Sabtu, 18 Desember 2010

Epilog Novel Sang Pencerah

Harapan Sri Sultan
Keraton Yogyakarta Hadiningrat, 1912
RYKBESTUUR der Yogyakarta sedang menghadap Sri Sultan Hamengkubuwono VII, menceritakan acara pengumuman berdirinya Muhammadiyah di Loodge Gebouw, Malioboro. “Syukurlah semua acara berjalan lancar, Sinuwun,” katanya.
“Setiap kali aku mengingat ceritamu tentang penolakan Kiai Kamaludiningrat untuk memberikan izin berdirinya Muhammadiyah, tidak bisa tidak, aku langsung tertawa,” ungkap Sri Sultan terkekeh-kekeh diikuti tawa kecil Patih Dalem.
“Benar, Sinuwun. Saya saja masih sering berpikir apakah sebenarnya Kiai Penghulu sudah terlalu sepuh sehingga sulit membaca huruf-huruf kecil dan tak bisa membedakan antara president dan residentT’ sahut Patih Dalem.
“Itulah! Tidak masuk akalku kalau Kiai Penghulu akan menolak surat permohonan izin itu meski kudengar hubungan mereka sebelumnya juga sempat kurang harmonis.”
“Betul, Sinuwun.”
“Kiai Dahlan itu orang baik, titisan darah dari leluhurnya Maulana Malik Ibrahim tak mungkin salah. Dia juga pintar, dan mudah bergaul. Belum pernah kudengar ada kiai lain yang bermain biola untuk mengajarkan agama bagi murid-muridnya. Kiai muda ini juga tidak mudah mengalirkan orang lain, bahkan mau bergaul dengan kalangan priyayi dan terpelajar di Budi Utomo.”
“Betul, Sinuwun.”
“Sayang sekali dia mundur sebagai khatib amin di Masjid Gedhe, padahal khutbah-khutbah awalnya dulu sangat bagus,” kenang Sri Sultan. “Semoga lewat Muhammadiyah, kebesaran pribadi Kiai Dahlan akan terdengar sampai di luar Kauman.” BACA SELENGKAPNYA DI HALAMAN NOVEL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar