar mendengar penuturan Walidah yang baru pertama kalinya dia ucapkan ini. Aku tahu sejak awal bisa merasakan cinta, bahwa Walidah memang benar-benar sangat mencintaiku. Namun saat itu deraan demi deraan yang aku alami di Kauman dan sekitarnya, membuat rasa percaya diriku agak sedikit goyah.
“Aku sendiri tidak tahu apakah yang aku lakukan ini benar atau salah, Bu,” jawabku mulai tergugu karena beban perasaan ini terasa semakin berat menekanku. Mataku mulai terasa buram karena ada butiran air yang jatuh dari sana.
“Kalau semua hal kita ketahui dengan pasti kondisinya, kita tidak akan pernah belajar, Mas,” katanya sambil menyeka genangan air di sudut mataku. “Dan Yang Mahatahu itu hanya Allah semata, bukan kita sebagai makhluk yang dhaif, Mas.”
“Astaghfirullahal ‘adzim,” ucapku meminta ampun kepada Allah. “Kamu benar sekali, Bu. Mengapa aku harus menyangka diriku yang paling benar? Astaghfirullahal ‘adzim.”
Walidah memelukku dengan erat. “Jangan sedih, Kangmas. Bukankah Allah sudah berfirman bahwa siapa yang menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolong dan meneguhkan kedudukan kita? YS nyyithalladzina dmanu, ih tansurullaha yansurkum, wayusabbit aqdamakum.”
Walidah menciumi pipiku yang sudah basah dengan air mata, dan kini bercampur dengan air matanya. Aku balik mendekap Walidah dengan erat, dan bersyukur Allah mengirimkan untukku seorang istri yang sangat salihah seperti Walidah, tumpuan hati dan batinku yang luar biasa saat aku didera kelelahan pikiran yang berat seperti ini.
MATAHARI pagi masih belum beranjak jauh di atas langit Kauman ketika aku mengetuk pintu rumah orangtua Sudja dan Fahrudin. Rumah mereka tergolongbesar untuk ukuran rata-rata rumah di Kauman. Setelah beberapa kali mengetuk dan mengucapkan salam, akhirnya pintu rumah terbuka. Ayah Sudja dan Fahrudin, Haji Hasyim Ismail, yang merupakan salah seorang lurah keraton, membukakan pintu.
“Assalamu ‘alaikum Haji Ismail, apakah Sudja ada?”
Haji Ismail terdengar tak bersemangat menjawab salamku sebelum berujar. “Kalau Kiai Dahlan ingin bertemu anak-anak saya, mereka tidak ada di rumah,” katanya dengan sikap tubuh yang menjaga jarak dan kurang bersahabat. “Saya tidak tahu mereka sedang ada di mana,” katanya.
“Baiklah, Haji Ismail,” jawabku. “Titip pesan saja kalau Sudja dan Fahrudin pulang, bahwa saya ingin segera bertemu.”
Haji Ismail hanya mengangguk, dan langsung menutup pintu tanpa berkata apa-apa lagi. Aku termangu di depan pintu sejenak, sebelum membalikkan badan dan menjauhi rumah besar itu sambil berpikir pernahkah seseorang sebelumnya menutup pintu rumah ketika aku masih berada di depan pintu itu? Rasanya tidak pernah.
Aku sedang berada di salah satu jalan kampung Kauman, ketika terdengar suara Sudja memanggilku dari kejauhan. “Kiai Dahlan! Kiai Dahlan, tunggu sebentar!”
Aku menghentikan langkah dan menoleh ke arah datangnya suara. Memang Sudja yang memanggil dan saat ini dia sedang berlari mendekatiku. “Tadi Kiai Dahlan ke rumah saya?”
“Iya.”
“Maafkan sikap romo saya, Kiai.”
“Tidak apa-apa, Dja. Mana adikmu?”
“Fahrudin sedang ke Kota Gedhe. Ada perlu apa, Kiai?”
“Bisa kau panggilkan Fahrudin dan yang lain-lain secepatnya, Dja?”
“Bisa, Kiai. Nanti kita bertemu di Langgar Kidul?”
“Tidak, langsung ke rumah saya saja.”
“Baik, Kiai. Kalau begitu saya beri tahu Hisyam dulu, supaya dia langsung ke rumah Kiai Dahlan, sementara saya menjemput Fahrudin.”
“Terima kasih, Haji Sudja,” kataku sambil melangkah menuju rumah, berbeda arah dengan langkah Sudja yang menuju rumah Hisyam.
Ternyata usaha Sudja untuk menjemput Hisyam tidak semudah yang dibayangkan. Hisyam memang ada di rumah, namun tak diizinkan ibunya yang sangat cerewet meski sudah tua sekali.
“Mau kamu ajak Hisyam ke mana Sudja?” tanya ibu Hisyam dengan pandangan menyelidik.
“Ke Langgar Kidul Kiai Dahlan, Bu,” jawab Sudja sambil melirik ke arah Hisyam yang hanya menunduk.
“Tidak boleh!” katanya tegas. “Dulu kamu ajak-ajak Hisyam ngaji di sana, ternyata kata orang-orang Kiai Dahlan itu berpakaian seperti orang kafir dan bermain musik seperti orang kafir.”
“Maaf, Bu. Kiai Dahlan memang suka pakai jas dan bermain biola, tapi beliau bukan kiai kafir.”
“Nak Sudja, ndak perlu pinter-pinter amat ngaji buat tahu bahwa kalau ada orang yang sehari-harinya menyerupai orang kafir, berpakaian seperti orang kafir, dan hidup dengan cara orang kafir, maka orang itu adalah bagian dari orang-orang kafir.”
“Jadi bagaimana ini, Bu?” Hisyam angkat bicara. “Kalau Kiai Dahlan sudah memanggil secara langsung begini pasti ada hal penting yang harus dilakukan.”
“Tidak Hisyam! Kamu tidak boleh ke Langgar Kidul itu lagi, apa mau jadi kafir kamu!” bentak ibunya membuat Hisyam kembali menundukkan wajah. “Dan kamu Sudja, kalau kamu masih mau ngaji di Langgar Kidul itu ke sana sendiri, jangan ajak-ajak Hisyam lagi!” katanya dengan
jerit kemarahan seperti seekor kucing betina yang marah jika anaknya disentuh.
“Baik, Bu. Saya pamit dulu,” jawab Sudja. “Pamit, ya, Syam.”
Hisyam mencuri pandang ke arah Sudja dengan wajah pucat dan terlihat bingung. “Iya, Dja. Sampaikan salam buat Kiai Dahlan.”
“Apa itu salam-salam!” bentak ibunya kepada Hisyam, sementara Sudja belum beranjak jauh. “Ndak ada lagi salam-salam buat kiai nyeleneh seperti Kiai Dahlan itu. Kalau bapaknya Kiai Abu Bakar masih hidup, bisa mati berdiri itu Kiai Abu Bakar lihat kelakuan anaknya sekarang!”
Hatiku terasa sedikit perih ketika Sudja menceritakan kembali pengalamannya di rumah Hisyam itu. Memang akhirnya Hisyam tak datang, hanya Sudja, Fahrudin dan Sangidu yang membantuku bekerja membongkar perabot ruang tamu bersama Walidah, Johanah, dan Siraj. “Ya sudahlah, mungkin ibunya Hisyam sedang banyak pikiran ketika kamu datang Dja,” ujarku mencoba menurunkan kegalauan hati Sudja yang sebetulnya juga merupakan kegalauan hatiku sendiri. Sudah begitu buruknyakah pemahaman orang terhadap diriku, bahkan juga para orangtua dari muridku sendiri?
Para murid dan anak-anakku membantu tanpa banyak bertanya saat membongkar perabotan. Sempat kudengar Fahrudin bertanya dengan berbisik kepada Sudja. “Mas, semua ini buat apa?” tanyanya disambut gelengan kepala
Sudja. Aku pura-pura tak memperhatikan pertanyaan itu dan terus bekerja sampai kurasakan sudah cukup dan selesai.
Tiba-tiba Hisyam datang dengan napas terengah-engah diikuti Dirjo di belakangnya. “Maaf, Kiai Dahlan. Saya terlambat datang. Tadi saya ndak dikasih izin Ibu waktu Sudja datang,” katanya sambil menyeka keringat yang membasahi wajahnya. “Untung ada Diijo. Dia yang membuat saya bisa keluar. Apa yang bisa saya bantu?”
Aku tersenyum. “Ayo ikut aku ke Pasar Beringharjo, kita beli sesuatu.”
Murid-muridku saling berpandangan. “Siraj ikut, ya, Pak?” ujar anakku penuh harap.
“0 … boleh saja,” kataku. “Ibu dan Johanah tunggu saja di sini.”
Aku berjalan bersama Siraj diikuti Hisyam yang bertanya kepada Sudja. “Ada apa, sih, Dja?” Kudengar jawaban pendek Sudja. “Mbuh, ndak ngerti aku.”
Sesampainya di Pasar Beringharjo aku ajak murid-muridku dan Siraj untuk mendatangi kios yang menjual kotak kayu bekas peti kemas. Aku membeli beberapakotak kayu bekas yang masih ada cap minuman beralkohol di kotak itu. Sebetulnya aku ingin mencari kotak yang lain, tapi adanya hanya kotak-kotak bercap itu. Hisyam melirik ke arah kotak-kotak itu dengan pandangan tidak percaya. “Itu, kan, kotak minuman haram orang-orang Belanda?” katanya berbisik kepada Sudja. “Apa Kiai mau buka toko minuman juga?”
“Sudahlah ndak usah cerewet,” jawab Sudja. “Nurut saja apa yang dilakukan Kiai Dahlan.”
Aku memilih beberapa kotak yang masih bagus, dan membayarnya. Sang penjual kios juga terlihat heran menyaksikan seorang kiai membeli bekas kotak minuman keras. Tapi dia tidak bertanya lebih jauh setelah mengembalikan uang kembalianku.
Ketika kotak-kotak kayu itu diangkat ke gerobak untuk dibawa pulang, ternyata jumlahnya lumayan juga sampai perlu tiga gerobak. “Coba diatur yang rapi Du supaya di jalan tidak jatuh nanti,” ujarku disambut anggukan kepala Sangidu yang langsung merapikan susunan kotak itu bersama Sudja dan Dirjo, sehingga terlihat lebih rapi. Fahrudin, Sangidu, dan Dirjo kemudian mendorong satu gerobak keluar dari Pasar Beringharjo.
Ketika rombongan kami melintas di depan Masjid Gedhe Kauman, hampir semua marbut berebut keluar dan memperhatikan kami dengan pandangan mata aneh. Hisyam mencoba menyembunyikan tubuhnya di belakang tumpukan kotak sembari terus berjalan, sehingga gayanya terlihat aneh. “Wah, kalau sampai emakku tahu aku bantu Kiai Dahlan lagi, bisa-bisa aku ndak dikasih makan tiga hari, nih!” bisiknya kepada Dirjo, yang diulangi keponakan Kiai Penghulu Kamaludiningrat itu dengan keras sehingga membuat kami tertawa kecil
“Paklik Hisyam kenapa jalannya begitu, Pak?” tanya Siraj yang juga rupanya memperhatikan.
“Ya, itu tadi, dia ndak mau ketahuan emaknya sehingga jalannya harus ngumpet-ngumpet,” jawabku.
Kulihat para marbut masih saling kasak-kusuk dengan menunjuk ke arah gerobak yang berbeda-beda. Wajah Hisyam terlihat pucat dan paling tegang. “Sudah Syam, tidak apa-apa, sebentar lagi kita sampai Langgar Kidul,” ujarku menenangkan Hisyam.
Sesampainya di Langgar Kidul, kotak-kotak kayu diturunkan dengan rapi oleh Sudja. “Kita apakan ini, Mas?” tanya Sangidu.
“Lepaskan kayu-kayunya semua sehingga tidak berbentuk kotak lagi,” ujarku.
“Seperti ini, Kiai?” tanya Fachrudin yang cepat bekerja mempreteli kotak pertama. “Betul,” jawabku. “Buat yang lain, coba usahakan agar papannya jangan ada yang sompal apalagi pecah.”
Mereka bekerja dengan cepat sehingga dalam waktu tak terlalu lama seluruh kotak sudah berubah menjadi lembaran papan yang ditumpuk cukup tinggi. “Sekarang apa lagi, Kiai?” tanya Dirjo bersemangat.
“Sekarang kita buat papan-papan ini menjadi meja dan kursi seperti ini,” kataku sambil mulai mencontohkan besar meja dan kursi yang kuinginkan. “Coba buat besarnya seperti ini, jangan kebesaran jangan juga kekecilan,” kataku. Mereka kembali bekerja dengan cekatan. Siraj membantu dengan mengambilkan lembaran-lembaran papan yang dibutuhkan dan menyerahkan kepada mereka yang meminta. Walidah
dibantu Johanah datang membawakan makanan dan minuman kecil. Tapi rupanya meski sudah cukup lama bekerja, Hisyam masih belum cukup mengerti tentang apa yang sedang kami buat. “Dja, ini meja buat apa?” tanya Hisyam bingung. “Kalau buat meja warung, kok, kayaknya kekecilan,” katanya sambil garuk-garuk kepala.
Sudja yang sedang sibuk bekerja terlihat kesal pada pertanyaan Hisyam. “Sekali lagi masih tanya-tanya juga, tak sumpel mulutmu pakai gombal ini,” kata Sudja sambil mengangkat kain lap yang dipegangnya tinggi-tinggi.
Hisyam misuh-misuh. “Orang nanya baik-baik, kok, mau disumpel gombal, Kiai?”
Aku tersenyum melihat cara bercanda mereka. “Sudja itu, kan, hanya meledek kamu Syam. Mungkin dia pikir kamu sudah tahu setelah melihat kursi dan meja yang saya contohkan tadi.”
Tanpa terasa tiga pasang meja dan kursi kini sudah jadi dan siap digunakan. “Coba Siraj kamu duduk dulu di atas kursi ini,” kataku disambut seringai Siraj yang kegirangan mencoba duduk di atas kursi itu.
“Bagaimana, Siraj? Enak ndak bangkunya?” tanya Sangidu.
“Enak, Paklik,” katanya. “Ini buat aku, ya, Pak?” katanya berharap.
“Jangan dulu.”
“Lho, kok, ndak boleh, Pak,” cecar Siraj.
“Ini nanti mau kita bawa lagi ke depan rumah.”
“Horeee … buat Siraj dan adik-adik main/’ katanya sambil bersorak-sorai gembira. Para muridku ikut tertawa melihat kegembiraan Siraj. “Ayo, kita pindahkan dan atur dulu ke depan rumah,” ujarku sambil membawa satu buah kursi kecil. Siraj juga mengangkat satu kursi, sedangkan sisanya dibawa oleh muridku yang lain.
Sampai di beranda rumah, tiga pasang meja dan kursi itu aku tempatkan dengan rapi. Lalu aku pasang papan tulis dari kayu suren yang sudah aku siapkan di depan meja-meja itu. Fahrudin menunjukkan rona wajah mengerti apa yang sedang aku lakukan. “Mau bikin sekolah, ya, Kiai?” katanya.
“Ya, Madrasah Ibtidaiyah Diniyah.”
“Kok, pakai meja kursi, Kiai Dahlan?” tanya Hisyam sambil mendudukkan Siraj pada salah satu kursi.
“Ini madrasah Syam,” jawabku sambil merapikan posisi papan tulis yang agak miring, “bukan langgar.”
“Tapi Kiai, setahu saya madrasah itu sekolah Islam seperti pesantren,” sahut Sudja “Tidak pakai meja kursi seperti sekolah orang-orang Belanda.”
“Iya, Kiai. Nanti dianggap orang sekolah kafir,” protes Hisyam. Siraj menggoyang-goyangkan kursinya agak kencang. “Siraj, hati-hati nanti patah. Itu bukan mainan,” ujarku agak keras membuat Siraj langsung berhenti dan duduk dengan tertib.
Aku menatap para murid. “Mumpung belum sore, Sangidu dan Hisyam, kalian coba cari anak-anak yang
belum sekolah di Kauman. Sudja dan Dirjo temani aku mencari murid di Alun-Alun.”
“Mencari murid?” tanya Hisyam melongo.
“Iya, murid, anak kecil. Jangan yang segede kamu. Nanti kursinya patah,” sambar Sudja kesal. “Kok, hari ini kamu susah sekali ngertinya Syam.”
“Saya kerja apa, Kiai?” tanya Fahrudin.
“Kamu beli kapur tulis di Pasar Ngasem, Din. Siraj bisa kamu ajak kalau dia mau.”
“Aku mau, Pak. Boleh, ya, Paklik Udin?” katanya. Fahrudin mengangguk. Aku memberikan uang kepada Fahrudin untuk membeli kapur tulis.
Di Alun-alun Selatan, aku menghampiri seorang anak gelandangan berumur sekitar 6-7 tahun. “Namamu siapa dik?” tanyaku.
“Kardi, Kiai,” jawabnya takut-takut.
“Kamu mau ikut sekolah? Belajar ngaji?”
Kardi menggeleng. Di bagian lain dari Alun-alun Selatan aku lihat Sudja dan Dirjo sedang sibuk mencari anak-anak gelandangan lainnya dan berbicara dengan mereka. Kardi memutuskan tidak mau ikut belajar sehingga aku harus mencari anak lain. Untunglah pencarian sore ini berhasil mendapatkan empat orang anak gelandangan yangbersedia menjadi murid Madrasah Ibtidaiyah yang baru aku dirikan. Keempatnya lalu kami mandikan di kali kecil depan Masjid Gedhe Kauman. Ketika aku, Sudja, dan Dirjo sedang memandikan anak-anak itu, sempat kulihat kepala Mas Muhsin melongok dari dalam masjid dan menggeleng-gelengkan kepala, sebelum kembali menghilang mengerjakan entah apa yang dia lakukan sebelumnya.
Ketika empat anak gelandangan itu sudah hampir bersih, datang Hisyam dan Sangidu bersama dua orang anak Kauman yang cukup bersih. Mereka menunggu keempat anak gelandangan itu mengeringkan badan, sebelum akhirnya kami bersama menuju rumahku. Enam orang anak ini cukup untuk mengisi 3 pasang meja dan kursi panjang kecil yang baru dibuat. Mereka duduk dengan rapi.
“Sebelum mulai belajar, supaya kalian tidak lapar kita makan dulu, ya?” kataku kepada mereka. Mereka mengangguk tanpa berkata-kata selain terus memandangiku. Walidah keluar membawakan makanan kecil dibantu Johanah. Murid-muridku yang lain membantu melayani anak-anak yang makan dengan bersemangat itu.
Setelah mereka selesai makan, aku ambil biola dan kupanggil Siraj ke depan untuk membantu. “Coba Siraj kita ambil suara Doooo….”
“Dooo…” Siraj mengikutiku.
“Reeee…” ujarku.
“Reeee…” Siraj melanjutkan.
“mm…”
“Miiiii…”
“Faaa…”
“Faaa…”
“Sooolll…”
“Sooolll…”
“Ayo, semua ikuti Kiai dan Siraj… Doo … ree … mii … faa … sooolll…” kataku sambil menggesek biola sesuai nada. Hisyam melirik Sudja dan berbisik kepada kawannya itu. “Lama-lama, kok, kepalaku pusing, ya, Dja?”
“Sudah dengerin aja. Pasti ada maksudnya Kiai Dahlan begini,” jawab Sudja kepada temannya. Orang-orang Kauman yang lewat depan rumahku umumnya berhenti sesaat melihat kegiatan ini, sebelum melanjutkan jalan mereka.
Malamnya aku dengar dari Sangidu sudah beredar kabar baru di Kauman: Kiai Dahlan sudah gila!
LAIN tanggapan di masyarakat Kauman, lain pula tanggapan para Dewan Pengajar di Kweekschool Jetis. Berkat laporan dari R. Budiharjo yang disetujui oleh kepala sekolah Belanda pada saat aku mengajar pertama kali di sini, kini aku diberikan kesempatan lagi untuk mengajarkan anak-anak priyayi itu.
“Baiklah, anak-anak. Kali ini Kiai Dahlan akan mengajari kalian shalat,” kataku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Siapa di antara kalian yang sudah bisa shalat, silakan maju untuk memberikan contoh kepada kawan-kawan yang lain,” kataku. Tidak ada seorang pun yang berani maju. Akhirnya aku memanggil salah seorang anak sebagai contoh peraga bagi yang lain.
“Ini namanya takbir,” kataku sambil mengangkat tangan kedua anak itu sejajar telinga. “Atau lengkapnya takbiratul ihram, takbir yang mengharamkan.”
“Mengharamkan apa, Kiai?” tanya seorang murid.
“Makan tadinya halal atau haram?” tanyaku disambut jawaban serempak mereka. “Halaaaaal…”
“Kalau bicara itu halal atau haram?” tanyaku lagi yang juga disambut jawaban bersemangat mereka. “Halaaaaalll…”
“Nah, itu dua contoh kecil saja tentang apa yang tadinya halal, tapi begitu kalian sudah memulai shalat dengan melakukan takbiratul ihram, maka kalian tak bisa lagi makan dan bicara selama shalat. Makan dan bicara menjadi haram selama kita shalat,” ujarku.
“Minum boleh ndak, Pak Kiai?” tanya seorang murid yang lain.
“Setelah takbir, tidak boleh.”
“Kalau belajar?”
“Sama saja, sesudah takbir tidak boleh,” jawabku. “Ayo coba sekarang kita lakukan beramai-ramai gerakan ini. Semua berdiri.” Anak-anak itu berdiri bersemangat.
“Nah, pada saat tangan diangkat sejajar telinga, kita harus mengucapkan Allahu Akbar,” kataku sambil mencontohkan gerakan itu. “Ayo, kita lakukan bersama-sama, pelan-pelan saja jangan terlalu cepat. Satu … dua… tiga…”
“Allahu Akbar,” seru anak-anak itu serempak sambil mengangkat kedua tangan masing-masing sejajar dengan telinga, dan mengikuti meletakkan kedua tangan sedikit di atas perut dengan posisi tangan kanan berada di atas tangan kiri dan memegang pergelangan tangan kiri. “Coba perhatikan posisi tangan ini, ya, anak-anak,” kataku. Dengan riuh mereka mencoba meletakkan posisi tangan yang benar. Tapi banyak juga yang salah, sehingga di antara mereka saling menyalahkan. Tapi akhirnya seluruh anak bisa juga melakukan gerakan takbir dengan sempurna.
“Sekarang, mengapa kita harus mengucapkan Allahu Akbar saat memulai shalat?”
“Allah Mahabesar,” teriak anak pangeran yang kentut pada pertemuan pertama kami.
“Betul sekali. Allahu Akbar artinya adalah Allah Mahabesar. Karena itu, begitu kita melakukan takbir, yang kita ingat hanya Allah, tidak boleh mengingat yang lain. Mengerti?”
“Mengerti, Kiai,” sahut mereka serempak.
“Coba kamu,” kataku menunjuk seorang anak yang duduk agak di pojok belakang sebelah kanan. “Apa yang sudah kamu mengerti?”
“Kalau sudah shalat, pekerjaan yang tadinya diperbolehkan sebelum shalat menjadi tidak diperbolehkan karena kita hanya diperbolehkan untuk mengingat Allah saja. Allah Yang Mahabesar.”
“Betul sekali, mari kita tepuk tangan untuk teman kalian yang hebat ini. Siapa namamu, Nak?”
“Raden Sucipto, Kiai.”
“Baik, ayo teman-teman, kita kasih tepuk tangan meriah buat Raden Sucipto yang sudah mengerti maksud takbir dengan baik.”
Anak-anak itu bertepuk tangan dengan semangat, membuat hidung Sucipto seperti mengembang karena bangga. Tiba-tiba seorang murid lain mengacungkan tangan. “Meneer Kiai boleh saya tanya?”
Satu kelas mendadak tertawa mendengar panggilan unik itu. “Kalau panggil kiai ya kiai saja, bukan meneer kiai,” ujar temannya yang lain, yang kembali mengundang gelak tawa murid.
“Ya, sudah tidak apa-apa,” jawabku sambil mengangkat tangan mengisyaratkan agar mereka meredakan tawa. “Apa yang mau kamu tanyakan?”
“Mengapa shalat harus pakai bahasa Arab Meneer Kiai? Kita, kan, orang Jawa? Apa bisa kita shalat pakai bahasa Jawa saja?”
“Kalau masih belajar seperti sekarang, tentu boleh pakai bahasa Jawa. Tapi pelan-pelan, kamu harus kuasai bacaan-bacaan dalam bahasa Arab, agar lebih mengerti sumber dan maksud sebenarnya dari setiap bacaan itu,” kataku.
“Terima kasih, Meneer Kiai.”
“Bagaimana perkembangan di Kweekschool, Mas,” tanya Walidah pada malam harinya. “Alhamdulillah, Bu. Mereka sudah mulai kuajari shalat. Dan ternyata tidak sesulit yang kubayangkan sebelumnya.”
“Anak-anak itu, kan, jiwanya memang masih suci,” jawab Walidah. “Meski mereka tidak diajari di rumah, fitrah mereka pada Islam itu masih tinggi sehingga cepat menyerap apa yang Bapak ajarkan.”
“Insya Allah, insya Allah,” jawabku sambil menghirup teh yang sudah disediakan Walidah. Istriku masuk ke dalam kamar dan keluar dengan membuka peti kecil tempat menyimpan uang hasil dagang batik. Dia keluarkan seluruh uang dan diserahkannya kepadaku. “Ini semua buat madrasah Mas Dahlan yang baru,” katanya. “Semoga barokah.”
“Amin,” ucapku sambil mencium Walidah. “Ikhlas, ya, Bu. Ini semua buat pendidikan. Buat pengembangan dakwah.”
Walidah mengangguk dan tersenyum lebar. “Ikhlas lillahi taala, Mas.”
Berkat dukungan dana dari Walidah dan bantuan tenaga pengajar dari murid-muridku yang kini kuper-bantukan sebagai guru, maka murid-murid Madrasah Ibtidaiyahku kini sudah menjadi 20 orang. Memasuki bulan ketujuh, Budi Utomo ikut membantu dengan mengirimkan guru-guru pendidikan umum. Biasanya mereka adalah lulusan Kweekschool namun belum menerima penetapan dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Biasanya guru-guru kiriman Budi Utomo mengajar antara setengah bulan sampai paling lama dua bulan di Madrasah Ibtidaiyahku.
Sekarang setiap hari Minggu, kesibukanku juga bertambah karena bukan lagi aku yang datang ke Kweekschool buat mengajarkan agama Islam, melainkan para murid itu yang dikirim ke rumahku. Tak semua murid itu beragama Islam, ada juga yang beragama Kristen atau Katolik, sehingga pelajaran agama Islam selalu menjadi ajang diskusi yang menyenangkan.
Tetapi, karena makin seringnya anak-anak non-Muslim itu datang ke rumahku, serta caraku mengajar yang kadang-kadang menggunakan musik sebagai bagian dari cara belajar, telah membuat sebagian masyarakat dan para kiai melontarkan tuduhan yang semakin sadis kepadaku sebagai antek Kristen, dan bahkan … sudah murtad dari agama Islam!
Na’udzubillahi min dzalik
SINAR hangat matahari pagi menemani seorang ibu yang datang bersama suaminya ke rumahku. Johanah ikut menemaniku berbincang dengan mereka karena Walidah sibuk mengurusi anak-anak kami yang masih kecil.
“Begini, Kiai Dahlan. Saya mau menikahkan anak saya, tetapi tidak punya uang buat bikin slametan. Bagaimana ini, Kiai?” kata sang suami dengan nada minder.
“Menikah itu tidak perlu slametan, Pak,” jawabku. “Cukup ada wali, saksi, dan mahar. Setelah itu kabarkan ke tetangga agar mereka tahu siapa yang menikah dengan siapa supaya tidak menimbulkan fitnah.
“Oh, itu sudah sah, ya, Pak Kiai?”
“Insya Allah sudah sah. Asal anak Bapak yang akan menikah juga tidak merasa terpaksa/’ kataku.
“Tidak, Kiai, tidak ada paksaan sama sekali,” jawab sang Bapak. “Cuma saya masih bingung karena belum ada saksi yang menurut saya cocok buat anak saya.”
“Kalau Bapak dan Ibu ndak keberatan, saya bersedia menjadi saksi,” kataku.
“Benar, Pak Kiai?” tanya si ibu dengan nada tak percaya. Aku mengangguk pasti. “Aduh kami senang sekali, tapi kami juga tak punya uang buat bayar Pak Kiai sebagai saksi.”
“Tidak perlu, Bu. Menikah itu adalah sunnah Rasul, jadi membantu proses pernikahan seorang Muslim adalah juga membantu proses terjadinya sebuah kebaikan, bernilai ibadah. Itu saja sudah cukup untuk saya.”
“Terima kasih, Pak Kiai,” ujar bapak itu sambil memelukku.
“Sama-sama, Pak. Nanti Bapak kasih tahu saja kapan rencana akadnya.”
“Baik, Pak Kiai. Kalau begitu kami pamit dulu,” katanya sambil mengucapkan salam.
PADA satu kesempatan lain saat aku selesai shalat magrib di Masjid Gedhe Kauman bersama Siraj, seorang lelaki muda menghampiriku. “Maaf saya mengganggu zikir Kiai Dahlan, ada yang mau saya tanyakan, boleh?” katanya dengan sopan.
“Oh, boleh saja,” jawabku sambil menghentikan zikir.
“Begini, Kiai. Ibu saya memaksa saya mengadakan yasinan 40 harian Bapak saya. Padahal kita tidak punya uang buat bikin apem, nasi kuning, dan segala keperluan yasinan itu. Bagaimana caranya menjelaskan ke Ibu saya, ya, Kiai?” tanya pemuda itu.
“Agama Islam itu sebenarnya sangat memudahkan bagi umatnya. Dalam Islam, untuk mendoakan almarhum Bapak atau orangtua kita justru sebenarnya tidak perlu ramai-ramai baca Yasin dan membuat tahlilan. Apalagi repot-repot membuat apem dan nasi kuning. Kenapa? Karena doa seorang anak yang saleh itu sudah cukup bagi kedua orangtuanya, dan akan diterima Allah Swt. Kanjeng Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda bahwa amal baik seseorang itu terputus saat dia meninggal dunia, kecuali tiga hal, di mana salah satunya adalah doa anak yang saleh seperti sampeyan.”
“Jadi, saya bisa mendoakan sendiri almarhum bapak saya pada 40 hari kematiannya nanti, Kiai?” tanya pemuda itu penasaran.
“Bukan hanya saat 40 hari, bahkan bisa setiap saat. Mau pagi, siang, malam, tak ada masalah untuk mendoakan Almarhum,” kataku. “Terima kasih, Kiai. Nanti saya sampaikan jawaban Kiai Dahlan ini kepada Ibu di rumah.”
Cuplikan-cuplikan kecil peristiwa seperti itu selalu membuatku terharu karena di tengah-tengah makin banyaknya sebutan-sebutan terhadap diriku yang membuat bergidik, kepercayaan rakyat yang masih terus berdatangan bertanya ini-itu kepadaku membuat kehadiranku terasa masih cukup dibutuhkan di Kauman ini.
Namun entah mengapa, kendati sudah bertahun-tahun berlalu, dan aku pun sudah mengundurkan diri sebagai khatib amin Masjid Gedhe, aku merasakan Kiai Penghulu Kamaludiningrat masih terus memperhatikan gerak-gerikku dari jauh, lewat satu dan lain cara yang susah kubuktikan langsung. Hanya intuisiku yang menyatakan itu. Dan selama ini jika aku menceritakan hal itu kepada Walidah, biasanya istriku tak mengiyakan atau membantah perasaanku itu. Walidah biasanya hanya menyarankan agar aku berhati-hati dalam setiap kesempatan.
Kekhawatiranku itu terbukti juga pada satu sore setelah aku memberikan pengajian di Langgar Kidul. Seorang marbut Masjid Gedhe Kauman datang dan menyampaikan sebuah surat dari Kiai Penghulu Kamaludiningrat untukku. Seluruh mata muridku memandang curiga pada marbut yang mengantarkan surat itu. Apalagi murid-muridku seperti Sudja, Fahrudin, Hisyam, dan Sangidu yang mengalami masa-masa sulit ketika Langgar Kidul ini sempat dibongkar paksa atas perintah Kiai Penghulu.
Kilasan kejadian pahit itu juga terlintas di kepalaku dan membuat gentar. Marbut itu masih duduk di tempatnya setelah menyerahkan surat yang kini sedang kubaca dengan perlahan-lahan, supaya tidak ada bagian yang aku lewati. “Baiklah, aku sudah baca surat ini,” kataku sambil melipat surat, “sampaikan kepada Kiai Penghulu bahwa insya Allah saya akan datang untuk memenuhi undangannya.”
“Itu saja, Kiai?” tanya marbut itu.
“Ya, karena isi surat ini adalah undangan untuk datang ke Masjid Gedhe,” kataku sambil menekankan kata ‘undangan’ agar didengar oleh para murid.
“Baiklah, Kiai. Saya permisi dulu,” katanya sambil mengucapkan salam kepada kami semua.
BULAN purnama sedang bersinar indah di atas Yogyakarta ketika aku memasuki Masjid Gedhe diikuti oleh Sudja, Fahrudin, Hisyam, Sangidu, dan Siraj. Seluruh khatib amin Masjid Gedhe sudah berkumpul dengan wajah mereka yang kulihat kurang bersahabat. Aku mengucapkan salam yang mereka sambut dengan tidak terlalu antusias. Ada ketegangan tersembunyi yang sangat mudah dirasakan, bahkan oleh Siraj yang masih muda. Jauh lebih muda dibandingkan saat aku pertama kali diajak almarhum Bapak untuk mengikuti rapat takmir masjid dulu.
Kiai Penghulu Kamaludiningrat duduk di ujung depan, langsung membuka pertemuan tanpa banyak basa-basi. “Langsung saja, Kiai Dahlan. Belakangan ini, saya menerima banyak keluhan baik dari para kiai maupun masyarakat luas bahwa cara Kiai Dahlan dalam berdakwah sudah banyak terlihat menyimpang dari kebiasaan para kiai dalam menyebarkan Islam. Banyak yang berpendapat bahwa Kiai Dahlan terlalu menyederhanakan Islam, dan memperlakukannya sama saja dengan pelajaran lain.
