bunyi gerimis sendu
mengetuk halaman dan teras rumah
Kau mengeluh, hujan katamu
tubuh kita terbungkus selimut
sisa desahmu masih pula mengambang di udara
biarlah hujan pagi ini
membasuh lelah kita
lalu secangkir kopi yang kau seduhkan
jadikan hujan kian menderas di halaman
Kau tersenyum bersama sedikit sisa tawa semalam,
lihat, katamu, gerimis cemburu padaku
biarlah hujan di halaman sana
mengeluh melihat tingkah kita
Kau mulai bersemangat, memanggang sepotong roti beroleskan sepi
Lalu kau bagi dua
untukmu untukku
lalu kita tertawa
tapi, mengapa kulihat bayangan gerimis disudut matamu ?
Minggu, 30 Oktober 2011
Kamis, 13 Oktober 2011
ARTIKEL
BAHASA JURNALISTIK INDONESIA
Oleh : Goenawan Mohamad
Perkembangan Bahasa Jurnalistik sejalan dengan perkembangan Bahasa Indonesia. Namun, dari waktu ke waktu perlu terus dirumuskan suatu pemakaian bahasa jurnalistik yang efisien ( jelas dan hemat) Penghematan ruang dan waktu sesuai dengan salah satu sifat jurnalisme yang menghendaki komunikasi cepat dalam ruang dan waktu yang relatif terbatas.
Penghematan dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (1) unsur kata , (2) unsur kalimat. Beberapa kata yang berlebihan dapat di ringkas sehingga lebih hemat, tentu saja tanpa mengurangi cita rasa bahasa jurnalistik. Contohnya : agar supaya ditulis agar atau supaya. Sehingga ditulis hingga . memperbaiki penulisan ejaan yang salah sehingga menjadi lebih efisien. Contohnya : syah menjadi sah , khawatir menjadi kuatir. Pemakaian sinonim yang lebih pendek. Contohnya : kemudian diganti lalu .
Penghematan dilakukan melalui pemakaian kalimat yang baik. Hilangkan kata yang sebetulnya tidak perlu. Contoh : Adalah merupakan kenyataan…. Cukup ditulis Merupakan kenyataan… Pemakaian kata apakah atau apa ( mungkin pegaruh bahasa daerah ) sebetulnya dapat ditiadakan. Contoh : Apakah Indonesia akan tergantung pada bantuan luar negeri ? dapat ditulis Akan terus tergantungkah Indonesia….
Selain itu masih ada penghematan yang dapat digunakan melalui pemakaian kalimat yang efektif. Antara lain pemakaian dimana , hal ini sesungguhnya terkait dengan terjemahan kalimat dari bahasa asing (Belanda , Inggris) Contohnya : rumah di mana saya diam ( terjemahan dari : The house where I live in ) sebenar lebih baik jika ditulis rumah yang saya diami
Seorang jurnalis yang baik harus memahami betul soal yang hendak ditulisnya dan sekaligus memahami pembaca. Sebuah tulisan yang baik, harus mempertimbangkan juga unsur berikut : teknis komposisi, tanda baca yang tertib, ejaan standar, pembagian tulisan secara sistematik dalam tiap alinea. Perlu ditekankan disiplin berpikir dan menuangkan pikiran dalam menulis.
Di sisi kejelasan, perhatian ditujukan melalui dua sisi pula : unsur kata dan unsur kalimat . kejelasan unsur kata dilakukan dengan (1)berhemat dengan kata-kata asing. beberapa kata yang dapat dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, tidak perlu dipakai.(2)Hindari sejauh mungkin menggunakan akronim. Penggunaan akronim membuat tulisan lebih singkat dan mudah diingat. Tapi akan menjadi berlebihan bila pemakaiannya dilakukan seenaknya dan terlalu sering. Kejelasan unsur kalimat dilakukan dengan menghindari kalimat majemuk yang panjang.
KOMENTAR :
Tulisan di atas menguraikan dengan lengkap dan sistematik bagaimana sebuah artikel jurnalistik yang baik dibuat. Karakter jurnalisme yang menghendaki komunikasi yang cepat dalam ruang dan waktu terbatas. Goenawan Mohamad ( popular dengan inisial GM ), jurnalis senior yang identik dengan Catatan Pinggir, sebuah seri tulisan humaniora di majalah Tempo. Dalam kapasitas itu, artikel yang ditulisnya ini sangat komunikatif dan mudah dimengerti.
Ia memulai tulisan dengan karakter jurnalisme dan situasi saat ini. Lalu mulai menguraikan bahwa untuk menghasilkan artikel yang baik harus memenuhi dua hal, hemat dan jelas. Selanjutnya sebagian besar isi artikel ini ialah uraian mengenai hemat ( melalui unsur kata dan kalimat, terbagi 12 langkah ) dan jelas ( melalui unsur dan kalimat, 2 langkah )
Artikel ini memberikan pedoman bagi kita, khususnya yang berminat untuk menulis di media massa, bagaimana sebuah sebuah tulisan dibuat. Tentu saja, untuk mencapai tahap sebagaimana bung GM ini, kita perlu terus berlatih. Dengan latihan terus menerus, bukan tidak mungkin akan muncul juga seri tulisan sebaik Catatan Pinggir. Semoga.
UCAPAN SELAMAT
selamat menunaikan Ibadah Haji untuk Rekan Kami: Ibu Dra. Siti Suartini dan Dra. Dian Rusminar.
semoga sehat selalu dan memperoleh haji yang mabrur..
semoga sehat selalu dan memperoleh haji yang mabrur..
Contoh Proposal Kunjungan
Seringkali guru membutuhkan contoh proposal sederhana untuk mengadakan kunjungan lapangan ke suatu tempat (museum, graha teknologi dll). Demikian juga siswa membutuhkan proposal untuk tugas bahasa Indonesia mereka. Apapun kebutuhannya, berikut ini kami share sebentuk sederhana proposal. Mudah-mudahan bermanfaat...
ini link proposalnya http://www.4shared.com/file/u3GM9s5I/PROPOSAL__field_trip__2011.html
ada juga surat ijin orangtua http://www.4shared.com/file/UXSNZHzq/surat_ijin_ortu.html
ini link proposalnya http://www.4shared.com/file/u3GM9s5I/PROPOSAL__field_trip__2011.html
ada juga surat ijin orangtua http://www.4shared.com/file/UXSNZHzq/surat_ijin_ortu.html
Novel Negeri 5 Menara (A Fuadi)
Silahkan baca-baca untuk menambah wawasan dan mencari pencerahan....:)
download dulu di link inihttp://www.4shared.com/file/7V-qU4d_/Negeri-5-Menara.html
Selamat membaca
download dulu di link inihttp://www.4shared.com/file/7V-qU4d_/Negeri-5-Menara.html
Selamat membaca
Rabu, 12 Oktober 2011
MENGANALISIS HASIL ULANGAN
Penilaian merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari proses pembelajaran secara keseluruhan. Penilaian yang baik, dapat menjadi gambaran bagi baiknya proses pembelajaran yang berlangsung. Sayangnya, seringkali guru belum seragam dalam memberikan penilaian. Adanya ketidakseragaman tersebut menyebabkan beberapa guru mengalami kebingungan saat disodori lembar analisis untuk hasil penilaian yang dilakukannya. Selain itu, lembar analisis yang berbentuk manual, lumayan merepotkan untuk diisi secara lengkap dan benar. Untuk itu, berikut kami berikan contoh program Excel untuk menganalisis ulangan secara lebih mudah dan cepat. filenya dapat di download di sini http://www.4shared.com/document/zei1vAnz/ABS_pilihan_Ganda9U.html
dan di sini
http://www.4shared.com/document/a2mgvRbP/Analisis_Soal_Uraian.html
dan di sini
http://www.4shared.com/document/a2mgvRbP/Analisis_Soal_Uraian.html
Minggu, 09 Oktober 2011
MAKALAH SASTRA
RELIGIUSITAS TOKOH DALAM NOVELETTE YANG HIDUP DI PINGGIRAN KARYA TINUS KAYOMAN
Nilawaty
Nomor Induk Mahasiswa 06097302001
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam sebuah tatanan kehidupan berbangsa, nilai-nilai yang dianut masyarakat menjadi penjaga bagi utuhnya tatanan itu. Nilai-nilai itu juga membentuk karakter suatu bangsa. Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang maju dan terkemuka dalam percaturan dunia, selalu ditopang oleh suatu karakter yang penuh dengan nilai-nilai positif. Sebaliknya, jika nilai itu tergerus, akan menjadi sinyal awal bagi mundurnya suatu bangsa bahkan suatu peradaban.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya bidang komunikasi dan informasi, membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Sekat-sekat jarak dan waktu menjadi sempit bahkan seolah hilang sama sekali. Pemikiran, gagasan, harapan seseorang secara sadar atau tidak banyak pula mempengaruhi diri orang lain. Dalam skala yang lebih luas sering terjadi pergeseran nilai yang dianut dalam suatu masyarakat. Pergeseran yang dapat dimaknai secara positif namun di lain kesempatan dituding sebagai biang keladi hilangnya nilai positif dari suatu bangsa. Hal ini misalnya tersirat dalam pernyataan yang dikemukakan oleh Suhariyanto dkk (1991 : 1-3) berikut :
Perkembangan komunikasi, baik yang bersifat media cetak
maupun yang bersifat elektronik akan membuat dunia ini
seolah-olah dekat dan akan berpengaruh langsung ataupun
tidak langsung terhadap pergeseran nilai-nilai. Komunikasi
antara bangsa menjadi lebih erat, sehingga kebudayaan asing
dan pola berpikir ala Barat sering berkembang di tengah
kehidupan masyarakat kita….
Untuk itu segala upaya untuk tetap mempertahankan nilai-nilai positif (luhur) di tengah-tengah masyarakat menjadi penting. Sumber dari semua nilai luhur tersebut adalah kesadaran manusia akan fungsinya sebagai hamba Tuhan (interaksi vertikal) , sebagai mahluk sosial (interaksi horizontal) dan sebagai bagian dari alam (lingkungan hidup). Sehubungan dengan hal ini, karya sastra memiliki peran penting sebagai salah satu upaya mempertahankan nilai luhur. Karya sastra memberikan pencerahan bagi jiwa manusia yang mengering dilanda arus kemajuan yang membawa pula sikap materialistik, konsumtif dan cenderung hedonistik .
Melalui karya sastra pembaca tidak hanya diajak untuk menikmati dan memahami ekspresi jiwa pengarang tetapi juga menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Nilai moral, didaktis, sosial dan religius yang terdapat dalam sebuah karya sastra diharapkan akan memberikan masukan, contoh dan teladan bagi pembaca yang dapat diadaptasi dalam kehidupan sesuai dengan kondisi dan keadaan masing-masing. Karena itulah, menjadi penting untuk meneliti bagaimana sebuah karya sastra memberikan gambaran tentang nilai-nilai kepada para pembaca serta bagaimana pembaca dapat menarik pelajaran dari karya yang dibacanya.
Penulis memilih novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman sebagai obyek penelitian. Tinus kayoman adalah nama pena dari Rajab Agustini, S.Pd. Lahir di Palembang, 8 agustus 1971. Mulai menyenangi dunia tulis menulis sejak menjadi mahasiswa di jurusan pendidikan Fisika IKIP Negeri Semarang (sekarang bernama Universitas Negeri Semarang) tahun 90-an. Dimulai dengan menulis puisi dan cerpen yang dimuat di majalah dinding fakultas, lalu berlanjut ke Koran kampus. Beberapa kali puisi dan cerpennya menjadi pemenang lomba di tingkat fakultas dan Universitas. Misalnya Pada tahun 1994 , cerpennya yang berjudul Istri Pilihan , menjadi juara lomba penulisan cerpen dalam rangka pekan seni dan sastra IKIP Negeri Semarang. Pada tahun-tahun itu juga, cerita-cerita pendeknya yang banyak bertema realitas kehidupan kaum marginal mulai menghiasi harian lokal di kota Semarang. Cerpennya yang berjudul Rencana dimuat dalam antologi cerpen RITUS, bersama dengan cerpen penulis semacam Triyanto Triwikromo serta mendapat pujian dari sastrawan Ahmad tohari.Karyanya yang berjudul Yang Hidup di Pinggiran ini penulis kutip dari kumpulan cerpennya yang berjudul Yuni Gang Empat yang di buat tahun 2008 dan belum diterbitkan
Setidaknya ada dua alasan untuk itu : pertama, karya ini belum pernah dijadikan bahan penelitian sebelumnya. Kedua, setelah membaca cerita Yang Hidup di Pinggiran penulis mendapati bahwa cukup menarik untuk membahas religiusitas tokoh-tokoh dalam karya ini. Sebagai pembanding, Kelaramita (2009) meneliti nilai moral yang terdapat dalam novel karya Abidah El Khalieqy, Perempuan Berkalung Sorban. Sebuah novel dengan setting pesantren dan tokoh-tokoh bernama “Islam” serta pilihan diksi sarat dengan idiom-idiom keagamaan. Sebaliknya; setting, tokoh dan idiom dalam novelette Yang Hidup di Pinggiran boleh dikatakan bertolak belakang dengan novel itu. Tokoh utama dalam novelette ini ada tiga orang yaitu : Susi, seorang wanita penghibur, Bu Mar, seorang mantan “mami” dan Ustad Nurhidayat, seorang guru mengaji yang diduga terlibat perkara teroris. Berdasarkan hal inilah penelitian terhadap religiusitas tokoh dalam novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman penulis anggap perlu dilakukan.
1.2. Masalah
masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah religiusitas tokoh dalam novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman .
1.3. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mendeskrispsikan religiusitas tokoh-tokoh dalam novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman sehingga diperoleh gambaran yang lengkap mengenai religiusitas tokoh-tokoh itu.
1.4. Manfaat
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran bahwa religiusitas menjadi sebuah hal yang penting untuk terus ditingkatkan ditengah-tengah derasnya arus pusaran keadaan saat ini yang terus menerus menggerus nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat.
Secara praktis, diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran tentang religiusitas dalam sebuah karya, mengapresiasi sebuah karya sastra serta selalu tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan memandangnya dengan sudut pandang yang segar dan orisinil. Bagi mahasiswa yang kelak akan menjadi calon pendidik, kejelian dalam memilih sudut pandang pandang dan bahan pengajaran sastra diharapkan dapat meningkatkan gairah siswa untuk menikmati dan menekuni sastra Indonesia yang menurut para ahli masih memprihatinkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karya Sastra, Perpaduan ide dan Perjalanan Batin Penulis
Karya sastra merupakan hasil pengungkapan sastrawan mengenai masalah kehidupan manusia dengan segala perilakunya. Suharianto (1982 :18) mengemukakan bahwa karya sastra berkemampuan menjadikan penikmatnya lebih mengenal manusia dengan kemanusiaannya karena pesan yang disampaikan dalam karya sastra tidak lain tentang manusia dengan segala perilakunya.
Pengungkapan masalah kehidupan manusia dengan segala perilakunya merupakan hasil perpaduan daya imajinasi, ekspresi dan kreasi dengan pengalaman dan mata batin pengarang. Pengungkapan masalah kehidupan dalam karya sastra dipandang sebagai ide atau gagasan sastrawan, yang secara keseluruhan dituangkan ke dalam karya sastra (Esten, 1987 : 8). Dengan demikian, tidak dapat dibantah lagi bahwa perjalanan kehidupan yang mendasari pengalaman dan menajamkan mata batin sang penulis akan memberikan warna bagi karya-karya yang lahir dari penulis tersebut.
Sebuah karya sastra diciptakan sastrawan bukan untuk keperluan dirinya sendiri, tetapi dinikmati oleh pembaca atau penikmat karyanya. Sastrawan tidak hanya mengajak pembaca untuk mengetahui pesan yang disampaikannya tetapi mengajak untuk turut merasakan sesuatu yang dirasakan penulis. Sebab itu sastrawan tidak sekedar memindahkan sesuatu yang disaksikannya dalam kehidupan ini ke dalam karyanya tetapi sastrawan juga menafsirkan pengalamannya itu sesuai dengan keyakinan batinnya (Suharianto, 1982 : 18).
Karya sastra merupakan sarana bagi sastrawan untuk mengemukakan suatu pesan atau amanat kepada pembaca karyanya. Pesan tersebut dapat berisi ajaran moral, kritik sosial atau pemikiran atau gagasan yang mengundang pertanyaan dan diskusi lebih lanjut. Namun di atas semua itu, pesan yang menggugah kita untuk menimbang kadar religiusitas diri menjadi hal yang utama. Karena, dari religiusitas itulah lahir sikap moral, sosial dan nilai luhur lainnya dalam kepribadian seseorang.
2.2. Religiusitas
Religiusitas berasal dari kata bahasa Inggris, religiousity. Religiusitas sering pula dipadankan dengan fenomena keberagamaan. Religiusitas adalah kata kerja yang berasal dari kata benda religi atau religion. Religi sendiri berasal dari bahasa Latin, religio yang akar katanya re dan ligare yang berarti menghubungkan kembali yang telah putus. Yaitu menghubungkan kembali tali hubungan antara Tuhan dengan manusia yang telah terputus karena dosa-dosa manusia tersebut (Arifin, 1995)
Menurut Gazalba (1985 kata religi berasal dari religio yang berasal dari akar kata religare yang berarti mengikat. Maksudnya ikatan antara manusia dengan suatu tenaga, yaitu tenaga gaib yang kudus. Religi adalah kecenderungan rohani manusia untuk berhubungan dengan alam semesta. Nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir dan hakikat dari semuanya.
Darajat (1989) menyatakan bahwa ada dua istilah yang dikenal dalam agama. Yaitu religion consciousness (kesadaran beragama) dan religion experience (pengalaman beragama) Kesadaran beragama adalah segi agama yang terasa dalam pikiran dan dapat diuji dengan melakukan introspeksi atau dapat dikatakan sebagai aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman beragama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama. Pengalaman beragama membawa seseorang pada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan dalam menjalankan agamanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa religiusitas bersifat universal. Religiusitas ada dalam semua agama. Bahkan religiusitas ada pada setiap jiwa manusia, apapun agama yang dipeluknya. Bahkan, seorang primitif yang belum tersentuh agamapun perlu mengejawantahkan religiusitasnya dengan berbagai kepercayaan dan ritual. Religiusitas menggambarkan kemesraan hubungan antara sang pencipta dengan mahluk hidup ciptaanNya. Lalu bagaimana makna religiusitas dalam hubungannya antara sesama mahluk ?
Dalam Islam, dikenal 3 (tiga) dimensi untuk mengukur religiusitas. Yaitu dimensi akidah (keyakinan), syariah (praktik agama, ritual formal) dan akhlak (pengamalan dari akidah dan syariah). Seorang muslim diperintahkan untuk menjalankan ketiga dimensi tersebut secara terintegrasi. Kejadian dalam kehidupan sehari-hari dimana seseorang yang kelihatan rajin menjalan ritual agama namun terlibat korupsi atau seorang guru mengaji yang mencabuli anak muridnya adalah contoh yang membuktikan ketimpangan pada pelaksanaan salah satu dimensi di atas justru menutupi kebenaran dan keagungan agama itu sendiri.
Dengan kata lain, dimensi religiusitas seseorang akan sempurna jika tiga aspek itu berada sekaligus dalam kehidupannya, tidak boleh kurang satu aspekpun. Karena dengan lengkapnya aspek religiusitas tersebut dalam diri seseorang, maka barulah hidupnya akan sesuai dengan nilai luhur agama, apapun yang dipeluknya, dan bermanfaat bagi sesama bentuk kehidupan di dunia ini.
2.3. Religiusitas dalam Karya Sastra
Membicarakan sastra, sastrawan dan religiusitas sepadan dengan menyimak kembali sejarah kesustraan Indonesia sendiri. Sajak-sajak Hamzah Fansyuri dan Amir Hamzah sering dijadikan contoh karya sastra yang menampilkan nilai religi. Larik puisi Amir Hamzah, yang dijuluki raja penyair pujangga baru oleh HB Jassin, dalam puisi Padamu Jua,
Pulang
kembali aku padamu, seperti
dahulu
Dengan menafsirkan mu sebagai pengganti kata Tuhan, maka secara keseluruhan puisi itu menggambarkan dengan mempesona perjalanan religius penyair dan jadilah puisi itu sebuah puisi dengan religiusitas tinggi (Wijoto, 2001)
Di kurun waktu berikutnya ada Abdul Hadi Wiji Muthari, dengan gagasan sastra sufinya atau dalam istilah Ahmadun Yosi Herfanda , puitika sufistik . Jika kebudayaan adalah sistem nilai dan kesastraan adalah ekspresi terpenting kebudayaan, maka Abdul Hadi WM- dengan nilai esoterik Islam yang dikembangkannya melalui sastra itu- adalah paradigma kebudayaan Indonesia. Dia adalah contoh penting dari sedikit satrawan Indonesia- bersama Kuntowijoyo, Emha ainun Nadjib- yang dengan gigih berusaha membangun tradisi penciptaan (sastra) yang lebih mencerahkan.(Yosi Herfanda, 2008)
“Pada awalnya semua sastra adalah religius” demikian dikatakan oleh YB Mangunwijaya, seorang sastrawan, arsitek dan rohaniwan. Sebagai hasil sublimasi dari perjalanan batin sang penulis, karya sastra tak akan lepas dari sikap religius penulis itu. Sejauh apapun sang penulis meninggalkan ikatan yang terputus antara dirinya dengan sang Pencipta, suatu ketika jiwanya akan kembali untuk menyambung ikatan itu, sebagaimana yang tersirat dalam larik puisi Padamu Jua, karya Amir Hamzah di atas.
Jadi, meskipun Wijoto (2001) beranggapan sastra tidak mungkin bersatu dengan religi dalam teks, namun kelahiran teks sastra tetap melalui ruang religiusitas sang penulis. Masalahnya adalah sejauh mana pembaca dapat menangkap makna dan menafsirkan kata-kata penulis sebagai sebuah tulisan dengan kandungan religiusitas yang mencerahkan. Karena sebuah karya sastra yang baik tentulah membawa pencerahan bagi pembacanya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas dalam sastra adalah sebuah keniscayaan. Karya sastra sebagai perwujudan perjalanan batin sang penulisnya tak akan lepas dari sikap religiusitas sang penulis itu sendiri. Sebab sejauh mana seorang penulis bertualang, suatu ketika pasti akan timbul pula kerinduan dalam dirinya untuk berasyik masyuk dengan sang Pencipta.
Dalam novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman terdapat banyak dialog maupun paragraf yang menggambarkan religiusitas tokoh-tokohnya. Pada bagian pertama, Susi, Kembang wisma misalnya terdapat dialog sebagi berikut ;
Susi : “Susi nggak ikut ah, teh ! teh Lilis pergi sendiri saja….”
Lilis : “kamu kenapa Sus? Malu…?!”
Susi : “iya, teh….”
Lilis : “Sama Tuhan kok pake malu…, Dia mah paling baik Sus….”
Dari dialog tersebut terlihat adanya keyakinan dalam diri Lilis, yang meskipun seorang wanita penghibur yang hidup di tempat yang penuh dengan perbuatan dosa ternyata tetap memiliki keyakinan bahwa Tuhan adalah Zat yang paling baik. Hal ini sesuai dengan sifat Allah yang selalu dilafazkan umat Islam, ArRahman ArRahim (Maha Pengasih Maha Penyayang)
Pada bagian kedua, Bu Mar, Mami Insyaf terdapat monolog sebagai berikut :
“Tuhan, pantaskah aku berdiri di hadapanmu ?” Mami Mar mengeluh
“Tuhan, pantaskah aku menadahkan tangan memohon padaMu ?”
“Aku malu berdiri di hadapanMu ya Tuhan. Dalam mukena
putih ini, menutupi hitam jalan hidupku. Tapi, jika tidak mengadu
padaMu, tuhan yang mana lagi harus aku pilih ?!”
Pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya menjadi pertanyaan banyak orang. Seseorang ketika mendapati diri telah menyimpang jauh dari jalan Tuhan, seringkali menjadi ragu ketika hendak kembali. Keraguan yang lalu membersitkan pertanyaan, pantaskah aku kembali dalam keadaan seperti ini ?
Pertanyaan yang dijawab oleh nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadisnya yang menyatakan bahwa Tuhan sangat gembira menerima seorang hambaNya yang kembali. Jauh melebihi kegembiraan seorang saudagar yang menemukan kembali barang perniagaannya yang sudah lama hilang.
2.4. Novelette
Novelette secara harfiah berarti novel kecil. Hal ini merujuk ke ukurannya yang berada antara ukuran cerita pendek (cerpen) dan novel. Jika kisaran cerita pendek umumnya 7000 sampai 20.000 kata sedangkan novel 40.000 kata lebih, dengan demikian berarti ukuran novelette berkisar antara 20.000 hingga 40.000 kata.
Adapula yang membaginya sebagai berikut : cerpen jika memuat kurang dari 7500 kata. Novelette berkisar antara 7500 hingga 17.500 kata. Novella yang memuat 17.500 hingga 40.000 kata dan Novel jika memuat lebih dari 40.000 kata. Dari pengelompokan ini jelas terlihat ukuran sebuah karya yang dapat dikategorikan novelette.
Dalam kahazanah sastra Indonesia, meskipun tidak sebanyak cerpen maupun novel, tetap ada novelette yang bermutu. Sebagai contoh, Sri Sumarah karya Umar Kayam. Sebuah novelette tentang perjalanan batin seorang wanita Jawa yang walaupun sejak kecil memegang doktrin ‘pasrah’ namun tetap saja mengarungi hidup dilautan waktu yang penuh ombak.
Sebagaimana novel, novelette juga terbilang karya sastra dalam bentuk yang lebih baru dibandingkan dengan puisi dan drama, novelette dapat berupa cerita rekaan yang menyuguhkan tokoh-tokoh dengan karakter tertentu. Menampilkan serangkaian peristiwa, suasana yang beragam serta latar dan tema yang beragam pula. Hal ini sebagai gambaran kehidupan dan perilaku sebenarnya yang dijalin dalam satu alur cerita yang menarik.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memcahkan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menganalisis dan menginterprestasikannya (Surakhmad, 1995 : 47). Sedang menurut Nana Sudjana ( 1999 :52) penggunaan metode deskriptif untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa dan kejadian pada masa sekarang.
Dengan demikian, metode deskriptif akan penulis gunakan untuk mendeskripsikan perjalanan religi masing-masing tokoh dalam novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman, sehingga akan ditemukan kadar religiusitas tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan sebagai pengukur dimensi religiusitas tokoh-tokoh tersebut digunakan 3 (tiga) dimensi yaitu dimensi akidah (keyakinan), syariah (praktik agama, ritual formal) dan akhlak (pengamalan dari akidah dan syariah)
3.2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam suatu pembahasan karya sastra umumnya ada didasarkan pada empat aspek yaitu :
1. Pendekatan mimetik, yaitu pendekatan yang berorientasi pada semesta
2. Pendekatan pragmatik, yaitu pendekatan yang berorientasi pada pembaca
3. Pendekatan ekspresif, yaitu pendekatan yang berorientasi pada pengarang
4. Pendekatan obyektif, yaitu pendekatan yang berorientasi pada karya
Dalam menganalisis novelette Yang Hidup di Pinggiran ini, penulis menggunakan pendekatan pragmatik. Pendekatan ini menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami dan menghayati karya sastra (Siswanto, 2008:190). Senada dengan itu Suyitno( 2009:22) mengemukakan bahwa pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan, untuk mencapai efek tertentu pada pembaca
3.3.Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman yang termuat dalam kumpulan Cerpen Tinus Kayoman yang berjudul Yuni Gang Empat.
3.4. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk menelaah novelette Yang Hidup di Pinggiran adalah teknik analisis karya. Teknik analisis karya adalah “penganalisisan hasil karya seseorang” (Surakhmad, 1985 : 125)
Langkah-langkah yang ditempuh pada analisis data adalah :
1. mengidentifikasi tokoh-tokoh dalam cerita ;
2. mengklasifikasi tokoh-tokoh menjadi tokoh utama dan pendamping ;
3. menganalisis religiusitas tokoh-tokoh dalam novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman;
4. menginterprestasikan hasil analisis;
5. membuat kesimpulan.
3.5. Jadwal Penelitian
Berdasarkan langkah kerja yang telah disusun, maka direncanakan jadwal kegiatan seperti tercantum di bawah ini :
No. | Kegiatan | Tahun 2010 bulan ke | ||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | ||
1 | Persiapan | ▼ | ||||
2 | Pengumpulan data | ▼ | ▼ | |||
3 | Pengolahan data | ▼ | ▼ | |||
4 | Penyusunan naskah | ▼ | ▼ | ▼ |
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Ringkasan Novelette Yang Hidup di Pinggiran
Susi, adalah seorang wanita penghuni sebuah lokalisasi. Perjalanan hidupnya penuh dengan cobaan. Ia yang berasal dari sebuah daerah di Jawa Barat, semula adalah ibu rumahtangga biasa dengan suami dan anak. Kematian sang suami menyebabkan ia terlantar dan diperistri oleh seorang juragan yang kemudian menjualnya ke lokalisasi. Kecantikan Susi menjadikannya salah satu idola di tempat itu.
Bu Mar, dulunya seorang wanita penghibur juga. Lalu ia menjadi penyedia wanita-wanita penghibur bagi lelaki yang datang ke lokalisasi tempat Susi tinggal. Namun sejak kematian Mei, salah satu anak asuhnya (yang ternyata adalah anak kandungnya sendiri), Bu Mar bertobat. Sekarang ia menjalani hidup dengan berjualan kebutuhan sehari-hari para penghuni lokalisasi itu.
Ustad Nur Hidayat, lulusan sebuah pondok pesantren yang banyak menghasilkan alumni terkenal. Namun ia sendiri menghilang tanpa kabar setelah lulus dari pesantrennya. Hingga suatu hari ramai pemberitaan tentang keterlibatannya dalam jaringan teroris. Keberadaannya tidak terlacak oleh siapapun. Namun tiba-tiba ia mengadakan kontak dengan sahabatnya semasa di pesantren dulu, Nur Salim.
Nur Salim yang merupakan adik kandung bu Mar lalu menyembunyikan Nur Hidayat di tempat Bu Mar, di lokalisasi yang sama dengan Susi. Perjalanan waktu kemudian menjadikan ketiganya (Susi, Bu Mar dan Ustad Nur Hidayat) terlibat dalam suatu hubungan batin yang mengharukan.
4.2.Religiusitas Tokoh-tokoh dalam Novelette Yang Hidup di pinggiran
4.2.1. Religiusitas Tokoh Susi
Menjalani kehidupan yang keras, mengalami cobaan yang datang bertubi-tubi dan tinggal di lingkungan yang penuh dengan gelimang dosa, membuat Susi hampir putus asa dengan kebaikan sang Pencipta. Benarkah Tuhan itu ada? Benarkah Ia sangat baik terhadap hamba-hambaNya? Pertanyaan ini terlihat dari kalimat berikut :
Susi sih setuju nggak setuju dengan perkataan temannya itu.
Kalo memang Tuhan paling baik, kenapa Dia membiarkan
suaminya meninggal dunia ? Membiarkan dirinya dan anak-
anaknya terlantar ? Memberi kesempatan pada Juragan
untuk menjadikannya istri ke empat ? Melemparkannya ke
rimba pelacuran yang penuh lumpur dosa dan mahluk-
mahluk buas yang berwujud manusia ?
Namun hubungan Susi tidak sepenuhnya putus dengan Tuhan. Keberadaan sebuah masjid di lokalisasi itu menjadikan Susi tetap terhubung dengan sang Khalik. walaupun dalam hatinya Susi juga mempertanyakan keberadaan masjid itu. Perhatikan kalimat berikut :
Mulanya Susi bingung memikirkan keberadaan mesjid itu.
Apa di tempat seperti ini masih ada yang ingat dengan Tuhan ?
Tapi ketika masuk awal bulan puasa kemarin, Susi cukup
terkejut ketika tahu mesjid itu penuh dengan orang yang
sembahyang tarawih….
