Rabu, 30 November 2011

Kamis, 03 November 2011

Daftar NUPTK lama, perlu di Up Date

 NUPTK INI BERMANFAAT UNTUK MEMERIKSA
 APAKAH NAMA YANG BERSANGKUTAN TERMASUK DALAM KUOTA SERTIFIKASI ATAU BELUM

Info Tentang Sertifikasi Guru

Persyaratan

  1. Guru yang masih aktif mengajar di sekolah di bawah binaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  2. Memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) dari program studi yang terakreditasi atau minimal memiliki izin penyelenggaraan.
  3. Guru yang diangkat dalam jabatan pengawas dengan ketentuan:
    • bagi pengawas satuan pendidikan selain dari guru yang diangkat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (1 Desember 2008), atau
    • bagi pengawas selain dari guru yang diangkat setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru harus pernah memiliki pengalaman formal sebagai guru.
  4. Guru bukan PNS pada sekolah swasta yang memiliki SK sebagai guru tetap dari penyelenggara pendidikan (guru tetap yayasan), sedangkan guru bukan PNS pada sekolah negeri harus memiliki SK pengangkatan sebagai guru dari Bupati/Walikota atau dinas pendidikan provinsi/ kabupaten/kota.
  5. sudah menjadi guru pada saat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ditetapkan (30 Desember 2005).
  6. Pada tanggal 1 Januari 2013 belum memasuki usia 60 tahun.
  7. Memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK).
  8. Guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang BELUM memiliki kualifikasi akademik S-1/D-IV apabila:
    • pada 1 Januari 2012 sudah mencapai usia 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru, atau
    • mempunyai golongan IV/a atau memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/a (dibuktikan dengan SK kenaikan pangkat).
Daftar calon peserta sertifikasi guru tersebut diurutkan berdasar kriteria berturut turut usia, masa kerja, dan golongan.
Jika data diri saudara belum tertera dalam daftar layak calon peserta padahal saudara memenuhi syarat, anda dapat melakukan pengecekan dan perbaikan data ke dinas pendidikan kabupaten/kota setempat, dengan mengikuti langkah-langkah di bawah ini

Prosedur perbaikan data NUPTK

  • Guru membawa salinan dokumen sebagai bukti fisik perbaikan data ke dinas pendidikan setempat
  • Dinas pendidikan kabupaten/kota melakukan perbaikan database NUPTK guru tersebut dan mengirimkan salinan dokumen tersebut ke LPMP
  • LPMP melakukan persetujuan (approval) terhadap perbaikan data tersebut berdasarkan salinan dokumen yang dikirim oleh dinas kabupaten/kota.
Perbaikan data NUPTK untuk pelaksanaan sertifikasi guru 2012 berakhir pada tanggal 1 Desember 2011.

Minggu, 30 Oktober 2011

Biarlah Hujan

bunyi gerimis sendu
mengetuk halaman dan teras rumah
Kau mengeluh, hujan katamu
tubuh kita terbungkus selimut
sisa desahmu masih pula mengambang di udara
                        biarlah hujan pagi ini
                        membasuh lelah kita
lalu secangkir kopi yang kau seduhkan
jadikan hujan kian menderas di halaman
Kau tersenyum bersama sedikit sisa tawa semalam,
lihat, katamu, gerimis cemburu padaku
                       biarlah hujan di halaman sana
                       mengeluh melihat tingkah kita
Kau mulai bersemangat, memanggang sepotong roti beroleskan sepi
Lalu kau bagi dua
untukmu untukku
lalu kita tertawa
tapi, mengapa kulihat bayangan gerimis disudut matamu ?

Kamis, 13 Oktober 2011

ARTIKEL


BAHASA JURNALISTIK INDONESIA
Oleh : Goenawan Mohamad
                Perkembangan Bahasa Jurnalistik sejalan dengan perkembangan Bahasa Indonesia. Namun, dari waktu ke waktu perlu terus dirumuskan suatu pemakaian bahasa jurnalistik yang efisien  ( jelas dan hemat) Penghematan ruang dan waktu sesuai dengan salah satu sifat jurnalisme yang menghendaki komunikasi cepat dalam ruang dan waktu yang relatif terbatas.
                Penghematan dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (1) unsur kata  , (2) unsur  kalimat. Beberapa kata yang berlebihan dapat di ringkas sehingga lebih hemat, tentu saja tanpa mengurangi cita rasa bahasa jurnalistik.  Contohnya : agar supaya  ditulis agar atau supaya.  Sehingga ditulis hingga  . memperbaiki penulisan ejaan yang salah sehingga menjadi lebih efisien. Contohnya : syah menjadi sah , khawatir menjadi kuatir. Pemakaian sinonim yang lebih pendek. Contohnya : kemudian diganti lalu .
                Penghematan dilakukan melalui pemakaian kalimat yang baik. Hilangkan kata yang sebetulnya tidak perlu. Contoh : Adalah merupakan kenyataan….  Cukup ditulis Merupakan kenyataan  Pemakaian kata apakah atau apa ( mungkin pegaruh bahasa daerah ) sebetulnya dapat ditiadakan. Contoh : Apakah Indonesia akan tergantung pada bantuan luar negeri ? dapat ditulis Akan terus tergantungkah Indonesia….
                Selain itu masih ada penghematan yang dapat digunakan melalui pemakaian kalimat yang efektif.  Antara lain pemakaian dimana , hal ini sesungguhnya terkait dengan terjemahan kalimat dari bahasa asing (Belanda , Inggris) Contohnya : rumah di mana saya diam ( terjemahan dari : The house where I  live in ) sebenar  lebih baik jika ditulis rumah yang saya diami
                Seorang jurnalis yang baik harus memahami betul soal yang hendak ditulisnya dan sekaligus memahami pembaca.  Sebuah tulisan yang baik, harus mempertimbangkan juga unsur berikut : teknis komposisi, tanda baca yang tertib, ejaan standar, pembagian tulisan secara sistematik dalam tiap alinea. Perlu ditekankan disiplin berpikir dan menuangkan pikiran  dalam menulis.
                Di sisi kejelasan, perhatian ditujukan melalui dua sisi pula : unsur kata dan unsur  kalimat . kejelasan unsur kata dilakukan dengan (1)berhemat dengan kata-kata asing. beberapa  kata yang dapat dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, tidak perlu dipakai.(2)Hindari sejauh mungkin menggunakan akronim. Penggunaan akronim membuat tulisan lebih singkat dan mudah diingat. Tapi akan menjadi berlebihan bila pemakaiannya dilakukan seenaknya dan terlalu sering. Kejelasan unsur kalimat dilakukan dengan menghindari kalimat majemuk yang panjang.