Ahmad Dahlan terdiam mendengar uraian Kiai Penghulu yang masih belum kuketahui ke mana arahnya ini. Kulihat Siraj sedang memperhatikan pakdenya, Mas Noor, dengan serius. Mas Noor sendiri juga belum berkata apa-apa selain mendengarkan pengantar Kiai Penghulu.
“Apa memang Kiai Dahlan selama ini dengan sengaja menyederhanakan ajaran-ajaran Islam? Dan kalau iya, apa tujuan Kiai sebenarnya dalam melakukan itu?”
“Maaf kalau saya masihbelum mendapatkan kejelasan dari kata-kata Kiai Penghulu, menyederhanakan ajaran Islam seperti apakah yang Kiai maksudkan itu?” tanyaku.
“Dimas Dahlan,” kali ini Mas Muhsin yang menjawab, “beberapa waktu lalu, Dimas secara terbuka dan terang-terangan melarang orang untuk melakukan yasinan, dan membaca tahlil serta ziarah kubur. Ingat? Apa itu maksud Dimas melarang masyarakat membaca Yasin?”
“Maksud saya sederhana saja, Mas Muhsin. Ada 114 surah dalam Al-qur’an. Jika hanya ada satu surah, yakni Surah Yasin saja yang diistimewakan dan dibaca terus-menerus, lantas untuk apa Surah-Surah yang lain itu diturunkan Allah Swt.?” jawabku balik bertanya.
Mas Muhsin menatap ke arah Kiai Penghulu sebelum melanjutkan pertanyaannya. “Lalu, mengapa Dimas Dahlan melarang orang membaca tahlil? Bukankah tahlil itu sebuah bacaan yang baik?”
“Kangmas Muhsin, Rasulullah Muhammad Saw. memang menganjurkan kita, umat Islam, agar selalu berzikir mengikat asma Allah Swt., tetapi adakah Rasul menganjurkan zikir itu dilakukan bersama-sama dan bersuara keras sekali sampai mengganggu tetangga? Barangkali sang tetangga itu juga sedang kesulitan istirahat, atau malah sedang sakit. Apa untungnya melakukan pembacaan tahlil untuk kepuasan diri sendiri, tapi di samping kita ada tetangga yang mungkin membutuhkan istirahat untuk dia bekerja besok menghidupi anak istrinya? Apakah Islam mengajarkan ego seperti itu?”
Mas Muhsin terdiam tak menjawab pertanyaanku. Justru Mas Noor yang kini melontarkan pendapatnya. “Masalah dengan pendapat-pendapatmu Dahlan, adalah umat akan menggampangkan-gampangkan dalam melakukan ajaran Islam. Mereka akan berpikir hanya menggunakan akal. Mana yang memudahkan akan diambil, mana yang menyulitkan tak perlu dilakukan.”
“Begini, Mas Noor,” jawabku sambil mengubah posisi dudukku agar menghadap ke kakak iparku ini. “Agama itu bukan rangkaian aturan yang bisa dipermudah atau dipersulit seketika. Agama itu adalah sebuah proses; seperti udara pagi yang kita hirup ke tubuh kita secara perlahan-lahan, menyegarkan hati dan pikiran. Bayangkan jika yang kita hirup angin topan yang menakutkan. Tubuh kita tidak hanya hancur, tapi jangan-jangan malah terhempas tak berdaya. Hanyut dalam pusaran tak tentu arah, dan merusak banyak hal di lingkungan itu.”
Para kiai dan khatib amin mendengarkan uraian-ku dengan berbagai reaksi. Ada yang mencoba mendengarkan dengan pikiran terbuka, namun ada juga yang mengeraskan wajah mereka seakan-akan tak mengizinkan satu kata pun yang meluncur dari lisanku boleh masuk ke telinga dan hati mereka. “Coba Mas Noor bayangkan, apakah kita rela jika umat kita berserakan dan lari menjauh dari agama hanya karena kita salah memberi pengertian?” kataku.
“Kata-katamu itu berlaku untuk dirimu juga Dimas,” jawab Mas Noor. “Karena itu, kamu juga harus hati-hati dalam memberi pengertian kepada umat. Kamu tidak bisa langsung menyodorkan apa yang kamu anggap baik kepada umat tanpa melihat situasi yang ada.”
“Insya Allah aku melakukan seperti itu Mas Noor. Cuma sering tindakan dakwahku sebelum dipahami benar-benar langsung dicap ini-itu oleh beberapa kalangan. Mengapa? Kalau dirasakan masih belum jelas, kan, bisa dilakukan musyawarah seperti ini? Apakah Islam mengajarkan kita untuk menghakimi tindakan seseorang yang belum kita ketahui dasarnya?” ujarku.
“Wajar saja Dimas Dahlan kalau masyarakat bertanya-tanya mengapa Dimas sekarang sering terlihat memakai jas, dasi, sepatu. Mirip pakaian orang kafir, tapi pakai serban juga,” tambah Mas Muhsin. “Itu, kan, membingungkan masyarakat. Dimas ini kiai atau tokoh kejawen di Budi Utomo? Kalaupun Dimas sekarang yang kudengar aktif di Budi Utomo, bukankah bisa tetap berpakaian seperti kiai biasa? Mengapa harus tunduk pada kemauan mereka dalam berpakaian?”
“Saya tidak tunduk pada kemauan mereka dalam berpakaian Mas Muhsin. Mereka tidak mengharuskan saya memakai ini-itu. Itu keinginan saya sendiri.”14
“Kalau itu keinginanmu, kenapa harus Dimas lakukan seperti itu?” serang Mas Noor yang rupanya masih belum bisa menerima caraku berpakaian. “Belum pernah ada kiai Kauman sebelumnya yang berpenampilan seperti Dimas, dan juga hampir tidak pernah aku saksikan ada kiai-kiai lain dalam perjalananku ke beberapa kota di pulau ini yang juga berpenampilan seperti ini.”
“Begini saja, Mas Noor. Apakah berpakaian seperti yang saya lakukan dengan jas, dasi, dan sepatu itu diharamkan dalam Islam? Kalau menurut Mas Noor iya, tolong sebutkan dalilnya?” tanyaku.
“Kalau diharamkan, sih, tidak,” jawab Mas Noor sambil melihat ke arah Kiai Penghulu. “Bagaimana Kiai Penghulu, dan para khatib amin, adakah dalil haram yang ditanyakan Kiai Dahlan, atau tidak?” lanjut Mas Noor. Para kiai dan khatib amin itu menggelengkan kepala mereka hampir bersamaan dengan kata-kata seperti “Rasanya tidak pernah dengar” atau “Tidak ada”.
“Nah, kalau jawaban Mas Noor dan para kiai seperti itu, bukankah itu sudah menjawab pertanyaan yang diajukan kepada saya mengenai cara berpakaian saya?”
Mereka terdiam. Siraj memandangku dengan senyum yang sedikit mengembang di ujung bibirnya. Aku balas dengan menganggukkan kepala kepada putra sulungku itu.
MURID-MURID Madrasah Ibtidaiyah Diniyah baru saja pulang. Sudja dan Hisyam sedang membereskan meja, kursi, dan peralatan sekolah yang selalu berantakan setiap pelajaran berakhir. Sebetulnya anak-anak itu sudah mulai dibiasakan untuk merapikan kembali peralatan sekolah begitu pelajaran usai, tetapi dalam kenyataannya tetap saja lebih sering amburadul. Disiplin memang membutuhkan waktu lebih lama sebelum menjadi kebiasaan sehari-hari.
Aku sedang duduk sendirian di ruang tamu, dan membaca majalah-majalah lama yang kubawa dari Tanah Suci. Makin lama kurenungkan anjuran Syaikh Al-Afghani, Syaikh Abduh, Syaikh Ridha, dan para ulama lain yang menulis dalam majalah itu, semakin aku merasa yakin bahwa salah satu penghalang terbesar kemajuan umat Islam adalah ketaatan yang berlebihan terhadap tradisi, dan ibadah yang ditambah-tambah. Bid’ah. Karena hal ini tidak hanya terjadi di masyarakat Jawa, tetapi juga di banyak negeri Muslim lain di seluruh dunia, mungkinkah ada sesuatu yang salah secara mendasar dalam cara penyampaian dakwah selama ini, terlepas dari jumlah umat Islam di seluruh dunia yang sangat banyak? Sebab jika kesalahan penyampaian dakwah itu hanya di Kauman, mengapa gejala kemunduran yang sama juga terlihat di tempat lain? Dan kalau kesalahan yang mendasar itu memang ada, kesalahan apa itu persisnya? Apakah karena pengetahuan para ulama yang sebetulnya masih kurang dibandingkan zaman para sahabat? Atau, karena sistem kekhalifahan tidak berjalan? Atau, barangkali kualitas umat Islam sendiri yang sedang merosot jauh di bidang pendidikan dan kesejahteraan hidup sehingga sebagai akibatnya banyak yang lari ke arah tasawuf seperti disebutkan Syaikh Rasyid Ridha?
Ketika aku sedang tenggelam dalam perenungan itu, Sudja masuk dan mengabarkan ada tamu seorang ulama dari Magelang yang datang bersama dua orang muridnya. Aku maju ke pintu untuk menyambutnya. “Ahlan wa sahlan, selamat datang di rumah saya yang sederhana ini/’ kataku sambil merangkulnya seperti kebiasaan para kiai saat bertemu. Namun kurasakan kiai Magelang ini agak menjaga jarak, terlihat dari sorot matanya yang kurang begitu bersahabat. Pandangan matanya berkeliling ruangan dan hinggap pada biola yang tergeletak di atas meja.
“Silakan duduk, Kiai,” ujarku. “Sedang ada urusan apa di Jogja?”
Kiai Magelang itu duduk sambil tetap mempertahankan wajah kakunya tanpa senyum. Wajah kedua santri yang mengikutinya pun begitu, seakan-akan mereka tak pernah melihat manusia sebelumnya. “Kiai Dahlan, sekarang saya bisa melihat sendiri apa yang selama ini diributkan umat tentang sekolah Anda,” katanya dengan nada tajam.
“Ada apa dengan sekolah saya?” tanyaku heran.
“Tentunya Kiai Dahlan tahu arti Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islam itu?”
“Tentu saya tahu, kalau saya tidak tahu mana mungkin saya akan memakai nama itu,” jawabku sambil menduga-duga apa yang ada di benak tamuku ini.
“Kalau memang Kiai tahu arti nama itu, kenapa Kiai menggunakan perlengkapan kafir dalam menjalankan sekolah ini?” serangnya dalam nada tinggi. “Baru sekali ini saya melihat ada madrasah yang dibikin seperti sekolah orang-orang kafir!”
“Maaf Kiai, yang mana perlengkapan kafir yang Kiai maksudkan itu?” tanyaku tambah heran.
“Ini,” katanya menunjuk meja dan kursi. “Dan itu,” lanjutnya sambil menunjuk biola. Itu semua perlengkapan kafir karena dibuat oleh orang-orang kafir!”
Jangan-jangan kiai Magelang ini merasa di rumahnya sendiri sehingga bebas bicara dengan nada tinggi terus-menerus. Aku heran bagaimana kalau kondisinya terbalik, dan seseorang menjadi tamu di rumahnya saat dia sedang marah? Jangan-jangan kemarahannya tak bisa dikendalikan sama sekali.
“BAIKLAH kalau menurut Kiai semua ini adalah perlengkapan kafir,” ujarku mencoba untuk tidak terpancing ikut emosi. “Saya boleh bertanya, Kiai?”
“Silakan!”
“Dari Magelang ke Jogja ini Kiai naik apa? Apakah jalan kaki?”
“Kiai Dahlan, Kiai Dahlan, saya tidak sebodoh itu untuk jalan kaki ke sini,” jawabnya.
“Maksud, Kiai?”
“Saya tidak mau menyiksa tubuh saya dengan berjalan kaki dari Magelang ke Jogja. Buat apa?” katanya.
“Lalu, Kiai naik apa?”
“Ya tentu saja naik kereta api. Hanya orang bodoh yang pergi ke Jogja dari Magelang dengan berjalan kaki, Kiai Dahlan!” katanya sambil tertawa, entah apa yang sahlan, selamat datang di rumah saya yang sederhana ini/’ kataku sambil merangkulnya seperti kebiasaan para kiai saat bertemu. Namun kurasakan kiai Magelang ini agak menjaga jarak, terlihat dari sorot matanya yang kurang begitu bersahabat. Pandangan matanya berkeliling ruangan dan hinggap pada biola yang tergeletak di atas meja.
“Silakan duduk, Kiai,” ujarku. “Sedang ada urusan apa di Jogja?”
Kiai Magelang itu duduk sambil tetap mempertahankan wajah kakunya tanpa senyum. Wajah kedua santri yang mengikutinya pun begitu, seakan-akan mereka tak pernah melihat manusia sebelumnya. “Kiai Dahlan, sekarang saya bisa melihat sendiri apa yang selama ini diributkan umat tentang sekolah Anda,” katanya dengan nada tajam.
“Ada apa dengan sekolah saya?” tanyaku heran.
“Tentunya Kiai Dahlan tahu arti Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islam itu?”
“Tentu saya tahu, kalau saya tidak tahu mana mungkin saya akan memakai nama itu,” jawabku sambil menduga-duga apa yang ada di benak tamuku ini.
“Kalau memang Kiai tahu arti nama itu, kenapa Kiai menggunakan perlengkapan kafir dalam menjalankan sekolah ini?” serangnya dalam nada tinggi. “Baru sekali ini saya melihat ada madrasah yang dibikin seperti sekolah orang-orang kafir!”
“Maaf Kiai, yang mana perlengkapan kafir yang Kiai maksudkan itu?” tanyaku tambah heran.
“Ini,” katanya menunjuk meja dan kursi. “Dan itu,” lanjutnya sambil menunjuk biola. Itu semua perlengkapan kafir karena dibuat oleh orang-orang kafir!”
Jangan-jangan kiai Magelang ini merasa di rumahnya sendiri sehingga bebas bicara dengan nada tinggi terus-menerus. Aku heran bagaimana kalau kondisinya terbalik, dan seseorang menjadi tamu di rumahnya saat dia sedang marah? Jangan-jangan kemarahannya tak bisa dikendalikan sama sekali.
“BAIKLAH kalau menurut Kiai semua ini adalah perlengkapan kafir,” ujarku mencoba untuk tidak terpancing ikut emosi. “Saya boleh bertanya, Kiai?”
“Silakan!”
“Dari Magelang ke Jogja ini Kiai naik apa? Apakah jalan kaki?”
“Kiai Dahlan, Kiai Dahlan, saya tidak sebodoh itu untuk jalan kaki ke sini,” jawabnya.
“Maksud, Kiai?”
“Saya tidak mau menyiksa tubuh saya dengan berjalan kaki dari Magelang ke Jogja. Buat apa?” katanya.
“Lalu, Kiai naik apa?”
“Ya tentu saja naik kereta api. Hanya orang bodoh yang pergi ke Jogja dari Magelang dengan berjalan kaki, Kiai Dahlan!” katanya sambil tertawa, entah apa yang
mengapa dalam mencari ilmu kita harus berpikiran terbuka.”
“Iya, Kiai,” jawab Sudja sambil menundukkan kepala.
“Tapi kamu tidak usah merasa salah terlalu berlebihan Dja. Kalau Nabi Musa yang sudah menjadi salah satu manusia pilihan dan luar biasa saja bisa seperti itu terhadap Nabi Khidir, apalagi kita yang manusia biasa. Saya pun mungkin bisa dan pernah bersikap seperti Musa terhadap orang lain yang menjadi Khidir bagi saya. Yang penting begitu kita menyadari kesalahan cara pandang, kita harus segera membenahi diri.”
Fahrudin dan murid-murid lain mendekat, termasuk Siraj. Fahrudin menatap Siraj dalam-dalam. “Kanjeng Nabi Muhammad berkata, ‘Sesungguhnya Islam pada awalnya hadir terasing dan akan kembali dalam keadaan terasing pula. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu karena mereka sesungguhnya yang membetulkan segala yang rusak’.”
“Betul sekali itu Haji Fahrudin,” sahutku. “Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu karena mereka sesungguhnya yang membetulkan segala yang rusak.”
Senyum Fahrudin mengembang. Dia membenahi posisi duduknya sehingga lebih tegak. “Saya akan selalu berada di depan melindungi Kiai Dahlan,” katanya dengan nada tegas.
“Saya juga, Kiai,” tambah Sudja.
“Saya juga,” sambar Hisyam. “Ndak peduli nanti dimarahi sama emak saya dan tidak dikasih makan.”
Semua tertawa mendengar kata-kata Hisyam itu, termasuk Siraj yang terpingkal-pingkal. Aku tersenyum melihat kegembiraan mereka di tengah kesulitan yang sedang mereka hadapi akibat tindakan-tindakan dakwahku selama ini.
KEESOKAN harinya aku mengunjungi Alun-Alun Utara ditemani Siraj, Fahrudin, Hisyam, Sudja, dan Dirjo untuk membagi-bagikan makanan dan pakaian kepada orang miskin. Sudja melihat ada seorang anak kecil pengemis yang sedang sakit dan tidur melingkar.
“Anak Ibu, kenapa?” tanya Sudja.
“Sakit, Ndoro,” jawab ibu itu.
“Ini ada pakaian dan makanan, buat Ibu dan anak Ibu. Kalau bisa nanti sore datang ke Kauman, Langgar Kidul. Saya akan kasih obat.”
“Terima kasih, Ndoro. Nanti sore kalau kuat, saya datang. Ketemu sama Ndoro siapa?”
“Saya Sudja. Ini Kiai Dahlan, dan ini teman-teman saya yang lain,” jawab Sudja memperkenalkan kami semua.
“Terima kasih, Kiai,” ujar ibu itu sambil mengambil tanganku dan menciumnya.
“Sudah berapa lama anak Ibu sakit?” tanyaku.
“Sudah beberapa hari ini, Kiai.”
“Terus sudah dikasih obat apa?”
“Belum, Kiai. Ndak punya duit untuk berobat. Dibiarkan begini saja, mudah-mudahan sembuh.”
“Kalau begitu, nanti sore tidak perlu datang ke Langgar Kidul, nanti Haji Sudja yang akan ke sini lagi sambil membawa obat.”
“Terima kasih, Kiai,” jawab ibu itu dengan berlinang air mata. “Mudah-mudahan anakku masih bisa sembuh.”
“Insya Allah, Bu. Kita ikhtiar saja, Allah yang akan menentukan,” jawabku. “Ya sudah kami pamit dulu, monggo Ibu makan, juga anaknya supaya badan ada tenaga.”
“Baik, Kiai,” jawab ibu itu sambil menggoyang bahu anaknya, membangunkan. “Ayo, bilang terima kasih sama Kiai.” Tapi anaknya hanya bergerak sedikit. “Pusing Bu,” katanya.
“Sudah, sudah, tidak apa-apa, biar tidur saja, Bu,” kataku sambil mengisyaratkan kepada rombongan untuk pindah tempat. “Yang penting usahakan agar bisa makan dulu, sebanyak-banyaknya.”
“Iya, Kiai.”
Kami melanjutkan membagi makanan dan pakaian ke tempat lain. Namun belum banyak tempat yang kami datangi, persediaan makanan dan pakaian sudah keburu habis dengan cepat karena begitu para pengemis dan gelandangan melihat ada rombongan yang membagikan makanan, entah dari mana datangnya, jumlah mereka langsung membeludak luar biasa, dan sulit sekali mengatur mereka yang berebut untuk mendapatkan makanan.
“Tolong semua baris yang rapi,” teriak Fahrudin. “Ayo Syam, Jo, bantu bikin barisan lurus,” katanya kepada kawan-kawannya. Tapi kerumunan itu sudah terlalu sulit diatur. Mereka seperti sekumpulan ikan lapar yang sudah lama tak mendapat makanan, sehingga tangan-tangan mereka terus menjulur untuk mendapatkan makanan dan pakaian, yang membuat Siraj terlihat kewalahan.
“Coba semua yang rapi,” teriakku sambil menarik Siraj agar terlindung dari desakan kerumunan yang makin banyak.
“Iya, Kiai,” jawab beberapa orang dari mereka. Tapi apalah artinya imbauan di tengah orang-orang yang sudah kelaparan dan serbakekurangan? Detik berikutnya, mereka sudah tak bisa diatur rapi lagi, dan terus merangsek untuk mendapatkan bagian demi diri sendiri.
Aku sedih melihat kenyataan ini, tapi lebih sedih lagi karena belum bisa berbuat lebih banyak untuk mengurangi kemiskinan yang terasa makin banyak di wilayah Yogyakarta ini. Siapakah yang lebih bersalah dalam hal ini? Pemerintah kolonial Hindia-Belanda? Kasultanan Islam Ngayogyakarta Hadiningrat dan Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang kurang berbuat banyak bagi rakyat? Para kiai dan alim ulama termasuk diriku sendiri yang mungkin masih kurang menganjurkan umat untuk bekerja lebih keras?
Atau, memang kesadaran umat sendiri untuk bekerja keras dan malu meminta-minta yang masih kurang?
Dalam pengajian di Langgar Kidul pada sorenya, aku mengangkat kejadian di Alun-Alun Utara itu sebagai bahasan. “Kita bisa memperbaiki kualitas umat dari memperbaiki kualitas diri kita sendiri,” ujarku. “Kalian yang masih muda-muda ini nanti harus benar-benar punya persiapan saat memiliki anak. Kalau tidak bisa mendidik anak, mengapa harus beranak? Anak adalah titipan Allah yang harus kita jaga dan didik dengan sebaik-baiknya.”
JADWAL mengajarku di Kweekschool Jetis jadi semakin sering. Dan murid-murid yang rata-rata berumur 13 tahun ini pun semakin terbiasa mendengarkan ajaran Islam yang kusampaikan lewat tanya-jawab yang cair. Materi tentang tata cara shalat wajib dan berwudhu sudah mereka kuasai, juga tentang rukun iman dan rukun Islam. Sebenarnya aku juga ingin mereka bisa belajar mengaji. Tapi untuk yang satu ini agak sulit dilakukan di sekolah karena tidak mungkin satu murid bisa mendapatkan satu Al-qur’an, kecuali kalau mereka membawa masing-masing dari rumah.
Suatu kali sehabis mengajar, di salah satu koridor sekolah tiga orang murid Indo menghentikan langkahku. Kejadian ini mengingatkanku sepulang aku memberikan khutbah Jumat pertama kali di Masjid Gedhe dan dihentikan oleh Haji Sudja dan Haji Fahrudin, saat itu mereka masih bernama Daniel dan Jazuli, di tengah jalan.
Salah seorang murid Indo menunjukkan sikap hormat kepadaku sebelum bertanya. “Meneer Kiai, saya dengar dari kawan-kawan saya yang beragama Islam bahwa Meneer Kiai punya sekolah agama sore hari di Kauman. Apa betul, Meneer Kiai?”
“Iya, betul. Namanya Madrasah Ibtidaiyah Diniyah. Ada apa?”
“Bolehkah saya menjadi murid di sana?”
“Oh, boleh. Silakan saja datang ke Kauman nanti sore, dan tanya rumah Kiai Dahlan. Tidak susah mencarinya.”
“Tapi…” anak itu terlihat ragu-ragu.
“Tapi apa?”
“Tapi saya bukan Islam, Meneer Kiai. Saya Katolik, tapi ingin tahu sekali soal Islam.”
“Orangtuamu sudah tahu kalau kamu mau belajar Islam?”
“Aku sudah bilang Papa. Katanya boleh kalau belajarnya dari sekolah.”
“Nah, kalau begitu kamu datang yang hari Minggu saja, biasanya banyak juga anak-anak sekolah ini yang datang ditemani kakak-kakak dari Budi Utomo untuk belajar agama Islam. Banyak juga dari mereka yang bukan beragama Islam. Bahkan kalau papamu mau datang juga boleh, nanti ngobrol-ngobrol sama Kiai,” ujarku.
“Kalau saya Islam, Kiai,” sahut seorang murid yang lain, “berarti saya boleh belajar di madrasah Kiai.”
“Boleh saja, tapi seperti Kiai bilang tadi, sebaiknya orangtua kalian tahu. Dan kalian minta izin kalau mau ke madrasah Kiai. Kalau sudah, datang saja nanti sore atau besok. Kiai akan senang sekali punya murid-murid yang pintar seperti kalian.”
“Terima kasih, Kiai,” jawab mereka dengan wajah senang.
UPAYA kami untuk terus mengumpulkan pakaian bekas yang masih layak pakai dan makanan dari warga terus berjalan. Di sela-sela waktu luang saat tidak ada pengajian di Langgar Kidul atau tidak membantu pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah, para murid seniorku terus mengunjungi orang-orang kaya di Kauman dan sekitarnya sambil membawa gerobak, seperti saat ini Fahrudin dan Hisyam sedang berada di depan seorang tuan rumah yang cukup makmur.
“Saya Fahrudin dan ini Hisyam, kami murid Kiai Dahlan,” ujar Fahrudin memperkenalkan diri. “Saya mengajak Bapak untuk bersedekah. Bisakah Bapak memberikan pakaian bekas yang masih layak pakai atau makanan yang akan disalurkan untuk fakir miskin di daerah Kauman dan sekitarnya ini?”
Tuan rumah itu melongok ke arah gerobak yang sudah mulai penuh dengan sumbangan pakaian bekas. “Tunggu sebentar, ya,” katanya sambil masuk ke rumah.
Hisyam sangat bersemangat melihat reaksi tuan rumah yang sangat positif. “Pasti kita dapat banyak kali ini, Din,” katanya sambil merapikan lagi pakaian-pakaian bekas yang sudah didapat agar tersedia ruang lebih besar bagi pakaian-pakaian yang akan datang belakangan. Dari dalam terdengar langkah kaki pemilik rumah, dan sekilas terlihat banyak sekali bawaan di tangannya.
“Firasatku betul, Din,” bisik Hisyam dengan gembira. “Yang punya rumah ini baik sekali orangnya.”
Tuan rumah itu keluar dari pintu dan menyerahkan setumpuk kain jarit bekas … kain panjang yang biasa digunakan sebagai bawahan oleh ibu-ibu di Jawa! Mata Hisyam terbelalak ketika Fahrudin menerima kain itu dan meletakkan di dalam gerobak. “Semoga bermanfaat, ya, Mas,” ujar sang tuan rumah.
“Alhamdulillah. Terima kasih, Pak,” jawab Fahrudin dengan sopan sambil minta pamit. Ketika sudah menjauh dari rumah itu. Fahrudin dan Hisyam tertawa terbahak-bahak. “Kamu itu memang sok tahu, Syam,” ledek Fahrudin sambil memonyongkan bibirku. “Firasatku … yang punya rumah ini baik sekali orangnya.”
“Iya, ya, Din. Mau kita apakan kain jarit sebanyak ini?” kata Hisyam sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tibanya matanya berbinar, seperti kebiasaannya kalau sedang dapat ide. “Bagaimana kalau kita usulkan ke Kiai
Dahlan supaya kain jarit ini dipakai buat alas meja belajar saja? Kan, jadi rapi?”
“Edan kamu Syam,” jawab Fahrudin. “Sudah berapa hari kamu ndak dikasih makan oleh ibumu?”
Semakin seringnya Langgar Kidul melakukan pemberian makanan dan pakaian bekas, membuat sejumlah pengemis dan gelandangan makin banyak yang datang ke Kauman, kadang-kadang hanya 1-2 orang tapi kadang-kadang juga bergerombol 10 orang atau lebih. Tapi karena Langgar Kidul tak terlalu dikenal oleh orang dari luar Kauman, biasanya mereka akan datang ke Masjid Gedhe lebih dulu.
“Kalian mau apa datang kemari? Ini, kan, bukan hari Jumat. Belum waktunya sedekahan,” jawab Kiai Penghulu Kamaludiningrat dengan ketus saat satu ketika segerombolan keluarga pengemis bertanya kepadanya di dekat gerbang Masjid Gedhe.
“Kami bukan mau minta sedekah, Kiai,” ujar bapak pengemis. “Kami mau ke Langgar Kidul. Anak kami ada yang sakit. Katanya Kiai Dahlan bisa mengobati dan memberi kami makanan dan pakaian. Ke arah mana jalannya, Kiai?”
Mau tak mau Kiai Penghulu menunjukkan jalan ke arah Langgar Kidul dan menjelaskan di mana saja mereka harus berbelok atau jalan terus jika bertemu persimpangan.
“Kayaknya susah sekali, Kiai. Bisa ndak Kiai tolong antarkan kami ke sana,” ujar bapak pengemis kepada Kiai
Penghulu yang langsung menelan ludah, tak langsung menjawab.
“No, Tarno …,” seru Kiai Kamaludiningrat ke arah dalam masjid. Tak lama kemudian, seorang marbut masjid lari tergopoh-gopoh keluar. “Iya, Kiai. Ada apa?”
“Ini ada yang mau ke Langgar Kidul Kiai Dahlan, tapi ndak tahu jalan. Coba kamu tunjukkan jalannya sampai ke sana,” ujar Kiai Penghulu sambil masuk ke pekarangan Masjid Gedhe.
“Baik, Kiai,” jawab Tarno sambil menoleh ke arah bapak pengemis. “Ayo, Pak, ikuti saya.” Rombongan itu pun bergerak menuju Langgar Kidul.
Sudja sedang memberikan obat kepada pengemis lain yang sedang sakit, sementara Fahrudin memberikan paket pakaian dan makanan kepada pengemis lainnya lagi, ketika rombongan yang diantar marbut Tarno itu datang di Langgar Kidul.
“Assalamu ‘alaikum,” ujar Tarno keras disambut jawaban salam dari orang-orang yang ada di sana. “Ini ada yang mau ke Langgar Kidul dan ketemu Kiai Dahlan. Kiai di mana, ya?” tanya Tarno kepada Hisyam.
“Kiai sedang mengajar anak-anak ilmu bumi,” jawab Hisyam pendek.
“Ilmu apa?” tanya marbut yang mungkin baru pertama kali mendengar istilah itu dalam hidupnya.
“Ilmu bumi!” ulang Hisyam gemas. “Kenapa, sih, sampeyan celingak-celinguk? Mau melaporkan lagi
kegiatan Kiai Dahlan ke Kiai Penghulu kalau ilmu bumi itu ilmunya orang kafir?”
“Oh, ndak, Mas,” jawab marbut itu ketakutan melihat wajah Hisyam yang sinis. “Ya sudah, aku pamit saja,” katanya lunglai.
AKU masih berada di depan beranda rumah setelah murid-murid Madrasah Ibtidaiyah Diniyahku pulang kecuali seorang murid Indo dari Kweekschool yang masih menunggu dijemput bapaknya. Ini adalah anak Indo beragama Islam yang menanyaiku di koridor sekolah bersama kawan-kawannya beberapa hari lalu.
“Meneer Kiai sedang sibuk?” tanyanya memulai percakapan.
“Tidak terlalu,” jawabku sambil menghapus papan tulis.
“Ada yang mau saya tanyakan.”
“Boleh saja. Tapi Kiai sambil membersihkan papan tulis ini tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa, Meneer.”
“Baiklah, apa pertanyaanmu?”
“Siapa Hoofd Inspectoor sekolah ini? Kepala sekolah?” tanya anak itu.
“Saya.”
“Pemiliknya?”
“Saya.”
“Gurunya?” Anak itu masih terus bertanya.
“Saya.”
Menghadapi pertanyaan tak biasa itu, aku segera duduk menghadap anak itu. “Kamu, kan, sudah tahu semuanya tentang sekolah ini. Mengapa masih bertanya juga?”
“Begini, Meneer Kiai,” jawab anak itu sambil tetap menatap wajahku tanpa canggung seperti murid pengajian pada umumnya. “Kalau nanti Meneer wafat, sekolah ini juga wafat!”
Aku terbelalak mendengar kata-kata yang meluncur dari anak kecil itu. Sebuah keterusterangan yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Benar juga cara berpikirnya!
“Maaf, Meneer,” anak itu melanjutkan. “Meneer harus membuat sistem di sekolah ini. Menciptakan regenerasi supaya kalau Meneer meninggal dunia, sekolah ini masih tetap bisa jalan.”
“Sebetulnya aku sudah melakukan itu. Ada beberapa orang muridku yang sudah bisa mengajar dengan baik, dan pernah beberapa kali menggantikanku mengajar kalau aku sedang ada halangan.”
“Kalau begitu tinggal dibuat lebih sistematis saja, Meneer. Harus dengan organisasi,” katanya. Aku menatap mata bening anak itu dengan penuh kebanggaan dan rasa syukur. “Terima kasih kau sudah mengingatkan Kiai. Baiklah, nanti akan Kiai pikirkan matang-matang usulanmu itu.”
Malam harinya, aku mencari corat-coret bagan organisasi perkumpulan Islam yang dulu pernah kubuat waktu pertama kali bergabung dengan Budi Utomo. Akhirnya setelah dibantu Walidah, kutemukan juga bagan organisasi dengan tulisan PERKUMPULAN ISLAM…
Tapi nama apa yang cocok bagi perkumpulan ini?
“Menurutmu, apa nama yang cocok buat perkumpulan ini, Bu?”
“Terserah Kangmas Dahlan saja. Kangmas yang lebih mengerti nama-nama Islami yang baik.”
Masya Allah, tadinya aku berpikir akan mendapatkan bantuan pikiran, ternyata akhirnya tetap harus kupikirkan sendiri. Rupanya Walidah melihat perubahan air mukaku sehingga dia langsung mengusulkan, “Atau mungkin sebaiknya Mas Dahlan bahas dengan murid-murid saja dulu. Mungkin dari mereka ada usulan nama bagus yang bisa Kangmas pertimbangkan.”
“Ya, benar juga saran Ibu. Besok akan saya bicarakan soal nama ini dengan Sudja dan yang lain.”
Usai pengajian malam keesokan harinya dan jamaah lain sudah pulang dan hanya tinggal Sudja, Fahrudin, Hisyam, Sangidu, dan Siraj, aku melontarkan ide perlunya membentuk secara resmi perkumpulan Islam ini. “Aku sudah mantap untuk mendirikan organisasi sesuai dengan perintah Allah dalam Surah Ali Imran ayat 104 yang berbunyi Waltakun minkum ummatun yad’una ilal khairi wa ya’muruna bil ma’rUfi wa yanhauna ‘anil munkar. Wa ulaika humul muflihfin, yang artinya ‘Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung’,” kataku.
“Saya setuju, Kangmas. Saya dukung ide ini,” sahut Sangidu.
“Buat apa ada organisasi lagi, Kiai?” tanya Sudja. “Apakah langgar kita tidak cukup? Kiai Dahlan juga sudah membuat madrasah.”
“Langgar itu untuk ibadah Sudja, madrasah untuk pendidikan Islam, sedangkan perkumpulan ini untuk aktivitas sosial kita,” jelasku. Hisyam mulai garuk-garuk kepala.
“Soal perkumpulan ini pasti kita akan berurusan dengan pemerintah Belanda,” celetuk Fahrudin. “Benar tidak, Kiai?”
Aku mengangguk. “Rasanya memang begitu. Setiap usaha mendirikan perkumpulan harus diketahui pemerintah. Ini memang risiko hidup sebagai rakyat dari negeri yang masih dijajah.”
“Kalau tidak dapat izin bagaimana, Kiai?” tanya Sudja.
“Mengapa kamu berpendapat begitu?”
“Tidak tahu, ya, Kiai. Saya orang bodoh, tidak mengerti soal seperti ini,” jawab Sudja. “Tapi kalau Budi Utomo saya lihat dikasih izin karena mereka pakai bahasa Belanda, dan murid-murid sekolah yang didirikan Belanda juga.”
“Kalau Jami’at Khair?” tanyaku. “Mereka per-Icumpulan orang-orang Arab yang tidak berbahasa Belanda. Kenapa dikabulkan pemerintah?”
Sudja gelagapan mendengarkan pertanyaanku. “Aku tidak tahu, Kiai. Ya mudah-mudahan perkumpulan Kiai ini nanti mudah mendapatkan izin.
AKU sedang berada di ruangan Budi Utomo yang terdapat di lingkungan Kweekschool, Jetis. Di depanku duduk Raden Budiharjo dan Raden Dwijosewoyo, yang sedang mendengarkan keinginanku untuk membuat sebuah perkumpulan Islam seperti Budi Utomo. “Apakah itu mungkin, Mas?” tanyaku kepada mereka berdua.
“Sangat mungkin, Kiai Dahlan,” jawab Mas Dwijosewoyo. “Tetapi dibutuhkan beberapa syarat untuk mendirikan organisasi. Pertama, harus ada pengurus tetap. Kedua, nama organisasi dan maksud-tujuan organisasi itu untuk apa.”
“Saya sudah mengumpulkan calon pengurusnya. Mereka adalah murid-murid saya dari langgar dan Kweekschool,” jawabku.
Alis mata Budiharjo mendadak melengkung naik saat mendengar nama Kweekschool disebut. “Murid-murid Kweekschool tidak bisa menjadi pengurus, Kiai Dahlan. Mereka tidak mungkin diizinkan kepala sekolah,” katanya. Aku terdiam memikirkan kemungkinan terjadinya perkiraan Budiharjo. Barangkali benar juga, Budiharjo sudah lebih mengetahui watak kepala sekolah dan organisasi Kweekschool ini.
“Usul saya, Kiai Dahlan,” sahut Dwijosewoyo, “Sebaiknya Kiai memilih pengurus yang lebih dewasa dan matang. Di Kauman banyak sekali anak muda yang bisa menjadi pengurus. Perkumpulan Budi Utomo nanti akan membantu, asal syaratnya para calon pengurus perkumpulan yang akan Kiai Dahlan buat itu harus masuk menjadi anggota Budi Utomo lebih dulu.”
“Mengapa harus begitu, Mas Dwijo?” tanyaku. “Apakah tidak bisa kalau aku memilih pengurus yang bukan anggota Budi Utomo?”
“Mungkin bisa saja, Kiai,” jawab Dwijosewoyo. “Tapi cobalah Kiai Dahlan melihat dari mata pemerintah. Kalau ada di antara nama-nama calon pengurus itu sudah menjadi anggota Budi Utomo, bukankah akan lebih memudahkan karena mereka dianggap sudah bisa berorganisasi meskipun dalam kenyataannya baru bergabung?”
“Kalau cara melihatnya seperti itu memang masuk akal juga anjuran Mas Dwijo,” ujarku. “Baiklah nanti aku coba bicarakan lagi dengan murid-muridku yang lain.”
Malam harinya, ketika membahas usulan Mas Dwijosewoyo itu, Hisyam yang kepalanya ditempeli koyo langsung menunjukkan keengganannya. “Aku dengar kalau jadi anggota Budi Utomo itu harus jadi kejawen, ya, Kiai?”
“Dengar dari siapa, Syam?” jawabku sambil tertawa mendengarkan alasan itu. “Apakah kamu lihat aku ini kejawen? Kita boleh memiliki prinsip, Syam. Harus. Tapi jangan fanatik.”
“Maksudnya harus punya prinsip tapi jangan fanatik itu apa, Kiai?”
“Sebagai orang Islam kita harus tunjukkan bahwa kita bisa bekerja sama dengan semua kalangan. Tapi prinsipnya adalah lakum dinukum waliyadin. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.”
Hisyam mengangguk-anggukkan kepala. Tindakan Hisyam itu langsung mendatangkan keisengan Fahrudin. “Kamu ini langsung angguk-angguk saja, sudah mengerti belum apa yang dimaksud Kiai Dahlan?”
“Belum,” jawab Hisyam polos disambut tawa gemas kawan-kawannya.
“Syam, Syam,” ujar Fahrudin. “Aku bilangi emakmu, baru rasa kamu.”
“Jadi kalian bersedia masuk jadi anggota Budi Utomo dulu?”
“Kalau menurut Mas Dahlan itu jalan yang harus dilakukan, aku tidak keberatan,” jawab Sangidu.
“Aku juga,” sahut Sudja.
“Aku juga mau,” ujar Fahrudin sambil menoleh ke Hisyam. “Kalau kamu?”
“Tapi bener ndak jadi kejawen, toh?” tanya Hisyam masih ragu-ragu sehingga dikeplak Fahrudin dengan pecinya. “Ya, ndak. Kan tadi sudah dijelaskan Kiai Dahlan.”
“Yo wis, kalau begitu aku mau,” jawab Hisyam.
“Alhamdulillah,” jawabku. “Semoga dengan begini, berdirinya perkumpulan kita bisa lebih cepat lagi.”
“Siraj bisa jadi anggota Budi Utomo juga ndak, Pak?” tanya anakku tiba-tiba. “Boleh, ya, Pak? Bilang ke Pakde Wahidin,” katanya serius berharap. Sudja dan kawan-kawan berganti-ganti memandangi Siraj dan aku.
“Nanti kalau kamu sudah pas umurnya pasti akan Bapak masukkan sebagai anggota Budi Utomo,” jawabku. “Sekarang biarpun dibantu Pakde Wahidin, tapi ada peraturan yang bilang kamu masih terlalu kecil untuk menjadi anggota perkumpulan seperti ini. Umurmu 13 tahun saja belum, toh?”
“Belum, Pak,” jawab Siraj yang terlihat lebih tinggi dan lebih besar dibandingkan saat aku seumuran dengan dia.
“Maaf, Kiai. Nama perkumpulan ini apa?” tanya Fahrudin.
“Itu masih aku pikirkan,” jawabku sambil membuka kesempatan kepada mereka untuk memberikan ide-ide bagus. “Kalian punya usulan? Sudja?”
“Belum ada, Kiai.”
“Kamu sendiri, Din?”
“Eh, sebenarnya ada, Kiai. Tapi rasanya masih kurang sreg. Nanti aku cari yang lebih baik.”
“Kamu, Syam?”
“Ndak ada, Kiai,” jawab Hisyam cepat.
“Kamu, Du?” ujarku sambil menatap Sangidu. Adik tiriku ini terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu sebelum sebaris kalimat meluncur dari mulutnya. “Kalau aku, usulkan namanya Muhammadiyah.”
“Muhammadiyah?” suara Fahrudin terdengar tak yakin. “Apa tidak seperti nama perempuan?”
“Tidak, Din,” jawab Sangidu. “Di Kauman ini kita tahu ada perkumpulan Jam’iyah Nuriyah yang diambil dari nama pemimpinnya, Kiai Muhammad Noor, kakak ipar Kiai Dahlan. Nuriyah artinya pengikut Noor…”
“Jadi, maksudmu kalau Muhammadiyah itu artinya pengikut Kanjeng Nabi Muhammad?” tanya Sudja. “Saya setuju dengan nama itu. Memberikan semangat anggotanya mencontoh Nabi.”
“Betul, Mas,” ujar Sangidu. Hisyam menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau ada Jam’iyah Nuriyah yang dipimpin Kiai Noor, kenapa perkumpulan ini nantinya tidak diberi nama Jam’iyah Dahlaniyah saja? Kan, kiai perkumpulan ini Kiai Dahlan?” katanya.
“Ah, janganlah kalau harus membawa-bawa namaku, Syam. Banyak ulama yang lebih luas saja ilmu pengetahuannya tak membawa-bawa nama mereka dalam nama perkumpulan seperti ini. Nama Muhammadiyah itu menurutku sudah bagus.”
“Iya, menurutku juga,” sahut Fahrudin. “Bagaimana, Kiai? Bisa kita gunakan nama itu?”
“Terima kasih Sangidu. Menurutku itu memang nama yang bagus. Tapi nanti malam aku harus shalat istikharah dulu untuk mendapatkan kemantapan hati dan bimbingan Allah Swt.,” jawabku.
“Seandainya kita semua jadi pengurus perkumpulan yang baru nanti, apakah kita akan mendapatkan upah?” tanya Hisyam polos. Sudja menggeleng-gelengkan kepalanya mendengarkan pertanyaan Hisyam, sedangkan Sangidu memasang wajah serius seperti kucing yang akan menyerang musuhnya. “Maaf, ya, Kiai, aku kan cuma tanya,” sambung Hisyam dengan terbata-bata melihat reaksi kawan-kawannya.
Aku tersenyum kecil melihat kegugupan Hisyam. “Tidak Hisyam. Saya berharap perkumpulan ini bisa menjadi organisasi yang benar-benar bertujuan untuk kepentingan masyarakat. Tidak untuk kepentingan pribadi.”
Hisyam mengangguk-angguk sembari mengelus koyo di pipinya. Tiba-tiba Sudja menyobek koyo itu dengan cepat sehingga membuat Hisyam menjerit, sementara yang lain tertawa renyah, terutama Siraj.
“Sekarang sudah agak malam. Sebaiknya kita pulang, dan berkumpul di rumahku besok pagi,” ujarku. “Baik, Kiai,” jawab mereka hampir bersamaan.
Tengah malam harinya aku melakukan shalat istikharah dan memanjatkan doa kepada Allah Swt. agar ditunjukkan isyarat apakah nama Muhammadiyah yang diusulkan Sangidu merupakan nama yang tepat bagi
calon perkumpulan yang akan aku dirikan. Semakin lama aku berdoa, semakin aku merasakan bahwa usulan nama yang diberikan Sangidu adalah nama yang sangat cocok. Malam itu, aku bisa tidur dengan nyenyak, dan bangun dengan tubuh sangat segar menjelang shalat Subuh.
Keesokan paginya setelah mereka semua berkumpul di depan rumah. Walidah dan anak-anakku pun ada di sana. Inilah saatnya untuk mengumumkan nama perkumpulan baru itu. “Alhamdulillah setelah semalam melakukan shalat istikharah, aku mendapatkan keyakinan bahwa Muhammadiyah merupakan nama yang cocok untuk perkumpulan ini,” kataku dengan gembira.
“Alhamdulillah! Allahu Akbar!” seru hadirin tak kalah semangat.
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah. Jangan mencari kehidupan dalam Muhammadiyah,” ujarku disambut jawaban serempak. “Insya Allah.”
“Hendaknya, siapa pun yang menjadi anggota Muhammadiyah harus mencontoh pribadi Rasulullah Saw.,” lanjutku. “Mampu diberi amanah, menjunjung tinggi persamaan hak dan bersifat terbuka. Bisakah kalian lakukan itu?”
Mereka mengangguk dan mengatakan “bersedia”.
Setelah berdoa agar pilihan nama ini membawa keberkahan bagi kami, aku sodorkan surat kesepakatan kepada murid-muridku untuk menjadi anggota Muhammadiyah. Setelah semuanya menandatangani, kami bersalaman dan berpelukan. Selain empat muridku yang selama ini sangat setia kepadaku, tiga orang lainnya yang menandatangani kesepakatan untuk menjadi pengurus itu adalah Haji Abdul Ghani, Raden Syarkawi, dan Haji Muhammad Tamim.
Selesai dengan acara sederhana di rumah, kami berangkat menuju Kweekschool Jetis dan menuju ruangan tempat para pengurus Budi Utomo berkantor. Aku memperkenalkan para muridku kepada R. Budiharjo dan R. Dwijosewoyo. “Ini semua yang akan menjadi pengurus perkumpulan baruku yang akan dinamakan Muhammadiyah, Mas Budi, Mas Dwijo,” ujarku.
“Jadi nanti nama perkumpulan itu Muhammadiyah, Kiai Dahlan?” tanya Budiharjo. “Artinya apa?”
“Orang-orang yang mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad. Ini usulan dari Sangidu,” kataku sambil menunjuk Sangidu. Dua pengurus Budi Utomo itu menganggukkan kepala mereka kepada Sangidu yang tersipu malu.
“Baiklah, ini surat untuk menjadi anggota Budi Utomo. Tolong diisi,” ujar R. Dwijosewoyo sembari membagikan formulir keanggotaan kepada tujuh orang calon pengurus Muhammadiyah. Selama Sudja dan kawan-kawan mengisi formulir itu, aku menjelaskan lebih jauh maksud dan tujuan berdirinya Muhammadiyah sebagai perkumpulan Islam bagi semua kalangan.
Selesai mengisi formulir keanggotaan Budi Utomo, setiap anggota baru membayar iuran bulan sebesar 0,25 gulden per bulan. R. Dwijosewoyo langsung bekerja cepat dengan mengesahkan keanggotaan baru dan memberikan nomor anggota. Setelah itu, Budi Utomo sebagai sebuah perkumpulan yang sudah lebih dulu berdiri mengusahakan permohonan izin (recht persoon) kepada pemerintah Hindia-Belanda bagi berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah.
Surat permohonan izin yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Belanda dan Sri Sultan Hameng-kubuwono VII itu menyebutkan bahwa menempatkan Ahmad Dahlan menjadi “President” perkumpulan ini— sebuah istilah yang kelak yang menjadi pemicu timbulnya masalah baru.
Selesai urusan administratif itu, aku memeluk R. Budiharjo dan R. Dwijosewoyo atas bantuan mereka yang tulus. “Terima kasih, Mas Budi, Mas Dwijo,” kataku. “Sama-sama, Kiai Dahlan,” jawab mereka. “Selama untuk memajukan rakyat bumiputera, kita harus selalu bekerja sama,” ujar Dwijosewoyo.
Sore harinya, murid-muridku tambah bersemangat mengabarkan berdirinya Muhammadiyah kepada sebanyak mungkin khalayak. Hisyam dan Fahrudin datang ke Masjid Gedhe Kauman dan menjelaskan kepada para marbut mengapa sebaiknya mereka masuk menjadi anggota Muhammadiyah. “Para marbut itu langsung setuju, Kiai,” ujar Hisyam dalam laporannya yang bersemangat kepadaku. “Mereka langsung menandatangani kertas surat sebagai anggota,” tambahnya.
Keberhasilan murid-murid Langgar Kidul mengajak para marbut menjadi calon anggota Muhammadiyah membuat mereka pulang dengan wajah senang sehingga meskipun di jalan mereka berpapasan dengan para santri Jam’iyah Nuriyah yang berwajah masam dan menunjukkan ketidaksukaan mereka, murid-murid Langgar Kidul sudah tak lagi menundukkan wajah lesu seperti biasa.
RYKBESTUUR der Yogyakarta yang dijabat Patih Dalem Sri Sultan membawakan dokumen richt persoon (permohonan izin) pendirian Persyarikatan Muhammadiyah yang direkomendasikan oleh Budi Utomo kepada Sri Sultan Hamengkubuwono VII di ruang kerjanya di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Hmm … permintaan izin untuk mendirikan perkumpulan apa lagi, Sri Patih?” tanya Sri Sultan.
“Tampaknya perkumpulan agama, Sinuwun,” jawab Patih Dalem dengan khidmat. “Dari bekas khatib amin Masjid Gedhe Kauman Kiai Dahlan.”
Sri Sultan membaca surat yang dilengkapi dengan beberapa lampiran. Melihat nama Kiai Ahmad Dahlan tertulis sebagai President Muhammadiyah, Sri Sultan mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum. “Akhirnya!” ujar Sri Sultan dengan nada lega. “Coba panggilkan putra almarhum Kiai Abu Bakar ini agar bertemu saya secepatnya,” katanya memberi perintah.
“Saya menyambut bahagia berita ini, Kiai Dahlan,” tutur Sri Sultan setelah aku menghadap. “Berarti tidak sia-sia imbauan saya 8-9 tahun yang lalu saat menceritakan pertemuan saya dengan dr. Wahidin, dan menyuruh Kiai untuk membentuk perkumpulan serupa di bidang agama.”
“Betul, Sinuwun. Terima kasih atas cerita Sinuwun dulu yang membuat saya bersemangat untuk membuat perkumpulan Muhammadiyah ini.”
“Saya hanya mengingatkan Kiai Dahlan, jangan sampai Muhammadiyah nanti mengecilkan kedudukan Masjid Gedhe Kauman,” pesannya. “Ini harus benar-benar Kiai perhatikan.
“Saya berjanji, Sinuwun. Fungsi Masjid Gedhe tidak akan pernah digantikan oleh Muhammadiyah karena Masjid Gedhe adalah tempat untuk ibadah. Sedangkan Muhammadiyah adalah wadah untuk meningkatkan pendidikan umat. Tidak ada yang saling mengecilkan,” jawabku.
Sultan kembali mengangguk-anggukkan kepalanya. “Saya tidak mau ada perselisihan di kalangan umat soal keyakinan agama ini dengan berdirinya Muhammadiyah.”
“Muhammadiyah bukan agama, Sinuwun. Tidak ada maksud Muhammadiyah untuk menyebarkan keyakinan agama sendiri. Muhammadiyah sebagai perkumpulan justru akan menerima orang-orang dari berbagai kalangan dan mazhab, sepanjang mau terus mencontoh kehidupan Kanjeng Nabi Saw.”
Baiklah, Kiai Dahlan. Semoga perkumpulan yang akan Kiai dirikan ini benar-benar mendatangkan manfaat bagi umat Islam khususnya di Yogyakarta ini.”
“Insya Allah, Sinuwun. Saya juga berterima kasih atas dukungan Sinuwun selama ini.”
MESKIPUN secara prinsip Sri Sultan Hamengkubuwono VII tak keberatan pada permohonan izin pendirian Per-syarikatan Muhammadiyah, karena hal itu menyangkut agama Islam, Sri Sultan memerintahkan Patih Dalem sebagai Rykbestuur der Yogyakarta meneruskan surat itu kepada Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat agar dibahas pada sidang Raad agama. “Ngarsa Dalem memerintahkan agar permohonan ini dibicarakan secepatnya oleh para anggota Raad agama yang Kiai Penghulu pimpin,” ujar Patih Dalem. Mendapat titah yang jarang terjadi seperti itu membuat Kiai Kamaludiningrat langsung mengumpulkan para anggotanya yang sebagian
besar adalah khatib amin Masjid Gedhe. Rapat dimulai sekitar pukul 16.30 saat itu juga di Pendopo Pengulon.
Dengan wajah masam, Kiai Penghulu memasuki Pendopo yang sudah dipenuhi para anggota Raad, termasuk di antaranya Kiai Haji Muhammad Noor dan Kiai Haji Muhsin. Sedangkan kakak ipar Kiai Dahlan nomor tiga, Kiai Haji Muhammad Saleh tidak terlihat. Di tangan kanannya tergenggam surat yang diberikan Patih Dalem untuk dibahas. “Maafkan untuk undangan yang mendadak ini, karena saya mendapatkan amanat dari Patih Dalem sebagai Rykbestuur der Yogyakarta untuk segera membahas surat ini,” kata Kiai Kamaludiningrat sambil mengangkat surat itu tinggi-tinggi sehingga bisa dilihat seluruh peserta rapat.
“Baiklah saya bacakan isinya,” ujar Kiai Penghulu sambil membuka isi surat dan membacanya keras-keras. Ketika sampai pada bagian tempat namaku tertulis, Kiai Penghulu membaca lebih keras lagi. Katanya, “Di sini tertulis bahwa Kiai Ahmad Dahlan akan menjadi Resident,” Kiai Penghulu berhenti sejenak membaca, dan memperhatikan lagi kalimat itu. “Benar, di sini memang tertulis Resident,” ujar Kiai Penghulu sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Napas Kiai Penghulu langsung naik turun dengan cepat, wajahnya memerah. Suaranya bergetar karena amarah.
“Resident? Dahlan jadi resident?” ujarnya tanpa menyebut namaku tanpa kata kiai sama sekali. “Berani sekali Dahlan mengangkat dirinya sebagai resident?
Itu berarti sama saja dia berniat menggeser saya secara langsung!” lanjutnya sambil berjalan mondar-mandir dan berulang-ulang mengacungkan surat itu dengan ekspresi kemarahan yang jelas dirasakan oleh semua hadirin. “Bagaimana menurut para Kiai?”
“Ini sama saja pemberontakan,” Kiai Muhsin angkat bicara dengan geram. “Dulu Dahlan mundur dari jabatan khatib amin, menggalang massa di Langgar Kidul, bergabung dengan Budi Utomo, dan sekarang memengaruhi pemerintah dan Ngarsa Dalem untuk meraih kedudukan sebagai kiai resident. Ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi!”
Wajah Kiai Penghidu semakin merah saat mendengarkan kata-kata Kiai Muhsin. Dia bersidekap dalam posisi berdiri. “Ada pendapat lain?” katanya.
Kiai Faqih mengangkat telunjuknya. “Bisa saya bicara, Kiai Penghulu?”
“Silakan,” jawab Kiai Penghulu. “Ini memang majelis untuk membahas permohonan Kiai Dahlan, karena saya harus memberikan jawaban kepada Rykbestuur secepatnya.”
“Saya khawatir jika diizinkan berdiri di Kauman, Muhammadiyah akan menyebarkan paham modem yang bertentangan dengan syariat Islam seperti yang ditunjukkan Kiai Dahlan dengan pakaian dan cara dakwahnya selama ini dengan memakai musik,” ujar Kiai Faqih.
“Baiklah. Terima kasih, Kiai Faqih,” Kiai Kamaludiningrat lalu menyimpulkan pertanyaannya. “Jadi? Apakah saya pantas mengizinkan perkumpulan Muhammadiyah berdiri dengan pertimbangan-pertimbangan yang sudah diberikan Kiai Muhsin dan Kiai Faqih tadi?”
Tak ada yang menjawab. Kiai Penghulu menatap Kiai Lurah Muhammad Noor. “Bagaimana menurut Kiai Lurah?”
“Semua saya serahkan kepada Kiai Penghulu selaku Raad Hukum Agama Dalem Keraton,” jawab Kiai Noor hati-hati. “Apa yang menurut Kiai Penghulu sebagai keputusan terbaik, itulah yang akan saya dukung.”
Kiai Noor kembali menundukkan kepala. Masalah ini sekarang sudah sampai pada puncak terpeliknya. Bagi sebagian besar kiai yang ada di ruangan ini, aku adalah hanya teman sesama kiai. Namun bagi Mas Noor, aku juga adalah sepupu sekaligus adik ipar yang sudah sangat dikenal sejak kecil. Yang belum jelas baginya adalah menyangkut Muhammad sebagai perkumpulan karena aku tidak pernah berbicara sebelumnya soal ini. Apakah Muhammadiyah ini akan dibentuk seperti Budi Utomo, atau seperti Jam’iyah Nuriyah?
Kiai Penghulu sendiri juga masih diam setelah mendengarkan jawaban Kiai Noor. Tubuhnya yang mulai terlihat renta masih menunjukkan tanda-tanda amarah yang belum sepenuhnya berhasil dia kuasai. “Kalau begitu, saya sudah bulat hati untuk mengambil
keputusan ini,” katanya. “Sebagai Raad Hukum Agama Dalem saya tidak menyetujui permohonan Kiai Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah!”
Semua kiai di dalam ruangan itu menganggukkan kepala tanda setuju, hanya Kiai Noor yang terdiam. Namun dia tak punya pilihan lain, keputusan telah diambil. “Baiklah kalau begitu, pertemuan ini selesai, dan keputusan penolakan ini akan saya sampaikan secepatnya kepada Rykbestuur der Yogyakarta,” ujar Kiai Penghulu.
Para kiai segera keluar dari ruangan. Namun salah seorang kiai mendekati Kiai Kamaludiningrat dan menyerahkan selembar surat.
“Surat apa ini, Kiai?” tanya Kiai Penghulu.
“Ini tanda keikutsertaan saya sebagai calon anggota Muhammadiyah,” jawab kiai itu. “Karena Kiai Penghulu tidak menyetujui berdirinya Muhammadiyah, saya harus menyerahkan surat ini kepada Kiai agar tidak muncul fitnah di belakang hari.”
“Baiklah, Kiai,” jawab Kiai Kamaludiningrat. “Surat Kiai ini nanti akan saya kembalikan bersama surat permohonan izin ini kepada Rykbestuur.”
Saat itu juga Kiai Penghulu menyuruh seorang marbut untuk mengantarkan kedua surat kembali kepada Rykbestuur dengan pesan bahwa seluruh anggota Raad Agama Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat setuju untuk menolak memberikan izin bagi berdirinya Muhammadiyah.
MENYUSUL hasil sidang para kiai di Pendopo Pengulon, segera terjadi kesibukan di Langgar Kidul karena para marbut Masjid Gedhe langsung mengembalikan formulir pendaftaran yang sudah mereka tanda tangani kepada Fahrudin dan Sudja. Dirjo yang melihat peristiwa itu langsung merasa tak enak hati. Air mukanya langsung berubah murung karena bagaimanapun Kiai Penghulu adalah pamannya sehingga dia memutuskan untuk pergi ke rumah Hisyam.
“Haji Sudja, saya pamit dulu mau ke rumah Hisyam,” katanya tanpa menunggu jawaban Sudja.
Dirjo sudah sampai di depan rumah Hisyam, tapi batal memanggil temannya karena mendengar suara ibu Hisyam yang sedang marah.
“Kamu ini memang ndableg Syam, kepala batu!” sembur ibunya. “Kamu lahir brojol diazani Kiai Penghulu. Mestinya kamu jadi orang alim, belajar sama Kiai Penghulu. Syukur-syukur bisa jadi khatib amin Masjid Gedhe. Bukan malah ngaji sama Kiai Dahlan yang disebut orang sebagai kiai kafir itu.”
“Kiai Dahlan bukan kiai kafir, Bu. Aku lihat sendiri dia shalat dan melakukan ibadah lain yang dikerjakan para kiai,” jawab Hisyam.
“Kamu ini memang ndak bisa dinasihati. Ndablegl” teriak ibunya. “Oooo…”
Lalu terdengar keributan di dalam, saudara-saudara Hisyam mengatakan “Ibu pingsan!” “Kamu memang kurang ajar!”
Dirjo kebingungan di luar rumah Hisyam, apakah akan membantu masuk atau tetap di luar saja. Belum sempat dia mengambil keputusan, sudah terdengar suara keras dari dalam rumah. “Pergi kamu! Bikin kacau rumah! Pergi!” bentak suara itu.
Wajah Dirjo memucat mendengar suara bentakan itu sehingga dia buru-buru meninggalkan rumah Hisyam sebelum terlibat dalam kesulitan lebih jauh. Kepala Dirjo dipenuhi berbagai pikiran yang membuatnya tak memperhatikan suasana di sekitarnya. Bagaimana kalau nanti orangtuanya juga marah seperti keluarga Hisyam dan mengusirnya? Apalagi Kiai Penghulu adalah pakdenya sendiri? Apa yang akan dikatakan Kiai Penghulu seandainya dia tahu bahwa dirinya masih juga mengikuti pengajian yang diselenggarakan Kiai Dahlan meski tidak serajin kawan-kawannya?
“Kalau mau kafir, kafir saja sendiri, Jo! Jangan ajak orang sekampung,” sebuah suara membuyarkan pikiran Dirjo. Dua orang marbut Masjid Gedhe sudah berada di depannya dengan air muka mengejek. “Untung aku ndak ikut-ikutan pengajian sesat gurumu itu!”
“Kalian yang munafik! Seenaknya nuduh orang lain kafir!” balas Dirjo murka. Seluruh kemarahan yang tersimpan selama ini membuncah keluar. “Kiai Dahlan itu pernah belajar di Makkah dan sudah dua kali haji. Ndak seperti kalian yang ndak tahu apa-apa tapi sombongnya setengah mati!”
“Eh, jangan kurang ajar, Jo!” kata Timan salah seorang marbut sambil merangsek maju hendak memukul Dirjo, tapi sempat ditahan temannya. “Kalau bukan keponakan Kiai Penghulu, sudah bonyok mukamu!”
“Mukamu duluan yang aku bikin bonyok, Man!” seru Diijo yang balas menyerang marbut itu dengan agresif. Satu pukulannya sempat masuk ke badan Timan. Tiba-tiba Dirjo merasa badannya ditarik ke belakang. Dia menyangka bahwa yang menariknya adalah marbut lain sehingga Dirjo membalikkan badan dengan cepat dan bersiap-siap menyerang. Tapi tinjunya yang sudah siap meluncur ke sasaran mendadak jatuh setelah melihat orang yang berada di depannya sekarang … Kiai Lurah Muhammad Noor!
“Apa-apaan ini?” bentak Kiai Noor. “Kalau mau berkelahi, salah satu dari kalian harus murtad lebih dulu!”
“Dia yang mulai duluan, Kiai!” jawab Diijo.
“Tapi dia yang mukul duluan!” balas Timan.
“Kalian hanya boleh berkelahi dengan orang kafir, bukan sebagai sesama orang beriman!” seru Kiai Noor. “Apakah ada di antara kalian yang sudah kafir?”
“Dirjo itu yang kafir, Kiai, karena dia belajar sama kiai kafir!” seru Timan sambil menunjuk Dirjo. “Dia …”
“Eh, kamu jangan sembarangan bilang orang kafir tanpa bukti yang jelas!” potong Kiai Noor. “Bisa-bisa kamu yang kafir karena memfitnah orang.”
Timan terdiam meski wajahnya masih terlihat tidak puas. Dirjo juga masih mendongkol setengah mati meski sedikit senang karena satu pukulannya sempat bersarang di badan Timan.
“Ayo, kalian berdamai. Salaman!” ujar Kiai Noor. Kedua pihak terlihat malas-malasan. “Ayo!”
DI BERANDA depan rumahku, Sangidu, Sudja, dan Fahrudin duduk di hadapanku dengan wajah lesu. Di atas meja terserakbanyaklembaran formulir keanggotaanyang dikembalikan orang-orang yang sudah menandatangani sebelumnya.
“Mereka semua ketakutan, Mas Dahlan,” ujar Sangidu.
“Iya, Kiai,” tambah Fahrudin. “Sebagian besar bilang mereka takut nanti dianggap kafir. Ada juga yang bilang takut ditangkap pemerintah Belanda kalau ikut perkumpulan yang tidak disetujui.”
Aku merasakan jantungku berdegup lebih cepat. Peristiwa ini sungguh tak pernah kuperkirakan akan terjadi. Tadinya kupikir dengan bantuan Budi Utomo, izin pendirian persyarikatan ini akan turun dengan cepat. Tetapi jika semua izin akhirnya tergantung pada Kiai Penghulu Kamaludiningrat sebagai ketua Raad Agama, bukankah semua hasilnya langsung jelas terlihat?
“Jadi bagaimana, Kiai Dahlan?” tanya Sudja. “Apa rencana Kiai selanjutnya soal Muhammadiyah ini?”
“Belum ada,” jawabku. “Mungkin nanti harus saya bahas lagi dengan teman-teman dari Budi Utomo.”
“Berarti sia-sia pendaftaran kita sebagai anggota Budi Utomo dan iuran bulanan yang sudah dibayarkan Kiai Dahlan,” sahut Hisyam dengan wajah muram.
“Insya Allah tidak ada yang sia-sia, Syam,” jawabku. “Mungkin ini jalan yang diberikan Allah agar kita bekerja lebih keras dan mencari cara lebih cerdik untuk keluar dari masalah ini.”
Siraj memainkan lembaran-lembaran formulir itu dengan meletakkan satu di atas yang lain, lalu mengubahnya, merapikannya, menyebarkan kembali. Aku tahu Siraj juga sangat sedih mengenai perkembangan yang tak terduga ini.
“Assalamu ‘alaikum,” Kiai Noor tiba-tiba sudah ada di depan kami.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Silakan masuk ke dalam, Kangmas,” jawabku sambil melihat ke arah murid-muridku. “Bubar dulu.”
“Baik, Kiai,” jawab mereka sambil berpamitan kepadaku dan Kiai Noor. Kiai Noor menjawab salam mereka dan berkata kepada Siraj. “Kamu sudah besar sekali Siraj.”
Siraj tersipu malu. “Pakde mau minum apa?” tanyanya sopan. Kiai Noor menggeleng. “Tidak usah Siraj, terima kasih. Pakde mau pinjam bapakmu sebentar buat ngobrol di Langgar Kidul. Mana ibumu?”
“Ibu tadi sedang pergi sama Mbakyu Johanah, Pakde.”
“Baiklah, nanti sampaikan salam Pakde buat Ibu dan mbakyumu, ya,” kata Kiai Noor sambil beranjak menuju Langgar Kidul. Aku mengikuti Mas Noor dengan pandangan cemas Siraj.
Di dalam Langgar Kidul, Mas Noor tak langsung bicara. Dia melihat-lihat ke sekeliling ruangan dan berdiri ke sebuah tempat di lantai. “Dahlan, di tempat ini aku pernah mengambil sebuah Al-qur’an yang beberapa halamannya cabik dan tertumpuk puing-puing,” katanya. Aku diam, hanya memperhatikan Mas Noor tanpa menjawab.
Mas Noor kembali duduk di depanku. “Kita keluarga, Dahlan. Bukan hanya sebagai sesama Muslim, tapi juga karena ikatan darah yang kental. Tidak sepatutnya kita saling membenci hanya karena mempertahankan pemikiran sendiri,” ujarnya sambil menatapku tajam-tajam. “Pemikiranmu untuk mendirikan perkumpulan Muhammadiyah sekarang menambah panjang masalah-masalah yang masih belum tuntas sebelumnya.”
Aku menghela napas lirih sambil beristighfar perlahan. “Astaghfirullahal ‘adzim.”
“Dahlan, kita masing-masing mempunyai tanggung jawab berjihad, menjadi manusia terbaik di mata Allah Swt. Tapi haruskah keutuhan keluarga dikorbankan seperti ini?” sambung Mas Noor. “Kita sudah susah sekali berkumpul seperti dulu sebagai satu keluarga.”
“Maaf, Mas Noor. Tidak ada niat saya mengorbankan siapa pun. Saya justru menghormati orang-orang yang berbeda pendapat dengan saya. Mas Noor tahu sekali pendapat saya soal itu.”
Pandangan mata Mas Noor kembali menyusuri tembok langgar, atapnya, lalu dia melihat ke atas, ke arah atap. “Langgar ini pernah menjadi saksi perbuatan manusia paling rendah. Merusak, menghancurkan. Sangat menyedihkan.”
Kata-kata Mas Noor itu mengoyak lagi luka hatiku yang sudah lama kering. Bayangan malam saat sekelompok orang suruhan Kiai Penghulu membongkar langgar ini dikawal oleh polisi Belanda kembali berkelebatan. Aku kembali merasakan sakit di ulu hati, perih yang menyodok-nyodok.
“Manusia bisa merusak di mana saja, Mas Noor. Tidak hanya di langgar ini,” jawabku sambil mencoba melawan perasaan perih yang menyebar dengan cepat. “Manusia selalu punya keinginan untuk menguasai orang lain dan lingkungan sekitarnya, merusak, dan enggan dipersalahkan setelah kerusakan itu terjadi.”
Mas Noor mengangguk. Kulihat dia seperti menelan ludah untuk menenangkan dirinya sendiri, sebelum mendadak berdiri. “Baiklah, Dimas. Sudah saatnya aku pergi,” katanya sambil beranjak menuju pintu langgar. Aku mengikutinya. Di depan pintu, Mas Noor berbalik menghadapku dan menepuk-nepuk pundakku. “Kau tahu yang paling baik untukmu, Dimas. Jangan pernah mengira aku memusuhimu. Kau tetap adikku, keluargaku,” katanya sambil memelukku. Aku balas pelukan Mas Noor dengan erat tanpa berkata-kata karena seluruh gerak tubuh kami saat ini sudah lebih menggambarkan apa yang sebenarnya sedang bergolak di pikiran masing-masing.
Mas Noor kemudian melepas pelukannya. Kulihat sudut matanya sedikit basah, seperti juga sudut mataku. “Sekali-sekali kamu datanglah ke Langgar Lor,” katanya.
“Insya Allah, Kangmas. Terima kasih atas kedatangan Kangmas.”
Tak kusangkal, kedatangan Mas Noor membuat sebagian beban pikiranku menghilang dengan cepat. Mas Noor memang tidak dengan tegas mengatakan bahwa dia membelaku dalam permasalahan dengan Kiai Penghulu ini. Namun kata-katanya “Jangan pernah mengira aku memusuhimu” sudah merupakan penawar yang cukup manjur saat ini. Apalagi bagi Walidah, istriku yang merupakan adik Mas Noor. Kata-kata Mas Noor ini pasti akan berakibat banyak bagi Walidah yang juga cukup tertekan selama ini.
Dan seperti yang kubayangkan, Walidah mendengar dengan ekspresi tidak percaya ketika kuceritakan ulang kedatangan Mas Noor. “Benarkah Kangmas Noor bilang begitu?” tanyanya seperti tidak percaya.
“Betul. Itulah kata-kata persis yang Mas Noor ucapkan tadi,” kataku.
“Alhamdulillah,” jawab Walidah dengan wajah bersimbah air mata, dan langsung memelukku. “Kalau begitu, besok pagi aku mau langsung ke rumah Kangmas Noor,” katanya.
“Ide baik itu. Sampaikan salamku buat Mbakyu Noor,” kataku. “Maaf aku masih belum bisa ikut karena masih memikirkan soal Muhammadiyah ini.”
“Tidak apa-apa, Mas. Yang penting silaturahim kita dengan keluarga sudah membaik lagi. Sebenarnya aku pikir keluarga juga memahami tindakan-tindakan Mas Dahlan selama ini, cuma mereka bingung saja bagaimana harus menunjukkan itu di depan Kiai Penghulu.”
“Mudah-mudahan apa yang kamu pikirkan itu benar, Bu,” jawabku. “Oh ya, tolong ambilkan bagan organisasi Muhammadiyah.”
Walidah mengambilkan apa yang aku minta. Aku buka lembaran bagan organisasi itu yang kini sudah tertulis PERKUMPULAN ISLAM MUHAMMADIYAH. Beberapakotak namaku sebagaipresidentMuhammadiyah berada paling atas dengan nama-nama pengurus lain di bagian bawah. Apakah keinginan ini akan segera terwujud, atau tulisan-tulisan ini akan membeku di atas kertas selamanya?
AKU sedang memberikan pengajian sore di Langgar Kidul seperti biasa. Hanya kali ini tak ada Hisyam. Kekhusyukan suasana pengajian mendadak terganggu dengan masuknya Humam, putra Mas Noor, yang datang dengan grasa-grusu.
“Paklik, Zaenab mana?” katanya dengan suara keras tanpa basa-basi. Zaenab adalah putri Humam, cucu Mas Noor. Suasana pengajian langsung senyap. Wajah-wajah murid pengajian langsung ketakutan. Aku mencari Zaenab yang rupanya bersembunyi di balik badan seorang kawannya.
“Zaenab, bapakmu menjemput, Nak,” kataku mencoba membujuk anak itu. Zaenab yang berusia 11-12 tahun itu menyembulkan wajahnya yang ketakutan. Mata Humam langsung membesar begitu melihat anaknya. “Ayo, cepat pulang, Nab!”
“Ndak mau,” jawab Zaenab hampir menangis. “Aku mau ngaji di sini.”
“Pulang!” hardik Humam sambil mendekati Zaenab dan menarik tangan anaknya. “Ngaji di Langgar Lor tempat Mbah Noor saja!” katanya kasar.
“Ndak mau, Pak. Ndak mau!” katanya sambil menangis karena sedih dan malu diseret bapaknya tanpa ampun. “Aku mau di sini, ngaji sama Mbah Dahlan,” katanya di sela-sela isak tangis. Tapi Humam tak peduli. Dia terus menarik tangan anaknya sampai ke depan pintu. Hatiku teriris sedih melihat kejadian yang disaksikan banyak mata yang masih hijau di langgar ini.
Di dekat pintu, aku berkata pelan kepada Humam. “Jangan terlalu kasar terhadap anak, Humam. Mereka bukan benda mati yang bisa diseret-seret semaunya.”
Humam tak menjawab, selain menggamit putrinya untuk pergi secepatnya dari langgarku. Saat aku kembali menatap para murid pengajian, salah seorang bertanya dengan polos. “Kenapa Zaenab tidak boleh mengaji di langgar mbahnya sendiri, Kiai Dahlan?”
“Bukan tidak boleh,” jawabku agak kebingungan mencari jawaban yang tidak terlalu konfrontatif tapi juga tidak berbohong. “Mungkin, ini baru mungkin, lho, ya. Zaenab tadi belum minta izin mau ngaji di sini sama Kiai Noor. Jadi mungkin juga Kiai Noor bingung melihat Zaenab yang biasanya ikut ngaji, kok, ndak kelihatan. Jadi menyuruh bapak Zaenab buat melihat ke sini. Ayo, kita lanjutkan ngajinya lagi. Sampai mana tadi?”
WAJAH Sri Sultan Hamengkubuwono VII tampak seperti tak percaya saat mendengarkan penjelasan Patih Dalem sebagai Rykbestuur der Yogyakarta yang mengurusi proses perizinan perkumpulan Muhammadiyah. “Ditolak?” tanyanya dengan heran. “Apa alasannya ditolak? Muhammadiyah bukan perkumpulan politik! Seharusnya tidak ada alasan apa pun untuk menolak permohonan Kiai Dahlan.”
“Saya mengerti maksud Sinuwun,” jawab Patih Dalem dengan sangat hati-hati. “Saya tahu bahwa Muhammadiyah bukan perkumpulan politik, bahkan saya pun sudah mendapatkan penjelasan dari dokter Wahidin tentang tujuan didirikannya Muhammadiyah yang diinginkan Kiai Dahlan. Tapi secara struktural, setiap perkumpulan agama yang akan didirikan di
Yogyakarta itu harus mendapatkan izin dari Kiai Penghulu Muhammad Kholil Kamaludiningrat.”
Sri Sultan kaget mendapat jawaban Patih Dalem. “Jadi maksudmu yang tidak memberikan izin itu adalah Kiai Penghulu Masjid Gedhe? Alasannya apa?”
“Alasan persisnya saya belum tahu, Sinuwun,” ujar Patih Dalem. “Cuma saat mengembalikan surat permohonan izin berdirinya Muhammadiyah, ada juga surat lain dari kiai anggota Raad Agama yang batal menjadi pengurus Muhammadiyah.”
“Kalau begitu, cari tahu apa penyebab persisnya Kiai Penghulu keberatan. Coba Patih sendiri yang bicara langsung dengan dia.”
“Baik, Sinuwun, segera hamba laksanakan.”
Pertemuan Patih Dalem dengan Kiai Penghulu Kamaludiningrat berlangsung di kantor Rykbestuur der Yogyakarta di Danurejan pada hari yang sama.
“Tolong jelaskan Kiai Penghulu, mengapa Anda menolak permohonan izin Kiai Dahlan yang akan mendirikan perkumpulan agama?” tanya Patih Dalem.
“Itu hasil pertemuan anggota Raad Agama Bapak Rykbestuur, bukan keputusan saya sendiri.” Kiai Penghulu membela diri.
“Iya, saya tahu. Tapi sebagai ketua Raad Agama, Kiai Penghulu bisa menjelaskan kepada saya apa alasan utama yang menjadi dasar penolakan karena Sri Sultan sendiri ingin tahu soal itu.”
Wajah Kiai Penghulu mendadak pias. “Sri Sultan ingin tahu?” katanya tak selancar awal pembicaraan. “Apakah Kiai Dahlan melaporkan penolakan itu kepada Sinuwun?”
“Saya tidak tahu soal itu, Kiai Penghulu,” jawab Patih Dalem dingin. “Saya hanya diperintahkan Ngarsa Dalem untuk mendapatkan jawaban langsung dari Kiai Penghulu tentang alasan utama tidak diberikannya izin itu.”
“Begini, Pak Rykbestuur,” ujar Kiai Penghulu. “Kiai Dahlan itu pernah diangkat Sri Sultan sebagai khatib amin Masjid Gedhe Kauman. Lalu, atas keinginan sendiri mengundurkan diri beberapa tahun lalu. Sekarang dia ingin menjadi resident Muhammadiyah, berarti Kiai Dahlan tidak hanya ingin menguasai umat Islam Muhammadiyah, tapi juga umat Islam Kauman dan semua yang bermukim di Karesidenan Yogyakarta. Lalu, bagaimana jika nanti orang-orang Kauman tidak mau menuruti perintah saya lagi sebagai Hoofd Penghulu, sebagai Kiai Penghulu Masjid Gedhe? Ini bukan hanya berbahaya bagi umat Islam, tapi juga bagi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.”
Patih Dalem terkejut mendengar penjelasan Kiai Kamaludiningrat. Keningnya mengernyit. “Resident? Siapa yang memohon jadi resident% Kiai?” tanya Patih Dalem curiga.
“Kiai Dahlan!” jawab Kiai Penghulu. “Saya baca sendiri di surat permohonannya.”
“Ah, seingat saya tidak ada soal resident itu. Coba kita baca lagi surat permohonan izinnya,” ujar Patih Dalem sambil membuka surat yang disusun oleh R. Dwijosewoyo itu. Senyum kecil Rykbestuur der Yogyakarta mengembang di ujung bibirnya. “Jadi, Kiai Penghulu tidak tahu bedanya antara president dan resident?” Senyum Patih Dalem berubah menjadi tawa lebar. “Coba baca ulang surat ini dan tunjukkan kepada saya bagian mana yang ada tulisan resident?”
Kiai Penghulu mengambil surat itu dan membacanya berulang-ulang sebelum berkata, “Maaf, ternyata tidak ada kata resident, yang ada president” katanya dengan suara tercekat sembari mengembalikan surat itu kepada Patih Dalem.
“Kiai Dahlan tidak mungkin menjadi resident, Kiai Penghulu. Kalau toh bisa, tidak semudah itu,” tutur Patih Dalem. “Dalam surat itu tertulis, Kiai Ahmad Dahlan mengajukan diri sebagai president Muhammadiyah, bukan resident. President itu artinya direktur, kepala. Atau kalau buat sekolah, artinya sama dengan Kepala Sekolah. Ngerti ndak, Kiai?” tanya Patih Dalem yang mulai terasa memojokkan Kiai Kamaludiningrat yang tak bisa menjawab lagi, selain menelan ludah berulang-ulang.
“Jadi, Kiai Penghulu tenang saja,” ujar Patih Dalem setelah berhasil mengendalikan tawanya. “Tidak ada yang mengganggu jabatan Kiai sebagai pemegang kuasa Raad Hukum Agama Masjid Gedhe.”
Kiai Penghulu tertunduk malu. Dia tidak bisa membayangkan akan seperti apa reaksi Sri Sultan saat mendengarkan penjelasan Patih Dalem menyangkut dasar penolakan izin Muhammadiyah itu.
“Bagaimana Kiai Penghulu, apakah sudah mengerti apa yang saya jelaskan tadi mengenai perbedaan president dan resident?” tanya Patih Dalem.
“Ya, saya mengerti.”
“Syukurlah kalau Kiai Penghulu mengerti. Jadi, apakah Kiai Penghulu tetap tidak akan mengizinkan Muhammadiyah berdiri atau akan menyetujui surat permohonan ini.”
“Saya setujui surat permohonan ini.”
“Baik,” ujar Patih Dalem sambil membuka lagi surat itu dan membubuhkan catatan perbaikan. “Akan saya tulis bahwa Kiai Penghulu dan majelis Raad Agama menyetujui surat permintaan izin ini, betul?”
Kiai Penghulu mengangguk lemah. “Betul,” katanya.
SAMPAI kembali ke Masjid Gedhe Kauman, Kiai Kamaludiningrat tak henti merenung dan mengucap istighfar atas kekeliruan sepele namun berakibat fatal. Kekeliruan karena alpa membaca huruf “p” dalam kata “president”, yang bertambah buruk dengan galau amarah yang sedang membakar dadanya, sehingga menyebabkan dia tak bisa lagi berpikir jernih.
Rembang petang sudah membayang di langit menjelang magrib. Para marbut Masjid Gedhe Kauman menggelar tikar di serambi masjid sebelum kedatangan para jamaah. Begitu melihat Kiai Penghulu memasuki gerbang Masjid Gedhe, mereka langsung menghentikan pekerjaan masing-masing dan membuat posisi sembah. Kiai Kamaludiningrat melihat semua perubahan itu dengan perasaan hati galau dan rasa bersalah yang tiba-tiba meninggi. Ada perasaan tidak nyaman, dan kini rasa malu karena merasa tidak pantas, yang mendera dadanya.
“Kamu Abdul Rosid,” katanya sambil menunjuk seorang marbut yang langsung mengangkat kepala saat namanya disebut Kiai Penghulu, “coba ke Langgar Kidul, cari Kiai Dahlan dan bilang kalau aku mau bicara.”
“Kalau di Langgar Kidul ndak ada, bagaimana, Kiai?” tanya marbut itu.
“Datangi rumah Kiai Dahlan. Kalau misalnya Kiai sedang tidak di rumah, tanyakan sama Nyai Dahlan, dan langsung kamu cari,” tegas Kiai Penghulu.
“Kiai mau ketemu Kiai Dahlan malam ini atau besok?” tanya marbut itu lagi.
“Malam ini juga, sesudah shalat Isya juga tidak apa-apa.”
“Baik, Kiai,” jawab Abdul Rosid sambil menghatur sembah kepada Kiai Penghulu sebelum berangkat.
Suasana di serambi masjid terasa lengang ketika aku memasuki gerbang. Kiai Penghulu Kamaludiningrat sedang duduk sendirian. Pikirannya tampaknya sedang tercurah ke masalah lain karena dia tak menyadari kehadiranku sampai aku mengucapkan salam, yang dibalasnya dengan gelagapan.
“Kiai Penghulu memanggil saya?” tanyaku sambil menyorongkan tanganku. Harus kuakui tidak mudah bagiku untuk memutuskan menemui orang yang pernah menyuruh membongkar langgarku, apalagi sampai menjabat tangannya sekarang. Tapi jika aku sampai kalah oleh perasaan emosi, apa artinya dakwah yang kulakukan selama ini kalau aku tak bisa menunjukkan dalam perilaku nyata apa sesungguhnya akhlakul karimah, akhlak yang mulia, itu.
Kiai Penghulu menyambut uluran salamku. “Betul, Kiai Dahlan. Silakan duduk,” katanya sambil menggeser posisi duduknya. Napas Kiai Penghulu terdengar berat. Waktu berlalu seperti bersijingkat, begitu lama. Kiai Penghulu masih belum juga bicara, sehingga tercipta keheningan yang aneh di antara kami. Aku memilih untuk menunggu apa yang akan dibicarakan Kiai Penghulu ketimbang memulai pembicaraan yang mungkin saja akan tidak jelas arahnya.
“Begini, Kiai Dahlan,” akhirnya suara Kiai Kamaludiningrat memecahkan keheningan. “Saya tidak tahu harus bilang apa. Bahkan, saya sendiri tidak tahu harus dari mana untuk memulai pembicaraan ini,” katanya dengan nada bingung. Sungguh berbeda sekali dengan kebiasaan Kiai Penghulu yang biasanya spontan. Aku mencoba mencairkan ketegangan di antara kami yang tampaknya belum hilang meski kami sudah bersalaman tadi. “Jika belum tahu apa yang ingin dikatakan tidak perlu dipaksakan, Kiai,” jawabku. “Saya akan tetap di sini menemani, Kiai.”
Hening lagi. Kiai Penghulu Kamaludiningrat mengambil napas panjang seakan-akan hendak mengumpulkan seluruh keberanian sebelum bicara. “Kita sama-sama Muslim, Kiai Dahlan. Kita adalah saudara,” katanya. Lalu diam lagi.
“Benar, Kiai,” jawabku karena Kiai Penghulu kembali membungkam. “Bukankah sesama saudara harus saling mengingatkan?”
Kiai Penghulu kembali mengembuskan napas panjangnya sebelum menjawab. “Kadang manusia lebih memilih melindungi kewibawaannya daripada mempertanyakan untuk apa fungsi kewibawaan itu bagi dirinya,” katanya. Aku menduga-duga, apakah kalimat itu dia tujukan kepadaku atau sesungguhnya bagi dirinya sendiri?
“Aku juga bukan orang yang luput dari kemungkinan itu, Kiai,” ujarku setelah memutuskan tak ada gunanya memperpanjang masalah pada pertemuan yang langka seperti malam ini saat kami bisa bicara berdua dari hati ke hati.
“Lalu, buat apa semua peristiwa ini meski terjadi dan harus kita alami?” tanyanya.
“Mungkin agar kita selalu eling terhadap tugas kita di dunia. Menjadi khalifah, menjadi pemimpin bagi diri
sendiri sebelum menjadi pemimpin bagi orang lain/’ jawabku.
Tiba-tiba, Kiai Penghulu tersenyum, lalu tertawa sampai air matanya menetes. Tidak lama kemudian dia terdiam. Tangannya mengusap sisa air mata di pipi.
“Kiai Dahlan benar,” katanya sambil mengubah posisi duduknya hingga menatapku. “Ketika kita memimpin orang lain, kita sering lupa kalau sebenarnya kita masih belum mampu memimpin diri kita sendiri. Kita mengharapkan orang lain bertingkah laku seperti yang kita inginkan, sementara kita tidak membuat diri kita lebih dulu melakukan apa yang kita inginkan itu. Padahal Kanjeng Nabi bersabda ibda binajsik, mulailah dari dirimu sendiri.”
Aku mengangguk. “Setiap manusia mempunyai hak menjadi benar, Kiai. Kebenaran sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman kita yang selalu terbatas dibandingkan keluasan ilmu Allah. Karena itulah kita harus selalu belajar, bersikap terbuka, mau memperhatikan sekeliling.”
Kiai Penghulu mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. “Kita lakukan tugas kita masing-masing, Kiai Dahlan. Menjaga kewibawaan agama kita yang mulia ini. Kebenaran hanya ada di tangan Allah. Kita sebagai manusia, sebagai kiai, hanya bisa berikhtiar sekuat yang kita bisa.”
Kiai Penghulu memelukku dengan erat. Tubuhnya bergetar. Baru kurasakan dari kontak sedekat ini bahwa beliau memang sudah mulai sepuh. Seluruh sisa kemarahan dan rasa kecewaku yang masih ada terhadap Kiai Kamaludiningrat kini menguap.
Belakangan aku baru tahu dari teman-teman di Budi Utomo yang mendapatkan kabar dari Rykbestuur der Yogyakarta, bahwa pelukan Kiai Penghulu itu adalah caranya menyampaikan permintaan maaf atas tindakan awalnya yang tidak memberikan izin untuk berdirinya Muhammadiyah.
Tapi saat itu aku tak berpikir bahwa pembicaraanku malam ini berkaitan dengan Muhammadiyah. Aku sudah telanjur senang bahwa setelah hubunganku dengan Kiai Noor mulai membaik, kini satu masalah komunikasi lagi sudah teratasi. Dan itu sudah lebih cukup bagiku.
MAKA sepulang dari Masjid Gedhe dan melintasi Langgar Kidul sebelum menuju rumahku, aku pandangi lagi Langgar Kidul yang kini berdiri kukuh di tengah dingin dan lengang malam. Kelebatan kenangan saat langgar ini dirobohkan kembali datang, namun kini aku melihatnya tak lagi dengan rasa pahit yang tak terobati. “Alhamdulillah.” Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Aku pun beranjak pergi menuju rumah.
Walidah sudah tertidur ketika aku sampai di rumah. Kukecup keningnya, sehingga Walidah terbangun. “Sudah pulang. Mas?” katanya sambil duduk. “Mau aku buatkan teh?”
Aku tersenyum. “Tidak perlu, Bu,” ujarku sambil menggelengkan kepala. “Kok, senyum-senyum?” tanya Walidah.
“Aku baru dari Masjid Gedhe, baru ngobrol berdua dengan Kiai Penghulu.”
“Alhamdulillah,” Walidah memelukku dengan rasa senang.
“Iya, Bu. Karena itu, maukah temani aku shalat malam bareng?”
“Mau sekali, Mas,” katanya. “Aku wudhu sebentar.”
Sambil menunggu Walidah selesai berwudhu, aku hamparkan dua sajadah di lantai. Mataku menatap lekat-lekat gambar Ka’bah di sajadah. Kerinduan untuk kembali melihat langsung Rumah Allah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Isma’il, ini kembali menggelegak. “Ya Allah,” gumamku. “Halaman demi halaman hidupku sudah tergores. Tinggal satu halaman lagi tersisa. Tuntun aku ya Allah, untuk terus menegakkan penaku.”
AKHIRNYA pada 12 November 1912 sekitar 30 orang muridku dari berbagai umur berkumpul. Sangidu duduk di samping kananku, sedangkan Sudja di sebelah kiriku. “Muhammadiyah ini bukan untuk kita sendiri, tapi untuk orang banyak,” ujarku. “Hidup ini singkat dan hanya sekali, manfaatkan tidak hanya untuk kepentingan sendiri. Allah beserta orang-orang yang peduli. Insya Allah usaha kita ini akan diridhai.”
“Insya Allah,” jawab mereka berbarengan.
“Sekalipun surat izin berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah ini belum keluar, tapi hari ini saya tetapkan sebagai hari lahir Muhammadiyah,” kataku sambil mengucapkan ayat terakhir dari Surah Al Fatihah, ihdinash shiratal mustaqim, shiratal ladzina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhubi ‘alaihim, waladh dhallin (Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau laknat dan bukan juga jalan orang-orang yang sesat).
“Aaamiiin!” jawab para hadirin bersamaan.
“Allahu Akbar!” pekik Fahrudin dengan nada gembira. “Allahu Akbar!” sahut yang lain bersahutan. Dari jauh, terdengar sesayup suara beduk magrib dari Masjid Gedhe Kauman yang menandakan waktu magrib sudah masuk.
“Ayo, kita shalat magrib di Masjid Gedhe,” ujarku disambut tatapan heran para murid seniorku yang sudah lama tak mendengarkan kata-kata semacam itu keluar dari mulutku. Akhirnya, rombongan kami yang cukup besar dengan bersemangat berjalan menuju Masjid Gedhe, dan mendapatkan banyak tatapan dari orang-orang yang berpapasan dengan kami.
Dari jauh, kulihat Zaenab juga sedang mendekati masjid bersama mbahnya, Mas Noor. Anak itu melam-baikan tangannya ke arahku dengan wajah riang. Aku membalasnya dengan bersemangat juga. Mas Noor tersenyum.
BEBERAPA hari kemudian, R. Dwijosewoyo dan R. Budiharjo ditemani Mas Joyosumarto, adik dr. Wahidin Sudirohusodo, datang ke rumahku dengan wajah riang. “Ini surat yang Kiai Dahlan tunggu-tunggu,” ujar Dwijosewoyo sambil mengangsurkan sepucuk surat ke tanganku.
“Surat apa ini?” tanyaku heran dan sedikit bingung sambil membuka surat itu. Kubaca sebentar isinya yang membuat perasaanku melambung. “Alhamdulillah,” gumamku sambil mendekap surat itu dengan rasa haru. Isinya adalah persetujuan Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg yang mengizinkan berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah. Tanggal yang tertulis di surat itu: 18 November 1912 bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 Hijriah. “Selamat, Kiai Dahlan,” ujar Mas Dwijo, berturut-turut diikuti R. Budiharjo dan terakhir Joyosumarto.
“Usul saya, Pak President,” ujar Dwijosewoyo dengan formal, “sebaiknya seluruh pengurus segera diundang untuk membahas bagaimana caranya kita mengumumkan berdirinya Muhammadiyah ini kepada masyarakat luas, dan di mana sebaiknya acara ini dilakukan.”
“Baiklah, saya akan segera mengundang para pengurus untuk rapat pertama ini,” kataku sukacita.
Rapat pertama pengurus Muhammadiyah yang dihadiri juga oleh Raden Dwijosewoyo dan Raden Budiharjo mendapatkan banyak kemudahan berkat keahlian R. Dwijosewoyo dalam berorganisasi. Dia juga yang mengusulkan agar pengumuman berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah diadakan di toodge Gebouw di Jalan Malioboro. “Saya yang akan mengurus semua hal dari perizinan sampai persiapan. Yang penting Kiai Dahlan tetapkan saja siapa yang ingin diundang,” katanya.
“Bagaimana kalau untuk pengumuman ini boleh dihadiri siapa saja?” usulku, “karena Muhammadiyah ini dibentuk untuk seluruh umat Islam.”
“Boleh saja,” jawab R. Dwijosewoyo. “Berarti ini acara terbuka, bukan tertutup.”
“Ya, ini memang acara terbuka, Mas Dwijo. Sebagaimana Muhammadiyah yang juga saya niatkan sebagai organisasi terbuka.”
“Baiklah, sekarang kapan waktu yang tepat untuk itu menurut Kiai karena sebentar lagi kita sudah masuk bulan Desember 1912?” tanya Dwijosewoyo. “Sebaiknya menurut saya jangan lewat dari tahun ini untuk mengumumkan berdirinya Muhammadiyah.”
Kesepakatan rapat pengurus akhirnya menyetujui acara pengumuman berdirinya Muhammadiyah itu akan berlangsung pada Sabtu malam Minggu terakhir bulan Desember 1912. Rapat juga memutuskan bahwa meskipun acara bersifat terbuka, undangan yang dikirimkan bagi para priyayi pangreh praja dari Kasultanan maupun wakil dari pemerintah Hindia-Belanda harus tetap ada.
Keputusan lainnya menyangkut seragam yang akan digunakan oleh para pengurus untuk menjelaskan jiwa Muhammadiyah kepada masyarakat luas. Aku akan memakai serban, baju gamis, serta jubah Hangguri Blau. Pengurus yang sudah menunaikan ibadah haji akan memakai serban, baju hitam, kain panjang, dan terompa. Sedangkan untuk pengurus yang belum berhaji akan memakai baju putih dengan dasi, kain panjang, dan selop.
Sementara berkat usulan dan bantuan dari R. Budiharjo, penyusunan Anggaran Dasar Muhammadiyah diserahkan kepada Raden Sosrosugondo, guru bahasa Melayu di Kweekschool Jetis dengan membuat dua rumusan dalam bahasa Melayu dan Belanda.
HARI Sabtu malam Minggu terakhir bulan Desember 1912 itu pun tiba. Alhamdulillah seluruh keluarga besarku dan istriku Walidah menyempatkan hadir. Ditambah para undangan yang sedikitnya berjumlah 70 orang hadir di Loodge Gebouw Jalan Malioboro itu. Jumlah itu sebenarnya kurang dari separuh jumlah 150 undangan yang disebar, tapi sudah cukup banyak bagiku sendiri.
Persis pukul 20.30, acara dimulai. Aku mengucapkan selamat datang kepada para hadirin, dan terima kasih atas bantuan semua orang yang terlibat dalam berdirinya perkumpulan baru ini, terutama dari para pengurus Budi Utomo di Yogyakarta, yang membantu sangat banyak dalam proses persiapan administrasi dan urusan pengajuan izin.
Setelah itu, aku menyerahkan acara kepada R. Dwijosewoyo yang membacakan surat izin yang ditandatangani Gubernur Jenderal Idenburg dan Anggaran Dasar Muhammadiyah yang masih berbahasa Belanda tulisan R. Sosrosugondo, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sehingga bisa dipahami hadirin yang tidak paham bahasa Belanda. Bagian ini berlangsung lebih dari satu jam, sebelum aku meminta Kiai Penghulu Pakualaman Haji Abdullah Siraj, untuk membacakan doa bagi kelancaran Muhammadiyah dalam menjalankan rencana-rencananya. Kiai Siraj yang dulu pernah juga tak setuju pada ideku untuk perubahan kiblat Masjid Gedhe, kali ini langsung setuju saat aku memintanya sebagai pembaca doa.
Selesai doa dipanjatkan oleh Kiai Siraj Pakualaman, aku menutup pertemuan malam itu dengan mengajak hadirin untuk membaca Al-Fatihah. Acara pengumuman berdirinya Muhammadiyah ini akhirnya selesai sekitar pukul 22.30 malam lewat beberapa menit. Para pengurus terlihat lega, dan mereka kembali menyelamatiku.
“Alhamdulillah, Kiai Dahlan,” ujar Fahrudin dengan wajah berseri-seri. “Akhirnya perjuangan Kiai dan kita semua berhasil.”
“Belum Fahrudin. Ini bukan titik akhir perjuangan kita. Ini baru titik awal,” jawabku sambil menepuk bahu salah seorang murid setiaku ini. “Tidak mungkin Islam lenyap dari seluruh dunia, tapi tidak mustahil Islam hapus dari negeri kita ini. Kalau itu terjadi, siapakah yang bertanggung jawab?”
Harapan Sri Sultan
Keraton Yogyakarta Hadiningrat, 1912
RYKBESTUUR der Yogyakarta sedang menghadap Sri Sultan Hamengkubuwono VII, menceritakan acara pengumuman berdirinya Muhammadiyah di Loodge Gebouw, Malioboro. “Syukurlah semua acara berjalan lancar, Sinuwun,” katanya.
“Setiap kali aku mengingat ceritamu tentang penolakan Kiai Kamaludiningrat untuk memberikan izin berdirinya Muhammadiyah, tidak bisa tidak, aku langsung tertawa,” ungkap Sri Sultan terkekeh-kekeh diikuti tawa kecil Patih Dalem.
“Benar, Sinuwun. Saya saja masih sering berpikir apakah sebenarnya Kiai Penghulu sudah terlalu sepuh sehingga sulit membaca huruf-huruf kecil dan tak bisa membedakan antara president dan residentT’ sahut Patih Dalem.
“Itulah! Tidak masuk akalku kalau Kiai Penghulu akan menolak surat permohonan izin itu meski kudengar hubungan mereka sebelumnya juga sempat kurang harmonis.”
“Betul, Sinuwun.”
“Kiai Dahlan itu orang baik, titisan darah dari leluhurnya Maulana Malik Ibrahim tak mungkin salah. Dia juga pintar, dan mudah bergaul. Belum pernah kudengar ada kiai lain yang bermain biola untuk mengajarkan agama bagi murid-muridnya. Kiai muda ini juga tidak mudah mengalirkan orang lain, bahkan mau bergaul dengan kalangan priyayi dan terpelajar di Budi Utomo.”
“Betul, Sinuwun.”
“Sayang sekali dia mundur sebagai khatib amin di Masjid Gedhe, padahal khutbah-khutbah awalnya dulu sangat bagus,” kenang Sri Sultan. “Semoga lewat Muhammadiyah, kebesaran pribadi Kiai Dahlan akan terdengar sampai di luar Kauman.”