Demikian pula dengan datangnya bulan Ramadhan. Hubungan itu mulai merapat. Bulan puasa memang saat yang paling baik bagi mahluk untuk mengakrabi sang penciptanya. tidak terkecuali penghuni lokalisasi yang selama ini identik dengan para pendosa yang biasa melanggar larangan Tuhan. Perhatikan kalimat berikut ini :
Makanya sampat juga ia ikut tarawih hari pertama dan kedua
Jamaah tarawih di masjid itu campur aduk ; ada anak germo,
pelacur yang belum pulang kampung atau memang tidak
pulang kampung, laki-laki hidung belang yang diam-diam
mampir biarpun sudah masuk bulan puasa….
religiusitas Susi kian mengental ketika akhirnya ia mengalami peristiwa pengeroyokan. Orang-orang yang sesungguhnya berseteru dengan Mas Parno, seorang juragan ikan asin yang menjadi pelanggan di lokalisasi itu. Namun Susi dan juga Lilis, sahabat baiknya menjadi korban juga. Lilis bahkan meninggal dunia, sedangkan Susi terluka parah. situasi kejiwaan Susi tergambar sebagai berikut :
Sudah lama Susi tahu jika sepi itu menyakitkan. Tapi baru
sekarang ini ia menyadari bahwa sepi itu juga sangat
menakutkan. “Bu….jangan tinggalkan Susi !” Susi meraih
jemari Bu Mar. Bu Mar meletakkan telapak tangannya
di ujung jari Susi. Ia tidak dapat menggenggam telapak
tangan Susi yang terluka. “Susi takut Bu…! Do’akan
Susi jangan mati, Susi mau tobat dulu…!”
Bencana dan cobaan memang memberikan dua kemungkinan pilihan bagi orang yang mengalaminya. Pertama, ia menerima cobaan itu dan semakin mendekat pada Tuhannya. Atau ia berpaling, berlari dan semakin menjauh dariNya. Susi beruntung, ia memilih yang pertama.
4.2.2. Religiusitas Bu Mar
Bu Mar mengalami titik balik hubungannya dengan Tuhan ketika salah seorang wanita penghibur yang diasuhnya meninggal dunia secara tragis. Mei, gadis penghibur yang meninggal dunia setelah menjalani proses aborsi yang kejam. Gadis yang hingga kematiannya tidak pernah mengetahui bahwa Bu Mar, orang yang menjadikannya pelacur adalah ibu kandungnya sendiri. Ibu yang ketika ia menjemput ajal, sempat ia mohon bantuan do’anya.
Sejak saat itu, Bu Mar insyaf. pukulan batin yang ditimbulkan oleh peristiwa kematian Mei itu, membuat Bu Mar kembali menjalin hubungannya dengan Tuhan.perhatikan kutipan berikut :
Sekarang Mami Mar bersimpuh di atas sajadah baru
itu, sejak azan Subuh tadi. Mukena baru yang ia kena-
kan ujung bawahnya lembab oleh airmatanya. Dari
berdiri untuk mengerjakan dua rekaat Subuh, Airmata
yang terus mengalir ia usap dengan ujung bawah
mukenanya itu. “Tuhan, pantaskah aku berdiri di
hadapanmu ?” Mami Mar mengeluh“Tuhan, pantaskah
aku menadahkan tangan memohon padaMu ?”
berdiri di hadapanMu ya Tuhan. Dalam mukena
putih ini, menutupi hitam jalan hidupku. Tapi, jika
tidak mengadu padaMu, tuhan yang mana lagi harus
aku pilih ?!”
Bu Mar tidak salah memilih tuhan. Karena hanya Tuhan yang disapanya melalui tangisan dalam sholatlah yang dapat menjawab semua pertanyaannya, mengabulkan harapan dan keinginannya. hal ini tergambar pada kalimat berikut ini :
Perjalanan hidupnya dua tahun ini meyakinkan Bu Mar,
Dialah yang paling pemaaf, paling baik dan paling
kaya. Takkan kecewa orang yang datang menghadap
dan meminta padaNya.
Tuhan bahkan mengembalikan saudara Bu Mar yang sudah lama memutuskan hubungan persaudaraan.
Seraut wajah dengan rambut pendek rapi tersenyum lebar
di depan Bu Mar. Wajah yang lama sekali tidak pernah
muncul di depan Bu Mar. Wajah yang pemiliknya pernah
memutuskan hubungan dan menganggap sang mantan
germo itu sudah mati. Nur Salim, satu-satunya saudara
Bu Mar yang masih hidup.Kakak tertua mereka sudah
meninggal beberapa tahun yang lalu.
4.3.Religiusitas Nur Hidayat.
Nur Hidayat berlatar belakang pedidikan pondok pesantren. Dengan ilmu agama yang ia miliki, seharusnya Nur Hidayat dapat meniti karir seperti saudara sepondoknya yang lain. Menjadi pengajar di pesantren dan ulama ditengah-tengah masyarakat. Namun ustad muda ini memilih jalannya sendiri. jalan yang mungkin menimbulkan berbagi pertanyaan dan mengundang perdebatan. Jalan yang saat ini, menjadi stigma bagi sebagian lulusan pondok pesantren. Perhatikan kutipan berikut ini :
Suara lembut itu terdengar jauh sekali di telinga Salim
suara Nur Hidayat. Salim teringat suara lembut ini
dengan gaya bacaan yang sederhana dan lurus ketika
melantunkan ayat al Qur’an sering membuat pendengar-
nya menitikkan air mata. Adakah benar sekarang
pemiliknya telah menjadi teroris, musuh Negara yang
sebagian besar penduduknya justru saudara seiman?
Salim menggeleng, berusaha mengenyahkan
kesedihan yang menyaputi dadanya.