KOMENTAR :
Tulisan di atas menguraikan dengan lengkap dan sistematik bagaimana sebuah artikel jurnalistik yang baik dibuat. Karakter  jurnalisme yang menghendaki komunikasi yang cepat dalam ruang dan waktu terbatas.  Goenawan Mohamad ( popular dengan inisial GM ), jurnalis senior yang identik dengan Catatan Pinggir, sebuah seri tulisan humaniora di majalah Tempo. Dalam kapasitas itu, artikel yang ditulisnya ini sangat  komunikatif dan mudah dimengerti.
Ia memulai tulisan dengan karakter jurnalisme dan situasi saat ini.  Lalu mulai menguraikan bahwa  untuk menghasilkan artikel yang baik harus memenuhi dua hal, hemat dan jelas. Selanjutnya sebagian besar isi artikel ini ialah uraian mengenai hemat ( melalui unsur kata dan kalimat, terbagi 12 langkah )  dan jelas ( melalui unsur dan kalimat, 2 langkah )
 Artikel ini memberikan pedoman bagi kita, khususnya yang berminat untuk menulis di media massa, bagaimana sebuah sebuah tulisan dibuat. Tentu saja, untuk mencapai tahap sebagaimana bung GM ini, kita perlu terus berlatih. Dengan latihan terus menerus, bukan tidak mungkin akan muncul juga seri tulisan sebaik Catatan Pinggir. Semoga.

video Bagus

UCAPAN SELAMAT

selamat menunaikan Ibadah Haji untuk Rekan Kami: Ibu Dra. Siti Suartini  dan Dra. Dian Rusminar.
semoga sehat selalu dan memperoleh haji yang mabrur..

Contoh Proposal Kunjungan

Seringkali guru membutuhkan contoh proposal sederhana untuk mengadakan kunjungan lapangan ke suatu tempat (museum, graha teknologi dll). Demikian juga siswa membutuhkan proposal untuk tugas bahasa Indonesia mereka. Apapun kebutuhannya, berikut ini kami share sebentuk sederhana proposal. Mudah-mudahan bermanfaat...
ini link proposalnya  http://www.4shared.com/file/u3GM9s5I/PROPOSAL__field_trip__2011.html

ada juga surat ijin orangtua  http://www.4shared.com/file/UXSNZHzq/surat_ijin_ortu.html

Novel Negeri 5 Menara (A Fuadi)

Silahkan baca-baca untuk menambah wawasan dan mencari pencerahan....:)
download dulu di link inihttp://www.4shared.com/file/7V-qU4d_/Negeri-5-Menara.html
Selamat membaca

Rabu, 12 Oktober 2011

MENGANALISIS HASIL ULANGAN

Penilaian merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari proses pembelajaran secara keseluruhan. Penilaian yang baik, dapat menjadi gambaran bagi baiknya proses pembelajaran yang berlangsung. Sayangnya, seringkali guru belum seragam dalam memberikan penilaian. Adanya ketidakseragaman tersebut menyebabkan beberapa guru mengalami kebingungan saat disodori lembar analisis untuk hasil penilaian yang dilakukannya. Selain itu, lembar analisis yang berbentuk manual, lumayan merepotkan untuk diisi secara lengkap dan benar. Untuk itu, berikut kami berikan contoh program Excel untuk menganalisis ulangan secara lebih mudah dan cepat. filenya dapat di download di sini http://www.4shared.com/document/zei1vAnz/ABS_pilihan_Ganda9U.html
dan di sini 
http://www.4shared.com/document/a2mgvRbP/Analisis_Soal_Uraian.html

Minggu, 09 Oktober 2011

yogya 10 Lampung 11


MAKALAH SASTRA



RELIGIUSITAS TOKOH DALAM NOVELETTE YANG HIDUP DI PINGGIRAN  KARYA TINUS KAYOMAN   


Nilawaty
Nomor Induk Mahasiswa  06097302001
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni










FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2010

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam sebuah tatanan kehidupan berbangsa, nilai-nilai yang dianut masyarakat menjadi penjaga bagi utuhnya tatanan itu. Nilai-nilai itu juga membentuk karakter suatu bangsa. Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang maju dan terkemuka dalam percaturan dunia, selalu ditopang oleh suatu karakter yang penuh dengan nilai-nilai positif. Sebaliknya, jika nilai itu tergerus, akan menjadi sinyal awal bagi mundurnya suatu bangsa bahkan suatu peradaban.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,  khususnya bidang komunikasi dan informasi, membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Sekat-sekat jarak dan waktu menjadi sempit bahkan seolah hilang sama sekali. Pemikiran, gagasan, harapan seseorang secara sadar atau tidak banyak pula mempengaruhi diri orang lain. Dalam skala yang lebih luas sering terjadi pergeseran nilai yang dianut dalam suatu masyarakat.  Pergeseran yang dapat dimaknai secara positif namun di lain kesempatan  dituding sebagai biang keladi hilangnya nilai positif dari suatu bangsa. Hal ini misalnya tersirat dalam pernyataan yang dikemukakan oleh Suhariyanto dkk (1991 : 1-3) berikut :
                                Perkembangan  komunikasi,  baik   yang   bersifat  media  cetak           
                        maupun  yang   bersifat   elektronik  akan  membuat   dunia   ini   
                        seolah-olah  dekat   dan  akan  berpengaruh   langsung   ataupun   
                        tidak  langsung   terhadap    pergeseran  nilai-nilai.  Komunikasi
                        antara bangsa   menjadi lebih erat,   sehingga  kebudayaan  asing
                       dan    pola   berpikir ala  Barat   sering    berkembang     di tengah  
                        kehidupan     masyarakat kita….

        Untuk itu segala upaya untuk tetap mempertahankan nilai-nilai positif (luhur) di tengah-tengah masyarakat menjadi penting. Sumber dari semua nilai luhur tersebut adalah kesadaran manusia akan fungsinya sebagai hamba Tuhan  (interaksi vertikal) , sebagai mahluk sosial (interaksi horizontal) dan sebagai bagian dari alam (lingkungan hidup). Sehubungan dengan hal ini, karya sastra memiliki peran penting sebagai salah satu upaya mempertahankan nilai luhur. Karya sastra memberikan pencerahan bagi jiwa manusia yang mengering dilanda arus kemajuan yang membawa pula sikap materialistik, konsumtif  dan cenderung hedonistik .
Melalui karya sastra pembaca tidak hanya diajak untuk  menikmati dan memahami ekspresi jiwa pengarang tetapi juga menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Nilai moral, didaktis, sosial dan religius yang terdapat dalam sebuah karya sastra diharapkan akan memberikan  masukan, contoh dan teladan bagi pembaca yang dapat diadaptasi dalam kehidupan sesuai dengan kondisi dan keadaan masing-masing. Karena itulah, menjadi penting untuk meneliti bagaimana sebuah karya sastra memberikan gambaran tentang nilai-nilai kepada para pembaca serta bagaimana pembaca dapat menarik pelajaran dari karya yang dibacanya.
Penulis memilih novelette Yang Hidup di Pinggiran  karya Tinus Kayoman sebagai obyek penelitian. Tinus kayoman adalah nama pena dari Rajab Agustini, S.Pd. Lahir di Palembang,  8 agustus  1971. Mulai menyenangi dunia tulis menulis sejak  menjadi mahasiswa di jurusan pendidikan Fisika IKIP Negeri Semarang (sekarang bernama Universitas Negeri Semarang)   tahun 90-an. Dimulai dengan menulis puisi dan cerpen yang dimuat di majalah dinding fakultas, lalu berlanjut ke Koran kampus. Beberapa  kali puisi dan cerpennya menjadi pemenang lomba di tingkat  fakultas dan Universitas. Misalnya Pada tahun 1994 , cerpennya yang  berjudul Istri Pilihan , menjadi juara  lomba penulisan cerpen dalam rangka pekan seni dan sastra IKIP Negeri Semarang. Pada tahun-tahun itu juga, cerita-cerita pendeknya yang banyak bertema realitas kehidupan kaum marginal mulai menghiasi harian lokal di kota Semarang. Cerpennya yang berjudul Rencana dimuat dalam antologi cerpen RITUS, bersama dengan cerpen penulis semacam Triyanto Triwikromo serta mendapat pujian dari sastrawan Ahmad tohari.Karyanya yang berjudul Yang Hidup di Pinggiran ini penulis kutip dari kumpulan cerpennya yang berjudul Yuni Gang Empat yang di buat tahun 2008 dan belum diterbitkan
Setidaknya ada dua alasan untuk itu : pertama, karya ini belum pernah dijadikan bahan penelitian sebelumnya. Kedua, setelah membaca cerita Yang Hidup di Pinggiran  penulis mendapati bahwa  cukup menarik untuk membahas religiusitas tokoh-tokoh dalam karya ini. Sebagai pembanding, Kelaramita (2009) meneliti nilai moral yang terdapat dalam novel karya Abidah El Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban. Sebuah novel dengan setting  pesantren   dan tokoh-tokoh bernama “Islam” serta pilihan diksi sarat dengan idiom-idiom keagamaan. Sebaliknya; setting, tokoh dan idiom dalam  novelette Yang Hidup di Pinggiran  boleh dikatakan bertolak belakang dengan novel itu. Tokoh utama dalam novelette ini ada tiga orang yaitu : Susi, seorang wanita penghibur, Bu Mar, seorang mantan “mami” dan Ustad Nurhidayat, seorang guru mengaji yang diduga terlibat perkara teroris. Berdasarkan hal inilah penelitian terhadap religiusitas tokoh dalam novelette  Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman penulis anggap perlu dilakukan.

1.2.  Masalah   
masalah  yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah religiusitas tokoh  dalam novelette  Yang Hidup di Pinggiran  karya Tinus Kayoman .

1.3.  Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mendeskrispsikan religiusitas tokoh-tokoh dalam novelette  Yang Hidup di Pinggiran  karya  Tinus Kayoman sehingga diperoleh gambaran yang lengkap mengenai religiusitas tokoh-tokoh itu.  