Namun, religiusitas tokoh ini tidak tergoyahkan oleh hal tersebut. Dalam pelariannya, ia tetap menjalani kewajibannya sebagai seorang ustad, yaitu mendakwahkan agama. Di lokalisasi yang menjadi tempat persembunyiannya, Nur Hidayat menemukan lahan dakwah baru, mengajar mengaji pada anak-anak maupun penghuni lokalisasi lainnya. Sebagaimana kutipan berikut :
Minggu-minggu pertama musola itu dibuka, satu dua
anak mulai datang membawa mukena dan buku ngaji
mereka. lalu hari berikutnya dengan dibantu bu Mar yang
berpromosi pada setiap pembeli di warungnya yang
datang kian bertambah. Malahan ada dua orang pelacur
yang ikut belajar agama. Keduanya merasa perlu untuk
mempelajari agama dan mengaji karena akan menikah
dan diboyong oleh bakal suaminya keluar komplek.
Lahan dakwah lain bagi Nur Hidayat ialah menikahi Bu Mar. Hal ini ia lakukan setelah Nur Salim, sahabatnya yang merupakan adik kandung Bu Mar menyarankan hal itu.Mereka melangsungkan pernikahan setelah Nur Hidayat menetapkan hatinya melalui sholat istikharoh. Sebagaimana pada kutipan berikut :
“Saya mau titip Mbak Mar sama Gus Dayat!”
“Maksud Kang Salim ?”
“Saya nggak mau Mbak Mar jadi zulaiha pada kisah
Nabi Yusuf. Saya, juga Mbak Mar sendiri
berkehendak agar dia menjadi layaknya bunda
Siti Khodijah dengan kanjeng Rasulullah….”
Nur Hidayat tercenung. Ia sudah mafhum dengan arah
pembicaraan Nur Salim. Salim diam menunggu
Dayat yang sedang berfikir.
“Saya belum bisa ngasih jawaban sekarang, Kang !
Kasih saya waktu tiga hari untuk istikharoh….”
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1.Simpulan
Berdasarkan analisis data pada bab IV dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh novelette Yang Hidup di Pinggiran penuh dengan kandungan religiusitas. Religiusitas yang didapat melalui perjalanan hidup yang penuh lika-liku. Perjalanan hidup tokoh-tokoh seperti Susi, Bu mar dan Ustad Nur Hidayat dapat memberikan bahan perenungan bagi kita semua, bahwa hidup manusia sesungguhnya tidak akan pernah lepas dari tali hubungan yang mengikatnya dengan sang pencipta.
Karena cobaan hidup yang terus menerus menderanya, Susi hampir saja memutus tali hubungannya dengan Tuhannya. Namun, sedikit saja ia melangkah mendekatiNya, Tuhan segera menyambut kedatangannya dengan sukacita.
Demikian pula dengan Bu Mar, kekejaman dan dosa menjual anak kandungnya sebagi pelacur, lalu membunuhnya melalui proses aborsi oleh dukun beranak cukup membuatnya merasa malu menghadap Tuhannya. Namun, tidak ada kata terlambat untuk memohon ampunan Yang Maha Kuasa. Bu mar membuktikan, tidak akan merugi dan menyesal orang yang kembali ke JalanNya.
Ustad Nur Hidayat, memilih jalan sendiri untuk memaknai religiusitasnya. Namun situasi kemudian mempertemukannya dengan Bu Mar dan Susi. Seiring perjalanan sang waktu, akhirnya ia mendapatkan makna baru bagi religiusitasnya.
5.2.Saran
Berdasarkan simpulan di atas dapat disarankan hal-hal berikut :
1. Novelette Yang Hidup di Pinggiran karya Tinus Kayoman cukup menghibur sebagai bacaan. Selain itu tokoh-tokohnya memberikan renungan tentang religiusitas.
2. Hasil penelitian ini kira dapat menjadi bahan pembanding atau masukan bagi mahasiswa yang hendak meneliti hal yang berkaitan
3. dalam penelitian ini sekiranya masih ada hal-hal yang belum terjamah atau membutuhkan pengkajian yang lebih mendalam, maka dapatlah diadakan penelitian lebih lanjut
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, HM. 1995. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar
Darajat, Zakiah. 1989. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental
Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung : Angkasa
Gazalba, Sidi.1985. Asas Ajaran Islam
Herfanda, Ahmadun Yosi. 2008. Sastra, Abdul Hadi WM dan Orientasi Penciptaan.
Esai di harian Republika dikutip dari blue4gie.com tanggal 28 Juni 2008
Kelaramita. 2009. Nilai moral dalam novel Wanita Berkalung Sorban Karya Abidah
El Khalieqy. Skripsi S1 ( belum diterbitkan ), FKIP Universitas Sriwijaya.
Siswanto, wahyudi.2008. Pengantar Teori sastra. Jakarta: Grasindo
Sudjana, Nana. 1999. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung : Sinar Baru
Algesindo.
Suharianto. 1982. Apresiasi Karya Puisi. Bandung : Remadja Karya.
Suharyanto dkk. 1991. Pengkajian Nilai-nilai Luhur Budaya Spiritual Bangsa
Daerah Jawa Timur II. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Surakhmad, Winarno. 1985. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung : Tarsito.
Suyitno. 2009. Kritik Sastra. Surakarta: uiversitas Sebelas Maret.
Wijoto, Ribut. 2001. Tidak ada Sastra Religius. Esai di humor@indopubs.com
di akses pada tanggal 17 November 2001
Langganan:
Postingan (Atom)