1.4.  Manfaat
Secara teoritis hasil  penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran bahwa religiusitas menjadi sebuah hal yang penting untuk terus ditingkatkan ditengah-tengah derasnya arus pusaran keadaan saat ini yang terus menerus menggerus nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat.
Secara praktis, diharapkan pembaca dapat  memperoleh gambaran tentang religiusitas dalam sebuah karya, mengapresiasi sebuah karya sastra serta selalu tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan memandangnya dengan sudut pandang yang segar dan orisinil. Bagi mahasiswa yang kelak akan menjadi calon pendidik, kejelian dalam memilih sudut pandang pandang dan bahan pengajaran sastra diharapkan dapat meningkatkan gairah siswa untuk menikmati dan menekuni sastra Indonesia yang menurut para ahli masih memprihatinkan.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.   Karya Sastra, Perpaduan ide dan Perjalanan Batin Penulis   
            Karya sastra merupakan hasil pengungkapan sastrawan mengenai masalah kehidupan manusia dengan segala perilakunya. Suharianto (1982 :18) mengemukakan bahwa karya sastra berkemampuan menjadikan penikmatnya lebih mengenal manusia dengan kemanusiaannya karena pesan yang disampaikan dalam karya sastra tidak lain tentang manusia dengan segala perilakunya.
            Pengungkapan masalah kehidupan manusia dengan segala perilakunya merupakan hasil perpaduan daya imajinasi, ekspresi dan kreasi dengan pengalaman dan mata batin pengarang. Pengungkapan masalah kehidupan dalam karya sastra dipandang sebagai ide atau gagasan sastrawan, yang secara keseluruhan dituangkan ke dalam karya sastra (Esten, 1987 : 8). Dengan demikian, tidak dapat dibantah lagi bahwa perjalanan kehidupan yang mendasari pengalaman dan menajamkan mata batin sang penulis akan memberikan warna bagi karya-karya yang lahir dari penulis tersebut.
            Sebuah karya sastra diciptakan sastrawan bukan untuk keperluan dirinya sendiri, tetapi dinikmati oleh pembaca atau penikmat karyanya. Sastrawan tidak hanya mengajak pembaca untuk mengetahui pesan yang disampaikannya tetapi mengajak untuk turut  merasakan sesuatu yang dirasakan penulis. Sebab  itu sastrawan tidak sekedar memindahkan sesuatu yang disaksikannya dalam kehidupan ini ke dalam karyanya tetapi sastrawan juga menafsirkan pengalamannya itu sesuai dengan keyakinan batinnya (Suharianto, 1982 : 18).
            Karya sastra merupakan sarana bagi sastrawan untuk mengemukakan suatu pesan atau amanat kepada pembaca karyanya. Pesan tersebut dapat berisi ajaran moral, kritik sosial  atau pemikiran atau gagasan  yang mengundang pertanyaan dan diskusi lebih lanjut. Namun di atas semua itu, pesan yang menggugah kita untuk menimbang kadar religiusitas diri menjadi hal yang utama. Karena, dari religiusitas itulah lahir sikap moral, sosial dan nilai luhur lainnya dalam kepribadian seseorang.

2.2.  Religiusitas
            Religiusitas  berasal dari kata bahasa Inggris, religiousity. Religiusitas sering pula dipadankan dengan fenomena keberagamaan. Religiusitas adalah kata kerja yang berasal dari kata benda religi atau religion. Religi sendiri berasal dari bahasa Latin, religio yang akar katanya  re dan ligare yang berarti menghubungkan kembali yang telah putus. Yaitu menghubungkan kembali tali hubungan antara Tuhan dengan manusia yang telah terputus karena dosa-dosa manusia tersebut (Arifin, 1995)
            Menurut Gazalba (1985  kata religi berasal dari religio yang berasal dari akar kata religare yang berarti mengikat. Maksudnya ikatan antara manusia dengan suatu tenaga, yaitu tenaga gaib yang kudus. Religi adalah kecenderungan rohani manusia untuk berhubungan dengan alam semesta. Nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir dan hakikat dari semuanya.
            Darajat (1989) menyatakan bahwa ada dua istilah yang dikenal dalam agama. Yaitu religion consciousness (kesadaran beragama)  dan religion experience (pengalaman beragama) Kesadaran beragama adalah segi agama yang terasa dalam pikiran dan dapat diuji dengan melakukan introspeksi atau dapat dikatakan sebagai aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman beragama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama. Pengalaman beragama membawa seseorang pada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan dalam menjalankan agamanya.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa religiusitas bersifat universal. Religiusitas ada dalam semua agama. Bahkan religiusitas ada pada setiap jiwa manusia, apapun agama yang dipeluknya. Bahkan, seorang primitif yang belum tersentuh agamapun perlu mengejawantahkan religiusitasnya dengan berbagai kepercayaan dan ritual. Religiusitas menggambarkan kemesraan hubungan antara sang pencipta dengan mahluk hidup ciptaanNya. Lalu bagaimana makna religiusitas dalam hubungannya antara sesama mahluk ?  
            Dalam Islam, dikenal 3 (tiga) dimensi untuk mengukur religiusitas. Yaitu dimensi  akidah (keyakinan), syariah (praktik agama, ritual formal)  dan akhlak (pengamalan dari akidah dan syariah). Seorang muslim diperintahkan untuk menjalankan ketiga dimensi tersebut secara terintegrasi. Kejadian dalam kehidupan sehari-hari dimana seseorang yang kelihatan rajin menjalan ritual  agama namun terlibat korupsi atau seorang guru mengaji yang mencabuli anak muridnya adalah contoh yang membuktikan ketimpangan pada pelaksanaan salah satu dimensi di atas justru menutupi kebenaran dan keagungan agama itu sendiri.
Dengan kata lain, dimensi religiusitas seseorang akan sempurna jika tiga aspek itu berada sekaligus dalam kehidupannya, tidak boleh kurang satu aspekpun. Karena dengan lengkapnya aspek religiusitas tersebut dalam diri seseorang, maka barulah hidupnya akan sesuai dengan nilai luhur agama, apapun yang dipeluknya, dan bermanfaat bagi sesama bentuk kehidupan di dunia ini.

2.3. Religiusitas dalam Karya Sastra
     Membicarakan sastra, sastrawan dan religiusitas sepadan dengan menyimak kembali sejarah kesustraan Indonesia sendiri. Sajak-sajak Hamzah Fansyuri dan Amir Hamzah sering dijadikan contoh karya sastra yang menampilkan nilai religi. Larik puisi Amir Hamzah,  yang dijuluki raja penyair pujangga baru oleh HB Jassin, dalam puisi Padamu Jua,
Pulang   
                        kembali aku padamu, seperti
dahulu

                Dengan menafsirkan mu  sebagai pengganti kata Tuhan, maka  secara keseluruhan puisi itu menggambarkan dengan mempesona   perjalanan religius penyair  dan jadilah puisi itu sebuah puisi dengan religiusitas tinggi (Wijoto, 2001)
            Di kurun waktu berikutnya ada Abdul Hadi Wiji Muthari, dengan gagasan  sastra sufinya  atau dalam istilah Ahmadun Yosi Herfanda ,  puitika sufistik . Jika kebudayaan adalah sistem nilai   dan kesastraan adalah  ekspresi terpenting kebudayaan, maka Abdul Hadi WM- dengan nilai esoterik  Islam yang dikembangkannya melalui sastra itu-  adalah paradigma kebudayaan Indonesia. Dia adalah contoh penting dari sedikit satrawan Indonesia- bersama Kuntowijoyo, Emha ainun Nadjib- yang dengan gigih berusaha membangun tradisi penciptaan (sastra) yang lebih mencerahkan.(Yosi Herfanda, 2008)
            “Pada awalnya semua sastra adalah religius” demikian dikatakan oleh YB Mangunwijaya, seorang sastrawan, arsitek dan rohaniwan. Sebagai hasil sublimasi dari perjalanan batin sang penulis, karya sastra  tak akan lepas dari sikap religius penulis itu. Sejauh apapun sang penulis meninggalkan ikatan yang terputus antara dirinya dengan sang Pencipta, suatu ketika jiwanya akan kembali untuk menyambung ikatan itu, sebagaimana yang tersirat dalam larik puisi Padamu Jua, karya Amir Hamzah di atas.    
            Jadi, meskipun  Wijoto (2001) beranggapan sastra tidak mungkin bersatu dengan religi dalam teks, namun kelahiran teks sastra tetap melalui ruang religiusitas sang penulis. Masalahnya adalah sejauh mana pembaca dapat menangkap makna dan menafsirkan kata-kata penulis sebagai sebuah tulisan dengan kandungan religiusitas yang mencerahkan. Karena sebuah karya sastra yang baik tentulah membawa pencerahan bagi pembacanya.
            Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas dalam sastra adalah sebuah keniscayaan. Karya sastra sebagai perwujudan perjalanan batin sang penulisnya tak akan lepas dari sikap religiusitas sang penulis itu sendiri. Sebab sejauh mana seorang penulis bertualang, suatu ketika pasti akan timbul pula kerinduan dalam dirinya untuk berasyik masyuk dengan sang Pencipta. 
            Dalam novelette  Yang Hidup di Pinggiran  karya Tinus Kayoman terdapat banyak dialog maupun paragraf yang menggambarkan  religiusitas  tokoh-tokohnya. Pada bagian pertama, Susi, Kembang wisma misalnya terdapat dialog sebagi berikut ; 
Susi   :  “Susi nggak ikut ah, teh ! teh Lilis pergi sendiri saja….”
 Lilis  : “kamu kenapa Sus? Malu…?!”
Susi   :  “iya, teh….”
Lilis   : “Sama Tuhan kok pake malu…, Dia mah paling baik  Sus….”

Dari dialog tersebut  terlihat adanya keyakinan dalam diri Lilis, yang meskipun seorang wanita penghibur yang hidup di tempat yang penuh dengan perbuatan dosa ternyata tetap memiliki keyakinan bahwa Tuhan adalah Zat yang paling baik. Hal ini sesuai dengan sifat Allah yang selalu dilafazkan umat Islam, ArRahman ArRahim (Maha Pengasih Maha Penyayang)
Pada bagian kedua, Bu Mar, Mami Insyaf  terdapat monolog sebagai berikut :
“Tuhan, pantaskah aku berdiri di hadapanmu ?” Mami Mar mengeluh
“Tuhan,  pantaskah   aku   menadahkan  tangan memohon padaMu ?”
“Aku   malu   berdiri   di   hadapanMu   ya  Tuhan.    Dalam   mukena
 putih     ini, menutupi hitam   jalan hidupku. Tapi, jika tidak mengadu
 padaMu, tuhan yang mana lagi harus aku pilih ?!”

Pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya menjadi pertanyaan banyak orang. Seseorang ketika mendapati diri telah menyimpang  jauh dari jalan Tuhan, seringkali menjadi ragu ketika hendak kembali. Keraguan yang lalu membersitkan pertanyaan, pantaskah aku kembali dalam keadaan seperti ini ?
Pertanyaan yang dijawab oleh nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadisnya yang menyatakan bahwa Tuhan sangat gembira menerima seorang hambaNya yang kembali. Jauh melebihi kegembiraan seorang saudagar yang menemukan kembali barang perniagaannya yang sudah lama hilang.  


2.4. Novelette
Novelette secara harfiah berarti novel kecil. Hal ini merujuk ke ukurannya yang berada antara ukuran cerita pendek (cerpen) dan novel.  Jika kisaran cerita pendek umumnya 7000 sampai 20.000 kata sedangkan novel 40.000 kata lebih, dengan demikian berarti  ukuran novelette berkisar antara 20.000 hingga 40.000 kata.
Adapula yang membaginya sebagai berikut : cerpen jika memuat kurang dari 7500 kata. Novelette berkisar antara 7500 hingga 17.500 kata. Novella yang memuat 17.500 hingga 40.000 kata dan Novel jika memuat lebih dari 40.000 kata. Dari pengelompokan ini jelas terlihat ukuran sebuah karya yang dapat dikategorikan novelette.
Dalam kahazanah sastra Indonesia, meskipun tidak sebanyak cerpen maupun novel, tetap ada novelette yang bermutu. Sebagai contoh, Sri Sumarah karya Umar Kayam. Sebuah novelette tentang perjalanan batin seorang wanita Jawa yang walaupun sejak kecil memegang doktrin ‘pasrah’ namun tetap saja mengarungi hidup dilautan waktu yang penuh ombak.
Sebagaimana novel, novelette juga terbilang karya sastra dalam bentuk yang lebih  baru dibandingkan dengan puisi dan drama,  novelette dapat berupa cerita rekaan yang menyuguhkan tokoh-tokoh dengan karakter tertentu. Menampilkan serangkaian peristiwa, suasana yang beragam serta latar dan tema yang beragam pula. Hal ini sebagai gambaran kehidupan dan perilaku sebenarnya yang dijalin dalam satu alur cerita yang menarik.      








BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode
            Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memcahkan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menganalisis dan menginterprestasikannya (Surakhmad, 1995 : 47). Sedang menurut Nana Sudjana ( 1999 :52) penggunaan metode deskriptif untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa dan kejadian pada masa sekarang.
            Dengan demikian, metode deskriptif akan penulis gunakan untuk mendeskripsikan perjalanan religi masing-masing tokoh dalam novelette Yang Hidup di Pinggiran   karya Tinus Kayoman,  sehingga akan ditemukan  kadar religiusitas tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan sebagai pengukur dimensi religiusitas tokoh-tokoh tersebut digunakan 3 (tiga) dimensi yaitu dimensi  akidah (keyakinan), syariah (praktik agama, ritual formal)  dan akhlak (pengamalan dari akidah dan syariah)
3.2. Pendekatan
            Pendekatan yang digunakan dalam suatu pembahasan karya sastra umumnya ada didasarkan pada empat aspek yaitu :
1.      Pendekatan mimetik, yaitu pendekatan yang berorientasi pada semesta
2.      Pendekatan pragmatik, yaitu pendekatan yang berorientasi pada pembaca
3.      Pendekatan ekspresif, yaitu pendekatan yang berorientasi pada pengarang
4.      Pendekatan obyektif, yaitu pendekatan yang berorientasi pada karya
Dalam menganalisis novelette Yang Hidup di Pinggiran ini, penulis menggunakan pendekatan pragmatik. Pendekatan ini menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami dan menghayati karya sastra (Siswanto, 2008:190). Senada dengan itu  Suyitno( 2009:22) mengemukakan bahwa pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan, untuk mencapai efek tertentu pada pembaca
   
3.3.Sumber Data    
            Sumber data dalam penelitian ini adalah novelette Yang Hidup di Pinggiran  karya Tinus Kayoman yang termuat dalam kumpulan Cerpen Tinus Kayoman yang berjudul Yuni Gang Empat.
3.4. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk menelaah novelette Yang Hidup di Pinggiran  adalah teknik analisis karya. Teknik analisis karya adalah “penganalisisan hasil karya seseorang” (Surakhmad, 1985 : 125)
Langkah-langkah yang ditempuh  pada analisis data adalah :
1.      mengidentifikasi tokoh-tokoh dalam cerita  ;
2.      mengklasifikasi tokoh-tokoh menjadi tokoh utama dan pendamping ;
3.      menganalisis religiusitas tokoh-tokoh dalam novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman;
4.      menginterprestasikan hasil analisis;
5.      membuat kesimpulan.

3.5.  Jadwal Penelitian
     Berdasarkan langkah kerja yang telah disusun, maka direncanakan jadwal kegiatan seperti tercantum di bawah ini :
No.
Kegiatan
Tahun 2010   bulan ke
1
2
3
4
5
1
Persiapan




2
Pengumpulan data



3
Pengolahan data



4
Penyusunan naskah


 

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Ringkasan Novelette Yang Hidup di Pinggiran
Susi, adalah seorang wanita penghuni sebuah lokalisasi. Perjalanan hidupnya penuh dengan cobaan. Ia yang berasal dari sebuah daerah di Jawa Barat, semula adalah ibu rumahtangga biasa dengan suami dan anak. Kematian sang suami menyebabkan ia terlantar dan diperistri oleh seorang juragan yang kemudian menjualnya ke lokalisasi. Kecantikan Susi menjadikannya salah satu idola di tempat itu.
Bu Mar, dulunya seorang wanita penghibur juga. Lalu ia menjadi penyedia  wanita-wanita penghibur bagi lelaki yang datang ke lokalisasi tempat Susi tinggal. Namun sejak kematian Mei, salah satu anak asuhnya (yang ternyata adalah anak kandungnya sendiri), Bu Mar bertobat. Sekarang ia  menjalani hidup dengan berjualan kebutuhan sehari-hari para penghuni lokalisasi itu.
Ustad Nur Hidayat, lulusan sebuah pondok pesantren yang banyak menghasilkan alumni terkenal. Namun ia sendiri menghilang tanpa kabar setelah lulus dari pesantrennya. Hingga suatu hari ramai pemberitaan tentang keterlibatannya dalam jaringan teroris. Keberadaannya tidak terlacak oleh siapapun. Namun tiba-tiba ia mengadakan kontak dengan sahabatnya semasa di pesantren dulu, Nur Salim.
Nur Salim yang merupakan adik kandung bu Mar lalu menyembunyikan Nur Hidayat di tempat Bu Mar, di lokalisasi yang sama dengan Susi. Perjalanan waktu kemudian menjadikan ketiganya (Susi, Bu Mar dan Ustad Nur Hidayat) terlibat dalam suatu hubungan batin yang mengharukan.
       
4.2.Religiusitas Tokoh-tokoh dalam Novelette Yang Hidup di pinggiran
4.2.1.      Religiusitas Tokoh Susi
Menjalani kehidupan yang keras, mengalami cobaan yang datang bertubi-tubi dan tinggal di lingkungan yang penuh dengan gelimang dosa, membuat Susi hampir putus asa dengan kebaikan sang Pencipta. Benarkah Tuhan itu ada? Benarkah Ia sangat baik terhadap hamba-hambaNya? Pertanyaan ini terlihat dari kalimat berikut :
                                Susi sih setuju nggak setuju dengan perkataan temannya itu.
                        Kalo memang Tuhan paling baik,   kenapa  Dia membiarkan
                        suaminya meninggal dunia ? Membiarkan dirinya dan anak-
                        anaknya   terlantar ?  Memberi  kesempatan   pada   Juragan 
                        untuk  menjadikannya  istri ke empat ? Melemparkannya ke
                        rimba   pelacuran   yang   penuh   lumpur  dosa  dan mahluk-
                        mahluk buas yang berwujud manusia ?

            Namun hubungan Susi tidak sepenuhnya putus dengan Tuhan. Keberadaan sebuah masjid di lokalisasi itu menjadikan Susi tetap terhubung dengan sang Khalik. walaupun dalam hatinya Susi juga mempertanyakan keberadaan masjid itu. Perhatikan kalimat berikut :
                                Mulanya Susi    bingung   memikirkan  keberadaan  mesjid itu.
Apa di tempat seperti ini masih ada yang ingat dengan Tuhan ?
Tapi  ketika  masuk   awal   bulan   puasa  kemarin, Susi cukup
terkejut   ketika   tahu   mesjid   itu   penuh  dengan orang yang
sembahyang tarawih…. 

            Demikian pula dengan datangnya bulan Ramadhan. Hubungan itu mulai merapat. Bulan puasa memang saat yang paling baik bagi mahluk untuk mengakrabi sang penciptanya. tidak terkecuali penghuni lokalisasi yang selama ini identik dengan para pendosa yang biasa melanggar larangan Tuhan. Perhatikan kalimat berikut ini :
                                Makanya sampat juga ia ikut tarawih hari pertama dan kedua
                        Jamaah tarawih di masjid  itu campur aduk ; ada anak germo,
pelacur   yang   belum  pulang  kampung  atau memang tidak
pulang  kampung,   laki-laki   hidung belang yang diam-diam
mampir biarpun sudah masuk bulan puasa….   
           
            religiusitas Susi kian mengental ketika akhirnya ia mengalami peristiwa pengeroyokan. Orang-orang yang sesungguhnya berseteru dengan Mas Parno, seorang juragan ikan asin yang menjadi pelanggan di lokalisasi itu. Namun Susi dan juga Lilis, sahabat baiknya menjadi korban juga. Lilis bahkan meninggal dunia, sedangkan Susi terluka parah. situasi kejiwaan Susi tergambar sebagai berikut :
                                Sudah lama Susi tahu jika sepi itu menyakitkan. Tapi baru
sekarang ini ia menyadari   bahwa   sepi   itu   juga  sangat
menakutkan. “Bu….jangan tinggalkan  Susi !” Susi meraih
jemari Bu Mar.   Bu   Mar   meletakkan  telapak tangannya
di ujung jari  Susi. Ia   tidak   dapat   menggenggam telapak
tangan   Susi   yang   terluka.   “Susi   takut  Bu…! Do’akan
Susi jangan mati, Susi mau tobat dulu…!”      
            Bencana dan cobaan memang memberikan dua kemungkinan pilihan bagi orang yang mengalaminya. Pertama,  ia menerima cobaan itu dan semakin mendekat pada Tuhannya. Atau ia berpaling, berlari dan  semakin menjauh dariNya. Susi beruntung, ia memilih yang pertama.                        

4.2.2.      Religiusitas Bu Mar
Bu Mar mengalami titik balik hubungannya dengan Tuhan ketika salah seorang wanita penghibur yang diasuhnya meninggal dunia secara tragis.  Mei, gadis penghibur yang meninggal dunia setelah menjalani  proses aborsi yang kejam. Gadis yang hingga kematiannya tidak pernah mengetahui bahwa Bu Mar, orang yang menjadikannya pelacur adalah ibu kandungnya sendiri. Ibu yang ketika ia menjemput ajal, sempat ia mohon bantuan do’anya.  
            Sejak saat itu, Bu Mar insyaf. pukulan batin yang ditimbulkan oleh peristiwa kematian Mei itu, membuat Bu Mar kembali menjalin hubungannya dengan Tuhan.perhatikan kutipan berikut :
                                Sekarang Mami Mar bersimpuh  di  atas  sajadah  baru
                        itu,  sejak azan Subuh tadi. Mukena baru yang ia kena-
                        kan ujung  bawahnya   lembab  oleh  airmatanya.  Dari
                        berdiri untuk mengerjakan  dua rekaat  Subuh, Airmata
                        yang   terus    mengalir   ia usap   dengan  ujung  bawah
mukenanya    itu.    “Tuhan,   pantaskah   aku  berdiri di
hadapanmu ?” Mami Mar mengeluh“Tuhan,  pantaskah  
aku      menadahkan     tangan     memohon   padaMu ?”
berdiri    di   hadapanMu   ya  Tuhan.    Dalam   mukena
 putih     ini,   menutupi hitam   jalan hidupku. Tapi, jika
tidak mengadu  padaMu,   tuhan   yang   mana lagi harus
aku pilih ?!”

            Bu Mar tidak salah memilih tuhan. Karena hanya Tuhan yang disapanya melalui tangisan dalam sholatlah yang dapat menjawab semua pertanyaannya, mengabulkan harapan dan keinginannya. hal ini tergambar pada kalimat berikut ini :
                                Perjalanan hidupnya dua tahun ini meyakinkan Bu Mar,
Dialah yang  paling    pemaaf,   paling baik    dan paling
kaya. Takkan kecewa  orang  yang   datang  menghadap
dan  meminta  padaNya.

            Tuhan bahkan mengembalikan saudara Bu Mar yang sudah lama memutuskan hubungan persaudaraan.
                                Seraut wajah dengan rambut pendek rapi tersenyum lebar
di depan Bu Mar.   Wajah   yang lama sekali tidak pernah
muncul di depan Bu Mar. Wajah yang pemiliknya pernah
memutuskan   hubungan   dan  menganggap  sang mantan
germo itu  sudah  mati. Nur  Salim,  satu-satunya  saudara
Bu Mar  yang  masih  hidup.Kakak  tertua  mereka  sudah
meninggal  beberapa  tahun  yang  lalu.
  

4.3.Religiusitas Nur Hidayat.
Nur Hidayat berlatar belakang pedidikan pondok pesantren.  Dengan ilmu agama yang ia miliki, seharusnya Nur Hidayat dapat meniti karir seperti saudara sepondoknya yang lain. Menjadi pengajar di pesantren dan  ulama ditengah-tengah masyarakat. Namun ustad muda ini memilih jalannya sendiri. jalan yang mungkin menimbulkan berbagi pertanyaan dan mengundang perdebatan. Jalan yang saat ini, menjadi stigma bagi sebagian lulusan pondok pesantren. Perhatikan kutipan berikut ini :
                                Suara  lembut  itu terdengar jauh sekali di telinga Salim
                        suara  Nur   Hidayat.  Salim   teringat  suara  lembut ini
                        dengan  gaya  bacaan  yang  sederhana  dan lurus ketika
                        melantunkan ayat al Qur’an sering membuat pendengar-
                        nya    menitikkan    air    mata.  Adakah  benar  sekarang
pemiliknya   telah   menjadi teroris, musuh Negara yang
sebagian   besar   penduduknya   justru  saudara seiman?
Salim     menggeleng,     berusaha            mengenyahkan
kesedihan  yang  menyaputi  dadanya.

Namun, religiusitas tokoh ini tidak tergoyahkan oleh hal tersebut. Dalam pelariannya, ia tetap menjalani kewajibannya sebagai seorang ustad, yaitu mendakwahkan agama. Di lokalisasi yang menjadi tempat persembunyiannya, Nur Hidayat menemukan lahan dakwah baru, mengajar mengaji pada anak-anak maupun penghuni lokalisasi lainnya. Sebagaimana kutipan berikut :
                                Minggu-minggu   pertama  musola   itu dibuka, satu dua
anak   mulai   datang  membawa  mukena dan buku ngaji
mereka. lalu hari berikutnya dengan dibantu bu Mar yang
 berpromosi  pada   setiap   pembeli   di  warungnya yang
datang  kian  bertambah.  Malahan  ada dua orang pelacur
yang  ikut  belajar   agama. Keduanya merasa perlu untuk
mempelajari  agama   dan mengaji   karena  akan menikah
dan  diboyong oleh bakal suaminya keluar komplek.

Lahan dakwah lain bagi Nur Hidayat ialah menikahi Bu Mar. Hal ini ia lakukan setelah Nur Salim, sahabatnya yang merupakan adik kandung Bu Mar menyarankan hal itu.Mereka melangsungkan pernikahan setelah Nur Hidayat menetapkan hatinya melalui sholat istikharoh. Sebagaimana pada kutipan berikut :
                “Saya    mau    titip    Mbak   Mar   sama Gus Dayat!”
            “Maksud                        Kang                        Salim ?”
            “Saya nggak   mau Mbak Mar jadi zulaiha pada kisah
Nabi   Yusuf.      Saya,     juga      Mbak   Mar sendiri
berkehendak     agar    dia    menjadi layaknya bunda
Siti      Khodijah       dengan   kanjeng Rasulullah….”
Nur Hidayat tercenung. Ia sudah mafhum dengan arah
pembicaraan       Nur Salim.     Salim  diam menunggu
Dayat                 yang              sedang               berfikir.
“Saya   belum bisa    ngasih jawaban sekarang, Kang !
Kasih saya waktu tiga hari untuk istikharoh….”
  
        
                       
           












BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1.Simpulan
Berdasarkan analisis data pada bab IV dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh novelette Yang Hidup di Pinggiran  penuh dengan kandungan religiusitas. Religiusitas yang didapat melalui perjalanan hidup yang penuh lika-liku. Perjalanan hidup tokoh-tokoh seperti Susi, Bu mar dan Ustad Nur Hidayat dapat memberikan bahan perenungan bagi kita semua, bahwa hidup manusia sesungguhnya tidak akan pernah lepas dari tali hubungan yang mengikatnya dengan sang pencipta.
Karena cobaan hidup yang terus menerus menderanya, Susi hampir saja memutus tali hubungannya dengan Tuhannya. Namun, sedikit saja ia melangkah mendekatiNya, Tuhan segera menyambut kedatangannya dengan sukacita.
Demikian pula dengan Bu Mar, kekejaman dan dosa menjual anak kandungnya sebagi pelacur, lalu membunuhnya melalui proses aborsi oleh dukun beranak cukup membuatnya merasa malu menghadap Tuhannya. Namun, tidak ada kata terlambat untuk memohon ampunan Yang Maha Kuasa. Bu mar membuktikan, tidak akan merugi dan menyesal orang yang kembali ke JalanNya.
  Ustad Nur Hidayat, memilih jalan sendiri untuk memaknai religiusitasnya. Namun situasi kemudian mempertemukannya dengan Bu Mar dan Susi. Seiring perjalanan sang waktu, akhirnya ia mendapatkan makna baru bagi religiusitasnya.
 
5.2.Saran
Berdasarkan simpulan di atas dapat disarankan hal-hal berikut :
1.      Novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman cukup menghibur sebagai bacaan. Selain itu tokoh-tokohnya memberikan renungan tentang religiusitas.
2.      Hasil penelitian ini kira dapat menjadi bahan pembanding atau masukan bagi mahasiswa yang hendak meneliti hal yang berkaitan
3.      dalam penelitian ini sekiranya masih ada hal-hal yang belum terjamah atau membutuhkan pengkajian yang lebih mendalam, maka dapatlah diadakan penelitian lebih lanjut
















DAFTAR PUSTAKA

Arifin, HM. 1995. Menguak  Misteri Ajaran Agama-agama Besar
Darajat, Zakiah. 1989. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental
Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung : Angkasa
Gazalba, Sidi.1985.  Asas Ajaran Islam
Herfanda, Ahmadun Yosi. 2008. Sastra, Abdul Hadi WM dan Orientasi Penciptaan.
           Esai  di harian Republika dikutip dari blue4gie.com tanggal 28 Juni 2008

Kelaramita. 2009. Nilai moral dalam novel Wanita Berkalung Sorban Karya Abidah  
           El Khalieqy. Skripsi S1 ( belum diterbitkan ), FKIP Universitas Sriwijaya.

Siswanto, wahyudi.2008. Pengantar Teori sastra. Jakarta: Grasindo

Sudjana, Nana. 1999. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung : Sinar Baru 
          Algesindo.
 
Suharianto. 1982. Apresiasi Karya Puisi. Bandung : Remadja Karya.
Suharyanto dkk. 1991. Pengkajian Nilai-nilai Luhur Budaya Spiritual Bangsa
          Daerah Jawa Timur II. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Surakhmad, Winarno. 1985. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung : Tarsito.
Suyitno. 2009. Kritik Sastra. Surakarta: uiversitas Sebelas Maret.
Wijoto, Ribut. 2001. Tidak ada Sastra Religius. Esai di humor@indopubs.com
           di akses pada tanggal 17 November 2001